0% found this document useful (0 votes)
152 views12 pages

Jurnal Budaya Kualitas

This document summarizes a study on the relationship between Total Quality Management (TQM) implementation and quality culture in the field of education. The study found that two dimensions of TQM, customer focus and empowerment, have a significant influence on developing a quality culture. Quality improvement tools developed for and adapted in schools, like self-assessment processes, can stimulate continuous quality improvements and help shape the organizational culture of schools. The study was conducted at some government junior high schools in Banyumas Regency, Central Java to examine how TQM implementation impacts quality culture in educational institutions.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
152 views12 pages

Jurnal Budaya Kualitas

This document summarizes a study on the relationship between Total Quality Management (TQM) implementation and quality culture in the field of education. The study found that two dimensions of TQM, customer focus and empowerment, have a significant influence on developing a quality culture. Quality improvement tools developed for and adapted in schools, like self-assessment processes, can stimulate continuous quality improvements and help shape the organizational culture of schools. The study was conducted at some government junior high schools in Banyumas Regency, Central Java to examine how TQM implementation impacts quality culture in educational institutions.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 12

HUBUNGAN ANTARA TOTAL QUALITY MANAGEMENT TERHADAP

BUDAYA KUALITAS DI BIDANG PENDIDIKAN

Oleh:
Wiwiek Rabiatul Adawiyah1)
Email: wiwiekra@gmail.com
1)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

Considering the importance of quality culture as a strong driver of companies future success,
this study looked at the relationship between total quality mangement implementation and
quality culture. Meanwhile public awareness in total quality management (TQM) adoption has
increased rapidly in both the private sector and the public sector. The implementation purpose
was to stimulate the culture of continuous improvement in the school system. Thus this study
was carried out at education institutions because the institutions are considered to play
important role in yielding high quality human resources in a nation. The sample of the study
was teachers from some government junior high schools located in Banyumas Regency. The
tool of analysis use in this study was multiple regression analysis. To test the validity and
reliability of the instruments, factor analysis, Pearson correlation as well as Cronbach Alpha
were applied. The finding of the study showed that customer focus and empowerment have
significant influence on quality culture. Moreover, the developed quality tool and technique to
work were adapted in most of school organizations. One of the developed quality improvement
tool at school. This technique has been developed and supported by various quality awards.
Self-assessment is often defined as a process of evaluating an organization against a specified
model. Self-assessment is a fruitful way to stimulate quality improvements in the school system
which is among the core values or cornerstones that must work together to constitute the
culture of the organization.

Keywords: Total quality management, education institution, and quality culture.

I. INTRODUCTION
Dalam dua dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan yang cukup signifikan akan
kesadaran manajerial dalam implementasi total quality management (TQM) di organisasi
(Soltani, dkk., 2003). Hendricks dan Singhal (1996), misalnya, memberikan sebuah sintesis
menyeluruh tentang isu-isu TQM dan berpendapat bahwa banyak organisasi menjadi proaktif
dalam mendukung TQM dengan memberikan penghargaan mutu kepada perusahaan dengan
prestasi gemilang dalam implementasinya TQM.
Dalam kajian literatur ditemukan beberapa masalah terkait proses implementasi
TQM dan konsekuensinya. Salah satu faktor yang dianggap penting adalah budaya organisasi.
Beberapa peneliti telah mengkaji berbagai faktor yang perlu diperhatikan sebagai penentu
keberhasilan implementasi TQM sehingga muncul proposisi bahwa budaya sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi TQM (Prajogo dan McDermott, 2005).
Penelitian akan budaya kualitas pada sektor pendidikan dewasa ini dirasa masih
sedikit jumlahnya dan metode penelitian yang digunakan lebih banyak menggunakan metode
kualitatif karena mengarah pada penelitian tingkah laku dan bersifat deskriptif. Terlebih lagi
penelitian yang mengkaji secara eksplisit hubungan antara setiap unsur TQM dengan perilaku
kerja masih sangat kurang (Adawiyah, 2011). Sementara penelitian empiris ini belum tersedia
untuk menyokong sambungan yang eksplisit antara masing-masing dimensi TQM dan bekerja
terkait hasil, TQM mewujudkan sejumlah ajaran mapan manajemen yang menyarankan bahwa
TQM harus memiliki dampak yang diinginkan pada kepuasan kerja, komunikasi, dan persepsi
dari lingkungan kerja (Morrow, 1997). TQM merupakan perwujudan sejumlah teori
manajemen yang menyatakan bahwa TQM harus memiliki dampak pada kepuasan kerja,
komunikasi, dan persepsi dari lingkungan kerja (Morrow, 1997). Namun demikina belum
banyak penelitian yang mengkaji pengaruh TQM terhadap sumberdaya manusia (Guimaraes,
1996). Berbagai literatur yang membahas hubungan antara kelembagaan TQM dan perilaku
kerja masih bersifat normatif (Morrow, 1997) .
Salmiah (1994) meneliti tentang budaya kualitas organisasi pada sektor publik di
Malaysia, dan menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang berhubungan dengan
budaya seperti: fokus pada strategi, kepemimpinan dan manajemen, kekuatan kerja, orientasi
pelanggan dan komunikasi. Dengan organisasi pemerintahan sebagai obyek penelitiannya
dapat dirumuskan bahwa organisasi pemerintahan mempunyai budaya organisasi yang baik
untuk meningkatkan kualitas dan produktivitasnya. Penelitian yang lain mengkaitkan
implementasi TQM dan budaya organisasi yang menyimpulkan bahwa TQM efektif
mengembangkan budaya kualitas dan budaya tersebut menunjang keberhasilan proses
(Gore,1999).
Budaya kualitas yang sering seringkali dianggap sebagai komponen kunci dari
inisiatif peningkatan kualitas dalam berbagai industri, termasuk pendidikan. Banyak peneliti,
bahkan hampir semuanya, setuju bahwa Total Quality mempunyai hubungan yang kuat
dengan budaya organisasi (Ariani dkk, 2003) namun demikian masih terdapat perselisihan
tentang isu bahwa keberadaan TQM akan berdampak pada perubahan budaya untuk mencapai
kualitas menyeluruh (total quality) atau sebaliknya TQM tidak merubah budaya melainkan
menggunakan budaya yang sudah ada.
Studi penjaminan mutu terutama jika dikaitkan dengan faktor budaya kualitas di
Indonesia dewasa ini juga masih terbatas, Oleh karena itu menarik untuk diketahui apakah
penjaminan mutu mempunyai pengaruh signifikan terhadap budaya kualitas sebagai bagian
dari budaya organisasi (Kujala dan Ullrank, 2004) jika diterapkan pada institusi pendidikan di
Indonesia, mengingat karakteristik budayanya yang berbeda. Artikel ini membahas tentang
konsep budaya kualitas dan menempatkan konstruk sosial ini ke area Total Quality
Management (TQM). Lebih jauh lagi akan dibahas tentang hubungan antara dimensi TQM
dengan budaya kualitas serta penentuan unsur TQM yang memfasilitasikan praktik baik dalam
pembentukan budaya kualitas institusi pendidikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Total Quality Management


Pada umumnya kualitas adalah standar barang dan jasa yang sesuai dengan keinginan
pelanggan. Menurut Juran (1991) kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan yang meliputi
perencanaan kualitas, kualitas kesesuaian and ketersediaan dan kelayakan servis. Sementara
itu Feigenbaum (1991) memandang kualitas sebagai komposit total karakteristik barang dan
jasa yang meliputi pemasaran, tehnis, produksi dan pemeliharaan sehingga barang dan jasa
yang dihasilkan sesuai harapan pelanggan
TQM adalah usaha terintegrasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dengan
melakukan perbaikan secara berkesinambungan pada setiap aspek/ aktivitas organisasi (Evans
and Lindsay, 2012). ISO secara resmi mendefinisikan TQM sebagai suatu cara untuk
mengatur organisasi agar melakukan perbaikan berkesinambungan serta kerjasama antar
seluruh elemen organisasi untuk peningkatan kualitas sehingga pelanggan puas, adanya
keuntungan jangka panjang, mendatangkan manfaat bagi seluruh anggota organisasi.
Dalam penelitian terdahulu TQM telah dikategorikan dalam beberapa kategori yang
saling melengkapi (Prajogo dan McDermott, 2005). Hal ini menyebabkan adanya perbedaan
pendapat tentang pada unsur-unsur TQM hingga saat ini. Hasil telaah pustaka tentang dimensi
TQM menunjukkan bahwa praktek-praktek TQM dapat dikategorikan kedalam tujuh area
yaitu kepemimpinan, perencanaan strategis, orientasi pada pelanggan, infotrmasi dan analisis,
manajemen sumber daya manusia (HRM), manajemen proses dan manajemen pemasok (Sila
dan Ebrahimpour, 2005). Kriteria tersebut sesuai dengan Malcolm Baldrige National Quality
Award.

2.2 Sistem Jaminan Mutu Pendidikan


Sementara itu, menurut Ariani (2003), penjaminan kualitas merupakan kegiatan
untuk memberikan bukti-bukti untuk membangun kepercayaan bahwa kualitas dapat berfungsi
secara efektif. Tujuan kegiataan tersebut bermanfaat,baik bagi pihak internal maupun eksternal
organisasi. Tujuan penjaminan terhadap kualitas tersebut antara lain: pertama yaitu, membantu
perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus dan berkesinambungan melalui praktek yang
terbaik dan mau mengadakan inovasi. Kedua, memudahkan mendapatkan bantuan, baik
pinjaman uang atau fasilitas atau bantuan dari lembaga yang kuat dan dapat dipercaya. Ketiga,
menyediakan informasi pada masyarakat sesuai sasaran dan waktu secara konsisten dan bila
mungkin membandingkan standar yang telah dicapai dengan srandar pesaing. Keempat, yaitu
menjamin tidak adanya hal-hal yang tidak dikehendaki.
Untuk mengukur kualitas sebuah lembaga pendidikan dapat dilakukan berdasarkan
pengukuran kriteria Malcom Baldrige award, karena penghargaan ini merupakan standar yang
dapat memicu suatu organisasi, khususnya pendidikan dalam hal pencapaiannya performansi
yang tinggi serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kualitas dan performansi yang
baik sebagai competitif edge dengan kategori penilaiannya sebagai berikut : kepemimpinan
(leadership) meliputi: mendefinisikan nilai, sasaran perencanaan kualitas untuk pencapain dan
pengkomunikasian; perencanaan strategis (strategic planing) meliputi: tingkat keterlibatan
pemimpin dan penyatuan rencana kualitas kedalam bisnis; kepuasan pada pelanggan meliputi:
pesan pelanggan dalam pendefinisian kebutuhan akan kualitas; pengukuran analisis dan
manajemen pengetahuan (measurment, analysis, and knowledge management) meliputi: dapat
dipercaya (reliability), dapat disampaikan (currency) dan dapat digunakan (usability); fokus
staff meliputi: mengembangkan potensi kekuatan kerja secara penuh; manajemen proses
meliputi kualitas produk dan jasa; hasil kinerja organisasi meliputi: bagiamana perbaikan dan
performansi kualitas tersebut dapat diukur. (Stephen, 1992).
Secara khusus kriteria penilaian Malcolm Baldridge ini mempunyai dua tujuan yang
berorientasi pada hasil yaitu: menyampaikan nilai perbaikan kepada siswa dan stakeholder
yang berkontribusi untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta memperbaiki keefektifan dan
kemampuan organisasi secara keseluruhan sebagai organisasi pendidikan.

2.3 Budaya Kualitas


Budaya berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam melakukan sesuatu. Budaya
sendiri berasal dari bahasa sansekerta dari kata dasar Budhi dan Daya yang berarti
mendayagunakan akal pikiran. Jadi Budidaya berarti sebagai keseluruhan usaha rohani dan
materi termasuk potensi-potensi maupun keterampilan mayarakat atau kelompok manusia.
Budaya selalu bersifat sosial dalam arti penerusan tradisi kelompok manusia dari segi
materialnya dialihkan secara historis dan diserap oleh generasi-generasi menurut “nilai” yang
berlaku. Nilai disini adalah ukuran-ukuran yang tertinggi bagi perilaku manusia (Kepmenpan
No. 25/KEP/M.PAN/04/2002). Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan Tuhan lainnya.
Selanjutnya Rita (2003) merumuskan bahwa budaya merupakan suatu pola dan
mekanisme sosial yang dijalankan oleh suatu organisasi untuk mengurus anggotanya dan dapat
dijadikan dasar yang tegas untuk menggerakkan anggotanya dalam melaksanakan
pekerjaannya dengan baik. Budaya adalah bagaimana pola pikir kita terhadap lingkungan
untuk mencapai keberhasilan seperti kecenderungan organisasi dalam berperilaku, identitas,
pola hubungan yang dinamis, realitas, atau kode genetik (Schneider dalam Metri, 2005).
Budaya menjalankan sejumlah fungsi didalam organisasi. Pertama budaya mempunyai peran
menetapkan tapal batas; artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu
organisasi dan yang lain. Kedua, memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi.
Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri pribadi seseorang dan terakhir budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat
makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para
karyawan.
Pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan satuan kerja menurut Newstrom
dan Davis (1993) adalah budaya menjadi bagian terpenting karena dapat memberikan identitas
pelaksana organisasi, budaya juga sebagai sumber stabilitas serta kontinuitas organisasi yang
memberikan rasa aman bagi pelaksana organisasi dan yang lebih penting adalah budaya
membantu merangsang pelaksana organisasi untuk antusias dalam tugasnya.
Dalam melakukan upaya perbaikan kualitas sangat erat hubungannya dengan budaya
kualitas. Budaya mengandung berbagai aspek pokok (Bounds, 1994:101) seperti berikut:
Budaya merupakan konstruksi sosial unsur-unsur budaya, seperti nilai-nilai, keyakinan dan
pemahaman yang dianut oleh semua anggota kelompok; budaya memberikan tuntunan bagi
para anggotanya dalam memahami suatu kejadian; budaya berisi kebiasaan atau tradisi; dalam
suatu budaya, pola nilai-nilai, keyakinan, harapan, pemahaman dan perilaku timbul dan
berkembang sepanjang waktu; budaya mengarahkan perilaku atau kebiasaan atau tradisi yang
merupakan perekat yang mempersatukan organisasi dan menjamin bahwa para anggotanya
berperilaku sesuai dengan norma; setiap budaya masing-masing organisasi bersifat unik.
Sedangkan budaya organisasi menurut Nasution (2005) adalah perwujudan sehari-hari dari
nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan
berperilaku, harapan karyawan terhadap organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap
wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaan.
Menurut Gronros (1978) ada tiga pokok utama dalam kualitas yaitu berkaitan dengan
hasil, kesan dan kriteria. Ketiga utama ini dikembagkan menjadi enam yaitu profesional dan
ahli; sikap dan perilaku; akses dan fleksibel; dapat dipercayai dan amanah; solusi yang tepat;
dan reputasi.
Dalam konsep manajemen kualitas modern, kualitas pendidikan tidak cukup hanya
ditentukan oleh kelengkapan fasilitas atau reputasi intitusional. Kualitas adalah sesuatu standar
minimum yang harus dipenuhi agar mampu memuaskan pelanggan yang menggunakan output
(lulusan) dari sistem pendidikan itu, serta harus terus-menerus ditingkatkan sejalan dengan
tuntutan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif (Gasperzs,1997).
Unsur-unsur empiris dalam penelitaian ini diadopsi dari model budaya kualitas
menurut Kujala dan Ulrank menurut Kujala dan Ullrank (2004) meliputi: pertama, misi
organisasi dan hubungannya terhadap lingkungan, yang meliputi pengamatan eksternal untuk
merespon kebutuhan konsumen, prioritas konsumen dalam menerapkan tujuan dan peran
untuk melayani konsumen, karyawan dan lingkungan sosial. Kedua, hakekat realitas dan
kebenaran, yang meliputi pengamatan internal dan ekstenal organisasi untuk mendapatkan
informasi independen dan obyektif; penggunaan informasi independen dan obyektif tersebut
sebagai dasar pengambilan keputusan; dan melakukan perbaikan dengan menggunakan
analisis fakta yang obyektif. Ketiga, hakekat manusia dan interaksinya, yang meliputi
karyawan paham akan visi dan misi organisasi; karyawan mempunyai kesadaran dan motivasi
kerja yang baik; karyawan mampu menyesuaikan tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi;
karyawan mempunyai kemandirian mengendalikan dan meningkatkan kualitas; kelompok
kerja lebih bernilai daripada individu; karyawan berperan penting untuk mencapai efektifitas
organisasi. Keempat hakekat waktu dan ruang, yang meliputi adanya kordinasi dalam
merencanakn kegiatan; menetapkan bagian terkait untuk meningkatkan efektifitas organisasi;
mewujudkan kualitas dalam segala aspek; membangun kemitraan sebagi bagian dari sistem
dan orientasi hubungan dengan stakeholders utama dalam jangka panjang.

2.4 Hubungan antara TQM dan Budaya Kualitas


Terdapat perbedaan pendapat dalam literatur tentang bentuk hubungan antara TQM
dan budaya organisasi- ada yang berpendapat bahwa implementasi TQM akan merubah
budaya sementara yang lainnya berpendapat bahwa budaya organisasi mempengaruhi TQM-
sehingga tidak jelas mana yang menjadi anteseden dalam hubungan kedua variabel tersebut
(Prajogo dan McDermott, 2005). Perdebatan ini muncul karena adanya premis bahwa budaya
merupakan sesuatu yang akan menjadi pertentangan di dalam organisasi (Bright dan Cooper,
1993; Sinclair dan collins, 1994). Penelitian yang mengkaji hubungan antara TQM dan
budaya belum banyak dilakukan. Beberapa peneliti yang telah melakukan kajian hubungan
kedua variabel tersebut antara lain Chang dan Wiebe (1996), Zeitz et al. (1997), Dellana dan
Hauser (1999) yang menyimpulkan bahwa budaya merupakan anteseden dari TQM


III. METODOLOGI PENELITIAN

1) Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kausalitas karena mengkaji pengaruh antara dimensi mutu
pelyanan pendidikan berdasarkan kriteria Malcolm Baldridge Quality Award dengan budaya
kualitas pada institusi pendidikan sekolah menengah di wilayah Purwokerto. Pengambilan data
dilakukan pada bulan Juli 2010 dengan pendekatan survey menggunakan kuesioner. Seluruh
data yang diperoleh diproses dan diolah dengan analisa kuantitatif.
Sasaran penelitian adalah para tenaga pendidik dan kependidikan pada sekolah
menengah pertama di wilayah Purwokerto. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan metode puposive sampling yaitu mereka yang sudah berstatus pegawai negeri
sipil dan telah bekerja pada institusi masing-masing minimal selama 3 tahun. Sekolah yang
dijadikan sampel hanya sekolah menengah negeri yang berada diawah Dinas Pendidikan
dengan jumlah sembilan sekolah.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Responden
Responden dalam penelitian ini adalah tenaga pendidik dan kependidikan pada
sekolah menengah negeri di wilayah Purwokerto. Adapun gambaran umum responden yang
dibedakan menurut jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin


No. Jenis kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Laki-laki 75 55,56
2 Perempuan 60 44, 44

Jumlah 135 100

Berdasarkan table diatas dapat diketahui bahwa responden laki-laki sebanyak 75


orang dengan persentase sebesar 55,56% dan responden perempuan 60 orang dengan
persentase sebesar 44,44%. Hal ini menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin
laki-laki.

Uji Asumsi Klasik


Uji asumsi klasik dalam penelitian ini terdiri dari uji normalitas data menggunakan
scatterplot, uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji glajser antara nilai prediksi
variabel dependen (ZPRED) dengan residualnya (SRESID), uji multikolinieritas dengan
menggunakan Variance Inflation Factors (VIF) dan tolerance value.
Hasilnya uji asumsi klasik dapat dilihat pada gambar 1 dan hasil tabel berikutnya:
Scatterplot
Dependent Variable: Budaya kualitas
80

70

60

50
Budaya kualitas

40

30
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Regression Standardized Residual

Gambar 1. Uji Normalitas

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui titik-titik yang menyebar secara acak yang
kesemuanya menunjukkan model berdistribusi normal.

Tabel 2 Hasil uji multikolinearitas


No Variabel Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 Kepemimpinan 0,761 1,314
2 Perencanaan Strategis 0,763 1,311
3 Fokus pada pelanggan 0,738 1,355
4 Pengukuran analisis, dan 0,840 1,190
manajemen pengetahuan
5 Fokus staff 0,638 1,568
6 Proses manajemen 0,744 1,344
7 Hasil kinerja organisasi 0,707 1,415

Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat bahwa nilai VIF pada masing-masing
variabel bernilai kurang dari 5 dan nilai Tolerance kurang dari 1. Sehingga semua variabel
bebas dari gejala multikolinieritas.

Tabel 3 Hasil uji heteroskedastisitas


Model t Sig.

Kepemimpinan -1.222 0.226


Perencanaan Strategis -0.118 0.906
Fokus pada pelanggan -1.657 0.103
Pengukuran analisis, dan -0.331 0.742
manajemen pengetahuan
Fokus staff 0.313 0.756
Proses manajemen 0.806 0.423
Hasil kinerja organisasi 0.815 0.418
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sig > alpha dengan alpha 0,05. Dengan
demikian tidak terjadi gejala heteroskedastisitas pada model ini.

Tabel 4 Hasil autokorelasi


Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-
Square Estimate Watson
1 ,922a ,850 ,833 3.0055 2,449

Pengambilan keputusan pada analisis ini menggunkan dua nilai bantu yang diperoleh
dari tabel Durbin Watson yaitu dL dan dU untuk K berupa jumlah variabel bebas dan n adalah
jumlah sampel. Hasil perhitungan menunjukkan nilai DW sebesar 2,449. Sehingga nilai DW
berada pada dU sampai dengan 4-dU. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak
ada autokorelasi pada model ini.

Analisis Regresi Berganda


Hasil analisis regresi untuk mengkaji pengaruh variabel kepemimpinan, perencanaan
strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran analisis dan manajemen pengetahuan, fokus staff,
proses manajemen dan hasil kinerja organisasi terhadap budaya kualitas dapat dilihat pada
tabel berikut

Tabel 5. Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda


Variabel Koefisien t hitung Probabilitas
Konstanta 0,843 0,226 0,822
Kepemimpinan 0,753 9,130 0,000
Perencanaan strategis 0,883 7,250 0,000
Fokus pada pelanggan 0,244 2,591 0,012
Pengukuran analisis dan 0,318 4,057 0,000
manajemen pengetahuan
Fokus staff 0,402 2,642 0,010
Proses manajemen 0,275 3,416 0,001
Hasil kinerja organisasi 0,147 3,658 0,001
R2 = 0,850 F hitung = 50,248

Dari tabel 16 dapat dibuat persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:
Y = 0,843+0,753X1+0,883X2+0,244X3+0,318X4+0,402X5+0,275X6+0,147X7

Koefisien X1 sebesar 0,753 berarti variabel kepemimpinan mempunyai hubungan


yang positif dengan variabel budaya kualitas hal ini menunjukkan bahwa semakin kuat
kepemimpinan dalam institusi pendidikan maka semakin baik budaya kualitas institusi
tersebut. Beberapa peneliti dan praktisi menyarankan bahwa perilaku kepemimpinan yang
efektif dapat meningkatkan kinerja (McGrath and MacMillan, 2000; Teece, Pisano and Shuen,
1997). Pengukuran kinerja organisasi sangatlah tergantung pada kendala lingkungan yang
mencermikan kekuatan yang berada di luar kendali seorang pemimpin thus suffering from
criterion contamination (Heneman, 1986; Hoogh et al., 2004). Meski terdapat perbedaan
pendapat, ada kesepakatan bahwa kepemimpinan menciptakan hubungan yang sangat vital
antara efektifitas organisasi dan kinerja individu pada tingkatan organisasi (Avolio, 1999;
Bass, 1998; Judge, et al., 2002a, 2002c; Judge and Piccolo, 2004; Keller, 2006; McGrath and
MacMillan, 2000; Purcell et al., 2004; Teece et al., 1997; Yukl, 2002)
Koefisien X2 sebesar 0,883 berarti variabel perencanaan strategis mempunyai
hubungan yang positif dengan variabel Budaya kualitas. Penelitian Hay dan Williamson
(1998) menyimpulkan bahwa perencanaan strategis berorientasi pada masa depan institusi, hal
ini terkait dengan aktivitas di masa depan. Institusi pendidikan dalam hal ini harus berorientasi
pada perencanaan strategis yang berorientasi pada proses dari pada berorientasi pada produk
akhir
Koefisien X3 sebesar 0,244 berarti variabel fokus pada pelanggan mempunyai
hubungan yang positif dengan variabel Budaya kualitas. Sila dan Ebrahimpour (2005) and
Brah dkk. (2000) menyebutkan bahwa keberhasilan organisasi dalam jangka panjang sangatlah
tergantung pada kepedulian institusi pada kepentingan pelanggan. Prinsip utama dalam
manajemen kualitas adalah bagaimana menciptkan budaya kualitas yang berorientasi pada
kepentingan pelanggan (Mele and Colurcio, 2006; Woodruff, 1997). Sejauh mana perusahaan
memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang serta kebutuhan di masa yang akan datang (Samson
and Terziovski, 1999).
Koefisien X4 sebesar 0,318 berarti variabel pengukuan analisis dan manajemen
pengetahuan mempunyai hubungan yang positif dengan variable Budaya kualitas. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Nonaka (1994) Pengetahuan merupakan konsep yang mencerminkan
kemampuan organisasi dalam mempengaruhi kinerja. Hal ini mencermikan bahwa organisasi
yang sudah mempunyai pengukuran dalam proses merupakan organisasi dengan tingkat
budaya kualitas yang cukup tinggi.
Koefisien X5 sebesar 0,402 berarti variabel fokus staff mempunyai hubungan yang
positif dengan variabel Budaya kualitas, hal ini menunjukan bahwa naiknya variabel fokus
staff akan menaikan variabel Budaya kualitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evans dan
Lindsay (2012) bahwa organisasi merupakan entitas sosial yang harus memberikan kepuasan
kepada pelanggan internalnya dulu baru kepada pelanggan eksternal
Koefisien X6 sebesar 0,275 berarti variabel proses manajemen mempunyai hubungan
yang positif dengan variabel Budaya kualitas, hal ini menunjukan bahwa naiknya variabel
proses manajemen akan menaikan variabel Budaya kualitas. Koefisien X7 sebesar 0,147
berarti variabel hasil kinerja organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan variabel
Budaya kualitas, hal ini menunjukan bahwa naiknya variabel hasil kinerja organisasi akan
menaikan variabel Budaya kualitas
Hasil pengujian hipotesis di atas menggambarkan bahwa variabel sistem penjaminan
mutu pendidikan yang diukur berdasarkan Malcolm Baldridge criteria, mempunyai pengaruh
yang positif terhadap budaya kualtias menurut persepsi para tenaga pendidik dan
kependidikan. Mereka menilai bahwa tingkat kepercayaaan terhadap budaya kualitas yang
diterapkan dalam institusi mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas
lembaga secara berkelanjutan.
Penerapan budaya kualitas yang belum sepenuhnya dilakukan di pada institusi
pendidikan memberikan gambaran bahwa masih kurangnya pemahaman karyawan tentang
esensi pelayanan prima serta peningkatan bagi lembaga pendidikan. Besarnya kontribusi
dimensi TQM terhadap naik turunnya budaya kualitas adalah 0,850 atau 85,0 persen. Artinya
bahwa 85,00 persen naik turunnya variabel budaya kualitas pada institusi sekolah dipengaruhi
oleh variabel kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran
analisis dan manajemen pengetahuan, fokus staff, proses manajemen dan hasil kinerja
organisasi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:


Diketahui bahwa budaya kualitas, di pengaruhi oleh kepemimpinan, perencanaan strtegis,
fokus pada pelanggan, pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan, fokus staff,
manajemen proses, dan hasil kinerja organisasi. Maka berarti peningkatan terhadap variabel
kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran, analisis dan
manajemen pengetahuan, fokus staff, manajemen proses, dan hasil kinerja organisasi akan
meningkatkan budaya kualitas. Sehingga hipotesis pertama yang menyatakan dimensi TQM
memberikan pengaruh positif terhadap budaya kualitas diterima. Berdasarkan uji elastisitas
variabel kepemimpinan mempunyai pengaruh dominan terhadap budaya kualitas.
Dalam pelayanannya, karyawan lebih mengutamakan kepuasan bagi siswa dan wali
murid sehingga terjalin keharmonisan antara karyawan dengan para stakeholder untuk
meningkatkan kualitas pendidikan sekolah, sebaiknya karyawan diberikan pelatihan-pelatihan
yang dapat meningkatkan self efficacy agar tidak tergerus ditengah perkembangan zaman serta
dalam perencanaan strateginya harus mengarah pada pencapaian visi dan misi serta berfokus
pada kebutuhan pelajar dan stakeholder. Pimpinan lebih proaktif dalam mensosialisasikan visi
dan misi lembaga kepada para karyawan melalui berbagai cara, misalnya dengan penempelan
slogan-slogan yang engarah pada pencapaian visi dan misi. Setiap institusi pendidikan perlu
melakukan benchmark dengan industri yang sejenis.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, W.R., (2011), The relationship between Soft TQM and Work Related Outcomes:
the Moderating Impact of Spirituality at the Workplace, Unpublished PhD thesis,
Universiti Utara Malaysia, Sintok Kedah Darul Aman.
Ariani, Dorothea Wahyu. 1999. Manajemen Kualitas. Universitas Atmajaya Yogyakarta:
Yogyakarta.
Ariani, Dorothea Wahyu. 2003. Manajemen Kualitas Pendekatan sisi Kualitatif. Ghalia
Indonesia. Yogyakarta.
Bright, K. and Cooper, C.L. (1993), “Organizational culture and the management of quality”,
Journal of Managerial Psychology, Vol. 8 No. 6, pp. 21-7.
Chang, F.S. and Wiebe, H.A. (1996), “The ideal culture profile for total quality management: a
competing values perspective”, Engineering Management Journal, Vol. 8 No. 2, pp.
19-26.
Dellana, S.A. and Hauser, R.D. (1999), “Toward defining the quality culture”, Engineering
Management Journal, Vol. 11 No. 2, pp. 11-15.
Evans, J. R., & Lindsay, W. M. (2012). The management and control of quality (5th ed.).
Cincinnati, OH: South-Western.
Feigenbaum, A. V. (1991). Total quality control (3rd ed.) New York: McGraw-Hill.
Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. PT Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Manajement. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Gronross, C. (1978). A service-oriented approach to marketing of service. European Journal
of Marketing, 12, 588-601.
Gore, E.W. Jr, 1999. Organizational culture, TQM, and business process reengineering: An
empirical comparison. Team Performance Management: An International Journal 5
(5), 164–170.
Hendricks, K.B. and Singhal, V.R. (1996), “Quality awards and the market value of the firm:
an empirical investigation”, Management Science, Vol. 42 No. 3, pp. 415- 36.
Irani, Z., Beskese, A., Love, P.E.D., (2004). Total Quality Management and Corporate
Culture: Construct of Organizational Excellence, Technovation (24), 643–650.
Juran, J. M. (1991). Some thoughts at the outset. The Gao Journal, 14, 48-54.
Kujala, J and Ullrank, P. (2004). Total Quality Management as a Culture Phenomenon.
Helsinki Unversity of Technology. Finlndia. (www.asq.org) diakses 20 Maret 2009’
Morrow, P.C.,1997, “The measurement of TQM principles and work-related outcomes”,
Journal of Organizational Behavior, Vol. 18 No. 4, pp. 363-76.
Nasution, M.N., (2005). Manajemen Mutu Terpadu. Ghalia Indonesia: Bogor.
Newstrom, J.W., dan Keith, D., (1990), Perilaku Dalam Organisasi, Jilid I, Edisi Ketujuh,
Cetakan Kedua. Erlangga: Jakarta.
Prajogo, Daniel. I, and McDermott, Christoper. M,. (2005) “The Relationship between Total
Quality Management Practices and Organizational Culture”. International Journal of
Operations & Production Management, vol 25 no 11, pp 1101-1122.
Rita., J., (2002), ”Kepuasan Kerja Karyawan Dalam Lingkungan Institusi Pendidikan”. Jurnal
Pendidikan Penabur, No.01 / Th.I/maret 2002. BPK Penabur: Jakarta.
Salmiah. 1994. A Study of organizational Quality Climate in Public Sector. Unpublished
thesis, Universiti Utara Malaysia Sintok Kedah Darul Aman.
Sila, I., & Ebrahimpour, M. (2005). Critical Linkages among TQM factors and business
results. International Journal of Operations and Production Management, 25(11),
1123-1125.
Sinclair, J. and Collins, D. (1994), “Towards a quality culture?”, International Journal of
Quality & Reliability Management, Vol. 11 No. 5, pp. 19-29.
Soltani, E., Gennard, J., van der Meer, R.B. and Williams, T. (2004), ‘‘HR performance
evaluation in the context of TQM: a review of the literature’’, International Journal
of Quality & Reliability Management, Vol. 21 No. 4, pp. 377-96.
Stephen, R. P., (2006). Perilaku Organisasi Edisi ke-10. PT Indeks: Jakarta.
Stephen. G, (1992). The Baldrige Quality System. John Wiley & sons, Inc. USA.
Zeitz, G., Johannesson, R. and Ritchie, J.E. (1997), “An employee survey measuring total
qualitymanagement practices and culture – development and validation”, Group &
Organization Management, Vol. 22 No. 4, pp. 414-44.

You might also like