Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 12 Nomor 2, April 2021
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf12222
Efektifitas Cognitive Behavior Therapy dalam Menurunkan Gejala Post Traumatic Stress Disorder
Pasca Bencana: A Systematic Review
Supia Ningsih Juita Sari
Mahasiswa Magister Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga;sopianingsih1986@gmail.com
Shrimarti Rukmini Devy
Dosen Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga; shrimarti-rd@fkm.unair.ac.id
(koresponden)
Hanik Endang Nihayati
Dosen Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga; hanik-en@fkp.unair.ac.id
ABSTRACT
Background: The psychological impact that is often found in people affected by natural disasters is post-traumatic
stress disorder. Traumatic events after an earthquake can cause psychological disorders, but psychological disorders
can be minimized by changing cognitive patterns, behaviors that are based on a deep understanding of the problems
experienced by patients. One of the most effective psychotherapy to overcome post-earthquake trauma is Cognitive
behavioral therapy (CBT). Objective: To determine the effectiveness of cognitive behavior therapy in reducing post-
disaster stress. Methods: This systematic review was based on Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and
Meta-Analyzes (PRISMA). The database used were Scopus, Proquest, Pubmed and, ScienceDirect, limited to the last 5
years of publication from 2016 to 2020, full-text article, in English. The keywords used in the article search were
"cognitive behavior therapy" AND "disaster" "PTSD". This systematic review used 10 articles that fit the inclusion
criteria. Results: Cognitive behavioral therapy interventions from studies reviewed were very significant in reducing
the symptoms of post-traumatic stress disorder. Conclusion: Nursing interventions packaged in various programs have
been shown to significantly reduce post-traumatic stress disorder symptoms.
Keywords: cognitive behavior therapy; disaster; post traumatic stress disorder
ABSTRAK
Latar Belakang: Dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana alam adalah post traumatic
stress disorder. Peristiwa traumatik pasca gempa dapat menimbulkan gangguan psikologis, namun gangguan psikologis
dapat diminimalisir dengan merubah pola kognitif, perilaku yang didasari pemahaman mendalam mengenai masalah
yang dialami oleh pasien. Salah satu psikoterapi yang efektif mengatasi trauma pasca gempa adalah cognitive behaviour
therapy (CBT). Tujuan: Untuk mengetahui efektifitas cognitive behavior therapy dalam mengurangi stress pasca
bencana Metode: Systematic review ini disusun berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and
Meta-Analyzes (PRISMA). Database yang digunakan adalah Scopus, Proquest, Pubmed dan ScienceDirect terbatas
untuk publikasi 5 tahun terakhir dari 2016 hingga 2020, full text article dan dalam bahasa Inggris. Kata kunci yang
digunakan pada pencarian artikel adalah “cognitive behavior therapy” AND “disaster” “PTSD”. Systematic review ini
menggunakan 10 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi Hasil: Intervensi cognitive behavior therapy dari penelitian
yang direview sangat singnifikan dalam menurunkan gejala post traumatic stress disorder. Kesimpulan: Intervensi
keperawatan yang dikemas dalam berbagai program terbukti dapat menurunkan gejala post traumatic stress disorder
secara signifikan. Rekomendasi: Penelitian selanjutnya adalah menemukan dan menjabarkan penelitian yang dapat
mengatasi PTSD dengan berbagai macam tehnik dalam CBT
Kata kunci: cognitive behavior therapy; bencana alam; post traumatic stress disorder
PENDAHULUAN
Bencana alam terbukti berhubungan dengan masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan stres
pasca-trauma. Pengalaman traumatis pasca gempa akan dirasakan oleh setiap individu terutama pada remaja
kejadian tersebut memilikidampak pada status psikologis, kognisi, perhatian, keterampilan sosial, kepribadian,
dan harga diri akibat dari koping yang buruk. Koping menjadi faktor penstabil yang dapat membantu individu
mempertahankan adaptasi selama beberapa peristiwa yang menegangkan akibat bencana alam yang terjadi (1).
Sekitar 15-20% populasi akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi post-
traumatic stress disorder (PTSD) hal in terjadi ketika paska bencana terjadi, sementara 3-4% akan mengalami
gangguan berat seperti psikosis, depresi berat dan kecemasan yang tinggi(2). Prevalensi gangguan stres
pascatrauma atau PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam di indonesia usia 8-17 tahun adalah sebesar
19,9% atau sebanyak 171 orang (N = 859). Survei pada remaja setelah gempa Wenchuan menemukan bahwa
15,8% dan 24,5% dari peserta melaporkan gejala PTSD dan depresi. Bahkan tiga tahun setelah gempa Ya'an pada
2013 remaja yang selamat dari gempa masih bisa menderita masalah kesehatan mental (3), prevalensi gangguan
stres pascatrauma atau PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam di indonesia usia 8-17 tahun adalah
sebesar 19,9% atau sebanyak 171 orang (N= 859).
Salah satu bentuk dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana alam adalah
post traumatic stress disorder (PTSD). Post traumatic stress disorder suatu sindrom yang dialami oleh seseorang
205 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 12 Nomor 2, April 2021
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
yang mengalami kejadian yang traumatis dan individu tersebut tidak mampu menghilangkan ingatan akan
kejadian tersebut dari pikirannya. PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh individu yang melihat
atau mengalami kejadian yang berbahaya(4). Peristiwa traumatik pasca gempa dapat menimbulkan gangguan
psikologis, gangguan psikologis dapat diminimalisir dengan mekanisme koping yang baik dengan harapan klien
yang mengalami masalah trauma akan terbiasa dan memiliki starategi yang efektif untuk mengatasi masalah-
masalah yang timbul dalam kehidupannya. Mekanisme koping dapat dipelajari sejak awal timbulnya masalah atau
stresor, sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stressor tersebut.
Pengalaman dalam konteks terapi adalah bentuk paparan yang dapat membantu mengurangi emosi negatif
terkait trauma dalam menanggapi pengingat trauma melalui integrasi korektif dan baru. informasi ke dalam
struktur ketakutan dalam ingatan(4). Membangun narasi trauma yang koheren melibatkan paparan, dan proses
emosional dari peristiwa traumatis yang dapat berkontribusi pada pembuatan makna dan untuk mengurangi gejala
terkait trauma seperti stres pascatrauma. Namun pemahaman tentang narasi trauma berubah selama terapi dan
apakah perubahan ini terkait dengan pengurangan gejala tidak jelas(6).Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menguji perubahan trauma paska gempa untuk remaja yang menerima CBT, dan lebih lanjut untuk
menyelidiki apakah ada efektifitas cognitive behavior therapy dalam mengurangi stress pasca bencana.
Tujuan dari systematic review ini adalah untuk mengetahui efektifitas cognitive behavior therapy dalam
mengurangi stress pasca bencana
METODE
Systematic review ini disusun berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-
Analyzes (PRISMA). Database yang digunakan adalah Scopus, Proquest, Pubmed dan ScienceDirect terbatas untuk
publikasi 5 tahun terakhir dari 2016 hingga 2020, full text article dan menggunakan bahasa Inggris. Kata kunci yang
digunakan pada pencarian artikel adalah “cognitive behavior therapy” AND “disaster” “PTSD”. Setelah beberapa
artikel ditemukan maka penyusun melakukan analisis dan sintesis sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria
inklusi pasa systematic review ini adalah: (1) menentukan tipe study yaitu Randomized Control trial dan Quasy-
Experiment (2) menentukan partisipan yaitu pada remaja dengan PTSD dan (3) artikel intervensi cognitive behavior
therapy (4) Outcome nya mengukur tanda gejala dan respon PTSD. Sedangkan kriteria eksklusi pada systematic review
ini adalah (1) artikel yang menggunakan metode penelitian kualitatif, (2) Responden selain remaja.
Pengkajian kualitas studi menggunakan TOOLS yang sudah terstandar dan disesuaikan dengan metode
penelitian yang dilakukan. Data diekstraksi dengan cara melihat isi artikel. Ekstraksi ini meliputi beberapa tema
dan subtema. Judul dan abstrak yang ditinjau oleh penulis dimasukkan dalam lembar penilaian kelayakan calon
jurnal yang di-review. Uji kelayakan jurnal tidak dapat dilihat dari abstraknya saja tetapi perlu dilihat teksnya
secara lengkap. Jurnal yang masuk berdasarkan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan. Sintesis data dilakukan
dengan mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sejenis sesuai dengan hasil yang akan diukur. Data yang
sudah dikumpulkan kemudian dicari persamaan dan perbedaannya kemudian dilakukan pembahasan.
HASIL
Pencarian literatur awal menghasilkan 183 artikel (19 dari Scopus, 10 dari Proquest, 120 dari Pubmed dan
34 dari ScienceDirect). Setelah meninjau abstrak untuk relevansi dan pencocokan dengan kriteria inklusi, 21
artikel dipilih untuk ulasan teks lengkap. Ada 5 artikel teks lengkap dikecualikan dengan alasan tidak terkait
dengan terapi non farmakologis untuk menurunkan kecemasan. Akhirnya, terdapat 10 artikel dipilih untuk
ditinjau, seperti yang tercantum dalam gambar 1.
Scopus Sciendirect Pubmed Proquest
(n =19)
Identification (n = 34) (n = 120) (n = 10)
Artikel yang dikeluarkan (n = 35)
Screening dengan alasan:
Artikel setelah yang sama dikeluarkan (n = 45)
1. Sampel anak-anak (n = 4)
2. Artikel adalah penelitian kualitatif
(n = 8)
3. Outcome tidak sesuai yang
Eligibility diinginkan(6)
Artikel yang dikeluarkan (n = 35)
Included Artikel yang terpilih (n = 10)
Gambar 1. Diagram flow dan pemilihan artikel
206 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 12 Nomor 2, April 2021
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
Analisis terhadap 10 artikel tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan PICOT framework (tabel 1).
Tabel 1. Cognitive behavior therapy terhadap penurunan gejala PTSD pada remaja
No Judul, penulis, tahun Hasil
1. Analisis komponen dari perawatan perilaku CBT terbukti sebagai pengibatan lini pertama untuk remaja yang mengalami
kognitif berbasis sekolah untuk remaja (7) depresi, PTSD dengan menyediki efek dari berbagai komponen CBT
2. Efektivitas intervensi CBT pada remaja yang Hasil penelitian menunjukkan bahwa CBT efektif dari pada intervensi supportif
kehilangan orangtua pasca gempa bumi di tingkok umum dalam meningkatkan ketahanan psikologis dan mengurangi PTSD dan
(8) depresi diantara remaja yang kehilangan orang tua akibat gempa
3. Perbaikan gejala selama fase CBT trauma untuk Analisis perubahan gejala pada setiap fase menunjukkan tren total perbaikan gejala
PTSD (9) selama fase keterampilan (p 1/4 0,058), tidak ada perubahan selama fase narasi, dan
signifikan yang peningkatan selama fase konsolidasi (p 1/4 0,009). Analisis
perubahan gejala untuk setiap subskala menunjukkan bahwa pikiran negatif dan
perasaan (p 1/4 0,040) dan hyperarousal(p 1/4 0,037) meningkat secara signifikan
selama fase keterampilan, sedangkan penghindaran (p 1/4 0,025) dan hyperarousal
(p 1/4 0,013)menunjukkan signifikan yang peningkatan selama fase konsolidasi
4. Perubahan konektivitas fungsional amygdala Hasil penelitian bahwa data perilaku dan temuan pencitraan tertentu menunjukkan
selama penilaian kembali kognitif memprediksi bahwa penekanan amigdala-insula FC selama penilaian ulang, dan efek hilir yang
pengurangan gejala selama kognitif terfokus-terapi diduga pada kemampuan regulasi emosi, merupakan target yang layak untuk strategi
perilaku pada anak perempuan remaja dengan augmentasi untuk meningkatkan respons klinis terhadap TF-CBT.
gangguan stres traumatis (10)
5. Pemrosesan Konstruktif dan Tidak Produktif dari TF-CBT dapat dirancang untuk mengurangi proses tidak produktif yang dapat
Pengalaman Traumatis dalam Terapi Kognitif- mengganggu perubahan dan untuk memfasilitasi penguraian dan akomodasi,
Perilaku Berfokus Trauma untuk Remaja (11) perubahan signifikan dalam gejala internalisasi dan PTSD pada akhir perawatan
yang dipertahankan selama tindak lanjut, dan gejala eksternalisasi yang membaik
setelah perawatan tetapi memburuk setelah tindak lanjut
6. Perubahan jaringan terkait dengan peningkatan Terjadi
gejala depresi trandiagnostik setelah terapi perilaku 1.Perubahan jaringan pada orang yang mengalami depresi
kognitif pada MDD dan PTSD (12) 2.Perubahan jaringan pada orang yang mengalami PTSD
Dengan peningkatan segregasi system VA setelah CBT mengakibatkan kurang
kontribusi perhatian emosiaonal pada proses kognitif sehingga meningkatkan
control kognitif.
7. Perubahan narasi remaja yang menerima terapi Remaja yang menerima TF-CBT mengembangkan narasi yang mengandung
perilaku kognitif trauma terfokus dalam kaitannya pemikiran yang lebih terorganisir dan focus internal yang lebih besar yang keduanya
dengan gejala stress pasca trauma (4) dianggap bermamfaat untuk remaja yang mengalami trauma.
8. .Efektivitas terapi perilaku kognitif terkait korban Menunjukkan kemanjuran CBT untuk perawatan PTSD setelah gempa bumi.
bencana alam (13)
9. Terapi pemerosesan menggunakan formulasi kasus Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang signifikan pada PTSD dan depresi
ekspelisit untuk meningkatkan kognitif untuk tingkat keparahan serta tidak membantu kepercayaan PTSD terkait dari pra ke post
PTSD (14) treatment (SD antara 1,10-1,92) dan pengobatan keuntungan yang dipertahankan
pada 3 bulan follow-up
10. Acak terkendali percobaab grup cognitive Penelitian ini menemukan CBT adalah pengobatan yang efektif untuk PTSD pada
behavioral therapy untuk post traumatic stress anak-anak dan remaja ketika disampaikan bersamaan dengan pemantauan mandiri
disorder pada anak dan remaja yang terkena pasca perawatan dan pekerjaan rumah harian.
tsunami di Thailand (15)
PEMBAHASAN
Respon stres terjadi ketika orang remaja sehat yang telah terpapar pada kejadian traumatis diskrit tunggal
di masa dewasa mengalami kenangan buruk yang hebat, perasaan tidak sadar, terputus dari hubungan atau
ketegangan dan tekanan tubuh (9). Gangguan stres paska bencana ditandai oleh reaksi panik, kebingungan mental,
disosiasi, insomnia berat, kecurigaan, dan tidak dapat mengelola aktivitas perawatan diri, kerja, dan hubungan
dasar. Relatif sedikit korban trauma bencana memiliki reaksi yang lebih parah, kecuali bila trauma tersebut
merupakan malapetaka abadi yang menghadapkan mereka pada kematian, penghancuran, atau kehilangan rumah
dan masyarakat (16).Pengobatan mencakup dukungan segera, pengangkatan dari tempat trauma, penggunaan obat
untuk menghilangkan kesedihan, kegelisahan, dan insomnia segera, dan psikoterapi dukungan singkat yang
diberikan dalam konteks intervensi krisis (12). Mengutamakan keselamatan pasien, mengurangi gejala dan
meningkatkan kompetensi. Ini adalah fase pengembangan keterampilan dan perawat dapat menggunakan terapi
berbasis bukti yang memiliki hasil untuk memperbaiki regulasi emosi, meningkatkan toleransi marabahaya,
perhatian penuh, efektivitas interpersonal, restrukturisasi kognitif, perubahan perilaku, dan relaksasi (10). Fase ini
juga bisa membantu menggerakkan seseorang keluar dari krisis untuk bersiap menghadapi fase berikutnya.
keberhasilan fase bergantung pada kemampuan seseorang untuk menoleransi ketidaknyamanan saat meninjau
kenangan. Orang dengan trauma kejadian bencana mungkin siap untuk menahan paparan dengan pelatihan
207 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 12 Nomor 2, April 2021
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
toleransi marabahaya minimal, sementara orang dengan trauma kompleks memerlukan dukungan membangun
keterampilan selama beberapa bulan agar siap memproses trauma mereka.sehingga mereka memiliki mekanisme
koping yang baik (14).
Cognitive behaviour therapy merupakan bentuk terapi psikososial yang merubah pola pikir negatif menjadi
positif sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku
yang adaptif. Pada akhirnya diharapkan individu memiliki kemampuan untuk bereaksi secara adaptif dalam
menghadapi masalah atau situasi sulit dalam setiap fase hidupnya (13). Terapi kognitif mengusulkan bahwa bukan
peristiwa itu sendiri yang menimbulkan kecemasan dan respon maladaptif melainkan penilaian orang terhadap
harapan, dan interpretasi dari peristiwa ini. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh
keputusan langsung terhadap pikiran dan keyakinan seseorang. Secara khusus, terapi kognitif percaya bahwa
respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan dalam
penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak mencerminkan realitas yang distorsi mungkin baik positif
atau negatif (10).
Cognitive behaviour therapy jangka pendek lebih efektif dari pada intervensi suportif umum dan dapat
meningkatkan ketahanan psikologis dan mengurangi PTSD serta depresi diantara remaja korban gempa, dilakukan
sebanyak 6 sesi, 1 jam dalam satu minggu selama 6 minggu (8)..Pada sesi 1 dilakukan psikoedukasi dan pelatihan
relaksasi, sesi 2 berfokus membantu remaja membangun rasa aman dengan menggunakan tehnik mediasu untuk
membayangkan tempat yang aman dan bebas masalah, sesi 3 mengembangkan keterampilan pencitraan lebih
lanjut, sesi 4 latihan intervensi mimpi untuk membantu remaja mengatasi dan mengendalikan mimpi buruk, sesi
5 berfokus pada terapi perhatian ganda seperti tehnik EMDR, sesi 6 melibatkan peserta dalam diskusi dan kegiatan
kelompok untuk memotivasi terkait masa depan.
Walaupun secara umum Cognitive behaviour therapy sudah memiliki sesi-sesi yang terstruktur, tapi pada
pelaksanaannya bisa saja berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan individu yang membutuhkannya. Pelaksanaan
Cognitive behaviour therapy yang merupakan modifikasi dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa Cognitive
behaviour therapy bisa dilakukan sebanyak 4 sesi (15). Empat sesi yang dilakukan meliputi sesi 1 yaitu pengkajian
pikiran negatif, sesi 2 adalah sesi terapi kognitif, sesi 3 adalah terapi perilaku dan sesi 4 merupakan evaluasi dari
terapi kognitif dan terapi perilaku.
Cognitive behaviour therapy dapat dilaksanakan dalam 5 sesi. Sesi 1 adalah pengkajian dan latihan untuk
mengatasi pikiran negatif pada diri sendiri. Sesi 2 akan mendiskusikan tentang terapi kognitif, dimana pada sesi
ini akan mengatasi semua hal yang terkait dengan kognitif (pikiran) negatif individu. Sedangkan sesi 3 adalah
terapi perilaku, akan mengubah perilaku negative menjadi perilaku positif. Sesi 4 adalah evaluasi terapi kognitif
dan terapi perilaku, sedangkan pada sesi 5 adalah pencegahan kekambuhan. Kelima sesi ini merupakan kompilasi
dari berbagai sumber-sumber tentang Cognitive behaviour therapy (4).Kelima sesi ini mencakup semua kegiatan
yang terdapat dari berbagai penelitian yang berkaitan dengan Cognitive behaviour therapy, dimana ada sesi yang
akan membahas tentang pikiran otomatis negatif yang timbul, dan ada juga sesi untuk melatih perilaku positif
untuk mengubah perilaku negatif Berdasarkan banyak penelitian, dan dari penelitian tersebut banyak referensi
bahwa Cognitive behaviour therapy bisa dilakukan dengan jumlah sesi yang bervariasi (4). Sesi atau pertemuan
antara terapis dan klien tergantung dari apa yang akan diberikan pada klien, apa materi dan tujuan dari terapi, dan
juga kemampuan klien dalam menerapkan apa yang telah diajarkan (7).
Pada penelitian (8) Cognitive behaviour therapy untuk PTSD ini, peneliti mengambil Cognitive behaviour
therapy dengan 5 sesi, karena pada tiap-tiap sesi lebih menekankan pada perubahan pikiran dan perilaku negatif
yang timbul. Penelitian dan sumber lain sebenarnya pada intinya adalah sama, dimana pada Cognitive behaviour
therapy untuk PTSD isinya adalah menggali pengalaman trauma, pikiran negatif dan perilaku negatif yang timbul,
yang merupakan tanda dan gejala PTSD, kemudian belajar mekanisme koping untuk mengatasi masalah pikiran
dan perilaku yang negatif, dan akhirnya ada sesi tentang pencegahan kekambuhan. Walaupun jumlah sesi yang
berbeda, tapi pada intinya untuk mengurangi atau menghilangkan tanda dan gejala, serta mengajarkan mekanisme
koping yang baru (8).
Penelitian-penelitian yang telah dijabarkan membuktikan bahwa strategi untuk mencegah dan mengurangi
gejala PTSD melalui cognitive behaviour therapy. Walaupun tidak semua penelitian menghasilkan nilai yang
signifikan pada semua parameter yang diukur, namun kesimpulan ini dapat diambil secara mayoritas. Perawat
jiwa dapat mengoptimalkan program intervensi kesehatan dengan cara memodifikasi metode pemberian
intervensi dan media yang digunakan, serta pihak-pihak lain yang dilibatkan di dalam proses intervensi.
KESIMPULAN
Hasil systematic review pada 10 artikel penelitian terkait penerapan intervensi keperawatan terkini tentang
strategi untuk mencegah dan mengurangi gejala PTSD. Pelaksanaan intervensi keperawatan sebaiknya difasilitasi
oleh perawat yang telah paham tentang intervensi dan penatalaksanaannya. Dalam strategi untuk mencegah dan
mengurang gejala PTSD berupa intervensi keperawatan cognitive behavior therapy yang dikemas dalam berbagai
program terbukti dapat menurunkan variabel PTSD dan tindakan mencegah dan menurunkan gejala secara
208 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 12 Nomor 2, April 2021
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
signifikan. Perlu dilakukan penelitian dengan tema yang sejenis namun dilakukan modifaksi sebaik mungkin
seperti yang telah direkomendasikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Belleville G, Dubé-Frenette M, Rousseau A. Efficacy of Imagery Rehearsal Therapy and Cognitive
Behavioral Therapy in Sexual Assault Victims With Posttraumatic Stress Disorder: A Randomized
Controlled Trial. J Trauma Stress. 2018;31(4):591–601.
2. Dwidiyanti M, Hadi I, Wiguna RI, Eka H, Ningsih W. Gambaran Risiko Gangguan Jiwa pada Korban
Bencana Alam Gempa di Lombok Nusa Tenggara Barat. 2018;1.
3. Jin Y, Deng H, An J, Xu J. The Prevalence of PTSD Symptoms and Depressive Symptoms and Related
Predictors in Children and Adolescents 3 Years After the Ya’an Earthquake. Child Psychiatry Hum Dev
[Internet]. 2019;50(2):300–7. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s10578-018-0840-6
4. Knutsen M, Jensen TK. Changes in the trauma narratives of youth receiving trauma-focused cognitive
behavioral therapy in relation to posttraumatic stress symptoms. Psychother Res. 2019;29(1):99–111.
5. Hidayat F, Keliat BA. DAN PERILAKU KEKERASAN DENGAN PENDEKATAN MODEL STRESS
ADAPTASI STUART DAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU. 2015;3(1):28–42.
6. Laurel Franklin C, Walton JL, Raines AM, Chambliss JL, Corrigan SA, Cuccurullo LAJ, et al. Pilot study
comparing telephone to in-person delivery of cognitive-behavioural therapy for trauma-related insomnia for
rural veterans. J Telemed Telecare. 2018;24(9):629–35.
7. Arora PG, Baker CN, Marchette LK, Stark KD. Components Analyses of a School-Based Cognitive
Behavioral Treatment for Youth Depression. J Clin Child Adolesc Psychol [Internet]. 2019;48(sup1):S180–
93. Available from: http://dx.doi.org/10.1080/15374416.2017.1280800
8. Chen Y, Shen WW, Gao K, Deng H. Effectiveness RCT of a CBT Intervention for Youths Who Lost Parents
in the. 2014;65(2):259–62.
9. Groves L, Garrett A, Koch K, Rodriguez A, Rivera S. 3.7 Symptom Improvement During Each Phase of
Trauma-Focused CBT for PTSD. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry [Internet]. 2018;57(10):S184.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.jaac.2018.09.165
10. Cisler JM, Sigel BA, Steele JS, Smitherman S, Vanderzee K, Pemberton J, et al. Changes in functional
connectivity of the amygdala during cognitive reappraisal predict symptom reduction during trauma-focused
cognitive-behavioral therapy among adolescent girls with post-traumatic stress disorder. Psychol Med.
2016;46(14):3013–23.
11. Hayes AM, Yasinski C, Grasso D, Ready CB, Alpert E, McCauley T, et al. Constructive and Unproductive
Processing of Traumatic Experiences in Trauma-Focused Cognitive-Behavioral Therapy for Youth. Behav
Ther [Internet]. 2017;48(2):166–81. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.beth.2016.06.004
12. Honnorat N, Bassett DS, Davatzikos C, Yang Z, Bruce S, Linn KA, et al. Network changes associated with
transdiagnostic depressive symptom improvement following cognitive behavioral therapy in MDD and
PTSD. Mol Psychiatry [Internet]. 2018;23(12):2314–23. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41380-
018-0201-7
13. Lopes AP, Macedo TF, Coutinho ESF, Figueira I, Ventura PR. Systematic review of the efficacy of
cognitive-behavior therapy related treatments for victims of natural disasters: A worldwide problem. PLoS
One. 2014;9(10).
14. Nixon RDV, Bralo D. Using Explicit Case Formulation to Improve Cognitive Processing Therapy for PTSD.
Behav Ther [Internet]. 2019;50(1):155–64. Available from: https://doi.org/10.1016/j.beth.2018.04.003
15. Pityaratstian N, Piyasil V, Ketumarn P, Sitdhiraksa N, Ularntinon S, Pariwatcharakul P. Randomized
Controlled Trial of Group Cognitive Behavioural Therapy for Post-Traumatic Stress Disorder in Children
and Adolescents Exposed to Tsunami in Thailand. Behav Cogn Psychother. 2015;43(5):549–61.
16. Zhou X, Zhen R, Wu X. Trajectories of sleep problems among adolescents after the Wenchuan earthquake:
the role of posttraumatic stress disorder symptoms. Psychol Health [Internet]. 2019;34(7):811–27. Available
from: https://doi.org/10.1080/08870446.2019.1574348
209 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-ejournal.com/index.php/SF