0% found this document useful (0 votes)
29 views11 pages

1620 3758 1 SM

Pelacakan Masukkan nomor resi JNE-mu. TLJR3DU9QJMT23W7 ​ [{"value":"TLJR3DU9QJMT23W7"}] Tersedia sampai dengan 10 resi Lacak Pengiriman No No. AWB Layanan Kota Tujuan Penerima Barang Tanggal Diterima Penerima Status Aksi 1 TLJR3DU9QJMT23W7 REG NEGARA,KAB.JEMBRANA PAK SAPTA 25 NOV 2023 19:40 cne tdk ada d lokasi antar kem ON PROCESS Lihat Detail Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Dengan mengklik 'Setuju', Anda menyetujui Kebijakan Cookie. Setuju CUSTOMER SERVICE (02

Uploaded by

made-yogis
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
29 views11 pages

1620 3758 1 SM

Pelacakan Masukkan nomor resi JNE-mu. TLJR3DU9QJMT23W7 ​ [{"value":"TLJR3DU9QJMT23W7"}] Tersedia sampai dengan 10 resi Lacak Pengiriman No No. AWB Layanan Kota Tujuan Penerima Barang Tanggal Diterima Penerima Status Aksi 1 TLJR3DU9QJMT23W7 REG NEGARA,KAB.JEMBRANA PAK SAPTA 25 NOV 2023 19:40 cne tdk ada d lokasi antar kem ON PROCESS Lihat Detail Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Dengan mengklik 'Setuju', Anda menyetujui Kebijakan Cookie. Setuju CUSTOMER SERVICE (02

Uploaded by

made-yogis
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 11

MANIFESTASI TUHAN PADA TUBUH MANUSIA

DALAM TEKS ANGGASTYA PRANA


Oleh :
I Nyoman Piartha
Dosen pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar

ABSTRACT
The human body in the concept of Hinduism consists of three layers called Tri Sarira, namely: Sthula Sarira
(body), Suksma Sarira (subtle body) and Anthakarana Sarira (causative body). Stula Sarira or coarse body is
the outermost layer of the human body which is formed from the Panca Maha Buta, which consists of: Pertiwi
(solid element), Apah (liquid element), Bayu (air element), Teja (heat / light element), and Akasa (ether).
Suksma Sarira or subtle body which is a layer of the body that cannot be seen or touched, but is present
in mankind for example the mind. Anthakarana Sarira is a fine layer that is the cause of human life called
Atman. Birth is closely related to the procurement of offspring, serves to pay birth debt. Debt in Sanskrit
is called Rna, which developed into Tri Rna, including: debt to the Gods (Dewa Rna), debt to parents or
ancestors (Pitra Rna), and debt to the Rsi (Rsi Rna). In “Lontar Anggastya prana” it is told that the life of the
baby while in the womb the mother is guarded and protected by Hyang Siwa / Siwatma.
The process of creation (uttpti) begins with interest or liking at the age of adolescence until the relationship
occurs / intercourse until fertilization occurs between spermatozoid (kama petak) with ovum (kama bhang)
becomes Sang Hyang Antigajati in the form of the seed of life. When a child is looking for birth, he is called
Sang Hyang Siwatma. When humans are born into the world, he is accompanied by four brothers called Chess
Sanak in the form of Yeh Nyom (amniotic fluid), placenta, shampoo, and blood. The Catur Sanak accompanies
humans from birth as Sang Anggapati, Sang Prajapati, Sang Bhanaspati, and Sang Bhanaspatiraja, until
humans die and change their designation according to human development, and continue with the depiction
of God in the human body in the form of sacred characters.

Keywords: God, Man, Anggastya Prana

I. PENDAHULUAN dalam konsep agama Hindu tubuh manusia


terdiri dari tiga lapisan yang disebut dengan
Manusia dalam konsep agama Hindu
Tri Sarira, yaitu :Sthula Sarira (badan
memiliki konsep ketuhanan yang melekat
jasar), Suksma Sarira (badan halus) dan
pada diri manusia, dari masih dalam
Anthakarana Sarira (badan penyebab).
kandungan sampai setelah kematian.
Kelahiran seorang manusia berarti awal Stula Sarira atau badan kasar adalah
dari kehidupan manusia itu sendiri, lapisan terluar dari tubuh manusia yang
namun merupakan kelanjutan dari konsep terbentuk dari Panca Maha Buta, yang
ketuhanan yang melekat padanya. Begitu terdiri dari : Pertiwi (unsur padat), Apah
pula halnya dengan kematian berarti (unsur cair), Bayu (unsur udara), Teja
akhir dari kehidupan manusia itu, namun (unsur panas/cahaya), dan Akasa (eter).
peningkatan dari konsep ketuhanannya. Di Suksma Sarira atau badan halus yang

28 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018


merupakan lapisan tubuh yang tidak dapat dilindungi oleh Hyang Siwa/ manifestasi
dilihat maupun disentuh, namun ada di Tuhan yang berfungsi sebagai Pamralina.
dalam diri manusia misalnya pikiran. Diceritakan Dewa Siwa memberitahukan
Anthakarana Sarira adalah lapisan halus kepada Si Jabang Bayi bahwa, jika ingin
yang menjadi penyebab kehidupan manusia lahir ke dunia harus meminta bantuan
yang disebut dengan Atman. Atman adalah kepada Sang Catur Sanak. Dikisahkan
zat halus yang merupakan percikan terkecil bahwa Sang Catur Sanak bersedia
dari Brahman (Tuhan). Di dalam teks membantu dan mengikuti Si Jabang Bayi
hindu juga disebutkan bahwa “Brahman selama hidupnya.
Atman Aikyam” bahwa antara Brahman Secara biologis dapat diketahui
dengan Atman sesungguhnya adalah bahwa kehidupan bayi dalam kandungan
tunggal. Atman yang menghidupi manusia itu setiap saat mengalami perubahan,
disebut dengan Jiwatman, Atman yang sesuai dengan pase perkembangannya.
menghidupi binatang disebut Janggama, Kehidupan Si bayi didalam kandungan
dan Atman yang menghidupi binatang dipelihara dan dilindungi oleh Nyama
disebut Stawana. Bajang, dan menjelang kelahiran Nyama
Kelahiran seorang anak dalam suatu Bajang berubah nama menjadi sang Catur
keluarga masyarakat Hindu, dipandang Sanak atau Nyama Pat.
sebagai suatu peristiwa sejarah yang amat Anandakusuma (1985: 13) menguraikan
penting dan oleh sebab itu diperinggati bahwa pada saat bayi lahir diikuti oleh
dengan upacara keagamaan. Lahirnya Sang Tanu atau Sang Catur Sanak (saudara
seorang anak merupakan buah dari suatu empat), meliputi : yeh nyom, lamas,
perkawinan, yang merupakan ikatan darah dan ari-ari. Yeh nyom merupakan
lahir bathin antara seorang pria dengan pelindugn bayi waktu di dalam kandungan
seorang wanita sebagai suami istri dari sentuhan luar, lamas merupakan lemak
bertujuan membentuk keluarga/ rumah halus yang membungkus tubuh bayi, darah
tangga bahagia dan kekal berdasarkan yang bertugas mengedarkan makanan, dan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Arwati, 2005: ari-ari merupakan tempatmelekatnya tali
3). Kelahiran erat hubungannya dengan pusar yang berfungsi menyerap makanan
pengadaan keturunan, berfungsi untuk dan lain-lain.
pembayaran hutang kelahiran. Hutang
dalam bahasa Sanskerta disebut dengan Catur Sanak dalam proses
Rna, yang berkembang menjadi Tri Rna, perkembangannya, berganti-ganti nama
meliputi : hutang kepada para Dewa (Dewa sejak dari dalam kandungan sampai
Rna), hutang kepada orang tua atau leluhur meninggal dan mempunyai sebutan yang
(Pitra Rna), dan hutang kepada para Rsi berbeda-beda. Pada waktu masih di dalam
(Rsi Rna). kandungan mereka bernama : Karen, Bra,
Angdian, dan Lembana. Setelah berusia
Di dalam “Lontas Anggastya Prana” 20 hari di dalam kandungan bernama :
diceritakan bahwa kehidupan bayi selama Anta, Preta, Kala, dan Dengen. Pada waktu
berada dalam kandungan si Ibu dijaga dan bayi itu lahir bernama : Antamenjadi dan

Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018 29


bernama ari-ari, Pretamenjadi dan bernama untuk pertumbuhan mereka. Pernyataan
lamas, Kalamenjadi dan bernama darah, ini jelas merangkum semua kemampuan
dan Dengen menjadi dan bernama yeh umatnya untuk membayangkan Tuhan Yang
nyom (air ketuban). Ketika pusar bayi Maha Esa. Mereka yang tinggi rohaninya,
itu sudah putus, maka ia berganti nama : Tuhan Yang Maha Esa digambarkan
I Mekair, I Selabir, I Mokair, dan I Selair. dalam pikirannya sebagai Imppersonal
Apabila anak itu sudah dapat menyebut God (tanpa wujud baik dalam pikiran
“babu”, maka empat saudaranya itu maupun kata-kata) sedangkan bagi yang
bernama : Anggapati, Prajapati, Banaspati, pemahamannya sederhana, Tuhan Yang
dan Banaspatiraja, demikian seterusnya Maha Esa digambarkan senagai Personal
sampai akhirnya manusia itu meninggal God, berpribadi dan dibayangkan sebagai
dan mencapai Moksa dan menjadi dewa. wujud-wujud yang agung, maha kasih,
Manifestsi Tuhan Teks Anggastya maha besar dan sebagainya.
Prana menguraikan penggambaran Tuhan Berkaitan dengan konsep pemujaan
dalam diri manusiadari awal terjadi Tuhan yang Personal God, yang artinya
pembuahan sampai dengan kematian. Tuhan berpribadi dan dibayangkan
Perlu pula dipahami bahwa dalam konsep dengan wujud-wujud yang agung.
agama Hindu menyatakan bahwa kelahiran Ketuhanan dalam teks Anggastya Prana
manusia dipengaruhi ole konsep Tri Guna. berarti sebutan-sebutan Tuhan dalam diri
Dalam kitab Wrhaspati tattwa menyatakan manusia yang mengiringi manusia dari
bahwa : Tri guna tattwa ngaranya satwam, sejak dalam kandunga, meninggal, dan
rajah, tamah. Bahwa yang dimaksud Tri menyatu dengan Paramatman (Tuhan).
Guna (Tri = tiga, Guna = sifat, karakter, Sebutan Catur Sanak atau saudara empat
unsur pokok) yang menjadi dasar dari dari sejak masih hidup, yaitu: Anggapati,
segala yang tercipta, yaitu satwam Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja, hingga
(kesenangan), rajah (bersemangat), dan meninggal menghadap Hyang Widhi
tamah (lamban, malas). Dimana, sifat-sifat disebut : Sang Suratma, Sang Jogormanik,
dari ketiga Guna itu mempengaruhi sifat Sang Maha Kala, dan Sng Dora Kala, dan
dan ketuhanan dalam diri manusia. sampai akhirnya menyatu dengan Hyang
Widhi, disebut dengan Sang Hyang Siwa,
II. PEMBAHASAN Sang Hyang Sada Siwa, Sang Hyang
2.I Teks Anggastya Prana Parama Siwa, dan Sang Hyang Sunia Siwa.
Kata Anggastya merujuk pada konsep
Teks Anggastya Prana murupakan
orang suci agama Hindu yang sangat besar
salah satu teks Hindu yang menyiratkan
jasanya dalam penyebaran agama Hindu di
tentang manifestasi Tuhan. Titib (2011:
seluruh dunia. Anggastya adalah orang suci
341) menguraikan bahwa sebutan Tuhan
yang lahir dari kota Kashia tau Banares
dalam agama Hindu berbeda-beda sesuai
wilayah Uttar Pradesh, India Utara. Beliau
dengan manifestasi Tuhan yang dipuja.
telah menyebarkan ajaran agama Hindu
Dalam ajaran Hindu tersedia tipe roh dari
di India dan masuk sampai di Indonesia
yang tertinggi sampai yang terendah, demi

30 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018


(Subagiasta, 2008: 24). Sedangkan kata Jabang Bayi bahwa, jika ingin lahir ke
Prana berarti nafas dalam Panca Bayu dunia harus meminta bantuan kepada Sang
(Tim Penyusun, 2002: 82). Panca Bayu Catur Sanak. Dikisahkan bahwa Sang Catur
artinya lima tenaga, yairu Prana, Apana, Sanak bersedia membantu dan mengikuti
Samana, Udana, dan Wyana. Wayu/Bayu Si Jabang Bayi selama hidupnya.
yang bernama Prana berada dalam jantung
hingga di dalam batasnya, yang menjadi 2.2 Manifestasi Tuhan Dalam Teks Ang-
sumber gerak semua wayu, sebagai gastya Praṇa
juwanya, Gunanya ialah sebagai nafas Tuhan dalam berbagai manifestasinya
(Tim Penyusun, 2002: 71). digambarkan dengan berbagai wujud dan
Bhagawan Anggastya Prana sebutan. Di dalam Veda Tuhan bersifat
sesungguhnya merupakan namadari salah acintya yang berarti tidak terpikirkan dan
satutokoh yang termuat dalam teks ini. sulit digambarkan. Hadirnya simbol sebagai
Nama Anggastya yang dijadikan nama atau suatu media untuk menggambarkan Tuhan
judul dari teks ini karena, Beliau sendirilah yang tidak terpikirkan, mendadi sesuatu
yang menceritakan isi teks ini kepada kedua yang berpribadi. Dalam teksAnggastya
putra–putri Beliau. TeksTutur Anggastya Praṇa, Tuhan digambarkan dalam tiga
Praṇa dapat dikatakan sebagai salah manifestasi, yaitu : 1) Tuhan sebagai Sang
satu Lontar Tattwa/Lontar Tutur yang di Hyang Siwatma, 2) Tuhan sebagai Sang
dalamnya menjelaskan bagaimanahakikat Catur Sanak, 3) Tuhan dalam Aksara Suci
kehidupan manusia, dan membahas tentang dalam tubuh manusia.
prosesawal mula kelahiran manusia. Tubuh
manusia merupakanpersonifikasi dari 2.2.1 Tuhan Sebagai Sang Hyang
Bhuana Alitdan merupakan gambaran kecil Siwatma
dari Bhuana Agung (alam semesta). Jadi, Dikisahkan Bagawan Anggastya
Lontar Anggastya Prana ini menguraikan memiliki dua orang putra yang bernama
tentang tubuh manusia yang terdiri dari Sang Subrata dan Sri Satyakreti, yang
Angga (badan) dan Prana (jiwa), menuju menanyakan tentang proses awal kelahiran
harmonisasi Bhuana Agung dan Bhuana manusia. Diuraikan oleh Bagawan
Alit. Anggastya bahwa sebutan pertama si calon
Penjelasan tentang kelahiran manusia anak ketika masih mencari-cari tempat
yang di uraikan dalam lontar ini mirip lahirnya adalah Sang Hyang Śiwatma.
denganilmuembriology pada manusia atau Pencarian ini diakibatkan ketika si calon
miripilmutentang kehamilan. Di dalam ayah dan ibu baru beranjak dewasa dan
“Lontas Anggastya Prana” diceritakan masih mencari-cari pasangan. Dalam teks
bahwa kehidupan bayi selama berada dalam Anggastya Prana diceritakan bahwa proses
kandungan si Ibu dijaga dan dilindungi awal kelahiran manusia di awali dengan
oleh Hyang Siwa/ manifestasi Tuhan yang mulainya pembuahan antara spermatozoid
berfungsi sebagai Pamralina. Diceritakan (kama petak) dengan telur (kama bhang).
Dewa Siwa memberitahukan kepada Si PembentukanSang Hyang Antigajati

Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018 31


dapat dikatakan sebagai prosespembuahan Terjemahan:
ataufertilisasi (fertilisation).Pada faseini
akan dijelaskan bagaimana pembuahan/ Wahai ayah hamba bertanya tentang
fertilisasiitu dapat terjadi hingga nantinya asal mula kelahiran m a n u s i a ” .
dapat terbentuk benih kehidupan yang Dijawablah oleh Sang Resi Anggastya
disebut dengan Sang Hyang Antigajati. Praṇa, “beginilah anakku proses
awal kelahiran manusia, asal mula
Penyatuan Kama Bang dan Kama anakkuadalah bewujud Sang Hyang
Petakinilah yang kemudian melahirkan Śiwatma, ketika Bapak dan Ibumu
Sanghyang Antigajati/embrio. Dimana beranjak dewasa, dikala itu anakkmmu
proses pembentukan Sanghyang Antigajati sedang mencari-cari tempat, ketika
ini mengalami suatu proses yang cukup BapakdanIbumu,sama-sama merasakan
panjang. Proses tersebut tetuang dalam jatuh cinta. Ketika itu asmara Sang
teks Anggastya Praṇa sebagai berikut: Bapak bernama Smara-jaya, asmara
Sang Ibu bernama Smara Ratih, ketika
Tityang nunasang satingkahe dados
itu anakku bernama Smara-sunya.
jānma, inggih sapunapike kawite
Selanjutnya Sang Bapak dan Sang Ibu
kunā?”. Sumawur sang rěṣi
dirasuki/terpengaruh asmara, kemudian
Anggastyapraṇā, “sapuniki cěning,
jadilah bertemu gairah sama gairah, suka
kawite sane kunā, cěning maraga
sama suka. Lalu berubahlah namanya,
Sanghyang Siwaatma, duk sang Bapa
Sang Bapak menjadi Smara Lulut
mwah sang Ibu sami bajang, cěning
pikirannya danSang Ibu Smara wěněng.
ngalih tongos, sang Bapa mwah sang
Saat ini anakku bernama Smara Hasa.
Ibu, padha ngělah manah kasěmāran.
Kemudian masuk menyusupi si Bapak
Smaran sang Bapa, maharan Smara-
dan si Ibu, sehingga menimbulkan
jaya, Smaran sang Ibu maharan
suka sama suka. Dan anakku ketika itu
Smarā Ratih, cěning maharan Smara-
engkau bernama Sanghyang Sunyatma,
sunya. Sami kasusupin madā, sang
pada saat sang Bapak dan sang Ibu
Bapa mwang Sang Ibu, dadi matěmu
bertemu/bersenggama. Ketika itu
kārṣa padha harṣa, ya matěmu
anakku bernama Sang.
děměn padha děměn. Masalin
haranya, sang Bapa Smara Lulut Kāma molah harane, ṅusup ring
manahnya, sang Ibu Smara wěněng kāman sang Ibu mwah sang Bapa.
manahnya. Cěning Smara hasa, Nānghing kāmane kasilurang dumun,
nga. Ṅusup ring iBapa mwang ring Ida Bhagawān Dwi, sarěng ring Bāpa
sang Ibu, kraṇa matěmu padha sukā, Ni Mūrtti, sarěng ṅilurang. Kāmane
cěning dadi Sanghyang Sūnyātma, ring sang lanang mūla kāma putih,
duk matěmu apasanggama, sira ring wadon kāmane abhāng, keto
sang Bapa ring sang Ibu. Cěning -/- kawite wawu ada jaṅma dadwa, luh
sang- (Teks Lontar Tutur Bhagawan ring mwani katuturang, mawāṣṭa
Anggastya Praṇa. 2A). Sikamoyang Sūkṣma, Sikomayang
Jāti, pada harěp sang Kakūng

32 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018


lāwan sang wadon. Irikā kasilurang manusia melalui beberapa fase, yaitu :
kāmane, Ida Bhagawān Dwi sarěng sama-sama beranjak dewasa, saling suka
Ibu Patning Mūrtti ṅilurang kāmane sama suka, sampai terjadinya pembuahan
putih ring sang lanang, kāmane abāng antara Kama Petak dengan Kama Abang
ring sang wadon. Ditu sang Atmā sampai pembentukan telur/benih yang
ngalih tongos, wawu kārṣa padha bernamaSang Antigajāti. Menurut Lontar
kārṣa, sang Atmā ditěngah kārṣane ini kelahiran seorang manusia berasal atau
magěnah wawu liyat padha liyat, bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi
sang Atmā ditěngah liyate magěnah, Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai
wawu maśabda padha maśab (Teks Sang Hyang Śiwatma. Dimana pada
Lontar Anggastya Praṇa. 2B). kutipan lontar di atas dijelaskan bahwa
pada mulanyawujud dari seorang manusia
Terjemahan:
itu adalah Sang Hyang Śiwatma.
Kāma Molah, masuk menyusupi
kāma/benih sang Ibu dan benih sang 2.2.2 Tuhan Sebagai Sang Catur Sanak
Bapak. Namun,kāma/benih tersebut
Catur Sanak oleh masyarakat Hindu
ditukar terlebihdahulu oleh Bhagawān
di Bali sering disebut dengan istilah
Dwi, dan Bāpa Ni Mūrtti yang ikut
Nyama Pat (saudara empat) yang diyakini
menukarnya. Kāma/benih dari laki-
menemani manusia sejak di dalam
laki/bapak awalnya adalah kāma putih,
kandungan sampai meninggal. Di dalam
dan benih pada perempuan/Ibu adalah
ajaran Kanda Pat Bhuta dijelaskan bahwa
kāma abhāng, begitulah awalnya baru
saudara empat itu berjumlah empat, yakni
terdapat dua manusia laki-laki dan
: Yeh ñom (air ketuba), Getih atau Rah
perempuan, bernama Sikamoyang
(darah), Ari-ari (Uri/Placenta),Banah/
Sūkṣma dan Sikomayang Jāti, ketika
lamas (bungkus lemak pada kulit).
bertemunya sang Kakūng/bapak dengan
Keempat saudara ini menemani manusia
sangwadon/Ibu.Disanalahditukar
dan berganti-ganti nama sesuai dengan
kāma/benih tersebut, Ida Bhagawān
perkembangan manusia hingga meninggal.
Dwi dan Ibu Patning Mūrtti lah yang
Di dalam teks Anggastya Prana. 6A - 6B
menukarnya. Kāma putih pada sang
juga menguraikan tentang Kanda Pat dan
lanang/si Bapak dan kāma abāng
Catur Sanak, yakni sebagai berikut:
pada sang wadon/ibu. Ketika itulah
sang Atmā mencari tempatnya, Nga..we pati, ngawe pāpa ngawe
barulah suka sama suka/sama-sama swargga, swarggan hidup swarggan
menginginkan,sangAtmāditengah mati, ngawe buwung ngawe payu,
keinginan tempatnya, baru kemudian ikā apang tangar tingkahe manumadi
pandang memandang, sang Atmā mānuṣa, apan imānuṣa dadi umah,
didalam pandangan tempatnya, umah pāpa muah swargga, ěnto
kemudian saling menyapa. marggan huripe, marggan patine, ěnto
marggan hala hayune, masusupan
Kutipan teks Anggastya Praṇa dadi bikas mānuṣane, hatěp pāpa
di atas menegaskan bahwa kelahiran

Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018 33


swarggane, gěnahnya pati hurip Ring papusuh, dadi Anggapati,
tunggal gěnahnya”. Malih sang Swargganya Sanghyang Iśwara,
putra kālih mātur, “Inggih pakulun magěnah ring hiděp. Gětihe, dadi
pāduka sang Rěsi, sapunapi mawinan Kala, raṣanya dadi Atmā, sarīnya
wentěn Kaṇdha Mpat Bhūta, mwah dadi Dewa di Dalěm, mulih ring Ati,
Kaṇdha Mpat Dewa? Sapunapi dadi Banaspati, swargganya Bhaṭāra
malih dados ipun?”. Ngandika Ida Brāhma, gěnahnya ring Manah.
Sang Rěṣi, “Inggih cěning sapuniki Malih Yeh-ñom, dadi Děngěn,
Kaṇdhan ipun: Ari-arine, bāyune, raṣanya dadi Parātma, sarīnya dadi
dadi Haṇṭapreta. Raṣan ari-arine Dewa Cungkub, mulih ring Ungśilan,
dadi Pirattha, sarinya dadi Dewa, dadi Mrajapati, swargganya Bhaṭāra
ada Dewa Puseh-/-mulih (Teks Lontar Mahādewa, dadi śabdha. Malih
Anggastya Praṇa. 6A). Luwune, dadi Bhūṭa, raṣanya
dadi Sogatmā, sarinya dadi Dewa
Terjemahan: Pasaren, mulih ring ring Ampru, dadi
,,, yang menyebabkan kematian, Itu Banaspatirā/- swargganya Bhaṭāra
menyebabkan adanya baik dan buruk, Wiṣṇu, dadi Amběk. IkaKaṇdha Mpat
menyebabkan Sorga dan neraka, sorga Dewaharanya. /-ja Iki śabdanya:
ketika hidup dan sorga ketika mati, IH, AH, HEH, UH. Sabdan Dewa
menyebabkan batal dan terjadi, maka iki, nga: I, ANG, HENG, U. Sadan
dari itu supaya waspada, menjaga Atmā,iki, NGHING, NGANG,
prilaku sebagai manusia, karena NGENG,NGUNG,-/- Anging sami
manuṣia digambarkan seperti rumah, dadi kawah, sami swarggan dadinya”.
menjadi rumah sorga dan rumah Malih (Teks Lontar Anggastya Praṇa.
neraka, itulah jalan kehidupan,jalan 6B).
kematian, itulah jalan baik dan buruk.
Terjemahan:
Yang merasuk/menyatu menjadi sifat
manusia, selalu berdampingan sorga pada jantung menjadi Anggapati,
dan neraka itu, begitu juga hidup Sorganya Sang Hyang Iśwara,
dan mati menjadi satu tempatnya”. bertempat pada hiděp/pikiran. Gětih/
Kembali bertanya kedua putra darah, menjadi Kala, raṣa nya menjadi
putri Beliau, “Wahai sang Rěsi, Atmā, sari nya menjadi Dewa di Dalěm,
bagaimana adanya Kaṇdha Mpat kembali pada hati, menjadi Banaspati,
Bhūta dan Kaṇdha Mpat Dewa itu? sorganya Bhaṭāra Brāhma, bertempat
Dan bagaimana kelanjutannya itu?”. pada Manah/pikiran. Kemudian Yeh-
Dijawablah oleh Ida Sang Rěṣi, ñom/air ketuba, menjadi Děngěn,
“baiklah anakku, begini sebabnya itu: raṣa nya menjadi Parātma, sari nya
bāyu/tenaga darisang Ari-ari/placenta, menjadi Dewa Cungkub, kembali
menjadi Haṇṭapreta. Raṣa dari ari-ari pada Ungśilan, menjadi Mrajapati,
menjadi Pirattha, sari nya menjadi sorganya Bhaṭāra Mahādewa, menjadi
Dewa, beliau Dewa Pusěh, kembali śabdha/suara. Kemudian Luwu/

34 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018


lemak pada kuit, menjadi Bhūṭa, disuguhi sayeban atau ějotan ‟sejumput
raṣa nya menjadi Sogatmā, sari nya makanan lengkap dengan lauk pauknya‟.
menjadi Dewa Pasaren, kembali
pada empedu, menjadi Banaspatirāja 2.2.3 Tuhan Sebagai Akṣara Suci Dalam
sorganya Bhaṭāra Wiṣṇu, menjadi Tubuh Manusia
Amběk/prilaku. Itulah yang disebut Aksara Bali dibedakan atas dua
dengan Kaṇdha Mpat Dewa. Ini śabda/ jenis, yaitu aksara biasa dna aksara suci.
suaranya: IH, AH, HEH, UH. Ini Aksara biasa terdiri dari dua aksara yaitu
Sabda/suara Dewa: I, ANG, HENG,U. aksara wreasta dan swalalita. Disebut
Sabda/suara Atmā ini: NGHING, aksara biasa, sesungguhnya aksara ini
NGANG, NGENG,NGUNG, namun digunakan sehari-hari dalam tulis-menulis.
semua bisa menjadi kawah/neraka/ Sedangkan aksara suci juga dibedakan atas
semua bisa menjadi sorga” dua jenis yaitu aksa Wijaksara ( di Bali
di kenal dengan sebutan Bijaksara ) dan
Berdasarkan kutipan teks Anggastya
Modre. Di dalam teks Anggastya Prana
Praṇa di atas bahwa Tuhan bermanifestasi
juga diuraikan tentang aksara-aksara suci
di Bhuana Alit dengan sebutan Catur
dalam tubuh manusia sebagai manifestasi
Sanak dalam Kanda Pat Bhuta dan Kanda
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud
Pat Dewa. Catur Sanak atau Nyama Pat
aksara suci. Dalam Lontar Anggastya
(saudara empat). Catur Sanak Dalam Kanda
Praṇa diuraikan sebagai berikut:
Pat terdiri dari : Yeh Nyom, Getih, Ari-
Ari dan Lamas, yang menemani manusia …..Lwirnya daśākṣara ring rāga, iki
sejak dalam kandungan ampai lahir. ya:SANG,ring papusuh gungung
Menurut Donder (2007:377)menguraikan Mahāmeru, nga. Wětunya ring Śiwa.
bahwaKanda Pat menurut kepercayaan Hyang Iśwara, daddharinya Hyang
orang Bali tidak hanya berwujud fisik Suprabha, Dewanya Hyang Indra,
seperti penjelasan di atas namun terdapat buronya lěmbu sañjatannya bajra.
juga wujud non fisik/spiritual dari Kandha BANG, ring ati, gunungnya Modra,
Pat tersebut yang terdiri dari: Anggapati, nga. Tamanya Bagenda, buronya
Banaspati, Banaspati Raja dan Mrajapati. Wilmaṇa, dewanya sanghyang Yāma,
Dan ungkapan rasasyukur dan terima kasih sañjatannya Dañdha, dadharinya
atas jasa dari keempat saudara/Kandha Pat Dewi Saraswati. TANG, ring ungśilan,
baik secara fisik dan spiritual diungkapkan gunungnya gunung Lawu, nga.
dengan melaksanakan beberapa upacara Tamannya Bhāgawit, buronya nāgha,
dan ritual-ritual. Sebagai imbalan terhadap dadharinya dewata Lukih, dewanya
empat saudara spiritual bayi itu, maka Hyang Mahādewa, wětunya paṇdhita,
kepadanya pada waktu ari-ari ditanam tras ri lalata, sañjatanya nāghapaṣa.
diberikan sěgěhan kěpěl. Selanjutnya ANG, ring ampru, gunungnya gunung
setiap habis mandi tempat ari-ari disiram Abang, nga. Tamanya Widhurata,
dengan air bekas mandi sang bayi. Juga buronya Garudha, dadha-/-rinya
setiap sore dinyalakan lampu, setiap pagi Dewi Rantěn Haji (Lontar Anggastya
Prana. 15.B)

Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018 35


Terjemahan: limpha gěnahnya, dewanya Hyang
Śangkara, dadharinya Śrī Mahādewi
…Adapun daśākṣara dalam diri
trus ring hirung, WANG, ring
manusia adalah sebagai berikut:
hiněban gěnahnya, dewanya Hyang
SANG, di jantung (papusuh)
Śambhu, gunungnya gunung Ambala,
tempatnya, gunungnya gunung
tamannya Wari, nga. Buronya Warak,
Mahāmeru. Dewanya hyang Śiwa
dadharinya Gagar Ma-/-yang, trus
sebagai Hyang Iśwara, saktinya
ring rambut, wětunya Bhujangga.
Hyang Suprabha, Dewanya Hyang
Indra, binatangnya lěmbu senjatannya ……YANG, ring Madhya gěnahnya,
bajra. BANG, di hati tempatnya, ring pangantunganing papusuh
gunungnya gunung Modra. gěnahnya, gunung Aṇdhabhawana,
TamanyaBagenda, binatangnyanya nga. Tamannya Padadaran, buronya
Wilmaṇa, dewanya sanghyang wenatya, nga. Linggih Ida Bhaṭāra
Yāma, senjatannya Dañdha, saktinya Śiwa,panungalannya dadhari kabeh,
Dewi Saraswati. TANG, pada ginjal ring pangantungan papusuhane,
(ungśilan) tempatnya, gunungnya pangantungan hati gěnahnya
gunung Lawu. Tamannya Bhāgawit, Sanghyang Hurip……(Teks Lontar
binatangnya nāgha, Saktinya dewata Anggastya Praṇa.16A-16B).
Lukih, dewanya Hyang Mahādewa, Terjemahan:
keluarnya paṇdhita, yoganya ditengah-
tengah kening, senjatanya nāghapaṣa. Dewanya Wiṣṇu, yoganya di mata,
ANG, di nyali (ampru) tempatnya, keluanya prabhu. ING, di tengah-
gunungnya gunung Abang. Tamanya tengah, tempatnya di pangantungan
Widhurata, binatangnya Garudha, hati, gunungnya Argghamaṇik.
saktinya Dewi Rantěn Haji, Tamanya Tlagakaṇṭa, binatangnya
gajah, dewanya Hyang Śiwā,
Dewanya Wiṣṇu, trusing tinghal, saktinya Śrī wirocana. NANG, di
wětunya prabhu. ING, ring madhya, paru-paru tempatnya, gunungnya
gěnahnya ring pangantungan hatine, gunung Mateyā, tamanya Sakṣari.
gunungnya Argghamaṇik,nga. Dewanya Hyang Maheśora, saktinya
Tamanya Tlagakaṇṭa, buronya gajah, Sri Mahādewi, yoganya di hidung,
dewanya Hyang Śiwā, dadharinya keluarnya Brāhmaṇa. MANG, di usus
Śrī wirocana. NANG, ring paparu, besar tempatnya, dewanya Hyang
ngnungnya gunung Mateyā, tamanya Rudra, saktinya padukaśwari, yoganya
Sakṣari, nga. Dewanya Hyang di lidah, keluarnya Parama Rěṣi. SING,
Maheśora, dadharinya Sri Mahādewi, di limpha tempatnya, dewanya Hyang
trus ring hirung, wětunya Brāhmaṇa. Śangkara, saktinya Śrī Mahādewi,
MANG, ring usus gung, gěnahnya, yoganya di hidung, WANG, di
dewanya Hyang Rudra, dadharinya hiněban tempatnya, dewanya Hyang
padukaśwari, trus ring lidah, Śambhu, gunungnya gunung Ambala,
wětunya Parama Rěṣi. SING, ring tamannya Wari. binatangnya Warak,

36 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018


saktinya Gagar Mayang, yoganya Aksara. Perputaran yang teratur di Bhuana
di rambut, keluarnya Bhujangga. … Agung dengan Bhuana Alit bermuara
YANG, di tengah-tengah tempatnya, pada penyatuan menuju harmonisasi atau
di pangantungan papusuh tempatnya, keseimbangan alam Mikro kosmos dan
gunungnya Aṇdhabhawana namanya. makro kosmos.
Tamannya Padadaran, binatangnya
wenatya namanya. Tempat/stana III. SIMPULAN
dari Ida Bhaṭāra Śiwa, panungalan Teks Anggastya Prana menekankan
dari semua sakti, di pangantungan bahwa tubuh manusia (sarira) merupakan
(jantung) papusuh, pangantungan hati perwujudan kecil (Bhuana Alit) dari
tempatnya Sang Hyang Hurip… penggambaran alam semesta (Bhuana
Agung). Dinyatakan bahwa proses kelahiran
Terlihat jelas tentang penggambaran manusia melewati tiga fase, perkembangan
Tuhan dalam tubuh manusia dalam wujud sebagai manefestasi Tuhan dalam diri. Fase
aksara suci. Aksara suci terdapat di jantung, pertama, diawali oleh suka sama suka, dan
hati, ginjal, nyali, tumpukin hati, paru- pada usia remaja hinga terjadi hubungan/
paru, usus, ineban dan gantungin hati. Dari sanggama sampai terjadi pembuahan
organ tubuh manusia disimbolkan dengan antara spermatozoid (kama petak) dengan
aksara suci dan merupakan perwujudan ovum (kama bhang) menjadi Sang Hyang
dari aksara suci Tuhan. Aksara SANG Antigajati berupa benih kehidupan. Ketika
merupakan simbol dewa Iswara, aksara anak sedang mencari - cari kelahirannya
BANG merupakan sibol dewa Brahma, disebut dengan Sang Hyang Siwatma. Fase
aksara TANG merupakan simbol dewa kedua, ketika manusia lahir kedunia, ia
Mahadewa, aksara ANG merupakan simbol ditemani oleh saudara empat yang disebut
Dewa Wisnu, Aksara NANG merupakan Catur Sanak yang berupa Yeh Nyom (air
simbol dewa Mahesora, aksara MANG ketuban), ari-ari, lamas, dan darah. Sang
merupakan simbol dewa Rudra, SING Catur Sanak menemani manusia dari
simbol dewa Sambhu, WANG simbol dewa kelahiran dengan sebutan Sang Anggapati,
Sankara, dan ING dan YANG merupakan Sang Prajapati, Sang Bhanaspati, dan Sang
simbol dewa Siwa. Dari konsep saudara Bhanaspatiraja, sampai manusia mati dan
empat atau sering disebut Catur Sanak berganti sebutan sesuai perkembangan
kemudian berkembang menjadi Dewata manusia. Fase ketiga, adalah penggambaran
Nawa Sangga (dewata penjuru mata angin). Tuhan dalam tubuh manusia berupa simbol
dalam teks Anggasta Prana mengisyaratkan aksara suci. Penyatuan konsep Catur Sanak
sebuah proses menuju Tuhan melalui berupa aksara suci yang disebut Dasaksara,
kontemplasi aksara suci dalam tubuh bersinergi dengan konsep Dewata Nawa
yang berujung pada penyatuan Bhuana Sngga (dewata sembilan penjuru mata
Agung dengan Bhuana Alit. Bhuana angin) menciptakan keharmonisan Bhuana
Agung disimbolkan dengan penggambaran Agung (alam semesta) dengan Bhuana Alit
Dewata Nawa Sangga, dan simbol Bhuana (tubuh manusia).
Alit adalah tubuh manusia dengan Dasa

Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018 37


DAFTAR PUSTAKA
Pusdok Kebudayaan Bali, 1998. Lontar
Tutur Bagawan Anggastya Prana.
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia:
Memahami Manusia Melalui Filsafat.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Anandakusuma, Sri Reshi. 1985. Aum
Upacara Manusa Yadnya. Denpasar :
CV. Kayumas Agung.
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu.
Surabaya: Paramita.
Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat Hindu
Dharma Ṣaḍ Darśana. Denpasar:
Pustaka Bali Post.
Peursen, Van C. A. 1979. Tubuh Jiwa Roh.
Terjemahan oleh K. Bertens. 1983.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Sanadji, Kasmiran Wuryo. 1985. Filsafat
Manusia. Jakarta: Erlangga.
Subagiasta, I Ketut. 2008. Pengantar Acara
Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun, 2002. Kamus Istilah Agama
Hindu. Denpasar : Pemerintah Propinsi
Bali.

38 Jurnal Sanjiwani, Volume 9, No 2, Tahun 2018

You might also like