Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang
Sultan Baabullah Mengusir Portugis
Konflik antara kerajaan di Indonesia dan persekutuan atau kongsi dagang Barat terjadi sejak para
kongsi dagang menunjukkan kecongkakannya.Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore dan
Portugis. Penyebab utamanya adalah Portugis menghalang-halangi perdagangan Banda dengan
Tidore
Dalam perang tersebut, Portugis berhasil mengadu domba Kerajaan Ternate dan Tidore.
Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan.
Akhirnya, Portugis mendapat kemenangan.
Pada tahun 1570, bertempat di Benteng Sao Paolo, terjadi perundingan antara Sultan dan Portugis.
Namun, pada saat perundingan berlangsung tanpa disangka-sangkatiba-tiba Portugis menangkap
Sultan Hairun dan pada saat itu juga membunuhnya. Kelicikan dan kejahatan Portugis tersebut
menimbulkan kemarahan rakyat Maluku.
Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun) dengan gagah melanjutkan perjuangan ayahandanya dengan
memimpin perlawanan.
Pada saat bersamaan, Ternate dan Tidore bersatu melancarkan serangan terhadap Portugis.
Akhirnya, pada tahun 1575, Portugis berhasil diusir dari Ternate.
Perlawanan Aceh
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), amada Aceh telah disiapkan untuk
menyerang kedudukan Portugis di Malaka.
Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis, tetapi penyerangan yang dilakukan Aceh ini
belum berhasil mendapat kemenangan.
Meskipun demikian, Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.
Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur”
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa di Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin memiliki gelar yaitu “Ayam Jantan dari Timur”.
Suatu ketika, Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dan Bone (Arung Palakaj berselisih paham.
Hal ini dimanfaatkan VOC dengan mengadu domba kedua kerajaan tersebut
Sultan Hassanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.
Isi dari perjanjian Bongaya sebagai berikut:
Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar
Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar
Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar
Perlawanan Aceh
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), armada Aceh telah disiapkan untuk
menyerang kedudukan Portugis di Malaka.
Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis, tetapi penyerangan yang dilakukan Aceh ini
belum berhasil mendapat kemenangan.
Meskipun demikian, Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.
Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur”
Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa di Sulawesi Selatan.
Sultan Hasanuddin memiliki gelar yaitu “Ayam Jantan dari Timur”.
Suatu ketika, Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dan Bone (Arung Palaka) berselisih paham.
Hal ini dimanfaatkan VOC dengan mengadu domba kedua kerajaan tersebut.
Sultan Hassanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.
Isi dari perjanjian Bongaya sebagai berikut:
• Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar Belanda mendirikan benteng
pertahanan di Makassar Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar
Makassar Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
Serangan Mataram terhadap VOC
Perselisihan antara Mataram dan Belanda terjadi karena nafsu monopoli Belanda.
Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan van
der Marct menyerang Jepara
Peristiwa tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dan Belanda
Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di
Batavia.
Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628.
Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Baurekso, yang tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628.
Selanjutnya, menyusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara yaitu Krai Dipati
Mandurejo dan Upa Santa.
Serangan pertama yang dilakukan oleh Mataram gagal sehingga terpaksa pasukan ditarik kembali ke
Mataram tanggal 3 Desember 1628.
Mataram segera mempersiapkan serangan kedua, dengan pimpinan Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger,
dan K.A. Purbaya.
Serangan dimulai pada tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629.
Namun, serangan kedua ini pun gagal.
Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
Perang Saparua di Ambon
Ketika Belanda kembali berkuasa di Indonesia tahun 1817, rakyat Ambon mengadakan perlawanan,
di bawah pimpinan Thomas Matulesi (Pattimura).
Pattimura memimpin perlawanan di Saparua dan berhasil merebut benteng Belanda serta
membunuh Residen van den Berg.
Dalam perlawanan tersebut, turut serta pula seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha
Tiahahu yang merupakan putri tunggal dari Paulus Tiahahu.
Perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838)
Perlawanan kaum Padri dengan sasaran utama Belanda meletus tahun 1821.
Kaum Padri dipimpin oleh:
Tuanku Imam Bonjol (M Syahab),
Tuanku nan Cerdik,
Tuanku Tambusai,
Tuanku nan Alahan.
Perlawanan kaum Padri berhasil membuat Belanda terpojok.
Pada saat bersamaan Belanda sedang menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Belanda pun mengajak kaum Padri berdamai, yang diwujudkan di Bonjol tanggal 15 November 1825.
Kemudian Belanda hanya fokus terhadap perlawanan Pangeran Dipenogoro, setelah menang
melawan Pangeran Dipeno goro Belanda kembali menyerang kaum Padri.
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel.
Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng
pertahanannya
Dengan siasat tersebut, Belanda akhirnya menang yang ditandai dengan jatuhnya benteng
pertahanan. Terakhir Padri di Bonjol tahun 1837.
Tuanku Imam Bonjol ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir
di Menado hingga wafat tahun 1864.
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda.
Pajak-pajak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dan kebijakan ekonomi lainnya menjadi
sumber penderitaan rakyat, yang ikut juga melatarbelakang Perang Diponegoro.
Salah satu bukti campur tangan politik Belanda adalah dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta
terjadi ketika pada tahun 1822 Hamengkubuwono IV wafat.
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda
Pajak-pajak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dan kebijakan ekonomi lainnya menjadi
sumber penderitaan rakyat, yang ikut juga melatarbelakangi Perang Diponegoro.
Salah satu bukti campur tangan politik Belanda adalah dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta
terjadi ketika pada tahun 1822 Hamengkubuwono IV wafat.
Berbagai kegelisahan dan penderitaan yang lama berlangsung dipicu oleh berbagai peristiwa yang
membuat rakyat marah.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Tegalrejo yang menjadi basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar
Belanda
Perang Jawa dikumandangkan (1825-1830) untuk mengusir Belanda.
Perlawanan tersebut menular sampai jawa Tengah dan jawa Timur.
Belanda menerapkan siasat Benteng-Stelsel.
Dengan sistem ini, Belanda mampu memecah belah jumlah pasukan musuh.
Belanda berhasil menangkap Kyai Maja dan Pangeran Mangkubumi
Belanda kemudian juga berhasil meyakinkan panglima Sentot Prawiryodirjo untuk membuat
perjanjian perdamaian.
Pada bulan Maret 1830, Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di
Magelang Jawa Tengah.
Perundingan tersebut hanya sebagai jalan tipu muslihat karena ternyata Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian ke Makassar hingga wafat tahun 1855.
Setelah berakhirnya Perang jawa (Diponegoro), tidak ada lagi perlawanan yang besar di jawa
Perang Aceh
Traktat London tahun 1871 menyebut Belanda menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris, dan Belanda
mendapat hak atas Aceh.
Belanda membakar Masjid Baiturrahman yang menjadi benteng pertahanan Aceh pada 5 April 1873.
Semangat jihad (perang membela agama islam) menggerakkan perlawanan rakyat Aceh.
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh.
Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgronje yang memakai nama samaran Abdul Gafar, ia diminta
masukan atau rekomendasi tentang cara-cara mengalahkan rakyat Aceh.
Menurut Hurgonje taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan
Uleebalang (bangsawan) dan kaum ulama.
Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat
dikalahkan. Sejak tahun 1898, kedudukan Aceh semakin terdesak.
Belanda mengumumkan berakhirnya Perang Aceh pada tahun 1904.
Namun demikian, perlawanan seporadis rakyat Aceh masing berlangsung hingga tahun 1930an.
Perlawanan Sisingamangaraja. Sumatra Utara
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatra Utara dilakukan oleh Sisingamangaraja XII.
Perlawanan ini, yang dinamakan juga Perang Batak yang berlangsung selama 29 tahun.
Pertempuran diawali dan Bahal Batu, yang menjadi pusat pertahanan Belanda tahun 1877
Untuk menghadapi Perang Batak, Belanda menarik pasukan dari Aceh.
Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng
terakhir Sisingamangaraja di Pakpak.
Kedua putra beliau Patuan Nagarı dan Patuan Anggi ikut gugur, sehingga seluruh Tapanuli dapat
dikuasa Belanda
Perang Banjar
Perang Banjar berawal ketika Belanda campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan
Banjarmasin.
Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjidillah yang tidak disukai rakyat.
Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom ditangkap Belanda.
Pada tahun 1862, Pangeran Hidayat menyerah, dan berakhirlah perlawanan Banjar di Pulau
Kalimantan.
Perlawanan benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1905.