Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP)
Vol. 7 No. 2 Maret 2023
e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
DOI: 10.58258/jisip.v7i1.4960/http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JISIP/index
Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari
Gempabumi Lombok 2018 Earthquake Vulnerability; Learning from Lombok
Uzlifatul Azmiyati1, Gendewa Tunas Rancak2
1,2
Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Nahdlatul Ulama NTB
Article Info Abstract
Article history: Earthquakes that occurred in 2018 caused material and non-material losses in North Lombok
Received : 09 March 2023 Regency. The earthquake damaged 71,962 houses, 671 educational facilities were damaged, 52
Publish : 14 March 2023 health facilities were damaged, and 128 worship facilities and infrastructure were damaged. Not
only that, the series of earthquakes also caused fatalities, injuries and victims who had to evacuate.
It was recorded that as many as 460 people died, 7,733 were injured and 417,529 people were
displaced. Estimated losses reach trillions of rupiah. The losses incurred in North Lombok Regency
Keywords: are very massive. This encourages researchers to analyze the things that make North Lombok
Community Regency vulnerable to the 2018 earthquake. This research was conducted with a qualitative
Earthquake approach that uses document analysis and in-depth interviews in extracting information. Based on
Lombok the results of the analysis, it was found that the vulnerability of the people in North Lombok Regency
Vulnerability to earthquakes can be seen from several aspects, namely; 1) Natural conditions (seismotectonics),
2) Architectural problems, 3) High costs for constructing earthquake-resistant buildings, 4)
Government unpreparedness in disaster management, 5) Low public knowledge about earthquakes,
and 6) lack of community participation.
Info Artikel Abstract
Article history: Kejadian gempabumi berturut turut yang terjadi pada tahun 2018 menimbulkan kerugian materi
Diterima : 09 Maret 2023 dan non materi di Kabupaten Lombok Utara. Gempabumi tersebut mengakibatkan 71.962 unit
Publis : 14 Maret 2023 rumah rusak, 671 fasilitas pendidikan rusak, 52 unit fasilitas kesehatan rusak, dan 128 unit fasilitas
peribadatan dan infrastruktur rusak. Tidak hanya itu, rangkaian gempabumi tersebut juga
menimbulkan korban jiwa, korban luka-luka dan korban yang harus mengungsi. Tercatat bahwa
sebanyak 460 orang meninggal dunia, 7.733 korban luka-luka dan 417.529 orang mengungsi.
Perkiraan kerugian mencapai triliunan rupiah. Kerugian yang timbul di Kabupaten Lombok Utara
sangat massive. Hal ini mendorong peneliti untuk menganalisis hal-hal yang membuat Kabupaten
Lombok Utara rentan (vulnerable) terhadap gempabumi pada tahun 2018 tersebut. Penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan analisis dokumen dan wawancara
mendalam dalam menggali informasi. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa kerentanan
masyarakat Kabupaten Lombok Utara terhadap gempabumi dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu;
1) Kondisi alam (seismotektonik), 2) Masalah arsitektur, 3) Tingginya biaya untuk mendirikan
bangunan tahan gempa, 4) Ketidaksiapan pemerintah dalam penaggulangan bencana, 5) Rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang gempabumi, dan 6) Kurangnya partisipasi masyarakat.
This is an open access article under the Lisensi Creative Commons Atribusi-Berbagi Serupa 4.0
Internasional
Corresponding Author:
Uzlifatul Azmiyati,
Program Studi Teknik Lingkungan
Universitas Nahdlatul Ulama NTB
Email: u.azmiyati@gmail.com
1. PENDAHULUAN
Tidak pernah ada yang menyangka bahwa kejadian gempabumi pada hari Minggu tanggal 29
Juli 2018 menjadi awal rangkaian gempabumi besar (magnitudo > 5 SR) yang menyebabkan
kerugian materi dan non materi di NTB, khususnya Pulau Lombok. Gempabumi tersebut
berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR), telah memakan korban jiwa sebanyak 16 orang dan 10.000
bangunan rusak berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat gempabumi besar berikutnya terjadi
pada tanggal 5 Agustus 2018 dengan magnitudo 6,9 SR, tanggal 9 Agustus 2018 dengan
magnitudo 5,9 SR. Tanggal 19 Agustus 2018 terjadi dua kali gempabumi masing masing dengan
magnitudo 6,3 SR dan 6.9 SR. Gempabumi besar terakhir terjadi pada tanggal 25 Agustus 2018
yang berkekuatan 5,5 SR.
1547 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
Menurut data BNPB rangkaian gempabumi tersebut mengakibatkan 71.962 unit rumah rusak,
671 fasilitas pendidikan rusak, 52 unit fasilitas kesehatan rusak, dan 128 unit fasilitas peribadatan
dan infrastruktur rusak. Tidak hanya itu, rangkaian gempabumi tersebut juga menimbulkan korban
jiwa, korban luka-luka dan korban yang harus mengungsi. Tercatat bahwa sebanyak 460 orang
meninggal dunia, 7.733 korban luka-luka dan 417.529 orang mengungsi. Perkiraan kerugian
mencapai triliunan rupiah.
Dari semua Kabupaten/Kota yang ada di NTB, Kabupaten Lombok Utara yang paling
terdampak akibat gempabumi Lombok 2018. Kerusakan yang terjadi sangat massive di Kabupaten
Lombok Utara. Sebagian besar bangunan hancur, rata dengan tanah. Bangunan yang paling banyak
hancur adalah pemukiman penduduk, menyebabkan ribuan warga harus mengungsi. Hancurnya
bangunan juga menimbulkan ratusan korban luka-luka dan korban meninggal akibat tertimpa
reruntuhan bangunan.
Dampak dan kerusakan yang terjadi di Kabupaten Lombok Utara begitu besar ketika dilanda
gempabumi Lombok tahun 2018. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menganalisis hal-hal
yang membuat Kabupaten Lombok Utara rentan (vulnerable) terhadap gempabumi pada tahun
2018 tersebut. Penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai bentuk mitigasi bencana gempabumi
di masa depan. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat membantu masyarakat dan
pemerintah dalam meminimalisir kerugian akibat gempabumi. Selain itu, dapat menjadi panduan
dalam pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Lombok Utara khususnya.
Kerangka Konseptual Kerentanan
Menurut ISDR-International Strategy for Disaster Reduction (2004), kerentanan atau
vulnerability dinyatakan sebagai derajat kerusakan atau kehilangan berskala 0 (tidak ada
kerusakan) hingga 1 (kerusakan total) yang terjadi pada elemen risiko bencana akibat suatu
besaran ancaman dengan frekuensi tertentu. Metode yang digunakan untuk merumuskan
kerentanan dapat berupa metode kuantitatif, kualitatif atau semi kuantitatif (Hizbaron dkk, 2010).
Terdapat tiga pandangan dan strategi pencapaian dalam menunjukkan kerentanan (Bankoff dkk,
2004), yaitu:
1) Alam sebagai penyebab
Alam dan bencana alam dipandang sebagai sebab dari kerentanan manusia terhadap
bencana, yang berfluktuasi berdasarkan intensitas, magnitudo (kekuatan), dan durasi dari
peristiwa eksternal. Kerentanan merupakan hasil dari bahaya (termasuk intensitas) dan risiko
(paparan peristiwa, yang diukur berdasarkan aspek kedekatan/proksimal). Kerentanan tersebut
dapat dikurangi dengan membuat sistem yang dapat memprediksi datangnya bahaya dan
rancangan serta pengaplikasian teknologi yang memungkinkan manusia untuk bertahan dari
dampak negatif bencana.
2) Biaya sebagai penyebab
Pandangan ini berhubungan dengan aspek ekonomi dan keuangan. Meskipun teknologi dan
pengetahuan sudah ditingkatkan, namun manusia terkadang masih mengalami penderitaan
karena teknologi mitigasi dan prediksi bencana memakan biaya yang besar. Para ahli ekonomi
mengembangkan dan memperbaiki metode yang dapat menilai besarnya kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana. Menurut World Bank (2000), kerentanan akan berkurang apabila
pemerintah daerah menyediakan jaring pengaman sosial yang aman, dana untuk bencana,
asuransi jiwa, dan bantuan keuangan untuk meningkatkan aset penduduk.
3) Struktur sosial sebagai penyebab
Pandangan ini memperlihatkan bahwa bencana memiliki dampak turunan terhadap
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Tidak hanya terpapar ancaman bencana
tersebut, namun proses sosio-ekonomi dan politik dalam lingkungan masyarakat juga
mendorong tereksposnya kerentanan. Hal tersebut dapat menciptakan kondisi yang secara
berlawanan mempengaruhi kemampuan masyarakat atau Negara dalam merespon situasi
bencana, untuk mengatasi dan pulih dari efek dekstruktif suatu bencana.
1548 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, yang bertujuan untuk
memperoleh penjelasan terhadap suatu fenomena (Zulfiar dan Jayady, 2018). Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen dan wawancara mendalam. Data yang
dikumpulkan berbentuk dokumentasi berupa buku atau catatan harian, laporan dari media,
dokumen pemerintah dan swasta, data di website, peta, serta gambar/foto. Selain itu dilakukan
wawancara terhadap para tokoh yang dapat memberikan informasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Wawancara dilakukan secara mendalam dengan elemen pemerintah, tokoh masayarakat, tokoh
adat, tokoh agama, masayarakat biasa dan narasumber narasumber lain yang sesuai dengan tema
penelitian.
Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang merupakan kabupaten
paling muda di Nusa Tenggara Barat (NTB), terdiri dari 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Pemenang,
Tanjung, Gangga, Kayangan, dan Bayan. Penduduk di KLU terus meningkat tiap tahunnya hingga
mencapai 220.412 orang pada tahun 2019, penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan
penduduk laki-laki, dengan sex ratio sebesar 97,3 (BPS, 2020). Distribusi penduduk paling besar
berdomisili di Kecamatan Bayan, namun Kecataman ini memiliki kepadatan penduduk paling
rendah. Sedangkan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi adalah
Kecamatan Pemenang. Topografi Kabupaten Lombok Utara cukup beragam, mulai dari 0 sampai
2.889 meter di atas permukaan laut. Peta administrasi Kabupaten Lombok Utara dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh melalui kajian pustaka, wawancara mendalam
dan observasi terdapat beberapa poin yang dapat dijabarkan dalam tiga pendekatan penyebab
kerentanan masyarakat Kabupaten Lombok Utara terhadap gempabumi 2018 yaitu alam, biaya
dan struktur sosial.
1. Alam Sebagai Penyebab
Secara tektonik, Pulau Lombok diapit oleh dua lajur sumber gempabumi aktif, yaitu lajur
Penunjaman Kerak Samudera Indo-Australia di bagian selatan dan lajur Sesar Naik Busur
Belakang Flores (back arc thrust) di bagian utara (Marjiyono, 2016). Penunjaman Kerak
Samudera Indo-Australia membentuk zona subduksi yang secara signifikan berkontribusi
terhadap kejadian gempabumi yang telah lalu dan yang akan datang (Daryono, 2011). Sesar
Naik Busur Belakang Flores membujur dari laut utara Bali hingga laut Flores, sejajar dengan
busur Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara. Fenomena patahan naik busur belakang kepulauan
ini cukup aktif dalam membangkitkan gempa-gempa tektonik di kawasan tersebut (Nugroho,
1549 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
2008). Selain itu, menurut Tim Pusat Studi Gempa Nasional (2018) sumber gempa di Pulau
Lombok juga dipengaruhi oleh sistem sesar geser di sisi barat dan timur Pulau Lombok.
Aktifitas gempabumi yang sering terjadi akibat tatanan tektonik wilayah Kepulauan Nusa
Tenggara, juga akan menjadi pemicu (trigger) aktifnya sesar-sesar lokal baik yang ada di darat
maupun di laut (Marjiyono, 2016). Sesar-sesar tersebut dapat menjadikan semakin rumit dan
kompleksnya seismisitas di wilayah Kepualaun Nusa Tenggara. Sesar aktif yang terdapat di
lempeng tektonik dalam perkembangannya juga mengalami pergerakan dan memberikan
kontribusi terhadap kejadian gempabumi di masa yang akan datang. Kondisi seismotektonik
yang demikian menyebabkan Pulau Lombok termasuk Kabupaten Lombok Utara sering
mengalami gempabumi. Berdasarkan catatan BMKG (2020) beberapa gempabumi besar yang
menimbulkan korban jiwa, korban luka-luka ataupun kerusakan di Pulau Lombok dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Gempabumi Besar yang Pernah Terjadi di Pulau Lombok
Tahun Kejadian Kekuatan
1978 6,7 SR
1979 6,7 SR
1979 6,1 SR
2004 6,1 SR
2006 6,2 SR
2007 6,8 SR
2013 5,4 SR
29 Juli 2018 6,4 SR
5 Agustus 2018 7,0 SR
19 Agustus 2018 6,9 SR
Kejadian gempabumi besar yang paling baru terjadi secara berurutan pada tahun 2018
lalu menunjukkan bahwa gempa-gempa tersebut disebabkan oleh Sesar Naik Busur Belakang
Flores sebagai sumber gempa yang berada di bagian utara Pulau Lombok. Hal ini diperkuat
dengan hasil interpretasi data yang telah dilakukan oleh Tim Pusat Studi Gempa Nasional
(2018), memperlihatkan bahwa terjadi deformasi sesar yang menyebabkan sisi utara Pulau
Lombok naik rata-rata sekitar 25 cm. Sumber gempa Sesar Naik Busur Belakang Flores inilah
yang paling perlu diwaspadai karena menyebabkan kerusakan yang massive di Kabupaten
Lombok Utara. Gempabumi tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian materi tetapi juga
kerugian non materi. BNPB mencatat bahwa sebanyak 469 jiwa meninggal dunia, 906 jiwa
luka-luka, 178.122 jiwa mengungsi, dan 71.305 rumah rusak. Kerugian materi ditaksir
mencapai Rp2,7 triliun (Rakhman, 2018). Gempabumi besar yang terjadi berturut turut tersebut
menyebabkan gempabumi susulan total sebanyak 1.973 gempabumi (Kepala Stasiun Geofisika
Mataram dalam kompas.com 2018). Selain itu, akibat dari gempabumi tersebut terjadinya
fenomena likuifaksi di bagian utara Kabupaten Lombok Utara yang menyebabkan munculnya
semburan air dan pasir (sand boiling) dari retakan di permukaan tanah dan sumur-sumur
penduduk (Tim Pusat Studi Gempa Nasional, 2018). Sebaran kejadian gempabumi Lombok
yang terjadi pada tahun 2018 dapat dilihat pada Gambar 2.
1550 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
Gambar 2. Peta Sebaran Gempa Lombok 2018
Kerusakan yang terjadi di Kabupaten Lombok Utara akibat dari gempabumi Lombok
tidaklah merata. Kerusakan paling parah terjadi di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bayan dan
Kecamatan Gangga. Kerusakan yang terjadi selain dipengaruhi oleh jarak dari sumber gempa,
juga dipengaruhi oleh jenis batuan dan topografi wilayahnya. Kecamatan Bayan terletak di
bagian paling utara dari Kabupaten Lombok Utara, begitupula dengan Kecamatan Gangga yang
posisinya berada di bagian utara. Posisi dua kecamatan tersebut lebih dekat ke sumber gempa,
selain itu jenis batuan yang ada di wilayah kecamatan tersebut adalah batuan vulkanik yang
sifatnya lepas (unconsolidated) seperti Tufa. Secara umur batuan dan secara stratigrafi Tufa
termasuk paling muda karena berada di bagian paling atas. Ketika gelombang gempabumi
menjalar melalui media batuan yang mudah lepas (lunak) maka getaran gempabumi cenderung
membesar dibandingkan ketika melewati media batuan yang keras. Hal ini berhubungan dengan
kecepatan gelombang geser dari permukaan hingga kedalaman 30 meter (Vs 30), nilai Vs30
rendah pada batuan lunak dan bernilai tinggi pada batuan keras. Kemampuan batuan menyerap
energi berbanding terbalik dengan panjang gelombang (Susilanto dkk, 2019). Hasil wawancara
mendalam dengan Pak Hery dari BPBD Kabupaten Lombok Utara juga menguatkan analisis di
atas.
“Umur Pulau Lombok bagian utara lebih muda dibandingkan dengan bagian selatan.
Sebagian besar wilayahnya tersusun atas batuan gunungapi berusia Tersier dan Kuarter serta
ditutupi oleh endapan gunungapi muda yang tak terpisahkan dari letusan gunungapi Rinjani
Tua. Secara geologi, bagian paling utara dari Kabupaten Lombok Utara terdiri dari Formasi
Lekopiko yang tersusun atas Tufa, Breksi Lahar dan Lava, serta Formasi Endapan Aluvium
yang terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lempung, gamping, dan pecahan koral.”
2. Biaya Sebagai Penyebab
a. Masalah Arsitektural
Perubahan bahan pembuatan rumah tinggal dari bambu menjadi bata atau batako tanpa
memperhatikan struktur bangunan tahan gempa membuat gempabumi menjadi lebih
merusak. Sebelum terjadi gempabumi 2018, masyarakat Kabupaten Lombok Utara
sebagian besar beralih menggunakan batako untuk membangun rumah tinggal. Alasan
menggunakan batako karena membutuhkan biaya dan waktu yang lebih sedikit, serta
proses pengerjaan yang lebih mudah. Selain itu, masyarakat meninggalkan bahan bambu
karena mengikuti trend yang terjadi di masyarakat. Masyarakat yang mempunyai rumah
1551 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
dari batako adalah umumnya masyarakat pendatang dan masyarakat yang pernah bekerja
sebagai TKI di luar negeri. Rumah bata/batako ini dipandang sebagai lambang kekayaan
dan kemakmuran dalam masyarakat.
Hal yang menjadi permasalahan krusial adalah masyarakat membangun rumah tanpa
memperhatikan kualitas struktur bangunan. Rata-rata bangunan rumah dibangun tanpa
menggunakan struktur beton bertulang kolom. Kolom adalah komponen struktur bangunan
yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vertikal. Kolom merupakan salah satu
elemen penting dalam bangunan karena berfungsi sebagai penopang beban bangunan dan
gaya dari pengaruh luar bangunan seperti gempabumi (Rantung dkk, 2014). Bangunan
rumah tinggal tersebut biasanya hanya mengandalkan ikatan plesteran dan sejenisnya.
Masyarakat yang banyak menjadi korban meninggal atau luka-luka akibat gempabumi
2018 adalah masyarakat yang tertimpa reruntuhan bangunan rumah yang terbuat dari
batako. Sedangkan masyarakat yang tinggal di rumah yang terbuat dari bambu selamat dari
gempabumi. Masyarakat yang tinggal di rumah bambu adalah masyarakat adat yang masih
mempertahankan tradisi dan budaya leluhur, seperti di Desa Beleq Gumantar, Desa Adat
Segenter, dan Desa Adat Bayan.
Beberapa foto bangunan rusak di Kabupaten Lombok Utara akibat gempabumi tahun
2018 dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Bangunan yang Rusak Akibat Gempabumi Tahun 2018
b. Tingginya Biaya untuk Mendirikan Bangunan Tahan Gempa
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pembuatan bangunan tahan gempa melalui
BSN (Badan Standardisasi Nasional) dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) 1726:2012
yang telah direvisi menjadi SNI 1726:2019. Di dalam peraturan ini tercantum hal-hal
terkait pengurangan risiko kerusakan infrastruktur akibat gempabumi. Namun terdapat
beberapa kendala dalam penerapan aturan ini di dalam bangunan yang didirikan oleh
masyarakat, antara lain:
1) Kurangnya ahli teknik sipil yang kompeten dalam SNI bangunan tahan gempa.
Kalaupun ada, sulit diakses oleh masyarakat terutama masyarakat Kabupaten Lombok
Utara karena keterbatasan biaya.
2) Masyarakat kesulitan untuk menerapkan SNI bangunan tahan gempa karena terlalu
teknik. Biasanya, masyarakat membangun rumah menggunakan bantuan tukang
bangunan yang ada di masyarakat tanpa melalui konsultasi dengan arsitek atau ahli
teknik sipil. Para tukang bangunan yang ada di masyarakat mendapatkan skill secara
otodidak dan turun temurun.
3) Akses informasi terbatas. Kurangnya sosialisasi dan informasi terkait SNI bangunan
tahan gempa. Masyarakat bahkan tidak pernah mendengar atau tidak mengetahui
tentang SNI. Apalagi akan menerapkannya dalam bangunan rumah mereka.
4) Masyarakat tidak menyadari kalau wilayah tempat tinggal mereka memiliki risiko yang
tinggi terhadap gempabumi.
1552 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
3. Struktur Sosial Sebagai Penyebab
a. Pengetahuan Masyarakat Tentang Gempabumi
Hasil wawancara mendalam kepada responden di Kabupaten Lombok Utara
memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat memiliki pengetahuan yang rendah tentang
gempabumi. Nasrudin berusia 39 tahun seorang warga Kecamatan Pemenang yang
berprofesi sebagai nelayan menceritakan bahwa yang ia tahu gempabumi adalah
guncangan bencana yang membuat ia merasa sangat panik dan trauma. Ia merasa beruntung
dapat selamat dari kejadian gempa tersebut. Sibudin berusia 30 tahun yang merupakan
kepala dusun Dusun Oman Telaga Kecamatan Gangga juga menceritakan hal yang tidak
jauh berbeda. Ia mengatakan bahwa menyepelekan kejadian gempabumi yang pertama kali
terjadi pada 29 Juli 2018 di wilayah Lombok Timur. Kemudian merasa panik dan takut
ketika gempabumi terjadi lagi lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Pengetahuannya
tentang gempabumi terbatas pada gempabumi adalah goncangan.
Pengetahuan masyarakat terbatas hanya pada pengertian gempabumi yang berupa
guncangan. Namun tidak didukung dengan pengetahuan tentang bagaimana gempabumi
terjadi dan kondisi wilayah tempat tinggal mereka yang rawan terhadap gempabumi.
Masyarakatpun tidak mengetahui tentang kegiatan mitigasi bencana gempabumi, atau cara-
cara menyelamatkan diri ketika terjadi gempabumi. Kejadian gempabumi yang besar dan
sangat tiba-tiba membuat masyarakat tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan
diri. Ditambah lagi dengan struktur bangunan yang tidak mendukung langsung menimpa
masyarakat yang berada di dalam rumah.
Sebelum terjadi gempabumi tahun 2018, masyarakat Kabupaten Lombok Utara tidak
mengetahui dan tidak menyadari bahwa wilayah tempat tinggal mereka rawan terhadap
gempabumi. Banyak masyarakat sadar setelah merasakan gempa dan menimbulkan banyak
korban jiwa. Seorang responden yang berprofesi sebagai pedagang mengatakan bahwa dia
tidak menyangka bahwa Kabupaten Lombok Utara memiliki potensi gempabumi dan
gempabumi dapat terjadi sedahsyat itu. Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap
gempabumi juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah
tentang gempabumi. Masyarakat juga banyak yang tidak paham cara mengakses informasi
terkait bencana, terutama bencana gempabumi. Hal ini menjadikan masyarakat semakin
rentan terhadap gempabumi.
b. Kurangnya Partisipasi Masyarakat
Masyarakat beranggapan bahwa penanggulangan bencana hanyalah tugas pemerintah.
Masyarakat merasa tidak perlu ikut berpartisipasi karena tidak memahami tentang
gempabumi. Kenyataan ini adalah pemahaman yang keliru karena semua orang dari
berbagai lapisan masyarakat, pemerintah dan pihak swasta seharusnya ikut andil dalam
penanggulangan bencana. Seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun
2007 ditegaskan bahwa kegiatan kesiapsiagaan bencana merupakan tanggung jawab
pemerintah, pemerintah daerah, dan dilaksanakan bersama sama dengan masyarakat dan
lembaga usaha. Masyarakat sebagai elemen yang secara langsung terkena dampak bencana
menjadi salah satu unsur penting dalam penanggulangan bencana secara komperhensif.
Partisipasi dan pengetahuan masyarakat yang kurang menyebabkan masyarakat
Kabupaten Lombok Utara semakin rentan terhadap gempabumi. Hal ini menjadi indikator
bahwa kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana rendah. ISDR (2004)
mendefinisikan kapasitas sebagai kombinasi dari semua kekuatan yang ada pada suatu
kelompok masyarakat, sosial atau organisasi yang dapat mengurangi dampak atau risiko
bencana. Kapasitas masyarakat yang rendah dapat menimbulkan kerugian yang besar
ketika terjadi bencana. Dengan kata lain risiko yang ditimbulkan oleh bencana tersebut
tinggi.
1553 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
4. KESIMPULAN
Sampai saat ini gempabumi merupakan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan dan dimana
akan terjadi. Kejadian gempabumi yang tiba-tiba selalu membawa efek kerugian yang besar, baik
secara materi maupun non materi. Aktivitas tektonik yang menjadi salah satu penyebab
gempabumi merupakan keadaan natural Bumi yang harus diakui keberadaannya. Hal ini tidak
seharusnya membuat masyarakat takut namun menjadi peluang untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam mempelajari aktivitas tektonik dan gempabumi. Sehingga
mampu menurunkan risiko terhadap bencana gempabumi.
Wilayah Kabupaten Lombok Utara yang merupakan bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat
memang memiliki potensi gempabumi yang cukup besar. Kondisi seismo-tektonik yang kompleks
menjadikan wilayah ini rentan terhadap gempabumi. Selain itu, biaya juga menjadi faktor yang
menambah kerentanan masyarakat Kabupaten Lombok Utara. Perubahan bahan bangunan yang
digunakan oleh masyarakat dari bambu ke batako karena biaya dan waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit gempabumi semakin mematikan. Ketika gempabumi terjadi banyak masyarakat tertimbun
bangunan yang runtuh hingga menimbulkan korban jiwa. Mahalnya biaya mendirikan bangunan
tahan gempa yang sesuai dengan SNI 1726:2019 juga menjadi permasalahan yang menambah
kerentanan masyarakat terhadap gempabumi. Dalam hal biaya ketidaksiapan pemerintah dalam
penanggulangan bencana juga menjadi faktor yang menambah kerentanan masyarakat.
Kerentanan masyarakat juga dilihat dari faktor ketiga yaitu rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang gempabumi dan kurangnya partisipasi masyarakat. Kombinasi faktor-faktor tersebut
menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan oleh gempabumi Lombok 2018 sangat massive di
Kabupaten Lombok Utara.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kemendikbud Lembaga Layanan Pendidikan
Tinggi Wilayah VIII, LP2M UNU NTB, para responden penelitian, tim mahasiswa pembantu
peneliti, dan semua pihak yang telah membantu dalam proses kelancaran penelitian.
6. DAFTAR PUSTAKA
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2020, (www.bmkg.go.id).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2020, (www.bnpb.go.id).
Badan Standardisasi Nasional, 2019, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Nongedung, SNI 1726:2019, ICS 91.120.25; 91.080.01.
Bankoff, G., Frerks, G., dan Hilhorst, D., 2004, Mapping Vulnerability Disasters, Development
and People, London: Earthscan.
Daryono, 2011, Indeks Kerentanan Seismik Berdasarkan Mikrotremor Pada Setiap Satuan Bentuk
Lahan di Zona Graben Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi, Program
Pascasarjana Fakultas Geografi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Hizbaron, D.R., Hadmoko, D.S., Samodra, G., Dalimunthe, S.S., dan Sartohadi, J., 2010, Tinjauan
Kerentanan, Risiko dan Zonasi Rawan Bahaya Rockfall Di Kulonprogo, Yogyakarta,
Forum Geologi, Vol. 24 No. 2 Desember 2010: 119-136.
ISDR, 2004, Living With Risk – A Global Review of Disaster Reduction Initiatives, United Nation
(www.unisdr.org).
Kabupaten Lombok Utara Dalam Angka, 2020, Kabupaten Lombok Utara: Badan Pusat Statistik
Kota Mataram. https://lombokutarakab.bps.go.id/.
Lombokpost.Jawapost.com. (2021, 27 Juli). Bupati Lombok Utara Mencanangkan Program
Mitigasi Bencana. Diakses pada 9 November 2021, dari
https://lombokpost.jawapos.com/tanjung/27/07/2021/bupati-lombok-utara-canangkan-
program-mitigasi-bencana/
Marjiyono, 2016, Potensi Penguatan Gelombang Gempabumi oleh Sedimen Permukaan Kota
Mataram Nusa Tenggara Barat, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7 No. 3
Desember 2016: 135-144, ISSN: 2086-7794, e-ISSN: 2502-8804.
1554 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)
Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) e-ISSN : 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944
Nugroho, H.A., 2008, Analisis Probabilitas Gempabumi Daerah Bali Dengan Distribusi Poisson,
Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar Bali.
Rakhman, F., 2018, Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa,
https://www.mongabay.co.id/2018/08/13/warisan-leluhur-selamatkan-warga-adat-di-
lombok-ini-dari-gempa/
Rantung, C.M., Sumajouw, M.D.J dan Windah, R.S., 2014, Evaluasi Balok dan Kolom pada
Rumah Sederhana, Jurnal Sipil Statik Vol. 2 No. 6 September 2014 (301-309) ISSN: 2337-
6732.
Regional.Kompas.com. (2018, 30 Agustus). Lombok Diguncang 1.973 Gempa dalam Satu Bulan.
Diakses pada 9 November 2021, dari
https://regional.kompas.com/read/2018/08/30/09163821/lombok-diguncang-1973-gempa-
dalam-satu-bulan.
Susilanto, P., Ngdamanto, D., Sunardi, B., dan Rohadi, S., 2019, Analisis Kecepatan Gelombang
Geser (VS) Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Gempabumi di Kulonprogo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 10 No. 2, Agustus 2019: 41-
50.
Tim Pusat Studi Gempa Nasional, 2018, Kajian Rangkaian Gempa Lombok Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Bandung: Pusat Litbang Perumahan dan Pemukiman Badan Penelitian
dan Pengembangan PUPR.
Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana.
World Bank, 2000, World Development Report 2000/2001, Attacking Poverty, New York: Oxford
University Press.
Zulfiar, M.H. dan Jayady, A., 2018, Kajian Kerentanan Pada Sektor Konstruksi Dalam
Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi, Jurnal Karkasa Vol. 4 No. 1 2018, ISSN: 2580-
7595.
1555 | Kerentanan Masyarakat Lombok Terhadap Gempabumi; Belajar Dari Gempabumi Lombok
2018 (Uzlifatul Azmiyati)