Ifsar
Ifsar
Geomatika
SAR Nasional
(GeoSARNas)
2011
In Conjunction with
International Seminar
Geospatial and Human Dimension
in Natural Resource Management
ISBN 978-979-25-7259-9
i
Foreword
This year we held The International Seminar on Geomatics and SAR (GeoSARNas) for the
second time since 2009. The GeoSARNas Seminar is the only one forum in Indonesia that
designed to encourage and facilitate Indonesian and international research communities
and practitioners works on SAR data applications and techniques for land and natural
resources issues to communicate their recent works. The seminar was held at IPB
International Convention Center, Bogor on September 12-13, 2011. It was hosted by
LAPAN in collaboration with BAKOSURTANAL, IPB and MAPIN.
The theme of GeoSARNas 2011 was Emerging Geospatial Information Retrievals and
Applications. It had 2 sub themes i.e. SAR, Data Processing and the Application and
Optical Remote Sensing. This proceeding included 32 paper which has been presented
by oral or poster presentation. The session provides good opportunity to share
experiences and knowledge between the speakers and participants through discussion.
During the seminar, we had a special session for policy discussion with Ministry of
Research and Technology (RISTEK) about the important of SAR data to monitor our
natural resources including the policy to face foreign country offered on SAR satellite
operation in Indonesia. As we know, the SAR applications and its processing techniques
are limited in Indonesia, so in the future we would like to do more extensive programs
in order to campaign SAR techniques and applications in Indonesia.
It took time to compile all full papers both from oral presentation and poster
presentation. We thank the authors, reviewers, and editors for their effort, time, and
energy to make this proceeding published.
ii
Contents
Foreword ............................................................................................................. ii
I.1.DataProcessing
Interferometric SAR Phase Unwrapping Data ALOS PALSAR dengan
Menggunakan Algoritma Least-Squares Two-Dimensional Phase
Unwrapping
Katmoko Ari Sambodo, Muchammad Soleh .................................................................................. 1
I.2.EnvironmentandDisasterMitigation
A Review of Using SAR Imagery for Disaster Emergency Response
Fajar Yulianto, M. Rokhis Khomarudin, Parwati .......................................................................... 65
iii
Simulasi Bahaya Pyroclastic Gunung Merapi Berdasarkan Model Energy
Cone dari Data DEM SRTM
Parwati, Fajar Yulianto, Rokhis Khomarudin ................................................................................77
I.3.NaturalResource
Pemantauan Wilayah Peri-Urban Dengan TerraSAR-X: Studi Kasus
Sidoarjo, Jawa Timur
Arif Nofyan Syah1, Bambang H. Trisasongko2, Hari Agung1 ......................................................93
Teknik Koreksi Bull Eyes untuk Peningkatan Akurasi dan Presisi Model 3D
dengan Height Error Maps Berbasis Hitung Perataan
Atriyon Julzarika, Samsul Arifin .................................................................................................... 169
II.1.EnvironmentandDisasterMitigation
Informasi Spasial Daerah Rawan Bencana sebagai Salah Satu Masukan
dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah
A.B.Suriadi M Arsjad ......................................................................................................................... 183
iv
Vulnerability and Capacity Analysis to Support Disaster Risk Reduction in
Kampung Melayu, Jakarta Province
Mone Iye Cornelia Marschiavelli .................................................................................................... 199
II.1.NaturalResources
Identifikasi Pola Tanam Padi Sawah Menggunakan Data MODIS
Multitemporal di Kabupaten Kebumen
Emiyati ................................................................................................................................................. 307
v
Kajian Daya Dukung Pesisir untuk Pengembangan Wisata Bahari di Pulau
Hari, Provinsi Sulawesi Tenggara
Suharto Widjojo ................................................................................................................................ 333
The Analysis of Shoreline Changes in Sayung Demak and Its Impact for
Fishpond Ownership
Chatarina Muryani, Rahning Utomowati ................................................................................... 413
vi
I
SAR,
DATA PROCESSING,
AND THE APPLICATION
Data Processing
This page intentionally left blank
Interferometric SAR Phase Unwrapping Data ALOS PALSAR
dengan Menggunakan Algoritma Least-Squares Two-Dimensional
Phase Unwrapping
E-Mail:
katmoko_ari@lapan.go.id | katmoko_ari@yahoo.com
msoleh@lapan.go.id | msoleh76@gmail.com
Abstrak. SAR Interferometry merupakan salah satu aplikasi penting dari data
penginderaan jauh sistem aktif sistem SAR (Synthetic Aperture Radar). Untuk
mendapatkan data Digital Elevation Model (DEM) dari data SAR dibutuhkan sedikitnya
dua buah data SAR SLC (Single Look Complex) yang diakusisi dari posisi sensor yang
sedikit berbeda. Secara garis besar, proses penurunan tersebut meliputi beberapa
tahapan: koregistrasi citra (mentransformasikan posisi piksel pada kedua data agar
tepat/register satu sama lain), penghitungan Interferogram (untuk menghasilkan fringe
/pola gelap terang yang dihasilkan dari perbedaan fasa kedua data tersebut), Flat Earth
Correction (melakukan koreksi perhitungan interferogram terhadap permukaan bumi
yang menjadi referensi/acuan), Phase Unwrapped dan Konversi Citra menjadi DEM
(mengkoreksi perbedaan cyclic pada fringe yang masih memiliki siklus fasa 2 ke dalam
fasa absolut (unwrapp) dan mengkonversinya menjadi data DEM). Tahapan phase
unwrapping merupakan tahapan yang terpenting dan sekaligus tersulit dari beberapa
tahapan tersebut karena akan menentukan akurasi data DEM yang dihasilkan. Penelitian
ini bertujuan untuk melakukan ujicoba phase unwrapping dengan metode Least-Squares
Two-Dimensional Phase Unwrapping dengan menggunakan dua buah data ALOS PALSAR
daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu. Metode ini pada dasarnya akan meminimalisir
jumlah total selisih antara gradien wrapped phase (fasa hasil pengukuran) dengan nilai
solusi fasa yang dicari. Salah satu solusi pemecahannya adalah dengan menggunakan
transformasi Fourier. Dari hasil eksperimen diperoleh kesimpulan bahwa metode ini
mampu memberikan hasil yang cukup memuaskan walaupun diterapkan dengan
menggunakan data input interferogram yang masih mengandung cukup noise.
Katakunci: Synthetic Aperture Radar (SAR), ALOS PALSAR, Interferometri SAR (InSAR),
Least-Squares Two-Dimensional Phase Unwrapping, Transformasi Fourier.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|1
Pendahuluan
SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu sistem penginderaan
jauh aktif menggunakan gelombang mikro (microwave) dengan panjang
gelombang 1 mm 1 m. Kelebihan SAR antara lain adalah dapat menembus
awan, kabut dan asap serta mampu beroperasi dalam segala kondisi cuaca baik
siang maupun malam. Instrumen SAR mampu merekam, baik magnitude
(amplitudo) maupun fasa (phase), gelombang elektromagnetik yang
dihamburbalikan dari obyek di permukaan bumi. Salah satu aplikasi penting
dalam penggunaan data SAR adalah teknik interferometri SAR (InSAR). InSAR
berperan penting dalam ekstraksi informasi ketinggian atau DEM (Digital
Elevation Model) dengan cara menurunkan informasi fasa yang direkam di
dalam data SAR. Untuk memperoleh DEM dari data SAR dibutuhkan sedikitnya
dua buah data SAR dengan format SLC (Single Look Complex) yang
diakusisi dari posisi sensor yang sedikit berbeda.
Saat ini terdapat 2 kategori utama algoritma phase unwrapping yaitu metode
path-following dan metode minimum-norm. Algoritma path-following
menggunakan operasi yang dilokalisir, dalam beberapa hal, mengikuti lintasan
(paths) keseluruhan fasa wrapped (fasa hasil pengukuran). Contoh dari metode
path-following ini antara lain adalah Goldsteins algorithm, Quality-guided
algorithm, Mask cut algorithm, Flynns minimum discontinuity algorithm.
Sedangkan algoritma minimum-norm mencari pendekatan yang lebih global
untuk meminimalisir selisih dari perbedaan antara gradien fasa wrapped (fasa
hasil pengukuran) terhadap nilai solusi fasa yang dicari. Contoh dari metode
2|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
minimum-norm ini antara lain adalah Unweight least-square algorithm, PCG
algorithm, Multigrid algorithm dan Minimum LP-norm algorithm [3].
Paper ini bertujuan untuk meneliti dan melakukan ujicoba phase unwrapping
dengan metode minimum-norm, dalam hal ini menggunakan algoritma unweight
least-square phase unwrapping yang diujicobakan pada dua buah data SAR
SLC Alos Palsar daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu. Metode ini pada
dasarnya bertujuan untuk meminimalisir jumlah total selisih antara gradien
wrapped phase (fasa hasil pengukuran) dengan nilai solusi fasa yang dicari.
Dan salah satu solusi pemecahannya adalah dengan menggunakan
transformasi Fourier. Algoritma phase unwrapping dengan metode Fast Fourier
Transform (FFT) ini dipilih karena memiliki kelebihan antara lain cepat,
membutuhkan memori yang kecil, dan tidak membutuhkan suatu peta kualitas
(seperti correlation map, pseudocorrelation map, phase derivative variance dan
maximum phase gradient). Namun demikian, teknik ini mengandung kelemahan
yaitu hanya dapat diterapkan untuk dimensi array (larik) dengan data fasa
n
wrapped berukuran 2 , dimana n adalah ukuran dimensi dari array [3].
Tinjauan Pustaka
Interferometri adalah suatu proses yang menggunakan metode interferensi efek
gelombang (microwave) untuk menentukan panjang (jarak) atau perubahan
panjang yang sangat akurat [1]. InSAR adalah suatu metode untuk
mengekstrasi informasi tiga dimensi dari suatu permukaan bumi dengan
menggunakan informasi fasa (berkaitan dengan jarak satelit (slant range)
terhadap pemancar sinyal radar) dari sepasang citra radar kompleks [5].
Citra interferogram adalah citra hasil perkalian kompleks konjugate antara citra
master dan citra slave. Perkalian citra dilakukan piksel demi piksel untuk posisi
yang bersesuaian koordinatnya, sehingga amplitudo hasil citra interferogram
mencerminkan perata-rataan antara kedua citra masukan, sementara fasanya
merupakan beda fasa antara kedua sinyal radar. Dalam hal ini resultan fasa
interferogram memiliki hubungan langsung dengan topografi objek dalam
modulus 2. Pola gelap-terang tersebut mengandung informasi beda ketinggian
yang akan diekstraksi menjadi data DEM.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|3
dideteksi antara dan , tetapi secara aktual fasa bergeser antara dua
gelombang atau lebih. Phase unwrapping adalah proses rekonstruksi fasa awal
(original) yang bergeser dari representasinya (wrapped). Phase unwrapping
berisi tambahan atau pengurangan kelipatan 2 pada tempat-tempat yang
sesuai untuk membuat fasa citra sebaik mungkin (smooth). Untuk merubah fasa
interferometrik menjadi elevasi, harus dilakukan phase unwrapping [2].
4 0 ........................................................................................................... (1)
dimana (xi,yi) adalah titik-titik data, a adalah kemiringan lereng (slope) dan b
adalah nilai offset.
Jika diterapkan pada larik 2 dimensi, maka Persamaan (1) tersebut diubah
menjadi :
, , , , , , ....(2)
, 2 , , , 2 , , , ............................................ (3)
dimana:
, , , , , .........................................................................................(4)
, , , ............................................................................................. (5)
Dimana didefinisikan D adalah domain tertutup dari bidang. Solusi (x,y) dari
persamaan ini adalah unik tergantung pada suatu konstanta tambahan jika
diberikan boundary condition Neumann, yang mengkhususkan hanya pada nilai-
4|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
nilai turunan normal / pada batas D. Dalam hal ini diasumsikan bahwa satu
batas kumpulan solusi yang mungkin dari (x,y) adalah mengubahnya ke dalam
fungsi periodik. Suatu fungsi periodik adalah suatu fungsi yang menjamin (x,y)
= (x+M,y) = (x,y+N) untuk semua titik (x,y) pada bidang, dimana M dan N
adalah konstanta yang tetap. Dan suatu fungsi mencakup keseluruhan nilai
tersebut pada daerah tertutup yang ditentukan oleh 0 x M dan 0 y N
dan mencapai nilai maksimumnya. Diasumsikan bahwa 1 dan 2 adalah dua
fungsi periodik untuk memecahkan persaman Poisson (Persamaan (5)). Jika
adalah suatu fungsi harmonis, maka Laplace-nya 2/x2 + 2/y2 adalah nol.
Dengan teori nilai rata-rata Gaussian, maka nilai (a) harus sama dengan nilai
rata-rata sepanjang suatu putaran yang berpusat pada a:
................................................................................................ (6)
Oleh karena (a) adalah nilai maksimum dari , maka hal tersebut
memungkinkan hanya jika adalah suatu fungsi konstan. Dengan demikian,
ketika dibatasi hanya untuk suatu fungsi periodik, maka persamaan Poisson
memiliki solusi unik (tergantung pada suatu konstanta tambahan) dan boundary
condition tidak diperlukan.
, , 0iM, 0jN,
, Mi2M, 0jN,
, = , 0iM, Nj2N,
, Mi2M, Nj2N.
.................................................................................................................................................................... (7)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|5
Fungsi i,j yang tidak diketahui juga dapat dipandang sebagai suatu fungsi
periodik i,j yang didefinisikan oleh mirror reflection ini. Oleh karena i,j dan i,j
adalah suatu fungsi periodik, maka fungsi i,j dan i,j dapat didefinisikan untuk
seluruh indeks i, j dengan memindahkannya dengan i mod 2M, j mod 2N.
, , , , , , , ................................................................ (8)
dimana W adalah operator wrapping. Selanjutnya mencari nilai suatu fungsi i,j
yang meminimalisir jumlah perbedaan square diantara perbedaan fasa ini dan
solusi perbedaan fasa yang dicari. Dengan memperluas fungsi i,j menjadi
fungsi periodik seperti i,j, dan menerapkan FFT 2-dimensi pada grid 2M x 2N
pada kedua sisi berdasarkan Persamaan 2.3 maka akan dihasilkan persamaan:
,
,
............................................................................................. (9)
Dimana m,n dan Pm,n berturut-turut adalah FFT 2-dimensi dari i,j dan i,j. (00
tidak didefinisikan, tetapi dapat diset menjadi nol sebab solusi dari Persamaan
(3) hanya ditentukan oleh konstanta tambahan yang digunakan). Solusi i,j
diperoleh dengan mengaplikasikan kebalikan FFT (inverse) pada Persamaan
(9) dan dengan meminimalisir hasil pada grid yang ditentukan oleh 0 i M
dan 0 j N.
, ,
, ,
, ,
, , ..................................................................................................................................... (10)
6|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Berkaitan dengan solusi phase unwrapping dengan penggunaan mirror
reflection, terdapat metode yang biasa yaitu menggunakan ekstensi periodik
dengan melakukan translasi dan repetisi dari fungsi tanpa mirror reflection.
Metode ini menghasilkan suatu solusi yang tidak tepat sebab tidak dapat
menjaga penurunan boundary. Suatu contoh dari fungsi satu dimensi dapat
memberikan ilustrasi tentang titik tersebut. Diasumsikan bahwa fungsi fasa
wrapped = W{2/3} ditentukan pada titik integer k = 0,....,4. Fungsi fasa
menentukan fungsi landai linier wrapped. Jika ekstensi periodik i,j ditentukan
dengan cara biasa tanpa mirror reflection (yaitu k= k mod 5), maka turunan
diskrit (persamaan (8)) akan ditentukan oleh 2/3 untuk 0 k 3 dan
-2/3. Hasilnya setelah disederhanakan menjadi:
............................................................... (11)
Dan solusi least-square yang dihasilkan adalah =4k/15. Dalam hal ini jelas
terlihat bahwa phase unwrapping yang dihasilkan tidak tepat sebab kelerengan
(slope) tidak tepat. Lain halnya jika ekstensi k ditentukan oleh mirror reflection
(Persamaan (2.7)) maka akan diperoleh hasil:
2 ................................................................................................... (12)
dan solusi least-square phase unwrapping yang dihasilkan akan tepat k =2k/3
[3]. Dalam hal ini, nilai solusi inilah yang lebih tepat meminimalisir jumlah
perbedaan square diantara perbedaan fasa ini dan solusi perbedaan fasa yang
dicari.
Metodologi Penelitian
Data
Data SAR yang digunakan pada penelitian ini adalah sepasang data
interferometri SAR dalam format SLC (Single Look Complex) seperti ditunjukkan
pada Gambar 1 sebagai berikut:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|7
Data Slave ( 06-06-2010) Data Master ( 06-09-2010)
Gambar 1. Pasangan data SAR SLC (master dan slave) daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu,
Jawa Tengah
a) Data Alos Palsar dual-polarisasi (HH, HV), level 1.0 (amplitudo dan
phase)
Metode
Seperti diilustrasikan pada Gambar 2, proses memperoleh DEM dengan teknik
InSAR ini meliputi beberapa tahapan. Namun demikian, fokus pengolahan data
dengan teknik InSAR ini adalah untuk mengekstraksi informasi fasa, bukan
pada magnitude-nya (amplitudo).
8|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
INPUTDATA KOREGIST PERHITUNGAN
(MASTER RASICITRA INTERFEROGRAM
KOREKSI
Gambar 2. Diagram alir pemrosesan data SAR menjadi DEM dengan teknik InSAR
, 1, , , 1 dengan 0 i M dan 0 j N.
2. Menghitung FFT 2-dimensi dari i,j. Untuk setiap baris i dari larik i,j,
tentukan vektor titik fi menjadi mirror reflection dari baris. Untuk itu fi
= i,j dengan 0 j N, dan fi = i,2N-j dengan N j 2N. Jika fi
adalah real dan fungsi genap (yaitu fi = f2N-j), maka FFT juga real dan
genap. Hitung FFT, pindahkan baris i ke-n dari larik i,j
dengan
membatasi Fn dengan 0 n N. Setelah seluruh baris diproses
seperti ini, ulangi proses yang sama untuk seluruh kolom.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|9
3. Pindahkan semua nilai dari larik i,j yang ditransformasikan dengan
nilai m,n seperti yang telah dinyatakan pada persamaan 3.6.
10|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 4. Citra interferogram setelah difilter menggunakan filter Goldstein dengan faktor k = 0.7
Selain itu, pada citra interferogram juga dilakukan koreksi flat earth, yaitu
koreksi hasil interferogram terhadap permukaan bumi sebagai acuannya. Dalam
hal ini dilakukan penyesuaian citra interferogram terhadap batas citra yang
nampak dipermukaan bumi yang menjadi acuan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|11
(a) (b)
Gambar 5. (a) Hasil phase unwrapping pada citra interferogram sebelum difilter; (b) Hasil phase
unwrapping pada citra interferogram yang telah difilter
Pada Gambar 5.b terlihat bahwa hasil phase unwrapping setelah difilter tampak
lebih halus (smooth) sesuai dengan karakteristik kontur ketinggian pada area
tersebut.
12|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
[a ].
[b]
Gambar 6. a. Tampilan 3 dimensi citra phase unwrapped (sebelum difilter); b. Tampilan 3 dimensi
citra phase unwrapped (sesudah difilter)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|13
Terlihat pada citra phase unwrapped seperti ditunjukkan pada Gambar 6.a dan
6.b, ketinggian permukaan, dalam hal ini kawasan puncak Gunung Merapi
Merbabu menunjukkan perbedaan ketinggian yang cukup signifikan dengan
daerah di sekitarnya yang lebih rendah. Hal ini menandakan ujicoba proses
phase unwrapping dengan algoritma unweight least-square phase unwrapping
dengan metode Fast Fourier Transform (FFT) telah berhasil dilakukan dan
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Namun demikian, citra phase
unwrapped tersebut belum melalui uji validasi untuk menentukan tingkat akurasi
hasil dan kesalahan yang terjadi selama proses phase unwrapping berlangsung,
termasuk juga perbandingan terhadap metode-metode phase unwrapping
lainnya.
14|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Daftar Pustaka
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|15
16|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Ortho-Rektifikasi Data ALOS PALSAR dengan Menggunakan Data
Digital Elevation Model (DEM) dan Teknik Registrasi Citra
Berdasarkan Fast Fourier Transform (FFT)
E-Mail :
katmoko_ari@lapan.go.id | katmoko_ari@yahoo.com
Abstrak. Penginderaan jauh sistem aktif dengan menggunakan sensor SAR (Synthetic
Aperture Radar) memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat menembus awan dan
dapat beroperasi siang-malam dalam segala kondisi cuaca. Citra satelit SAR yang standar
pada dasarnya masih mengandung berbagai distorsi/kesalahan yang diakibatkan oleh
sistem pengakuisisian data dengan arah menyamping (side looking imaging geometry)
dan efek perbedaan tinggi berbagai objek di permukaan bumi. Untuk
mengkoreksi/mengeliminasi kesalahan tersebut perlu dilakukan koreksi ortho-rektifikasi
sebagai pemrosesan awal sebelum data tersebut dipergunakan pada berbagai aplikasi
selanjutnya terutama pada aplikasi yang membutuhkan ketelitian geometrik yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ujicoba ortho-rektifikasi tersebut pada daerah
sekitar Gunung Merapi Merbabu dengan menggunakan data ALOS PALSAR. Pertama-
tama dilakukan pembentukan citra simulasi menggunakan SRTM-DEM (Shuttle Radar
Topography Mission Digital Elevation Model) pada koordinat SAR (SAR range-doppler
coordinate). Tahap selanjutnya dilakukan proses registrasi citra ke citra (image-image
registration) yakni antara citra SAR original dengan citra simulasi tersebut. Dalam
penelitian ini digunakan teknik semi-otomatis berdasarkan metode yang menggunakan
transformasi Fourier (FFT : Fast Fourier Transform) untuk mencari tie-point yang paling
optimum. Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi citra dari masing-masing piksel dalam
citra SAR original ke posisinya yang baru dalam sistem proyeksi peta yang telah
ditentukan. Dari hasil eksperimen diperoleh kesimpulan bahwa teknik ortho-rektifikasi
ini mampu memberikan hasil yang cukup memuaskan terutama dalam mengkoreksi efek
foreshortening (dievaluasi dengan menggunakan data LANDSAT daerah yang sama yang
telah melalui proses orthorektifikasi).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|17
Pendahuluan
Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan salah satu penginderaan jauh
sistem aktif yang menggunakan daerah gelombang mikro dari spektrum
gelombang elektromagnetik dengan frekuensi antara 0.3 GHz - 300 GHz (atau
sama dengan panjang gelombang antara 1 m - 1 mm). Karena mempunyai
sumber energi sendiri tanpa tergantung dengan sumber energi matahari, SAR
dapat beroperasi siang maupun malam dalam segala kondisi cuaca (karena
gelombang mikro dapat menembus awan, asap dan hujan). Gelombang mikro
juga memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan, sebagai contoh
kanopi vegetasi, lebih dalam daripada panjang gelombang optis. SAR juga
sensitif terhadap kekasaran permukaan, kelembaban, sifat elektris, dan gerakan
dalam permukaan yang disinari [1].
18|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
meminimalkan/ mengeliminasi kesalahan/distorsi tersebut sebagai pemrosesan
awal data SAR tersebut sebelum dipergunakan pada berbagai aplikasi
selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ujicoba koreksi ortho-
rektifikasi tersebut pada daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu dengan
menggunakan data ALOS PALSAR. Metode ortho-rektifikasi yang dipergunakan
adalah dengan membuat citra simulasi SAR berdasarkan data DEM (Digital
Elevation Model) untuk daerah tersebut, kemudian melakukan registrasi citra ke
citra (image-image registration) antara citra SAR original dengan citra simulasi
tersebut [2,3]. Dalam hal ini digunakan teknik transformasi Fourier (FFT: Fast
Fourier Transform) untuk mempersingkat waktu penghitungan korelasi diantara
kedua citra tersebut [3-5],. Pada bab 2 akan dijelaskan metode tersebut beserta
penjelasan mengenai data ALOS-PALSAR yang dipergunakan. Selanjutnya
pada bab 3 akan dijelaskan mengenai hasil-hasil eksperimen dan
pembahasannya. Dan terakhir pada bab 4 akan disampaikan kesimpulan yang
didapat dari penelitian ini.
Metodologi Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam melakukan ortho-rektifikasi dalam penelitian
ini adalah dengan mengkombinasikan pembentukan citra simulasi SAR dan
proses registrasinya menggunakan teknik transformasi Fourier. Dalam hal ini
diperlukan 2 input data yakni data SAR yang akan dikoreksi dan data DEM
(Digital Elevation Model) untuk daerah tersebut. Pada Gambar 1 ditunjukkan
data SAR dan data DEM yang dipergunakan dalam penelitian ini. Data SAR
yang dipergunakan adalah data ALOS-PALSAR, L-band, FBS (Fine Beam
Single) dengan polarisasi HH, resolusi 6.25m, daerah sekitar Gunung Merapi
Merbabu, yang diakuisisi pada 14 Desember 2009 (ascending direction).
Sedangkan untuk data DEM, secara ideal seharusnya digunakan data DEM
yang beresolusi sama dengan data SAR-nya, sehingga bisa didapatkan citra
hasil ortho-rektifikasi dengan ketelitian yang lebih baik. Namun karena
keterbatasan data DEM yang beresolusi tinggi tersebut, dalam penelitian ini
hanya dapat dipergunakan data SRTM-DEM (Shuttle Radar Topography
Mission Digital Elevation Model) dengan resolusi 90 m, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Sebagai akibatnya, citra hasil koreksinya akan
mengikuti resolusi dari data DEM tersebut. Selain itu, pada data SRTM-DEM
seringkali masih terkandung hole (piksel yang tidak terisi data elevasi), sehingga
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|19
terlebih dahulu perlu dilakukan pengisian hole tersebut dengan
menginterpolasinya berdasarkan nilai-nilai piksel di sekitarnya.
20|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 3. Citra simulasi yang dibentuk dari data SRTM-DEM pada Gambar 2 dan ditampilkan
dalam koordinat SAR (SAR range/Doppler coordinate).
RegistrasiCitra(imageimage
registration)
RekonstruksiCitra(resampling)
HasilOrthoRektifikasiCitraALOS
PALSAR
Gambar 4. Metodologi ortho-rektifikasi data ALOS-PALSAR yang dipergunakan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|21
Pada Gambar 4 ditunjukkan secara garis besar tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam melakukan ortho-rektifikasi. Sebagian besar proses tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan librari ASF (Alaska SAR Facility) [3],
yang kemudian dalam penelitian ini dikombinasikan dengan pemrograman IDL
(Interactive Data Language).
'
REC REC height .................................................................................................................. (1)
22|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Dimana height adalah ketinggian objek dan nilainya dapat diperoleh dari data
'
DEM. Hal ini akan mempengaruhi nilai slant-range SRX dari wahana ke objek
yang semakin mengecil.
'
SRX sqrt ( REC ) 2 RSC 2.RSC .REC . cos
' 2 '
..................................................................... (2)
'
Semakin kecil nilai SR X maka objek tersebut akan dicitrakan semakin dekat
dengan nadir. Untuk membuat citra simulasi SAR selengkapnya, dari masing-
'
masing piksel dari data DEM selanjutnya dihitung posisi SR X nya. Selanjutnya
untuk lebih memberikan efek foreshortening pada citra simulasi SAR tersebut,
'
maka pada area dengan perubahan nilai SRX bertetanggaan yang berjarak
dekat (rapat) nilai pikselnya diset lebih tinggi (lebih terang) daripada bagian
yang perubahannya lebih jarang. Contoh hasil pembentukan citra simulasi
tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|23
kedua citra dihitung dan selanjutnya dicari lokasi di mana inverse-nya mencapai
maksimum [4,5].
s o
*
e 2i ( x0 y0 ) ..........................................................................................................(3)
s o
*
o
*
citra simulasi dan citra SAR original. menyatakan konjugasi kompleks
Gambar 6. Contoh visualisasi hasil penghitungan korelasi menggunakan transformasi Fourier.
24|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
a) Sebelum dilakukan ortho-rektifikasi.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|25
Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi citra dari masing-masing piksel dalam
citra SAR original ke posisinya yang baru (berdasarkan nilai offset yang didapat
sebelumnya) dalam sistem proyeksi peta yang telah ditentukan (dalam hal ini
digunakan UTM).
26|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 8. Data LANDSAT Ortho daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu
Kesimpulan
Dalam penelitian ini dilakukan ujicoba ortho-rektifikasi data ALOS-PALSAR
pada daerah sekitar Gunung Merapi Merbabu yang dilakukan dengan
mengkombinasikan pembentukan citra simulasi SAR dan proses registrasinya
menggunakan teknik transformasi Fourier.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|27
Daftar Pustaka
28|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Perbandingan Operasi Direct Correlation dan Fast Fourier
Transform pada Registrasi Citra untuk Pengolahan Awal
Orthorektifikasi Data Synthetic Aperture Radar (SAR)
E-mail:
katmoko_ari@yahoo.com | ofa_1510@yahoo.com
Abstrak. Telah dikaji dan dianalisis operasi direct correlation dan Fast Fourier
Transform (FFT) pada registrasi citra untuk pengolahan awal orthorektifikasi data
Synthetic Aperture Radar (SAR). Pengolahan awal orthorektifikasi data SAR meliputi
pembacaan data input, pembentukan citra simulasi SAR dari data Digital Elevation Model
(DEM) berdasarkan model pencitraan radar (imaging radar model), registrasi citra (image
to image registration) antara citra SAR original dengan citra simulasi yang telah
disamakan dengan koordinat citra SAR original dan rekostruksi citra dari masing-masing
citra SAR original ke posisi yang baru dalam sistem proyeksi peta yang telah ditentukan.
Tahapan registrasi citra meliputi pencarian nilai pergeseran (offset) kedua citra secara
global, pencarian beberapa titik ikat (tie point) dan pemilihan titik-titik ikat yang
memenuhi syarat (berkualitas baik) dan penyusunan persamaan polynomial berdasarkan
titik-titik ikat yang telah dipilih. Pencarian nilai pergeseran bisa dilakukan dengan
operasi direct correlation dan FFT. Penulisan paper ini dimaksudkan untuk mengkaji
dan menganalisis operasi direct correlation dan FFT pada registrasi citra dengan cara
membandingkan kedua operasi tersebut. Perbandingan dilakukan secara eksperimental
yang dilakukan melalui ujicoba pada software pengolahan data yang dilengkapi dengan
script-script tambahan. Data yang digunakan adalah data SAR (ALOS-PALSAR) dan data
DEM (SRTM). Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat dikatakan bahwa operasi FFT
lebih berpotensi dan mampu memberikan hasil efisiensi komputasi yang lebih tinggi
untuk ukuran citra yang lebih besar.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|29
Pendahuluan
Data penginderaan jauh SAR telah banyak digunakan untuk observasi bumi
dalam berbagai aplikasi pemanfaatan seperti pemantauan vegetasi,
pemantauan tanah, pemantauan geologi dan geomorfologi, pemantauan danau
dan lautan, pengelolaan perairan, pemetaan dan lain-lain. Kelebihan utama
sensor SAR antara lain dapat menembus awan, dapat mengakuisisi data pada
berbagai kondisi cuaca, dapat menghasilkan tampilan sinoptik (synoptic view)
pada wilayah yang luas, cakupannya dapat diperoleh dengan cepat pada waktu
tertentu, dan memungkinkan look angle yang sangat dangkal (shallow)
sehingga menghasilkan perspektif yang berbeda dibandingkan fotografi vertikal
(1)
pada umumnya .
Meskipun sistem akuisisi data penginderaan jauh dengan sensor SAR memiliki
banyak kelebihan, namun secara operasional, pemanfaatan data SAR masih
menemui banyak kendala dibandingkan dengan data penginderaan jauh sistem
optik, terutama dalam permasalahan geometri. Permasalahan geometri yang
timbul pada citra SAR disebabkan oleh sistem pengakuisisian sensor SAR yang
bersifat menyamping, seperti terlihat pada Gambar 1. Akibatnya, pada citra SAR
terjadi distorsi geometrik citra seperti foreshortening, layover dan shadow pada
(1,2,3)
objek dengan ketinggian atau tingkat kecuraman yang tajam .
Flight
direction
gth
Le n
nn a
nte
RA
Real SA
Radar
Antenna
Depression
Angle
Look
Angle Backscattered energy
Transmitted energy
Incidence
Angle
S la
Nadir
nt
R
Near
tio n
an
ir ec
ge
Range
)d Beamwidth
u th
zim
k (a Far
rac
gt Range
A lo n
Ground
Swath
Range
Directi
on
30|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Untuk memperoleh citra SAR dengan ketelitian geometrik yang tinggi,
diperlukan upaya untuk meminimalkan/mengeliminasi distorsi tersebut. Proses
minimalisasi distorsi geometrik pada data SAR disebut sebagai pemrosesan
awal (preprocessing) data SAR, yang sering juga disebut dengan proses ortho-
rektifikasi. Dengan proses tersebut, diharapkan ketelitian geometrik data SAR
dapat meningkat, sehingga lebih berkualitas dan dapat memenuhi standar untuk
digunakan dalam berbagai aplikasi pemanfaatan selanjutnya.
Secara umum terdapat dua metode utama untuk melakukan proses ortho-
(2,3)
rektifikasi data SAR , yaitu metode rektifikasi dengan menggunakan ground
control point (GCP) yang dilanjutkan dengan polynomial warping (proses
penyusunan ulang citra berdasarkan persamaan polinomial) dan metode Dead
Reckoning, yang intinya merupakan metode rektifikasi citra SAR Slant Range
Image (SLR) dengan cara menghilangkan distorsi geometrik yang telah
diprediksi sebelumnya berdasarkan parameter-parameter radar, termasuk
parameter yang terkait dengan jalur penerbangan wahana yang membawa
sensor tersebut dan data Digital Elevation Model (DEM). Dibandingkan dengan
metode pertama, metode kedua lebih dapat diterapkan pada data SAR dengan
variasi topografik yang tinggi, termasuk distorsi terlokalisasi pada area yang
sempit.
Tinjauan Pustaka
Korelasi didefinisikan dengan persamaan di bawah ini.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|31
dimana h menyatakan conjugate kompleks dari variabel kompleks h. Korelasi
juga mempunyai interpretasi geometrik pada sliding inner product. Biasanya,
pada korelasi, dua sinyal pada sisi tangan kanan (right-hand side)
dibandingkan, dan t merupakan variabel delay waktu. Tidak seperti konvolusi,
korelasi tidak komutatif, tetapi
Direct Correlation
Operasi korelasi langsung (direct correlation operation) dilakukan untuk mencari
persamaan/hubungan yang sama pada piksel-piksel antara dua citra secara
langsung, nilai koefisien korelasi dihitung satu per satu pada tiap piksel. Dua
citra dinyatakan terkorelasi jika nilai koefisien korelasinya sama dengan satu.
Koefisien korelasi, r, merupakan nilai skalar pada interval (-1,0 hingga 1,0) dan
didefinisikan sebagai perbandingan kovarians populasi sampel terhadap hasil
deviasi standarnya. Berikut rumus untuk perhitungan nilai koefisien korelasi (r):
Koefisien korelasi merupakan pengukuran secara langsung seberapa bagus
variasi gabungan dua populasi sampel. Nilai r = +1 atau r = -1 mengindikasikan
kesesuaian yang sempurna terhadap model linier positif atau negatif. Nilai r
yang mendekati +1 atau -1 menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi dan
kesesuaian yang baik terhadap model linier. Nilai r yang mendekati 0
menunjukkan kesesuaian yang tidak baik terhadap model linier.
32|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Fast Fourier Transform
Dan transformasi kebalikannya (invers), didefinisikan sebagai:
Teknik perhitungan korelasi dengan FFT dilakukan dengan memanfaatkan
representasi suatu citra dalam domain frekuensi. Cross-power spectrum dari
kedua citra dihitung dan selanjutnya dicari lokasi dimana invers-nya mencapai
(4,5)
maksimum .
s o
*
e 2i ( x0 y0 )
s o
*
o
*
citra simulasi dan citra SAR original. menyatakan konjugasi kompleks
Tujuan
Penulisan paper ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis operasi
korelasi langsung (direct correlation) dan FFT pada registrasi citra dengan cara
membandingkan kedua operasi tersebut.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|33
Metodologi
Analisis dalam paper ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil operasi
direct correlation dan FFT pada proses registrasi citra. Parameter yang
dibandingkan adalah waktu komputasi terhadap jumlah titik/piksel pada citra
yang diregistrasi. Registrasi citra (image to image registration) antara citra Slant
Range Image (SLR) SAR dengan citra simulasi yang telah disamakan
koordinatnya dengan citra SAR, dilakukan dengan sub-tahapan sebagai berikut:
Metode image matching yang paling umum adalah korelasi area (area
correlation), dimana window citra yang ditemukan menyerupai satu sama lain
34|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
pada dua citra diselaraskan (di-match-kan). Metode korelasi area dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi langsung dan teknik korelasi
berdasarkan FFT. Metode matching mengacu pada penggunaan koefisien
korelasi sebagai ukuran kesamaan untuk area yang diuji antara pasangan citra.
Pada gambar 2 ditampilkan konsep korelasi citra untuk identifikasi titik-titik yang
sesuai (match).
Gambar 2. Konsep Korelasi Citra untuk Identifikasi Titik-Titik yang Sesuai (Match)(1).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|35
Gambar 3. Grafik Perbandingan Waktu (t) terhadap Jumlah Piksel (n) pada Perhitungan Nilai
Koefisien Korelasi dengan Teknik Korelasi Langsung
Pada uji coba eksperimental, ukuran pergeseran maksimum pada citra yang
dicoba diubah-ubah untuk mencari nilai pergeseran maksimum yang paling
efektif. Nilai pergeserannya berkisar dari 2 hingga 1024. Jumlah titik/piksel pada
n
citra yang dicari nilai koefisien korelasinya harus dalam orde 2 . Pada grafik di
gambar 3, t menyatakan waktu yang diperlukan untuk komputasi (sekon) dan n
n
menyatakan pangkat dari jumlah titik yang dikorelasikan (2 ).
Dari grafik pada gambar 3, terlihat bahwa semakin besar jumlah titik/piksel yang
dicari nilai koefisien korelasinya, waktu komputasinya meningkat. Dengan
demikian, semakin banyak jumlah piksel yang diujicoba, waktu yang diperlukan
untuk komputasi perhitungan nilai koefisien korelasi menjadi semakin lama. Dari
grafik pada gambar 3 juga terlihat, bahwa semakin besar nilai pergeseran
maksimum, kemiringan grafiknya semakin tajam. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar pergeseran, waktu yang dibutuhkan juga semakin lama. Untuk
jumlah piksel yang semakin banyak dengan pergeseran maksimum yang besar,
perhitungan nilai koefisien korelasi tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
software dan komputer yang mengakibatkan error pada saat ujicoba
eksperimental. Dengan demikian, perhitungan nilai koefisien korelasi dengan
menggunakan teknik korelasi langsung (direct correlation) kurang efektif karena
untuk jumlah piksel yang semakin banyak dan pergeseran yang semakin besar,
teknik korelasi ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan ada beberapa
ujicoba yang gagal.
36|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Teknik perhitungan nilai koefisien korelasi yang berbasis FFT menggunakan
teorema pergeseran Fourier(7). Selanjutnya, teknik yang menggunakan teorema
ini disebut dengan korelasi fase (phase correlation). Penggunaan fase Fourier
ini mengacu pada pemikiran bahwa citra mengandung lebih banyak informasi
yang akurat dibandingkan frekuensi rendah yang mendominasi metric korelasi,
(8,9,10,11)
yang menjadi basis untuk korelasi fase . Karena efek sampling dan
ukuran citra yang terbatas, sidelobe terjadi pada puncak utama (main peak)
permukaan korelasi. Sehingga, dalam prakteknya, teknik ini mengurangi
korelasi dalam domain fase Fourier.
Gambar 4. Perbandingan Grafik Waktu (t) terhadap Jumlah Piksel (n) pada Perhitungan Nilai
Koefisien Korelasi dengan Teknik Korelasi Langsung dan Teknik Berbasis FFT.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|37
menyatakan waktu yang diperlukan untuk komputasi (sekon) dan n menyatakan
pangkat jumlah piksel/titik yang dicari nilai koefisien korelasinya (2n).
Dari grafik pada gambar 4, terlihat bahwa pada teknik berbasis FFT grafiknya
terlihat datar dan nilai t-nya terlihat konstan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk perhitungan nilai koefisien korelasi dengan
teknik berbasis FFT tidak bergantung pada jumlah piksel/titik yang diujicoba.
Berapapun jumlah titik/piksel yang diujicoba, waktu yang dibutuhkan konstan.
Dari grafik pada gambar 4, juga terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
perhitungan nilai koefisien korelasi dengan teknik berbasis FFT jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan teknik korelasi langsung. Semakin besar jumlah
piksel, pada teknik korelasi langsung membutuhkan waktu komputasi yang lebih
lama. Sedangkan pada teknik berbasis FFT tidak berlaku seperti itu. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa teknik berbasis FFT lebih efisien dan praktis
karena waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan proses perhitungan nilai
koefisien korelasinya berlangsung lebih cepat. Pada ujicoba yang dilakukan,
tidak terjadi error pada teknik berbasis FFT, sehingga tidak ada yang gagal
pada ujicoba eksperimental tersebut.
2
Metode korelasi langsung melakukan operasi kira-kira sebanyak n operasi,
dimana n adalah jumlah titik pada transformasi, sedangkan FFT (yang
mengkorelasikan hal yang sama dengan metode korelasi langsung) melakukan
operasi kira-kira sejumlah nlogn operasi. Dengan demikian, proses dengan
teknik berbasis FFT lebih cepat dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit.
Kesimpulan
Pada perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan teknik korelasi
langsung (direct correlation), waktu komputasi yang dibutuhkan lebih banyak
sehingga prosesnya berlangsung lebih lama. Semakin besar jumlah piksel/titik
yang dicari nilai koefisien korelasinya, semakin besar waktu komputasi yang
diperlukan. Teknik ini kurang efektif karena untuk jumlah piksel yang semakin
banyak dan pergeseran yang semakin besar, teknik korelasi ini membutuhkan
waktu yang lebih lama dan ada beberapa ujicoba yang gagal.
38|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
yang dibutuhkan konstan. Teknik ini lebih efisien dan praktis karena waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit dan proses perhitungan nilai koefisien korelasinya
berlangsung lebih cepat.
Daftar Pustaka
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|39
Decastro, E., et al. 1987. Compensation of Random Eye Motion in Television
Ophthalmoscopy: Preliminary Results. IEEE Trans. Medical Imaging, Vol.
MI-6, No. 1.
40|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Optimalisasi dan Standarisasi Sistem Pengolahan Data Satelit
Penginderaan Jauh SAR (Syntetic Aparture Radar) :
Pengembangan Metoda pengolahan Awal Data Penginderaan Jauh
SAR
Email:
katmoko_ari@yahoo.com, hgun1708@yahoo.com, msoleh76@gmail.com,
musyarofah@yahoo.com
Abstrak. Dalam rangka mendukung kebutuhan akan data penginderaan jauh SAR untuk
aplikasi di berbagai bidang, dan sebagai solusi atas keterbatasan dan kendala yang ada
pada data optik, serta tersedianya paket aplikasi pengolahan data SAR yang bersifat
open, diperlukan adanya optimalisasi dan standarisasi pengolahan data SAR berbasis
opensource. Dalam rangka optimalisasi dan standarisasi tersebut perlu dikaji tahapan
pengolahan dan paket aplikasi pengolahan data satelit penginderaan jauh SAR berbasis
opensource, sehingga tersedia dokumen teknis, hasil pengolahan dan paket software
pengolahan data inderaja SAR. Standarisasi pengolahan data penginderaan jauh SAR
kususnya untuk data intensitas meliputi konversi data, ortokoreksi, specle filtering,
ekstraksi feature, rgb-polarisasi, rgb-multitemporal, fusi data, dan klasifikasi yang
merupakan pengolahan dasar data inderaja SAR.
Sebagai studi kasus telah dilakukan pengolahan data ALOS-PALSAR level.1.5 daerah
gunung merapi dan dilakukan tahapan pengolahan konversi data, orto koreksi, filtering,
ekstraksi feature , rgb polarisasi dan klasifikasi dengan menggunakan paket software
ASF, RAT, POLSARPRO, OTB dan NEST. Hasil studi kasus menunjukkan orto koreksi
menggunakan metode FFT, speckle filtering dengan enhanced lee 5x5, rgb composite
polarisasi HH, HV,HH+HV memberikan asil yang optimal. Dengan adanya optimalisasi dan
standarisasi pengolahan data inderaja SAR tersebut diharapkan bisa dijadikan
rekomendasi pengolahan data satelit penginderaan jauh SAR dan semakin
termanfaatkannya data satelit penginderaan jauh SAR di berbagai bidang.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|41
Pendahuluan
Sensor PALSAR pada satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite) yang
diluncurkan pada tahun 2006 merupakan salah satu contoh sensor Synthetic
Aperture Radar (SAR) yang menyediakan data SAR baik single, dual maupun
quad polarization. Citra satelit SAR (Synthetic Aperture Radar) yang standar
pada dasarnya masih mengandung berbagai distorsi/kesalahan yang
diakibatkan oleh sistem pengakuisisian data dengan arah menyamping (side
looking imaging geometry) dan efek perbedaan tinggi berbagai obyek di
permukaan bumi. Untuk mengkoreksi/mengeliminasi kesalahan tersebut perlu
dilakukan koreksi terrain sebagai pemrosesan awal sebelum data tersebut
dipergunakan pada berbagai aplikasi selanjutnya terutama pada aplikasi yang
membutuhkan ketelitian geometrik yang tinggi. Selain itu karakteristik yang
umum pada citra SAR (Synthetic Aperture Radar) adalah timbulnya noise
speckle, yang tampak sebagai tekstur bintik-bintik terang-gelap yang
terdistribusi secara random dalam citranya yang timbul akibat interferensi
konstruktif dan destruktif diantara sinyal-sinyal hamburan balik dari berbagai
objek secara random dalam suatu sel/area tertentu yang disinarinya. Salah satu
cara untuk mereduksi noise tersebut adalah melalui proses pre-processing
speckle filtering. Dalam kaitannya dengan mode polarisasi, maka mode dual
polarization (yang terdiri atas kanal polarisasi HH dan HV) diyakini mampu
memberikan informasi yang lebih kaya dalam membedakan obyek dibandingkan
dengan mode single polarization. Namun demikian, khusus untuk keperluan
interpretasi visual dibutuhkan sedikitnya 3 kanal RGB (Red, Green dan Blue),
sehingga untuk mode dual polarization diperlukan 1 kanal tambahan yang dapat
dibentuk dari kombinasi kedua kanal yang tersedia.
42|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 1. Konsep Gerak Platform Pada SAR
Konsep gerak platform pada SAR merupakan metode yang digunakan untuk
memperoleh resolusi azimuth yang sesuai dengan ketinggian spacecraft. Pada
umumnya, sistem pada SAR didesain untuk mentransmisikan radiasi
gelombang mikro baik dengan polarisasi horisontal (H) ataupun polarisasi
vertikal (V). Gelombang yang ditransmisikan tiap polarisasi tersebut dapat
menimbulkan hamburan balik (backscattering) dengan jenis polarisasi yang
sama atau berbeda, tergantung pada interaksi gelombang dengan permukaan
obyek. Dengan demikian, ada empat kombinasi polarisasi yang mungkin terjadi,
yaitu:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|43
Gambar 2. Kombinasi Polarisasi Pada SAR
Sensor PALSAR pada satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite) yang
diluncurkan pada tahun 2006 merupakan salah satu contoh sensor SAR.
PALSAR menyediakan data SAR baik single, dual maupun quad polarization.
4
Pada Tabel 1 ditampilkan karakteristik PALSAR.
44|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tabel 1 Karakteristik PALSAR
Tujuan dari kegiatan penelitian disini meliputi; [1] Melakukan ujicoba koreksi
terrain data ALOS PALSAR (daerah Gunung MerapiMerbabu) dengan
menggunakan metode yang mengkombinasikan pembuatan citra simulasi SAR
berdasarkan data DEM (Digital Elevation Model) dan teknik registrasi citra ke
citra (image-image registration) antara citra SAR original dengan citra simulasi
tersebut. Dalam hal ini digunakan teknik transformasi Fourier (FFT: Fast Fourier
Transform) untuk mempersingkat waktu penghitungan korelasi diantara kedua
citra tersebut, [2] Mengkaji efektivitas penerapan beberapa metode speckle filter
dan pemilihan moving window serta mengevaluasi penggunaan jenis polarisasi
(HH, HV) dan perubahan parameter statistik citra hasil speckle filtering [3]
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|45
Mengkaji berbagai alternatif kombinasi yang dapat disusun untuk membentuk
citra komposit RGB dan analisis kemampuan masing-masing alternatif
kombinasi tersebut dalam membantu mendeteksi dan membedakan berbagai
obyek penutup lahan.
Metodologi Penelitian
Koreksi Terrain (Ortorektifikasi)
Metode yang dipergunakan dalam melakukan koreksi terrain dalam penelitian
ini adalah dengan mengkombinasikan pembentukan citra simulasi SAR dan
proses registrasinya menggunakan teknik transformasi Fourier. Dalam hal ini
diperlukan 2 input data yakni data SAR yang akan dikoreksi dan data DEM
(Digital Elevation Model) untuk daerah tersebut. Pada Gambar 1 ditunjukkan
data SAR dan data DEM yang dipergunakan dalam penelitian ini. Data SAR
yang dipergunakan adalah data ALOS-PALSAR, L-band, FBS (Fine Beam
Single) dengan polarisasi HH, resolusi 6.25m, daerah sekitar Gunung Merapi
Merbabu, yang diakuisisi pada 14 Desember 2009 (ascending direction).
Sedangkan untuk data DEM, secara ideal seharusnya digunakan data DEM
yang beresolusi sama dengan data SAR-nya, sehingga bisa didapatkan citra
hasil koreksi terrain dengan ketelitian yang lebih baik. Namun karena
keterbatasan data DEM yang beresolusi tinggi tersebut, dalam penelitian ini
hanya dapat dipergunakan data SRTM-DEM (Shuttle Radar Topography
Mission Digital Elevation Model) dengan resolusi 90 m, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3. Sebagai akibatnya, citra hasil koreksinya akan
mengikuti resolusi dari data DEM tersebut. Selain itu, pada data SRTM-DEM
seringkali masih terkandung hole (piksel yang tidak terisi data elevasi), sehingga
terlebih dahulu perlu dilakukan pengisian hole tersebut dengan
menginterpolasinya berdasarkan nilai-nilai piksel di sekitarnya.
46|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 3. Diagram alur metodologi pengolahan awal dara penginderaan jauh SAR, yang meliputi
Konver data, koreksi terrain (ortorektifikasi), speckle filtering dan rgb komposite multipolarisasi.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|47
Pada Gambar 3 ditunjukkan secara garis besar tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam melakukan koreksi terrain. Sebagian besar proses tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan kode ASF (Alaska SAR Facility) [3].
48|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
kedua citra dihitung dan selanjutnya dicari lokasi di mana inverse-nya mencapai
maksimum [4,5].
s o 2(0+y0 )
s o
=e
........................................................................ (1)
Ada dua jenis teknik pengurangan noise speckle, menurut Lee (1986). Yang
pertama adalah pengolahan multi-look yang bertujuan untuk meningkatkan
resolusi radiometrik namun berakibat pada berkurangnya resolusi spasial citra.
Teknik yang sederhana ini mampu mengurangi speckle secara efisien, tetapi
berakibat pada banyaknya informasi batas/tepi citra yang hilang. Untuk itu
dikembangkan cara lain yaitu menggunakan metode speckle filtering yang
bertujuan untuk menekan noise speckle di daerah citra yang seragam dan
untuk mempertahankan informasi batas/tepi citra misalnya, filter Lee (Lee,
1980), Enhanced Lee filter (Lopes et al, 1990.), Kuan filter (Kuan et al., 1985),
Filter Frost (Frost et al., 1982), Enhanced Frost filter (Lopes dkk, 1990) dan
Gamma MAP filter (Kuan et al, 1987), Local Sigma filter (Eliason dan McEwen,
1990) dan Bit Error filter (Eliason dan McEwen, 1990), dan lain sebagainya.
Masing-masing filter memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mereduksi noise
speckle. Penelitian ini membatasi perbandingan hanya terhadap keempat jenis
speckle filter antara lain yaitu Enhanced Lee filter, Enhanced Frost filter, Local
Sigma filter dan Bit Error filter.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|49
Lee Filter adalah filter berdasarkan standar deviasi yang menghitung nilai piksel
baru dengan statistik dihitung dalam jendela filter individu. Sedangkan
Enhanced Lee Filter adalah adaptasi dari filter Lee dan juga menggunakan
statistik lokal (koefisien variasi). Selanjutnya, masing-masing piksel yang
dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kelas: 1) kelas homogen, di mana
nilai piksel diganti dengan rata-rata jendela filter, 2) kelas heterogen, di mana
nilai piksel diganti dengan rata-rata tertimbang, atau 3) kelas target titik, di mana
nilai piksel tidak berubah.
Adapun Frost filter adalah filter sirkular simetris teredam secara eksponensial,
dimana perhitungan berbasis pada jarak dari pusat filter, faktor redaman dan
variansi lokal yang menentukan nilai piksel baru. Enhanced Frost filter sama
dengan Frost filter, hanya saja seperti halnya dengan Enhanced Lee filter, piksel
pertama dibedakan ke dalam tiga kelas. Local Sigma filter menggunakan
standar deviasi lokal untuk menentukan piksel yang valid dalam window filter,
dan kemudian menggantikan nilai piksel yang difilter dengan menghitung nilai
mean hanya dengan menggunakan piksel valid di dalam kotak filter. Bit Error
filter digunakan untuk menghilangkan noise bit-error, yang biasanya disebabkan
oleh piksel terisolasi yang memiliki nilai ekstrim yang tidak terkait dengan scene
citra.
Speckle filter ini diterapkan pada kedua citra dengan polarisasi HH dan HV.
Selain itu, untuk setiap speckle filter digunakan beberapa ukuran window (3x3,
5x5 dan 7x7) untuk mempelajari pengaruh window size pada karakteristik
tampilan kehalusan dan kemampuannya dalam menjaga informasi batas atau
tepi pada citra (edges).
Algoritma Pemfilteran
Oleh karena tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas
kinerja beberapa metode speckle filtering dan parameter ukuran window, maka
pendekatan sederhana untuk menghitung reduksi speckle noise diterapkan
pada beberapa sampling area. Dalam hal ini, dipilih empat segmen penutup
lahan sebagai sampling area yang mewakili daerah yang akan diteliti, seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.
50|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 4. Empat segmen yang dipilih sebagai sampling area (red, green, blue dan yellow)
(1) Normalized Mean (NM), untuk menguji kemampuan filter dalam menjaga
nilai rata-rata (mean) dari setiap segmen penutup lahan homogen (persamaan
1)
NM = ................................................................................................................................. (1)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|51
Di mana SD dan M berturut-turut adalah standar deviasi dan mean. Nilai STM
yang lebih kecil menunjukkan kemampuan yang lebih baik dari filter dalam
mereduksi speckle.
EEI = ....................................................................................................................(3)
Di mana dan berturut-turut adalah nilai piksel dari citra yang asli dan
yang difilter. Dan dan adalah nilai-nilai piksel yang saling
bertetangga dari setiap egde. EEI umumnya bernilai kurang dari 1 dan nilai EEI
tertinggi mengindikasikan kemampuan filter dalam menjaga informasi edge.
1. HH/HV
2. HH + HV
3. HH HV
52|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Hasil dan Pembahasan
Koreksi Terrain (ortorektifikasi)
Hasil koreksi terrain untuk data ALOS-PALSAR daerah Gunung Merapi-
Merbabu ditunjukkan pada Gambar 5. Dengan membandingkan data sebelum
dikoreksi (Gambar 5.a) dan setelah dikoreksi (Gambar 5.b) dapat dilihat bahwa
metode ini mampu mengurangi distorsi geometrik yang diakibatkan oleh efek
foreshorthening. Terlihat bahwa lereng gunung Merapi dan Merbabu yang
mengarah pada arah akusisi radar (sebelah kiri) yang semula tampak
termampatkan dapat dikoreksi ke posisi yang semestinya. Sedangkan untuk
efek shadow tidak dapat dilakukan karena memang untuk area tersebut tidak
terdapat sinyal balik radar yang terdeteksi oleh sensor SAR. Untuk mengatasi
efek shadow tersebut, harus dipergunakan data tambahan terutama data yang
diperoleh dari posisi akuisisi yang sebaliknya (dari sebelah kanan) [1].
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|53
Lebih jauh apabila diperhatikan secara visual, penampakan pada area
foreshortening jauh lebih terang bila dibandingkan pada bagian lain yang
mempunyai tutupan lahan sejenis. Hal ini timbul akibat sinyal radar pada bagian
tersebut dikembalikan jauh lebih kuat karena permukaan yang memantulkannya
hampir mendekati tegak lurus dengan arah sinyal datangnya. Oleh karenanya
perlu pula dilakukan koreksi radiometrik [2,3], sehingga nilai-nilai piksel pada
bagian tersebut selanjutnya dapat mendekati nilai piksel dari tutupan lahan yang
sejenis pada daerah yang relatif datar di sekitarnya.
Setelah proses filtering selesai maka diperoleh citra baru dengan kualitas
speckle noise yang berkurang sesuai dengan kinerja masing-masing speckle
filter. Gambar 6 berikut adalah gambar perbandingan kualitatif citra dual
polarisasi HH dan HV sebelum dan setelah dilakukan speckle filtering dengan
menggunakan empat jenis filter dan ukuran window yang berbeda-beda (3x3,
5x5 dan 7x7).
Dari Gambar 6 tersebut, terlihat secara kualitatif (visual) bahwa metode speckle
filtering menggunakan Enhanced Lee filter dan Enhanced Frost Filter dengan
ukuran window yang tidak terlalu besar, masing-masing berukuran 7x7 dan 5x5,
mampu memberikan hasil yang lebih optimal dibandingkan menggunakan Local
Sigma filter dan Bit Error filter. Kedua filter ini mampu menghilangkan noise
speckle berupa bintik-bintik terang gelap akibat proses interferensi pada citra
SAR, namun masih tetap menjaga informasi tentang batas-batas atau tepi pada
citra. Selain itu, secara visual juga terlihat bahwa dengan menggunakan
polarisasi HH, Enhanced Lee filter dan Enhanced Frost Filter juga mampu
mempertahankan kualitas informasi batas/tepi citra yang lebih baik dengan
polarisasi HH dibandingkan dengan polarisasi HV.
54|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Frost filter dan Enhance Lee filter dengan ukuran window 7x7 mampu
menghasikan tingkat reduksi speckle noise tertinggi, ditandai dengan nilai STM
terendah di antara keempat jenis filter. Dan untuk filter yang sama, namun
dengan ukuran window lebih kecil yaitu 5x5, ternyata kedua filter ini masih dapat
bekerja dengan baik meskipun dengan tingkat reduksi speckle noise yang
sedikit lebih rendah, namun masih cukup baik dalam hal mempertahankan nilai
mean pada keempat segmen. Sementara, Local Sigma filter dan Bit Error filter
menunjukkan kinerja yang relatif kurang baik dalam mereduksi noise
dibandingkan dengan Enhance Frost filter dan Enhance Lee filter. Selain itu,
Enhance Frost filter dan Enhance Lee filter dengan mode polarisasi HH lebih
baik dalam mempertahankan informasi tentang batas-batas tepi citra (edge
information) dibandingkan dengan mode polarisasi HV. Hal ini ditandai dengan
nilai EEI yang bernilai lebih besar pada polarisasi HH yang mengindikasikan
kenerja yang baik dalam mempertahankan kualitas informasi edge. Sementara
nilai EEI pada polarisasi HV bernilai lebih kecil dibandingkan pada polarisasi
HH, yang mengindikasikan adanya penurunan kualitas informasi edge, dimana
batas-batas citra cenderung terlihat kabur/blurring.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|55
HH_Enh_Lee3x3 HH_Enh_Lee5x5
HH_Enh_Lee7x7 HH_Enh_Frost3x3
Gambar 6. Perbandingan hasil beberapa metode speckle filtering dan window size
Image HV 1,00 0,345 1,00 0,367 1,00 0,337 1,00 0,328 1,000
Enhanced_Lee HH 1,00 0,178 1,00 0,202 1,01 0,179 0,99 0,194 0,438
3x3 HV 1,00 0,194 1,00 0,217 1,00 0,185 0,99 0,180 0,154
Enhanced_Lee HH 1,00 0,131 1,01 0,155 1,04 0,139 0,99 0,146 0,372
5x5 HV 1,00 0,146 1,00 0,171 1,01 0,153 0,99 0,135 0,120
Enhanced_Lee HH 1,00 0,107 1,02 0,138 1,07 0,134 0,99 0,122 0,497
7x7 HV 1,00 0,122 1,01 0,153 1,03 0,143 0,99 0,166 0,185
Enhanced_Frost HH 1,00 0,178 1,00 0,201 1,01 0,179 0,99 0,194 0,340
3x3 HV 1,00 0,194 1,00 0,217 1,00 0,189 0,99 0,180 0,327
Enhanced_Frost HH 1,00 0,131 0,98 0,151 1,04 0,139 0,99 0,146 0,195
56|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Area II Area III Area IV
Area I (red)
(green) (blue) (yellow)
Filters Pol. NM STM NM STM NM STM NM STM EEI
5x5 HV 1,00 0,145 1,00 0,171 1,01 0,153 0,99 0,135 0,287
Enhanced_Frost HH 1,00 0,107 0,97 0,134 1,07 0,135 0,99 0,122 0,112
7x7 HV 1,00 0,122 1,02 0,153 1,03 0,143 0,99 0,166 0,061
Local_Sigma HH 0,99 0,300 0,99 0,344 1,00 0,314 0,99 0,327 0,176
3x3 HV 0,99 0,314 0,99 0,347 1,00 0,315 1,00 0,307 0,132
Local_Sigma HH 0,99 0,281 1,00 0,321 1,00 0,282 0,99 0,307 0.156
5x5 HV 0,99 0,304 0,99 0,325 0,99 0,294 0,99 0,287 0,114
Local_Sigma HH 0,99 0,269 1,00 0,305 1,01 0,261 0,99 0,296 0,199
7x7 HV 0,99 0,293 1,00 0,312 1,00 0,278 0,99 0,276 0,127
Bit_Error HH 1,00 0,322 1,00 0,365 1,00 0,332 1,00 0,349 0,151
3x3 HV 1,00 0,345 1,00 0,367 1,00 0,337 1,00 0,328 0,105
Bit_Error HH 1,00 0,318 0,99 0,364 0,99 0,331 0,99 0,346 0,127
5x5 HV 0,99 0,342 0,99 0,365 0,99 0,337 0,99 0,327 0,116
Bit_Error HH 0,99 0,315 0,99 0,339 0,99 0,330 0,99 0,343 0,198
7x7 HV 0,99 0,339 0,99 0,362 0,99 0,335 0,99 0,325 1,174
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|57
Gambar 7. Perbandingan citra band HH dan band HV
Pada citra band HV yang terlihat pada Gambar 7, beberapa obyek pada bagian
atas citra penampakannya terlihat lebih cerah dibandingkan dengan yang lain.
Sedangkan pada citra band HH, obyek pada bagian atas citra tampak tidak
secerah obyek pada citra band HV. Polarisasi HV sensitif terhadap scattering
acak yang terjadi pada obyek. Scattering acak terjadi pada obyek dengan
permukaan yang kasar seperti vegetasi. Ketika sinyal radar mengenai obyek
dengan permukaan kasar, energi radar tersebut akan dihamburkan (scatter) ke
beberapa arah sekaligus, sehingga reflektansi yang terjadi akan tersebar
(diffuse). Permukaan vegetasi yang cenderung kasar akan menyebabkan
58|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
timbulnya scattering acak dan citra radar yang terbentuk akan terlihat lebih
cerah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa obyek pada citra bagian
atas merupakan vegetasi dengan ketinggian yang tidak homogen. Vegetasi juga
dapat dilihat dari pola obyek yang tidak berarturan dan tersebar.
Pada obyek dengan permukaan horizontal yang halus, sinyal radar yang
mengenainya akan dipantulkan menjauhi sensor. Sehingga, tidak akan ada
sinyal pantulan balik yang akan terdeteksi oleh sensor dan citra yang terbentuk
akan terlihat lebih gelap. Obyek- obyek seperti air atau jalan akan tampak gelap
pada citra radar. Pada Gambar 7, terlihat bahwa ada beberapa obyek yang
tampak gelap, baik pada citra band HH atau band HV. Jika dilihat dari pola
obyek yang tampak teratur, berbentuk persegi dan terkumpul pada area
tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa obyek tersebut merupakan area sawah
basah. Sedangkan area citra yang tampak tidak terlalu gelap kemungkinan
merupakan obyek dengan kelembaban yang cukup tinggi. Obyek berupa
sungai, danau, atau jalan tidak terlihat pada contoh citra pada Gambar 7. Pada
umumnya, obyek seperti sungai mempunyai pola yang panjang dan berkelok-
kelok. Sedangkan danau tampak dengan pola membentuk kurva dengan luas
tertentu. Obyek seperti jalan tampak dengan pola panjang dan lurus.
Dengan menggunakan citra asli dari band HH dan band HV, interpretasi citra
secara visual kadang sulit dilakukan. Hal ini terjadi karena warna yang tampak
pada citra asli kurang menarik dan perbedaan masing-masing obyek tidak
secara signifikan terlihat. Dengan tujuan untuk mempermudah pengguna dalam
memahami citra radar, diperlukan citra komposit warna RGB yang dapat
membantu interpretasi citra dan identifikasi obyek. Citra komposit warna RGB
dapat dibuat dengan mengkombinasikan citra band asli dan band sintesis citra
ALOS-PALSAR. Setelah dilakukan proses kombinasi citra diperoleh beberapa
citra komposit warna RGB. Pada Gambar 8 ditampilkan citra komposit warna
RGB hasil dari kombinasi polarimetri pada lokasi 1.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|59
Gambar 8. Citra Komposit Warna RGB Hasil Kombinasi Polarimetri Pada Lokasi 1
Dari Gambar 8 terlihat bahwa warna komposit RGB yang tampak pada
kombinasi polarimetri 1 dan 4 tidak berbeda terlalu signifikan. Pada kombinasi
4, tekstur citra tampak lebih halus dibandingkan pada kombinasi 1. Sehingga,
obyek-obyek pada citra kombinasi 4 dapat lebih mudah dibedakan karena
speckle noise yang timbul juga tidak terlalu banyak. Pada citra kombinasi 2,
komposit warna yang diperoleh berbeda dibandingkan ketiga kombinasi lainnya.
Warna yang terlihat juga berbeda dengan warna asli obyek. Perbedaan masing-
60|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
masing obyek cukup terlihat jelas tetapi obyek vegetasi agak sulit
diinterpretasikan karena warnanya tidak sama dengan warna aslinya. Obyek
vegetasi pada kombinasi 2 dapat diidentifikasi dengan lebih memperhatikan
tekstur dan tingkat kecerahan tone pada citra. Sedangkan pada citra kombinasi
3, komposit warna yang ditampilkan tampak lebih natural dan mendekati warna
asli untuk obyek-obyek seperti vegetasi, daerah pemukiman, lahan terbuka,
sawah dan ladang. Dengan demikian, interpretasi citra dan identifikasi obyek
pada citra lebih mudah dilakukan dengan menggunakan kombinasi ini. Pada
citra kombinasi 3, vegetasi tampak berwarna hijau, daerah pemukiman terlihat
berwarna merah terang, sawah tampak hitam. Lahan terbuka dan ladang juga
tampak terlihat dengan cukup jelas pada citra kombinasi 3. Lahan terbuka
terlihat berwarna coklat terang dengan pola tidak beraturan dan membentuk
kurva pada area tertentu. Sedangkan ladang tampak berwarna hijau gelap
dengan pola teratur dan terkumpul pada suatu area.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|61
Gambar 9. Citra Komposit Warna RGB Hasil Kombinasi Polarimetri Pada Lokasi
Hasil citra komposit warna RGB yang diperoleh terlihat berbeda. Hal ini terjadi
karena kombinasi polarimetri yang digunakan pada masing-masing citra tidak
sama. Perbedaan kombinasi polarimetri tersebut akan mempengaruhi
penampakan obyek dalam citra. Dengan menggunakan kombinasi polarimetri
yang berbeda, maka interaksi sinyal radar dengan obyek akan berbeda.
Sehingga, efek hamburan balik dari obyek dan energi pantulan yang terdeteksi
oleh sensor radar juga berbeda. Operasi aritmetika sederhana yang diterapkan
pada citra untuk membuat band sintesis juga mempengaruhi penampakan
obyek pada citra.
62|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
polanya. Sama seperti sungai, pada citra hasil kombinasi 1 dan 2, obyek jalan
tampak lebih jelas dan lebih mudah diidentifikasi. Pada Gambar 9 juga terlihat
obyek lain, pada daerah di sekitar tanda persegi yang ada pada citra. Obyek
tersebut merupakan bandara dengan landasan pacu yang sangat lebar dan
cukup panjang. Dengan perbedaan tone, warna, pola, bentuk, dan tekstur yang
terlihat pada citra komposit warna yang diperoleh dari kombinasi polarimetri
data ALOS-PALSAR, identifikasi obyek dapat dilakukan.
Penutup
[1] Teknik koreksi terrain dengan menggunakan metoda FFT ini mampu
memberikan hasil yang cukup memuaskan terutama dalam mengkoreksi efek
foreshortening (distorsi pada citra SAR yang terjadi pada area dengan
kemiringan/slope yang menghadap pada arah datangnya sinyal radar sehingga
luasan area tersebut tampak menjadi lebih pendek /termampatkan). Lebih jauh,
perlu juga dilakukan evaluasi secara lebih mendetail terutama secara kuantitatif
atas hasil-hasil yang diperoleh tersebut, koreksi radiometrik, dan juga ujicoba
pada daerah-daerah lain dengan kemiringan objek-objek yang beragam.
[3] Interpretasi citra dan proses identifikasi obyek pada citra dapat dilakukan
dengan memperhatikan perbedaan tone, warna, pola, bentuk dan tekstur yang
terlihat pada citra radar. Kombinasi band yang paling sesuai untuk identifikasi
obyek-obyek seperti vegetasi, daerah pemukiman, sawah, lahan terbuka dan
ladang adalah kombinasi HH, HV, (HH-HV). Sedangkan untuk identifikasi obyek
dengan tekstur permukaan horisontal yang halus, kombinasi polarimetri yang
dapat digunakan adalah kombinasi HH, HV, (HH/HV) atau kombinasi HH, HV,
(HH+HV).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|63
Daftar Pustaka
64|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
I
SAR,
DATA PROCESSING,
AND THE APPLICATION
Environment
and Disaster Management
This page intentionally left blank
A Review of Using SAR Imagery for Disaster Emergency Response
Abstract. The objective of this paper is to review the current status of using SAR
imagery for disaster emergency response from the collected literatures. This paper can
be used as a guide and reference for a reader and user to implement or improve a
methodology of using SAR Imagery for disaster emergency response. Several
methodologies of using SAR Imagery for disaster response have been developed and
made a great progress. Several SAR Imagery such as RADARSAT SAR, ENVISAT SAR, ALOS
PALSAR and TerraSAR-X have been mentioned in the collected literatures to analyses the
disaster emergency response. From the methodology and the data, the most common of
using SAR imagery for disaster emergency response is to detect the area of disaster such
as flood, tsunami, and other disaster quickly. The texture analysis is the most common
feature for that detection. The automatic classification of the disaster area is the most
current application of using SAR Imagery for disaster response. This show that the SAR
imagery is useful for the disaster response purpose and contributing on the disaster
management. The independent of SAR data from cloud and night time acquisition is the
big advantage of using this data for disaster emergency response which need a quick
data acquisition and assessment.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|65
Introduction
Remote sensing data has the advantage in terms of real time observation. This
data is able to provide specific information that is not provided by other data
sources, data collection with a little field work, and allows data collection in field
conditions are difficult to reach (Howard, 1991; Hartono, 2010). Remote sensing
sensors to get information about an object from a distance. The information
obtained from a number of energy coming from the object and received by the
sensor. Energy recorded by satellite sensors with a value that varies between
one object with another object. Energy is a vital ingredient as the conductor of
the information in remote sensing. Without this energy is then the information
will not be obtained by satellite sensors. Thus the existence of energy into the
sensor is a key point of obtaining information about objects on the earth. Basing
on this form of energy, remote sensing can be divided into two forms of remote
sensing systems are passive and active. Passive remote sensing systems that
use energy derived from the object. Energy can be a reflection of other sources,
which in this case usually is the sun. Emitted energy from the sun into the object
and then reflected towards the sensor. Satellite sensors in this system cannot
generate its own energy. Examples from several satellites with passive sensors
are LANDSAT, SPOT, ASTER, MODIS, NOAA, Quick Bird and Ikonos. Active
remote sensing system that uses energy derived from satellite sensors. Sensors
generate energy that is directed to objects, and then objects reflect back to the
sensor. The energy returned to the sensor carries information about the object.
A series of captured energy value sensor is stored as a database. Active remote
sensing system is not dependent on the presence of sunlight, because the
energy comes from the sensor. Examples from several satellites with active
sensors are the RADARSAT SAR, ENVISAT SAR, ALOS PALSAR, and
TerraSAR-X (Lillesand, T.M, et al, 2004).
66|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
the radar can operate day or night in weather conditions with microwaves can
penetrate clouds, smoke and rain (Woodhouse, 2006; Katmoko, A., et al, 2010).
SAR data have a great potential as a source of relevant and near real time
information for the early warning, mitigation and management of natural
disasters (Machiko, L., et al, 2006).
United Nations, type of emergency divides into three, namely: a) the disasters -
natural risk, b) disasters - technological risk, c) complex and compound
Emergencies. Disasters - natural is the type of emergency caused by the
presence of natural phenomena that have an impact on the environment and
human communities, such as: Earthquakes, volcanic, flood, landslides,
tsunamis, wild fires, hurricanes, storm surges, typhoons, food shortages and
drought. Disasters - a technological type of emergency caused by direct human
intervention such as: industrial, chemical spills and nuclear accidents (but not
war, terrorism and complex political crises). Compound and Complex
Emergencies is the type of emergency caused by civil war or armed conflict and
Unrest with widespread impact on civilian Populations, Often leading to massive
displacement of people across regions and national borders (Bernardo, 2007).
Limitation types of emergency that are used in this paper include disaster -
natural risk. Especially, the developing regions suffer their severe damage due
to lack of infrastructure and emergency services. The need for a real-time
disaster management is being acknowledged. The objective of this paper is to
review the current status of using SAR imagery for disaster emergency
response from the collected literatures. This paper can be used as a guide and
reference for a reader and user to implement or improve a methodology of using
SAR imagery for disaster emergency response. Several methodologies of using
SAR imagery for disaster response have been developed and made a great
progress. Several SAR imagery such as RADARSAT SAR, ALOS PALSAR,
TerraSAR-X and have been mentioned in the collected literatures to analyzes
the disaster emergency response. From the methodology and the data, the most
common of using SAR imagery for disaster emergency response is to detect the
area of disaster Such as flood, tsunami and other disaster quickly.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|67
various types of platform, sensors, and other systems, and followed by
increasingly breadth of scope of application. The use of SAR imagery for
disaster emergency response field of application is very supportive once in its
application, because the SAR system can operate day or night in weather
conditions with microwaves can penetrate clouds, smoke and rain. Some
applications using SAR imagery can be reviewed for the delivery of the disaster
emergency response:
Analysis of satellite data for flood inundation mapping is generally carried out by
visual interpretation or by digital image processing techniques. Visual
interpretation is based on the fact that water surface which is comparatively
smoother than the surrounding dry land, acts as a specular reflector, giving low
backscatter. Visual interpretation gives a reasonably accurate assessment of
spread of water (Sanyal and Lu, 2003). But as this is done manually, it
consumes lot of time especially when the area to be mapped happens to be
large (Matgen et al, 2007). In relief and rescue operations, information relating
to flood extent should not only to be accurate but also is to be provided as soon
as possible and it for this reason that visual technique inspite of being accurate
is often not used and flood extent mapping is carried out by some other
appropriate digital technique. In digital analysis, the applied technique classifies
each pixel into water and non-water categories by comparing their individual
reflectance value. Beside visual interpretation there are a number of automatic
information extraction algorithms that have been developed over the years in
order to extract information form satellite imagery. Thresholding is one of the
most commonly used techniques in active remote sensing to delineate flooded
areas from non flooded areas in radar image. A threshold value of radar
backscatter is set in decibel (dB) to determine whether a given pixel is flooded
or not. In this technique, intensities below a threshold value is regarded as
flooded where pixels with intensities above the threshold are regarded as non-
flooded. This threshold will depend on the contrast between the land and water
classes. The histogram of SAR image covering flood event often do not show a
clear distinction between two model flood and non-flood. Thus, the method of
choosing a threshold value by trial and error still enjoys a central position in
application of radar image segmentation (Gonzalez, et al., 2004). The choice of
a reliable threshold value was facilities by the availability of control point
68|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
measured at the inundation boundary. The contrast further depends on the
polarization, incidence angle of SAR system and the ground conditions as is
demonstrated by Hiroya, et al., 2006.
Change detection can be use as a power tool to detect flooded area in SAR
imagery. It is performed by acquiring two imageries taken before and after the
flood. Coherence and amplitude change detection techniques are applied in
SAR domain. In the amplitude approach, areas are delineated as flooded where
the radar backscatter is observed to be in considerable decline from before flood
to after flood imagery. In the coherence approach areas are generally identified
as flood where the coherence or correlation of radar backscatters from before
and after flood imagery are very low (Nico, et al., 2000). Multi-date SAR scenes
for the same area can be projected to red, green and blue channels to create a
color composite.
Ramsey, 1995 has used ERS SAR data to map the extent of coastal wetland in
Florida based on backscatter differences associated with high tide (flooded) and
low tide (non-flooded) conditions. Imhoff, et al., (1987) showed that SAR
imagery can be more effective than LANDSAT Images or aerial photograph
(color and infrared) for mapping flooded areas. They showed that SAR imagery
processed using simple density slicing or threshold techniques delineated
flooding in Bangladesh during the monsoon than LANDSAT imagery with better
precession. When verified by the aerial photograph, SAR imagery had an
accuracy of 85% compared with 64% by LANDSAT.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|69
inundation areas were extracted using SAR and multi-spectral images by visual
interpretation and digital analysis. The areal extent of flood inundation was 212
2 th 2 th 2 th
km on 4 , 178 km on 13 and 135 km on 20 September, 2003. The stage-
discharge relationships were established using the observed flood gauge and
discharge data. Using this relationship and observed gauge data for 5 years,
frequency analysis is carried out. Bu using hydrodynamic model, longitudinal
profile of the study area, water level and routed discharge along the river at
different reaches were generated, to know the flood inundation scenario. Digital
Elevation Models from ASTER and SRTM were used in this study to derive
cross-section in the flood plain. Comparison was made area using RADARSAT
SAR satellite data and the result of hydrodynamic model. Different methods for
representing error, to quantify uncertainty in digital elevation model (DEM) were
investigated.
Anupam, P., 2009 in research entitled Mapping of 2006 Flood Extent in Birupa
Basin, Orissa, India, Using Visual and Digital Classification Techniques on
RADARSAT Image: A Comparative Analysis. The region however suffers
heavily due to recurring flood during the monsoon months. Serious disruption of
functioning of society is caused as river overflows their embankments and flood
water races through almost level plain submerging agricultural fields and
villages along its way causing enormous damage to life and property. Floods
cannot be prevented but accurate information about them can reduce its
severity to large extent. Remote sensing technology in general and SAR images
in particular are known to be efficient and cost-effective when large areas
affected by flood are to be mapped and analyzed. The main objective of the
proposed work was to make a comparative analysis of different classification
techniques for flooded area extraction on RADARSAT images. Assessment of
accuracy and validation by appropriate method along with role of ancillary for
comparison of result were other issues discussed. Mapping of flood extent from
RADARSAT images was carried out using visual interpretation, thresholding
technique; rule based expert classification and neutral network. Result show that
visual interpretation was the most appropriate for flood extent mapping for relief
and rescue operations. Combining spectral and spatial information in rule based
expert classification has the potential of improving the result while neural
networks were appropriate if good knowledge and understanding of the area in
terms of surface condition was available. The study proposes that to extract
70|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
flood inundation maps from RADARSAT images, thresholding was more
appropriate than other tree techniques used but it should be kept in mind that
better result are achievable if ancillary information was available and time was
not a constraint. The threshold value, internal parameter and ancillary
information used in different techniques on 2006 images was applied on
RADASAT image of 2008 for the same area and it was found that have
contributes to errors in flood extent maps suitable in delineating irrigated paddy
field from flooded areas. Behavior of backscatter coefficient during the crop
growth cycle of paddy was used to delineate paddy fields from flooded areas.
Field information was used for accuracy assessment and for explaining the
result of flood inundation extraction by different techniques, so that the strength
and limitations of different techniques were identified. Validation of result was
done by RADARSAT image of the same area acquired in 2008.
Asep, S., and Katsuaki, K., 2010 in research entitled Detail Mapping of
Pyroclastic Flow Deposits by SAR Data Processing for an Active Volcano in the
Torid Zone, using a combination Synthetic Aperture Radar (SAR) and
geospatial method. By this combination data could reduce the speckle effect
from the SAR data and then estimate roughness distribution of the pyroclastic
flow deposits. The main purpose of this study is to detect spatial distribution of
0
new pyroclastic flow deposits termed as P-zone accurately using data from
two RADARSAT-1 SAR level-0 data. Single science of Hyperion data and field
observation were used for cross-validation of the SAR results. Mt. Merapi in
central Java, Indonesia, was chosen as a study site and the eruptions in May-
June 2006 were examined. The P-zones were found in the western and
southern flanks. The area size and the longest flow distance were calculated as
2
2.3 km and 6.8 km, respectively. The grain size variation of the P-zone was
mapped in detail from fine to coarse deposits regarding the C-band wavelength
of 5.6 cm.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|71
surface caused by this earthquake and source parameters of causative fault,
were studies in this research using three different techniques: Synthetic
Aperture Radar Interferometry (InSAR), Sub-pixel Correlation Technique (SCT)
and Geophysical Inversion problem and different image data sets of optical and
Radar sensors. None of these techniques offer a complete study of seismic
event, and hence, these tree techniques were employed here to study the
earthquake from different perspectives. Result, from both optical and radar
sensors have been compared in each section. The result was also compared
with result from other similar studies. InSAR was applied to ENVISAT SAR and
ALOS PALSAR image data sets, in ascending and descending passes, to reveal
deformation along the satellite line of sight direction. The Enhanced Lee filer
was applied to ALOS PALSAR interferograms to remove temporal noises. The
result from both the ENVISAT and the ALOS data sets are strongly supportive,
the former data set shows more subsidence in the satellite line of sight direction.
Maximum 28.1 cm subsidence along the satellite line of sight was observed on
the descending interferogram from the ENVISAT SAR data set, to the north-
west of Onna village.
72|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
d) SAR Imagery for Landslide Applications
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|73
classification steps. The results of this research are promising, especially the
SAR techniques based on TerraSAR-X gave highly accurate results with more
than 85% overall accuracy and low omission and commission errors.
Conclusion
Based on the description of references and a few studies that have been done
related to SAR Imagery, it can be concluded that in general the use of SAR
imagery can be used to support emergency response disaster like flood,
landslide, volcano, tsunami and other disaster. The use of SAR imagery for
disaster emergency response field of application is very supportive once in its
application, because the SAR system can operate day or night in weather
conditions with microwaves can penetrate clouds, smoke and rain. The
combination of the use of optical images with the SAR is very supportive of each
other to help the clarity of information on an object. SAR satellite data analysis
can be done by visual interpretation or digital image processing. For example
flood applications, visual interpretation are based on the fact that which surface
water is comparatively smoother than the surrounding dry land, acts as a
specular reflector, giving low backscatter. In digital analysis, the applied
technique classifies each pixel into water and non-water categories by
comparing their individual reflectance values. Threshold is one of the most
commonly used techniques in active remote sensing to delineate flooded areas
from non-flooded areas in the radar image. A threshold value of radar
backscatter is set in decibels (dB) to determine whether a given pixel is
"flooded" or "non-flooded".
References
Machiko, L., et al, 2006. Use of SAR Data for Natural Disaster Mitigation in The
Mobile Environment. Report project National Technology Agency of
Finland (TEKES).
Katmoko, A. et al, 2010. Pemrosesan Awal Koreksi Terrain Data ALOS
PALSAR dengan Menggunakan Data DEM dan Teknik Regestrasi Citra
Berdasarkan Fast Fourier Transform (FFT). Prosiding MAPIN XVII 2010.
74|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., Chipman, J.W., 2004. Remote Sensing and Image
Interpretation. New York : John Wiley & Sons.
Sanyal, J., Lu, X.X., 2003. Application of Remote Sensing in Flood Management
with Special Reference to Monsoon Asia. A Review. Natural Hazard,
33:283-301.
Bernardo, B., 2007. GMES Fast Track Emergency Response Core Service and
Strategic Implementation Plan. ERCSIG European Commission.
Hartono, 2010. Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Global
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding MAPIN XVII 2010.
Shailesh, K.S., 2004. Analysis of Uncertainties in Digital Elevation Models in
Flood (Hydraulic) Modelling. International Institute for Geo-information
Science and Earth Observation ITC, Master of Science in Natural Hazard
Studies.
Anupam, P., 2009. Mapping of 2006 Flood Extent in Birupa Basin, Orissa, India,
Using Visual and Digital Classification Techniques on RADARSAT Image:
A Comparative Analysis. International Institute for Geo-information
Science and Earth Observation ITC, Master of Science in Natural Hazard
Studies.
Matgen, P., et al., 2007. Integration of SAR-derived river inundation area, high-
precision topographic data and a river flow model toward near real-time
flood management. International Journal of Applied Earth Obervation and
Geoinformation, 9(3): 247-263.
Gonzalez, R.C., et al., 2004. Digital Image Processing using Matlab. Prentice
Hall, New Jersey.
Hiroya, Y., 2006. Evaluation of various satellite sensors for waterline extraction
in a coral reef environment: Majuro Atoll, Marshall Island. Geomorphology,
82(3-4): 398-411.
Nico, G., et al., 2000. Comparison of SAR amplitude vs. coherence flood
detection method A GIS application. International Journal of Remote
Sensing, 21(8): 1619-1631.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|75
Ramsey, E.W., 1995. Monitoring flooding in coastal wetlands by using radar
imagery and ground-based measurements. International Journal of
Remote Sensing, 16:2495-2502.
Imhoff, M.L., et al., 1987. Monsoon flood boundary delineation and damage
assessment using space borne imaging radar and LANDSAT data.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 53: 405-413.
Khomarudin, R., Strunz, G., Ludwig, R., Post, J., Zosseder, K., Esch, T.,
Indrajit, A., 2009. Settlement Area Mapping Using Optical and Synthetic
Aperture Radar (SAR) Remote Sensing Imagery to Support Tsunami Risk
Assessment. American Geophysical Union, Fall Meeting 2009, abstract
#NH43C-1340.
Asep, S., and Katsuaki, K., 2010. Detailed Mapping of Pyroclastic Flow Deposits
by SAR Data Processing for an Active Volcano in the Torrid Zone.
International Journal of Engineering and Applied Sciences 6:1 2010.
Mohammad, A.G, 2010. Detection and Measurement of Land Deformations
caused by Seismic Event using InSAR, Sub-pixel correlation and Inversion
Technique. International Institute for Geo-information Science and Earth
Observation ITC, Master of Science in Natural Hazard Studies.
Lalan, P.S., 2003. Application of SAR Interferometry in Landslide Studies with
Special Reference to Generation of Input Data for Statistical Susceptibility
Assessment. International Institute for Geo-information Science and Earth
Observation ITC, Master of Science in Natural Hazard Studies.
Gustavo, A.A.L., 2005. Earthquake Induced Urban Damage Analysis Using
Interferometry SAR data. International Institute for Geo-information
Science and Earth Observation ITC, Master of Science in Natural Hazard
Studies.
76|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Simulasi Bahaya Pyroclastic Gunung Merapi Berdasarkan Model
Energy Cone dari Data DEM SRTM
Email:
parwati_s@yahoo.com
Abstract. The eruption of Merapi Volcano in late 2010 has brought many victims of both
life and enormous material. Thousands of people were evacuated to a safe place from
the dangers of Merapi Volcano eruption. Until now, the harmful effects of the eruption
is still felt by the citizens of Yogyakarta, Magelang and surrounding areas with a lahar
flow that destroyed some vital facilities such as bridges and houses. The main hazard of
Mount Merapi in 2010 was pyroclastic flow or known in science as Pyroclastic Density
Current (PDC). In this study simulated pyroclastic done by using the concept of Energy
Cone. The principle is that the height of the starting point of the flow (Hc) ratios to the
length of the runout (L) as a type of friction parameter termed the Heim coefficient.
The inclination of the energy cone is an angle (c) defined by arctan (Hc/L). The data
used is the Digital Elevation Model data from the Shuttle Radar Topography Mission (DEM
SRTM) which has a spatial resolution of 30 m. The simulations performed using the
parameters of the Colima Volcano Heim Coefficient (Mexico) which has the same type
eruption with Merapi. The Heim coefficients were 0.41 and 0.47, equivalent to = 22
and 27 . The collapse equivalent height (Hc) used for simulated the pyroclastic flows
were from 100-1000 m with intervals of 100 m. The results show that the PDC hazard
zone by using the Heim coefficient 0.41 and Hc 1 km would have a length of PDC flow as
far as 7.5 km from the vent , whereas if the coefficient Heim 0.47 will have a length of
the PDC flow as far as 5.8 km. The overlayed of RGB ALOS PALSAR before and after the
eruption in November 2010 with PDC hazard zones shows that the region affected by
PDC located in the southeast region (Cangkringan, Sleman District). The Energy Cone
model only shows the radius of PDC hazard zone in one-dimensional from vent. This
model is not yet considering the viscosity, the friction of rocks, and wind, but in
practice this model can be used to determine hazard zone of PDC.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|77
Abstrak. Kejadian letusan gunung Merapi pada akhir tahun 2010 membawa banyak
korban baik jiwa maupun material yang sangat besar. Ribuan orang dievakuasi ke
tempat yang aman sehingga selamat dari bahaya letusan gunung merapi. Hingga saat ini
efek bahaya letusan gunung Merapi masih dirasakan oleh warga Yogyakarta, Magelang
dan sekitarnya dengan aliran lahar dingin yang menghancurkan beberapa sarana vital
seperti jembatan dan rumah penduduk. Jenis bahaya primer yang terjadi di Gunung
Merapi pada tahun 2010 adalah aliran pyroclastic. Pada penelitian ini simulasi bahaya
pyroclastic dilakukan dengan menggunakan konsep Energy Cone yang prinsipnya
menghitung rasio antara ketinggian titik awal aliran terhadap panjang aliran /runout
atau yang dikenal dengan Heim Coefficient. Data yang digunakan adalah data Digital
elevation Model dari Shuttle Radar Topography Mission (DEM SRTM) yang mempunyai
resolusi spasial 30 m. Simulasi dilakukan dengan menggunakan parameter Heim
Coefficient dari Colima Volcano (Mexico) yang tipe erupsinya sama dengan Merapi yaitu
0.41 dan 0.47 atau setara dengan 22 dan 27, selain itu digunakan ketinggian aliran
pyroclastic yang disimulasikan dari 100 1000 m dengan interval 100 m. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa zona bahaya pyroclastic dengan menggunakan Heim coefficient
0.41 ( 22) dan ketinggian awal letusan pyroclastic 1000 m akan mempunyai panjang
aliran sejauh 7.5 km dari titik puncak kawah (vent), sedangkan jika Heim coefficient
0.47 ( 27) dengan ketinggian pyroclastic uang sama (1000 m) akan mempunyai
panjang aliran sejauh 5.8 km. Hasil simulasi PDC selanjutnya diintegrasikan dengan RGB
ALOS PALSAR sebelum dan sesudah letusan November 2010, dimana terlihat bahwa dari
radius bahaya PDC yang dianalisis dari puncak Merapi, wilayah yang terkena dampak
kerusakan letusan adalah di wilayah tenggara, yaitu di wilayah Kecamatan Cangkringan
Kabupaten Sleman. Model Energy Cone ini hanya menampilkan bahaya pyroclastic secara
1 dimensi yaitu berupa zonasi daerah bahaya secara radial dari titik puncak. Model ini
belum memperhatikan kondisi viskositas, gesekan batuan, dan angin, namun secara
praktis model ini dapat digunakan untuk menentukan zonasi bahaya secara radius dari
puncak gunung.
78|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Pendahuluan
Kejadian letusan gunung Merapi pada akhir tahun 2010 membawa banyak
korban baik jiwa maupun material yang sangat besar. Ribuan orang dievakuasi
ke tempat yang aman sehingga selamat dari bahaya letusan gunung merapi.
Hingga saat ini efek bahaya letusan gunung Merapi masih dirasakan oleh warga
Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya akibat aliran lahar dingin yang
menghancurkan beberapa sarana vital seperti jembatan dan rumah penduduk.
Jenis bahaya primer yang terjadi pada letusan Gunung Merapi November 2010
adalah aliran pyroclastic. Aliran pyroclastic yang dikenal ilmiah sebagai
kepadatan arus pyroclastic (PDC) adalah aliran yang bergerak sangat cepat
berupa gas panas (yang dapat mencapai suhu sekitar 1000 C (1830 F)), abu
vulkanik dan batuan (secara kolektif dikenal sebagai tephra), dengan kecepatan
umumnya mencapai 700 km / h (450 mph) (Wikipedia, 2011). Tipe aliran
pyroclatic Merapi menurut Newhall et al (2000) terdiri dari 2, yaitu Explosive
pyroclastic flows (letusan awan panas vertikal) dan Dome-collapse pyroclastic
flows (awan panas guguran). Aliran pyroclastic Merapi biasanya mencapai 8 9
km dari puncak, dan pada jarak rata-rata 20 km bercampur dengan lahar dan
deposit tephra (Itoh et al, 2000 dalam Tandang, 2010). Bahaya-bahaya ini
memiliki resiko yang sangat tinggi, jika terjadi di wilayah yang padat penduduk
dan banyak infrastruktur yang penting di daerah tersebut. Oleh karena itu,
dipandang sangat penting untuk dapat memetakan zona bahaya akibat letusan
gunung api tersebut.
Dalam kondisi darurat ketika gunung api mulai memberikan tanda-tanda akan
meletus, diperlukan pemetaan cepat untuk menentukan zonasi bahaya gunung
api. Sejauh ini dalam kondisi darurat, penentuan zona bahaya secara praktis
dilakukan berdasarkan radius kilometer dari puncak misalnya dari 5 km, 10 km,
15 km, hingga 20 km. Namun secara ilmiah zonasi radius bahaya pyroclastic
dapat dilakukan dengan menggunakan model simulasi bahaya berdasarkan
data penginderaan jauh. Salah satu metode yang dapat diaplikasikan adalah
model energy cone. Konsep ini pada awalnya ditujukan untuk analisis longsor
(Hs 1975), kemudian dikembangkan beberapa fenomena lain seperti PDC
(Malin dan Sheridan 1982; Hayashi dan Self 1992) dan puing-puing longsoran
(Siebert 1984). Model Energy Cone menggunakan konsep 'energi garis / energy
line' yang menghubungkan lokasi sumber fenomena tersebut dengan jarak
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|79
batas deposit aliran. Model ini sangat praktis untuk digunakan dalam
memberikan peringatan zonasi bahaya secara cepat dalam kondisi darurat.
Model Energy Cone telah diaplikasikan pada beberapa gunung yang
mempunyai tipe letusan PDC, diantaranya adalah Soufriere Hills volcano,
Montserrat (West Indies), Arenal volcano (Costa Rica), daerah gunung api
Campi Flegrei (Italy), St. Helens (USA) oleh para peneliti Toyos et al (2007),
Felfeto et al (2007), Alberico et al (2002), Sheridan et al (2000). Terkait dengan
tipe letusan terakhir Merapi yang terjadi pada November 2010 yang berupa
aliran pyroclastic, maka penelitian ini ditujukan untuk mengaplikasikan metode
energy cone dalam menentukan zonasi radius bahaya pyroclastic di Gunung
Merapi berdasarkan data satelit penginderaan jauh DEM SRTM.
Konsep Energy Cone secara deskriptif dan matematis dijelaskan pada Gambar
1a dan 1b. Gambar 1a merupakan konsep Energy Cone dari letusan gunung api
yang mengeluarkan aliran pyroclastic yang dikemukakan oleh Sheridan dan
Malin (1983), sedangkan Gambar 1b merupakan ilustrasi aliran pyroclastic
secara matematis berdasarkan konsep Energy Cone yang sudah dilengkapi
dengan variabel-variabel yang ditambahkan di dalam Gambar 1b untuk
memperjelas penurunan rumus untuk mengetahui jarak maksimum yang
terkena efek aliran pyroclastic dari puncak gunung. Adapun secara perhitungan
secara matematis konsep Energy Cone dapat dilihat pada rumusan berikut:
80|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Dimana, Hmax = Ho + Hc .................................................................................................................... (2)
Ketinggian suatu pixel yang terpengaruh oleh energy cone jika hij > 0
hij = HT ho
dimana:
(a)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|81
d
H
Hmax
HT
(b)
Ilustrasi model energy cone secara 1 dimensi, 2 dimensi dan 3 dimensi dapat
diperlihatkan pada Gambar 2 berikut ini.
vent
dmax
1 -Dimensi
3 -Dimensi
2-Dimensi
Gambar 2. Ilustrasi Model Energi Cone secara 1 dimensi, 2 dimensi dan 3 dimensi (Alberico et al,
2002)
82|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
DEM SRTM
Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang diterbangkan pada Space
Shuttle Endeavour pada Februari 2000 (STS-99) merupakan proyek bersama
dari National Aeronautics and Space Administration, National Geospatial
Intelligence Agency (NGA) Departemen Pertahanan AS (DoD), dan DLR.
Tujuan SRTM adalah untuk memperoleh model elevasi digital permukaan bumi
pada wilayah antara 60 lintang utara dan 56 lintang selatan, sekitar 80
persen dari permukaan tanah di bumi yang selanjutkanya dikenal sebagai DEM
(digital elevation Model) SRTM. Secara kuantitatif, produk kartografi yang
berasal dari data SRTM itu harus sampel di atas grid sekitar 30 x 30 m, dengan
kesalahan tinggi vertical absolut maksimal 16 m, dan kesalahan sirkular
absolute maksimal 20 m. Kesalahan ketinggian relatif X-band data SRTM
adalah kurang dari 6 m. Semua kesalahan berada pada tingkat kepercayaan
90%, sesuai dengan National Map Accuracy Standards (NMAS). Spesifikasi ini
sama dengan DEM 30 m yang diproduksi oleh US Geological Survey sebagai
bagian dari Dataset Elevation Nasional (www.jpl.nasa.gov/srtm/)
Pada SRTM digunakan dua sistem radar aperture sintetik (SAR), yaitu sistem
C-band (5,6 cm; C-RADAR) dan sistem X-band (3,1 cm; X-RADAR). NASA Jet
Propulsion Laboratory (JPL) bertanggung jawab untuk C-RADAR dan
didistribusikan melalui United States Geological Survey yang EROS Data
Center. DLR dengan Astrium (sebelumnya Dornier Satellitensysteme, GmbH),
kontraktor untuk ruas angkasa X-band, bertanggung jawab untuk X-RADAR.
Tujuan operasional C-RADAR adalah untuk menghasilkan cakupan pemetaan
DEM secara global seperti yang disebut oleh tujuan misi. Data dari radar X-
band digunakan untuk membuat DEM resolusi sedikit lebih tinggi tapi tanpa
cakupan global dari radar C-band. SRTM X-band data radar sedang diproses
dan didistribusikan oleh Pusat Aerospace Jerman, DLR
SRTM30 adalah data DEM yang berasal dari kombinasi data SRTM dan
GTOPO30 Geological Survey US. Dengan kata lain SRTM30 merupakan
penajaman data SRTM dengan data GTOPO30. Data SRTM30 tersedia untuk
umum melalui US Geological Survey yang EROS Data Center. Data dapat
didownload atau dipesan melalui server di http://seamless.usgs.gov/, atau
http://edc.usgs.gov/products/elevation/ srtmdted.html.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|83
Data dan Metode
Data
Data satelit yang digunakan adalah DEM SRTM dengan resolusi 30 m di
wilayah Gunung Merapi yang terletak di antara Propinsi DIY dan Jawa Tengah
yang meliputi wilayah Kabupaten Magelang, Sleman, Klaten, dan Boyolali
(Gambar 3). Data DEM SRTM akan digunakan untuk merepresentasikan
ketinggian topografi pada suatu pixel yang dapat dipengaruhi oleh aliran PDC
berdasarkan konsep Energy Cone. Selain itu untuk mengetahui kondisi penutup
lahan sebelum dan sesudah letusan pyroclastic Gunung Merapi, digunakan data
ALOS PALSAR tanggal 27 April 2007 (sebelum meletus) dan tanggal 5
November 2010 (sesudah meletus). Data batas administrasi dan ketinggian dari
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Bakosurtanal juga digunakan untuk
menunjukkan lokasi titik puncak Merapi, serta data SPOT-4 tanggal 24 Juni
2009 untuk menentukan lokasi vent Merapi.
Gambar 3. DEM SRTM wilayah studi Gunung Api Merapi. (Keterangan : garis berwarna jingga
merupakan batas administrasi kabupaten, garis berwarna putih merupakan batas administrasi
kecamatan, titik berwarna merah merupakan titik vent Merapi).
84|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Metodologi
Metode yang digunakan untuk mensimulasikan aliran pyroclastic adalah metode
Energy Cone. Konsep Energy Cone dapat dioperasikan melalui open source
software Volcanic Risk Information System (VORIS) versi 2.0.1 yang
dikembangkan oleh Alicia Felfeto (2009). VORIS merupakan perangkat lunak
berbasis GIS untuk menentukan hazard (bahaya) gunung api. Fungsi utamanya
adalah untuk membuat skenario resiko bencana gunung api dan pemetaan
bahaya gunung api berdasarkan simulasi bahaya, seperti abu vulkanik, aliran
lava, densitas pyroclastic. Selain itu VORIS versi 2.0.1 juga dapat digunakan
untuk mengetahui susceptibility (kepekaan) gunung api. Pada penelitian ini
penggunaan VORIS 2.0.1 ditujukan untuk simulasi aliran PDC.
Input yang digunakan dalam simulasi aliran PDC dengan software VORIS
adalah sebagai berikut:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|85
Gambar 4. Lokasi vent Merapi (titik merah) dilihat dari data citra komposit satelit SPOT-4 dengan
RGB SWIR-NIR-RED.
3. Data simulasi ketinggian pyroclastic dari puncak (Hc) serta sudut inclinasi
Energy Cone () yang diambil dari nilai Heim Coefficient ( = arctan H/L).
Karena keterbatasan pengukuran di lapangan, maka digunakan nilai Heim
Coefficient Gunung Colima Volcano (Mexico) yang tipe erupsinya sama
dengan Merapi (Saucedo et al. 2005) seperti yang terlihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1 Ketingian pyroclastic, jarak maksimum runout dan Heim Coefficient pada letusan Gunung
Colima, Mexico yang digunakan sebagai acuan Merapi (Saucedo et al. 2004).
Tahun Hc(km) Runout (km) Heim H/L
1913 1.6 3.5 0.41
1991 1.8 4.0 0.44
1998 1.9 4.5 0.40
1998 1.4 3.0 0.47
Berdasarkan acuan Gunung Colima Mexico tersebut maka untuk Merapi akan
dicoba input simulasi untuk Hc dari 100 1000 m dengan interval setiap 100 m,
dengan Heim Coefficient 0.41 ( = 22) dan 0.47 (= 27).
86|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
citra komposit ALOS PALSAR untuk mengetahui sejauh mana simulasi bahaya
PDC mengakibatkan kerusakan.
Gambar 5. Hasil simulasi PDC dengan Hc 100 1000 m interval 100 m dengan sudut inclinasi
Energy Cone 22 (kanan) dan 27 (kiri) yang dioverlay dengan data DEM SRTM.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|87
Kondisi Penutup Lahan akibat Pyroclastic dari ALOS PALSAR
Berdasarkan data ALOS PALSAR sebelum (27 April 2007) dan sesudah
meletus (5 November 2010) dapat dilihat adanya perubahan kondisi penutup
lahan akibat letusan Gunung Merapi yang ditandai dengan polygon berwarna
merah (Gambar 6). Pada polygon yang ditandai warna merah terdapat
kenampakan berwarna hitam pada citra ALOS PALSAR tanggal 5 November
2010, sedangkan kondisi lahan pada citra ALOS PALSAR tangal 27 April 2007
(sebelum terjadi letusan) masih menampakkan kondisi yang sama dengan
daerah sekitarnya. Adanya perubahan kenampakan citra pada daerah polygon
merah yang terlihat pada citra ALOS PALSAR tanggal 5 November 2010 dapat
dinyatakan sebagai daerah yang terkena dampak letusan pyroclastic Merapi.
Pada Gambar 6 dapat dilihat tingkat kerusakan yang cukup tinggi terjadi di
wilayah Hargobinangun (bagian hulu) dan Umbulharjo (bagian hilir) di
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Gambar 6. Citra Satelit ALOS PALSAR sebelum meletus (27 April 2007) dan setelah meletus (05
November 2010)
Analisis data dengan ALOS PALSAR dilakukan juga dengan membuat citra
komposit RGB dengan komposisi sebagai berikut: RED layer : ALOS PALSAR
27 April 2007, GREEN layer : ALOS PALSAR 5 November 2007, BLUE layer :
88|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
ALOS PALSAR 5 November 2007. Hasil citra komposit tersebut dapat dilihat
pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat jelas daerah yang mengalami
kerusakan akibat letusan pyroclastic Gunung Merapi ditandai dengan warna
merah yang berlokasi di sekitar wilayah Hargobinangun dan Umbulharjo di
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sedangkan warna cyan
diasumsikan sebagai daerah yang terkena sebaran abu vulkanik.
Gambar 7. Citra RGB Komposit ALOS PALSAR sebelum meletus (27 April 2007) dan setelah
meletus (05 November 2010).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|89
daerah yang mengalami kerusakan adalah sekitar 16-17 km dari puncak. Hal ini
berarti bahwa letusan pyroclatic yang terjadi pada November 2010 mencapai
lebih dari 1 km pada puncak Merapi, karena zonasi PDC yang dihasilkan oleh
simulasi masih kurang mencapai radius 17 km dari puncak. Selain itu zonasi
bahaya PDC yang dihasilkan dari model Energy Cone hanya berupa radius dari
puncak, dan belum dapat memberikan informasi prediksi arah aliran pyroclastic,
sehingga analisis lain seperti geomorfologi atau mengenai perubahan arah
aliran dari puncak Merapi perlu diteliti kembali sebagai suatu input untuk
memprediksi arah aliran pyroclastic. Parameter lain seperti pengaruh gaya
gesekan permukaan, arah angin, dan viskositas material perlu dipertimbangkan
untuk analisis lebih lanjut.
Gambar 8. Hasil simulasi PDC dengan Hc 100 1000 m interval 100 m dengan sudut inclinasi
Energy Cone 22 (kanan) dan 27 (kiri) yang dioverlay dengan data ALOS PALSAR sebelum meletus
(27 April 2007) dan setelah meletus (05 November 2010).
90|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
RGB ALOS PALSAR sebelum dan sesudah letusan November 2010, terlihat
bahwa dari radius bahaya PDC yang dianalisis dari puncak Merapi, wilayah
yang terkena dampak kerusakan letusan adalah di wilayah tenggara, yaitu di
wilayah Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman.
Daftar Pustaka
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|91
J.N. Rubin, M., Syudi, S.D., Sukhyar, R., Tilling, R.I., Torley, R., Trimble,
D., Wirakusumah, A.D., 2000. 10,000 Years of Explosive eruptions at
Merapi Volcano, Central Java: Archaeological and modern implications.
Journal of Volcanology and Geothermal Research. Vol. 100 (1-4):9-50.
Saucedo R, Mac as JL, Sheridan MF, Bursik MI, Komorowski JC. 2005.
Modelling of pyroclasticflows of Colima Volcano, Mexico: Application to
hazard assessment. J Volcanol Geotherm Res139:103115
Sheridan M, and Malin M. 1983. Application of computer-assisted mapping to
volcanic hazard evalu-ation of surge eruptions: Vulcano, Lipari. J Volcanol
Geotherm Res 17:187202.
Sheridan MF, Hubbard B, Carrasco-Nunez G, Siebe C. 2004. Pyroclastic Flow
Hazard at Volca nCitlalte petl. Natural Hazards 33:209221
Siebert, L. 1984. Large volcanic debris avalanches: Characteristics of source
areas, deposits and associated eruptions. J Volcanol Geotherm Res
22:163197
Shuttle Radar Topography Mission. SRTM_paper.pdf. www.jpl.nasa.gov/srtm/
Tandang Y. 2010. A Local Spatial Data Infracstructure to Support The Merapi
Volcanic Risk Management; A Case Study at Sleman Regency, Indonesia.
Thesis. UGM. International Institute For Geo-Information Scince and Earth
Observation.
Toyos, G. P., P.D. Cole, A. Felpeto, J. Mart. 2007. A GIS-based methodology
for hazard mapping of small volume pyroclastic density currents. Nat
Hazards (2007) 41:99112. Springer Science.
Wikanti, A. H. Noviar, Suwarsono. 2004. Pengembangan Metode Zonasi
Daerah Bahaya Letusan Gunung Api Studi Kasus Gunung Merapi. Jurnal
Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital. Vol. 1. No.1. Juni
2004:66-75.
Wikipedia, 2011.
92|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
I
SAR,
DATA PROCESSING,
AND THE APPLICATION
Natural Resources
This page intentionally left blank
Pemantauan Wilayah Peri-Urban Dengan TerraSAR-X: Studi Kasus
Sidoarjo, Jawa Timur
1 2 1
Arif Nofyan Syah , Bambang H. Trisasongko , Hari Agung
1
Departemen Ilmu Komputer. Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680.
2 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 16680
Email:
arif.nofyan.syah@gmail.com
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|93
Pendahuluan
Wilayah Peri-Urban yang berkonotasi sebagai wilayah yang berada di sekitar
kota dapat diartikan juga sebagai wilayah Pra-Urban. Istilah ini mengandung
makna bahwa wilayah peri-urban merupakan wilayah batas antara perkotaan
dan pedesaan (Yunus 2008). Wilayah peri-urban ini dapat ditemukan di
pinggiran perkotaan seperti di Jakarta, Bogor, Surabaya, Bandung, dan kota-
kota besar lainnya. Menurut Yunus (2008), masyarakat di pedesaan kini mulai
enggan mempertahankan kehidupan agrarisnya. Mereka lebih tertarik pada pola
kehidupan modern yang lebih menitik beratkan pada wilayah industri dan jasa.
Akibatnya, arus urbanisasi dari desa ke kota tiap tahun semakin meningkat.
Urbanisasi dapat mendorong terbentuknya wilayah peri-urban. Wilayah ini
sesungguhnya sangat penting terhadap kehidupan penduduk di masa
mendatang, baik di desa maupun di kota.
94|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Satelit TerraSAR-X merupakan salah satu satelit yang memanfaatkan sensor
gelombang elektromagnetik aktif dengan panjang gelombang yang cukup
panjang. Dengan kemampuan ini, satelit TerraSAR-X dapat mengambil citra
permukaan bumi meskipun terhalangi oleh awan. Telaah literatur menunjukan
bahwa data TerraSAR-X telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Rizal (2009) telah berhasil menggunakan data TerraSAR-X untuk memetakan
sawah baku pada kawasan berbukit di Kecamatan Nanggung, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi petakan
sawah dan mengestimasi luas sawah per-petak. Martinis et al. (2009)
menunjukkan bahwa TerraSAR-X juga dapat dimanfaatkan untuk deteksi banjir
pada tingkat near real time sehingga sangat bermanfaat untuk pemantauan
kejadian bencana alam. Aplikasi satelit ini pada bidang pemantauan lahan
basah juga telah dilakukan (Hong et al. 2010). Penelitian lain oleh Lisini et al.
(2008) telah melakukan pemetaan menggunakan data TerraSAR-X untuk
pemetaan wilayah urban (perkotaan). Pendekatan yang digunakan adalah
ekstraksi ciri spasial dan elemen tekstur pada data SAR asli dan berhasil
memetakan persebaran wilayah pemukiman, pepohonan, dan perairan.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, citra utama yang digunakan adalah data satelit TerraSAR-X
wilayah Sidoarjo, Jawa Timur. Modus pencitraan yang digunakan adalah
Spotlight dan diakuisisi tanggal 22 Desember 2007. Data TerraSAR-X yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan citra polarisasi linier ganda, yaitu
polarisasi HH dan polarisasi VV.
Penelitian ini dimulai dengan membangun citra komposit dari dua band data
yang tersedia (Gambar 1). Selanjutnya citra dipotong sesuai dengan daerah
pengamatan. Untuk mengetahui penutupan lahan lebih detil pada daerah
pengamatan, penelitian ini juga memanfaatkan citra optik. Citra optik yang
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|95
digunakan sebagai acuan diambil dari Google EarthTM. Berdasarkan
kenampakan objek pada citra optik, 6 kelas penutupan lahan ditetapkan secara
visual, yaitu sawah, tubuh air, pemukiman padat, pemukiman menengah,
vegetasi berkayu dan daerah industri. Proses pra-pengolahan dilanjutkan
dengan aplikasi filter mengingat citra TerraSAR-X mengandung derau (noise)
spekel. Derau spekel pada citra TerraSAR-X direduksi dengan Lee filtering
dengan ukuran kernel 5x5 piksel. Selanjutnya, citra hasil Lee filtering disebut
sebagai citra tone (berbasis rona).
96|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
dengan adalah nilai Transformed Divergence, adalah nilai rataan
vektor kelas ke-i, adalah nilai matriks koragam kelas ke-i, m adalah jumlah
kelas, tr adalah fungsi trace dalam aljabar matriks, T adalah fungsi transposisi
(Panuju et al. 2010).
Semua filter dihitung dalam lingkup area lokal menerapkan strategi convolution
kernel. Proses konvolusi diilustrasikan pada Gambar 2. Ukuran kernel filter
tekstur yang diamati pada penelitian ini adalah sebesar 3x3, 5x5, 7x7, 9x9,
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|97
11x11, 13x13 dan 15x15 piksel. Hal ini dilakukan untuk mengamati kemampuan
tiap filter tekstur dalam berbagai ukuran kernel untuk menyelesaikan masalah
keterpisahan pasangan kelas.
(a)(b)
Gambar 2. Proses konvolusi dengan kernel 3x3 piksel. (a) citra awal (b) citra hasil konvolusi
Tiap pasangan kelas yang tidak dapat terpisahkan dengan citra tone, nilai TD
dihitung kembali untuk setiap citra tekstur yang tersedia dan untuk setiap ukuran
kernel. Nilai TD tiap citra tekstur diplot pada grafik pasangan kelas terhadap
ukuran kernel. Hal ini dilakukan untuk mengamati kemampuan tiap filter tekstur
dalam memisahkan pasangan kelas. Filter tekstur dianggap sebagai descriptor
yang mampu memisahkan pasangan kelas jika memiliki nilai TD lebih besar dari
1.33. Filter tekstur yang baik juga ditunjukan dengan grafik yang memiliki pola
tertentu yang stabil dan tidak berfluktuasi.
98|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 3. Daerah contoh tiap kelas untuk data latih
Pada gambar diatas, beberapa kelas penutupan lahan dapat dibedakan secara
visual, misalnya kelas tubuh air dengan kelas pemukiman padat, kelas sawah
dengan kelas industri, serta pemukiman menengah dengan vegetasi berkayu.
Namun, terdapat kelas yang secara visual memiliki kemiripan, misalnya kelas
industri dengan kelas pemukiman padat.
Dari tabel di atas, terdapat 5 pasangan kelas yang memiliki nilai TD kurang dari
1.33. Pasangan kelas tersebut tidak dapat terpisahkan secara baik dengan
menggunakan citra tone yaitu industri dengan pemukiman padat, industri
dengan pemukiman menengah, pemukiman padat dengan pemukiman
menengah, pemukiman menengah dengan vegetasi berkayu, dan sawah
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|99
dengan vegetasi berkayu. Untuk 5 pasangan kelas ini, analisis lanjutan
diperlukan untuk menyelesaikan masalah keterpisahannya. Pasangan kelas
lainnya yang memiliki nilai TD lebih besar dari 1.33 diharapkan dapat
diklasifikasikan langsung berdasarkan citra tone dengan akurasi harapan yang
cukup baik.
Untuk setiap filter tekstur, nilai TD dari daerah contoh kembali dihitung untuk 5
pasangan kelas yang belum dapat terpisahkan secara baik. Nilai TD untuk
semua ukuran kernel juga dihitung untuk 5 pasangan kelas tersebut. Hasil
perhitungan nilai TD untuk setiap pasangan kelas tersebut diplot ke dalam grafik
hubungan antara filter tekstur dengan ukuran kernelnya. Dengan demikian
terdapat 5 grafik hubungan antara filter tekstur dengan ukuran kernelnya. Grafik
nilai TD untuk setiap pasangan kelas tersebut disajikan pada Gambar 4-8
berikut.
Gambar 4. Nilai TD pasangan kelas industri dengan pemukiman padat berdasarkan citra tekstur
Pada gambar diatas, kelas industri dengan kelas pemukiman padat memiliki
nilai TD kurang dari 0.8 untuk setiap filter tekstur dan untuk setiap ukuran
100|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
kernel. Hal ini menunjukan bahwa kelas industri dengan kelas pemukiman padat
tidak dapat terpisahkan secara baik dengan berdasarkan citra tekstur. Hal ini
akan mengakibatkan proses klasifikasi untuk memisahkan kelas industri dengan
pemukiman padat akan memiliki akurasi rendah. Hasil ini memberikan informasi
bahwa dengan citra TerraSAR-X, analisis berbasis citra tone dan analisis
berbasis citra tekstur tidak disarankan untuk menyelesaikan keterpisahan antara
kelas industri dengan kelas pemukiman padat.
Kelas industri dengan kelas pemukiman menengah memiliki nilai TD lebih besar
dari 1.33 pada beberapa filter tekstur (Gambar 5). Dengan filter tekstur variance
atau mean dengan ukuran kernel lebih besar dari 7x7 piksel, kedua kelas ini
dapat terpisahkan dengan baik. Filter tekstur entropy hanya dapat memberikan
keterpisahan yang baik dengan ukuran kernel 15x15 piksel. Sedangkan, filter
data range tidak dapat memberikan keterpisahan yang baik pada berbagai
ukuran kernel yang dicobakan. Hal ini memberikan informasi bahwa filter tekstur
variance atau mean dengan ukuran kernel lebih dari 7x7 piksel dapat
disarankan untuk memisahkan kelas industri dengan kelas pemukiman
menengah.
Gambar 7 menunjukan bahwa filter tekstur data range dan variance dapat
memisahkan kelas pemukiman menengah dengan vegetasi berkayu secara
baik. Filter tekstur mean dengan ukuran kernel lebih dari 9x9 piksel juga dapat
memisahkan kedua kelas tersebut secara baik. Namun, filter tekstur entropy
tidak mampu menyelesaikan keterpisahan kedua kelas tersebut. Hal ini
memberikan informasi bahwa untuk memisahkan kelas pemukiman menengah
dengan vegetasi berkayu dapat disarankan menggunakan filter tekstur data
range atau variance.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|101
Gambar 5. Variasi nilai TD pasangan kelas industri dengan pemukiman menengah berdasarkan citra
tekstur
Gambar 6. Peningkatan nilai TD pasangan kelas pemukiman padat dengan pemukiman menengah
berdasarkan citra tekstur
Gambar 7. Nilai TD pasangan kelas pemukiman menengah dengan vegetasi berkayu berdasarkan
citra tekstur
102|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kelas sawah dengan kelas vegetasi berkayu memiliki grafik nilai TD yang
bervariasi. Hal ini dapat disimpulkan dari Gambar 8. Filter variance dapat
menyelesaikan masalah keterpisahan kedua kelas ini dengan ukuran kernel
lebih dari 7x7 piksel. Filter data range dengan ukuran kernel 5x5 piksel memiliki
nilai TD sebesar 2. Namun, filter data range dengan ukuran kernel 11x11 piksel
memiliki nilai TD sebesar 0.3. Hal ini menunjukan bahwa filter data range
memiliki grafik yang fluktuatif, sehingga tidak disarankan untuk menyelesaikan
keterpisahan kedua kelas ini. Sedangkan filter mean dan entropy tidak mampu
menyelesaikan keterpisahan kedua kelas ini, sebab nilai TD untuk kedua filter
ini pada semua ukuran kernel lebih kecil dari 1.33.
Gambar 8. Fluktuasi nilai TD pasangan kelas sawah dengan vegetasi berkayu berdasarkan citra
tekstur
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa data TerraSAR-X dua
polarisasi linier (HH dan VV) mampu membedakan penutupan lahan secara
baik. Dengan menggunakan citra tone (citra berbasis rona) dan citra berbasis
tekstur berbagai penutupan lahan dapat dibedakan dengan baik. Terdapat 6
kelas penutupan lahan yang diamati dengan cara saling dipasangkan dan
dianalisis keterpisahannya, yaitu sawah, pemukiman padat, pemukiman
menengah, tubuh air, vegetasi berkayu dan daerah industri. Sebanyak 4
pasangan kelas penutupan lahan yang tidak terpisahkan dengan baik pada citra
tone, dapat terpisahkan dengan baik menggunakan citra berbasis tekstur, yaitu
industri dengan pemukiman menengah, pemukiman padat dengan pemukiman
menengah, pemukiman menengah dengan vegetasi berkayu, dan sawah
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|103
dengan vegetasi berkayu. Namun demikian, kelas industri dengan kelas
pemukiman padat belum dapat terpisahkan dengan baik secara numerik
menggunakan citra rona maupun citra tekstur. Sedangkan, semua pasangan
lainnya dapat terpisahkan dengan baik hanya dengan citra rona.
Daftar Pustaka
Hong SH, Wdowinski S, Kim SW. 2010. Evaluation of TerraSAR-X observations
for wetland InSAR application. IEEE Transactions on Geoscience and
Remote Sensing 48(2), 864-873
Lisini G, Acqua D, Gamba P. 2008. Rapid Land Mapping by TerraSAR-X VHR
Data. International Geoscience and Remote Sensing Symposium. Volume
II: halaman 383.
Martinis S, Twele A, Voigt S. 2009. Towards operational near real-time flood
detection using a split-based automatic thresholding procedure on high
resolution TerraSAR-X data. Natural Hazards and Earth System Sciences
9, 303-314
Panuju DR, Iman LS, Trisasongko BH, Barus B, Shiddiq D. 2010. Simulasi Data
Losat untuk Pemantauan Pesisir. Satelit Mikro untuk Mitigasi Bencana dan
Ketahanan Pangan. Bogor: IPB Press.
Putra D. 2010. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Andi Offset.
Rizal S. 2009. Pemetaan Sawah Baku Kawasan Berbukit dengan Citra
Quickbird Dan TerraSAR-X [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Yunus H S. 2008. Dinamika Wilayah Peri-Urban; Determinasi Masa Depan
Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta.
104|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Height Accuracies of SRTM and G-DEM on Various Land Cover
Types: a Case of Cimadur Watershed, Banten
Email:
reyna.prachmayandini@yahoo.com
Abstract. Digital Elevation Model (DEM) represents topography of earth surface in three
dimensional space. DEM is structured in raster data format where each pixel denotes
earth surface elevation. DEM can be derived from various sources, including contour
maps, satellite data using interferometry (such as SRTM), or stereo techniques. DEM
data are required for various studies, such as geomorphology, hydrology, etc. In this
study, height accuracies of SRTM 90 m and G-DEM are reviewed on various land covers
with a case study in southern Banten area. Observed land covers were forest, open land,
shrubs, fields, rice field, and settlement. Reference data were obtained from height
points of the Indonesian Topography Map (Peta Rupa Bumi Indonesia) at 1:25.000 scale.
The analysis comprised of height comparison between DEM SRTM 90 m, G-DEM, and
Indonesian Topography Map. In addition, Kriging was used to assess both DEM data.
Kriging was employed to derive base heights for SRTM and G-DEM especially in areas
where no points on Indonesian Topography Map were observed. Analysis showed that
diversity in height DEM should be acknowledged, in particular if different types of land
cover are considered. The different types of land cover in the study areas contributed to
measurement error contained in the DEM data; this should be taken into account by DEM
users.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|105
Introduction
Digital Elevation Model (DEM) is a model describing earths surface topography
in three dimensional space. DEM data are usually represented in raster data
format which has surface elevation value for each pixel. DEM can be derived
from various sources, including contour map, satellite data with SAR
interferometry technique (such as SRTM), or stereo configuration. Therefore,
accuracy and precision of DEM data depends on DEM sources. Despite its
complexity, DEM data are required by many applications includeing
geomorphological analysis, hydrology, and geomatics.
SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) is kind of DEM data that has been
analyzed throughout the world. SRTM was an international project developed by
National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) and National Aeronautics and
Space Administration (NASA) with some contributions from Germany and Italy.
SRTM employed Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) method and
0 0
successfully mapped nearly 80% of the earths surface in 60 N 56 S with
90x90 meter spatial sampling.
SRTM data could be acquired from CGIAR (Consultative Group for International
Agricultural Research), managed by Consortium for Spatial Information (CGIAR-
CSI). CGIAR has managed 3 arc second SRTM data. However, the data contain
regions of no-data, specifically over water bodies (lakes and rivers), and in
areas where textural detail was insufficient in the original radar images to
produce three-dimensional elevation data (Colosimo et al., 2009). Previous
research (Jarvis et al., 2004) found that the average vertical error of SRTM was
only about 5 meter (with interpolation) when compared to DEM derived from
topographic map.
In addition to SRTM, another widely used DEM that has been ASTER
(Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) G-DEM
(Global Digital Elevation Model). ASTER G-DEM data mere built by the Ministry
of Economy, Trade, and Industry (METI) of Japan and United States National
Aeronautics and Space Administration (NASA). ASTER G-DEM is the first
global DEM with 30 meter resolution. G-DEM processed using the stereo
correlating technique using about 1.3 millions ASTER optical images covering
th
98% earth surface area. GDEM released in June 29 2009 and become the
106|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
most detailed global GIS layer that can be accessed by public (Hengl et al.,
2011).
SRTM and G-DEM cDEMs have been widely developed in various scientific
applications because of their easy access and detailed resolution on large scale
area (>80% earth surface area). DEM data are paramount in many applications,
particularly related to Earth surface observation. Hence, high resolution DEM
data are generally preferable. Nonetheless, vegetation and landform might
affect on the accuracy. The influence of vegetation is related to the earths
surface height measurement canopy, meanwhile area under canopy soil surface
are generally not observable. Therefore, DEM data requires rigorous
examination on their accuracy, especially in areas biased by woody vegetation.
Methodology
Data and Test Site
This study employed some data sets, including SRTM 90 m, G-DEM 30 m,
Landuse map, and Indonesian Topography Map at 1:25.000 scale as a
reference. SRTM were downloaded from site http://srtm.csi.cgiar.org. These
th
SRTM data are the 4 version of SRTM that have been processed and
mozaiced by CGIAR with 50 scene grids. GDEM 30 m data were downloaded
through this site http://gdem.aster.ersdac.or.jp.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|107
The research was located on Cimadur watershed Lebak Regency, Banten (Fig
1). The Cimadur watershed is important to some Baduy tribes who are settled in
the fringes of the Gunung Halimun-Salak National Park. Baduy tribes are well-
known societies who strive to preserve natural environment and generally
practicing organic farming.
Methods
Boundary map of Cimadur watershed was deliniated manually based on contour
information of Indonesian Topography Map. Watershed boundary was created
by considering landforms of areas interpreted from contour map and field
information in some areas. In addition, main rivers and stream networks in
Cimadur also played a role in the deliniation.
During the field works, several land use types in were observed, including forest,
shrubs, rice field, upland field, settlement, and bare land. Land cover map was
interpreted manually using Google Earth and ALOS AVNIR-2 data set. Google
Earth image which has better resolution, was used to observe land use classes
in the area which is fairly complex, especially in the downstream. Meanwhile, in
cloud covered areas, AVNIR-2 used as a complementing imagery which allowed
constructing a full coverage land use map.
108|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Observations were made on each landuse type using 2 spatially different sites
to account diversity of the area. In each location, a sample comprised of 5x5
pixel (or 25 points of height) was taken. Therefore, each landuse type was
represented by 50 points. Selection of these points was guided by spot height
information of Indonesia Topography Map. At these points, SRTM and G-DEM
estimated height were extracted and exported into a textfil. Statistical analysis of
the textfile was implemented using a spreadsheet software.
Gambar 2. Land use map derived from Google Earth and ALOS AVNIR-2
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|109
Analysis of SRTM data indicates an agreement between height estimation from
InSAR and reference points, as presented in Figure 3. However, as the figure
suggests, SRTM produced better height accuracy when applied to the area with
low elevation relief. This is demonstrated by sample point distribution of rice field
and settlement that closely follow the y = x line. On undulating or mountainous
areas, height accuracy of SRTM tends to decrease. Height estimation on upland
fields and forested areas is slightly lower than the reference. A combined terrain
and vegetation height might cause the problem in this area. Forest was
dominated with large trees, including Dipterocarps, while some upland fields in
mountainous terrain were planted with Sengon (Albazia falcataria).
Comparing SRTM and G-DEM (Figure 3 and 4) indicates that both DEM
datasets produced reliable height estimation on lowlands, up to around 700
meters. However, on the highlands where forest dominates, G-DEM delivered a
slightly better estimate than SRTM.
110|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 4. Assessment of G-DEM data based on reference points.
The research suggests that on a higher ground, G-DEM might offer a better
result than SRTM. Another consideration that makes G-DEM also preferable is
the spatial resolution. G-DEM data have a better spatial resolution than SRTM,
making them suitable to remote areas with less accurate topographic map.
However, the nature of optical dataset which derive the G-DEM data limits their
applications in Indonesia or other tropical countries.
Conclusion
Height accuracy analysis of DEM is caused by several factors, such as the
topography, various vegetation/land use types, resolution, and internal error that
may occur in the production of DEM data. In our test site, both SRTM and G-
DEM performed excellently using topographic map as a reference. However, in
undulating to mountainous areas, SRTM delivered a slightly lower accuracy than
G-DEM. Both DEM datasets are somewhat reliable on low elevation areas. This
research suggests that users are required to know general condition of research
area before select particular DEM data. Nonetheless, the conclution requires
further explorations on other locations with diversity of landscapes. This would
ensure a proper use of global available DEM datasets to assist natural
resources and environmental monitoring or modeling.
Acknowledgments
This research was partially funded by The Osaka Gas Foundation through
Institute for Environmental Research (PPLH), Bogor Agricultural University
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|111
References
112|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Analysis of DEM Fusion Method for Improving DEM Quality
E-mail:
btris01@yahoo.com
Abstract. It is common to use DEM SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) and DEM
generated from topography map (DEM topo) for supporting many activities, such as:
data correction, creating slope and aspect, and disaster mitigation, because those DEMs
are easy to be obtained. Both DEMs have advantage and disadvantage points, for
instance: even DEM SRTM has low resolution (spatial 90 m), it has height information in
each area square (pixel). Otherwise DEM topo has detail height information in terrain
area (dense contour interval) but less height information in relatively flat area (Coarse
contour interval). The aim of the research is to analyse the DEM fusion method for
improving the quality of DEM by combining the advantages and reducing the
disadvantages of DEM SRTM and DEM topo. First, both DEMs are preprocessed by geoid
correction (EGM 2008), co-registration and histogram normalization. Then, the DEMs are
fused by considering height error map, where the height error map is standard deviation
between the height value and the ideal model value of each DEM pixel. The quality of
generated DEM is evaluated by comparing the height error map before and after fusion
process. The result shows that the new DEM from the fusion method has low height error
map and detail height information comparing to the original DEMs.
Keywords: DEM SRTM, DEM topo, DEM fusion, Height error map
Abstrak. DEM SRTM dan DEM dari peta topografi (DEM topo) merupakan data DEM yang
paling umum digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan, seperti: koreksi data,
pembuatan informasi slope/aspek dan mitigasi bencana, karena data DEM tersebut
mudah diperoleh dibandingkan data DEM lainnya. Tetapi DEM SRTM dan DEM topo
mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, sebagai contoh: DEM SRTM
mempunyai resolusi spasial global (90 m) tetapi mempunyai informasi ketinggian pada
setiap luasan wilayah (piksel), sedangkan DEM topo mempunyai informasi ketinggian
yang rapat dan detil di daerah berterrain tetapi kurang informasi ketinggian di daerah
yang relatif datar. Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan analisis metode DEM
fusion untuk meningkatkan kualitas DEM dengan cara menggabungkan kelebihan dan
menghilangkan kekurangan dari data DEM SRTM dan DEM topo. Pertama, kedua DEM
dikoreksi ke model geoid EGM 2008, melakukan registrasi antar DEM dan normalisasi
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|113
histogram. Selanjutnya, kedua DEM difusi dengan mempertimbangkan height error map,
dimana height error map adalah standard deviasi antara nilai ketinggian pada setiap
piksel DEM dengan nilai ketinggian dari model ideal berbasis data kontur. Kualitas dari
DEM fusi yang dihasilkan di evaluasi dengan membandingkan height error map sebelum
dan sesudah proses fusi dilakukan. Hasil memperlihatkan bahwa DEM fusi mempunyai
height error map yang lebih rendah dan informasi ketinggian yang lebih detil dari DEM
sebelumnya.
Katakunci: DEM SRTM, DEM topo, DEM fusi, Height error map
Pendahuluan
Digital Elevation Model (DEM) adalah model digital dari ketinggian (topografi)
suatu wilayah permukaan bumi, setiap pikselnya mempunyai informasi titik
koordinat (XY) dan ketinggian (Z). Pembuatan DEM dapat dilakukan dengan
metode Interpolasi titik tinggi (dari peta topografi atau hasil pengukuran
lapangan), dan menghitung ketinggian secara langsung berbasis citra stereo
optik atau Synthetic Aparture Radar (SAR) (Trisakti et al., 2006). DEM
merupakan data utama yang digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan,
mulai dari pengolahan data standar yang meliputi koreksi data, pemetaan
wilayah, mitigasi bencana dan perencanaan tata ruang wilayah.
Saat ini, Data DEM yang umum digunakan dan mudah diperoleh adalah data
DEM yang berasal peta topografi dan DEM Shutlle Radar Topography Mission
(SRTM). Masing-masing DEM tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang
berbeda-beda yang terkait dengan kedetilan informasi, tingkat akurasi data,
cakupan perekaman data, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh data DEM SRTM
memiliki akurasi vertikal yang baik (Dapat dilihat pada Tabel 1) tapi mempunyai
resolusi spasial yang tidak terlalu tinggi (30 m untuk X band dan 90 m untuk C
band). Data DEM SRTM X band dengan resolusi spasial 30 m memiliki tingkat
akurasi mencapai 3 m tetapi tidak mencover seluruh wilayah Indonesia (Keydel
et al., 2000) seperti diperlihatkan pada Gambar 1, selain itu data DEM berbasis
Interferometry SAR (InSAR) sering memiliki error yang disebabkan oleh layover,
shadow dan atmosferic effect (temporal decorrelation) (Karkee et al., 2006).
114|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 1. Akurasi DEM SRTM dan DEM dari stereo PRISM ALOS
Tahun Sensor satelit Referensi Akurasi (m)
2005 SRTM X- band Gesch D. 35m
2006 SRTM X band Yastikh et al. 5.6
2006 SRTM C band Yastikh et al. 9.6 m
Peta topografi merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari
berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:25.000 atau 1:50.000) tidak
mengkover seluruh wilayah. Selain itu beberapa peta topografi yang dibuat
dengan metode photogrametry airborne mempunyai data hilang (missing) yang
diakibatkan adanya tutupan awan saat perekaman. Dan yang paling krusial
adalah kontur ketinggian kurang rapat di wilayah datar sehingga mengakibatkan
hilangnya informasi topografi antara 2 garis kontur pada wilayah datar. Gambar
2 memperlihatkan contoh DEM wilayah Aceh yang dibuat dengan melakukan
interpolasi (metode spline) terhadap kontur dari Peta Rupa Bumi skala 1:50.000,
terlihat bahwa tidak adanya informasi ketinggian antara garis kontur 0 dan 25 m
di wilayah pesisir Banda Aceh mengakibatkan ketinggian pada DEM yang
dihasilkan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|115
Gambar 2. DEM wilayah Aceh dari hasil interpolasi kontur Peta Rupa Bumi skala 1:50.000
Dewasa ini, kebutuhan data DEM yang akurat semakin meningkat untuk
penyiapan data standar (koreksi orthorektifikasi dan radiometrik), pemetaan
topografi wilayah skala menengah (Provinsi dan kabupaten) atau besar
(kecamatan dan kelurahan). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk
menggabungkan kelebihan-kelebihan setiap data DEM dan menghilangkan
kekurangannya, sehingga dihasilkan data DEM yang lebih baik dari data DEM
pembentuknya. Hoja et al. (2006) mengatakan bahwa penggabungan antara
data DEM SPOT 5 dan SRTM dapat mengurangi bull eyes (error lokal)
sehingga meningkatkan akurasi dari DEM yang dihasilkan. Beberapa metode
penggabungan DEM yang telah dilakukan adalah metode DEM integration,
DEM fusion (Hoja and dAngelo, 2010), dan metode Spatial Fequency Domain
menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) (Honikel (1998); Karkee et al.(
2006)).
116|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Metodologi
Lokasi dan Data
Lokasi kajian diperlihatkan pada Gambar 3, yang terdiri dari 3 lokasi yaitu:
Kabupaten Enrekang dan sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan dengan
ketinggian wilayah berkisar dari 0 2000 m. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut
dilakukan dengan pertimbangan: Wilayah-wilayah ini mempunyai kondisi
topografi yang bervariasi sehingga dapat mewakili lingkungan bertopografi
rendah sampai lingkungan bertopografi tinggi.
Metode Penelitian
Tahapan penelitian secara keseluruhan dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
Pembuatan DEM
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|117
Pembuatan Height Error Map
Penggabungan layer
Fusi data
Pembuatan DEM berbasis peta topografi (Peta Rupa Bumi) dilakukan dengan
merubah kontur ketinggian menjadi titik tinggi, yang selanjutnya dilakukan
interpolasi dengan menggunakan metode Krigging dengan semivariogram
quadratik dan normalisasi dengan model linear. Krigging digunakan karena
pengacu hasil penelitian sebelumnya (Trisakti et al., 2010) dimana DEM
gabungan yang dibuat dengan Krigging (Co-Krigging) mempunyai tingkat
akurasi vertikal yang paling baik dibandingkan beberapa model lain yang
digunakan pada penelitian tersebut.
DEM (EGM 2008) = DEM (EGM 96) + EGM 96 - EGM 2008 ......................................................(1)
DEM yang akan digabung harus mempunyai proyeksi dan ketepatan lokasi
yang sama sehingga dapat bergabung dengan baik, untuk itu dilakukan co-
registrasi. Co-registrasi DEM dilakukan dengan mengacu pada DEM yang
diasumsikan mempunyai koordinat terbaik. Pada proses ini DEM SRTM di
koreksi dengan mengacu kepada peta topografi. Metode koreksi adalah mencari
titik kontrol pada objek dengan kenampakan sama di kedua DEM
(menggunakan penampakan 3D dengan sudut matahari dan azimut yang
sama). Titik kontrol sekitar 10 titik kontrol yang terletak menyebar di seluruh
wilayah, kemudian melakukan koreksi dengan model transformasi linear dan
model resampling Nearest Neighbor.
118|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Z2 = (SZ2/SZ1) (Z1-MZ1)+MZ2 ........................................................................................................ (2)
Dimana,
Prosedur DEM fusion merefer kepada metode yang dikembangkan oleh Hoja et
al. (2006) pada Gambar 4 , perbedaan terdapat pada metode pembuatan height
error map. Height Error Map merupakan standard deviasi antara nilai ketinggian
pada setiap piksel DEM dengan nilai ketinggian dari model ideal berbasis data
kontur. Penurunan Height Error Map dilakukan dengan membuat konturing data
DEM, pembuatan standar deviasi dan proses interpolasi krigging. Proses
penurunan dilakukan untuk kedua data DEM yang akan digabung. Selanjutnya
dilakukan penggabungan semua layer dan proses fusi dengan
mempertimbangkan besar error setiap piksel (tingkat akurasi setiap piksel) dari
kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model
pembobotan menggunakan Persamaan (3).
DEM 1 DEM 2
Contouring
Height Height
error map error map
Penggabungan layer
ModelPembobotan
(Weighted Mean Height)
DEM gabungan
Gambar 4. Alur penggabungan data DEM (DEM fusion)
..................................................................................................................................................................... (3)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|119
Dimana,
pi = 1/ai
hi : Ketinggian DEM (1,2)
ai : Tingkat akurasi DEM, error DEM (1,2)
Verifikasi dilakukan dengan menggunakan perbandingan Height Error Map
sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan. Penggabungan dinilai berhasil
bila besarnya error DEM yang dihasilkan berkurang dibandingkan nilai error
DEM sebelumnya.
120|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 6 memperlihatkan undulasi EGM 96, undulasi EGM 2008 dan selisih
undulasi antara kedua model geoid wilayah Enrekang. Terlihat ada sedikit
perbedaan berkisar -1 sampai 1.2 m antara kedua model undulasi, dimana EGM
2008 adalah model terbaru yang diturunkan dari data satelit Grace dan
altimeter, yang diperkirakan lebih teliti dan akurat. Koreksi geoid 2008 dilakukan
juga untuk DEM SRTM dan DEM Topo, sehingga diperoleh DEM dari peta
topografi dan DEM SRTM dengan titik acuan geoid 2008. Koreksi ketinggian
dilakukan dengan menggunakan Persamaan (2), dengan nilai rata-rata dan
standar deviasi dari masing-masing DEM diperlihatkan pada Tabel 2.
Gambar 6. Undulasi EGM 96, 2008 dan selisih antara EGM 2008 96 wilayah Enrekang
Tabel 3 Nilai rata-rata dan standar deviasi dari DEM yang digunakan
DEM Rata-rata (m) Standar deviasi (m)
SRTM 410 3.14
Peta Topografi 407 3.12
Gambar 7 memperlihatkan DEM Topo (Resolusi 25 m), DEM SRTM (Resolusi
90 m) dan DEM gabungan (Resolusi 25 m). Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, DEM Topo mempunyai pola ketinggian yang baik di daerah
pegunungan tapi kurang baik di daerah yang relatif datar (flat), sedangkan DEM
SRTM mempunyai resolusi yang rendah (90 m) sehingga informasi ketinggian
kurang detill. Hasil fusi memperlihatkan bahwa DEM gabungan mempunyai
resolusi dengan tingkat kedetilan sama dengan DEM Topo (25 m) dan
kesalahan ketinggian pada wilayah relatif datar telah diperbaiki.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|121
Gambar 7. DEM Topo (25 m), DEM SRTM (90 m) dan DEM gabungan (25 m)
Gambar 8. Height Error Map dari setiap DEM
122|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tabel 3. Distribusi Heigh Error sebelum dan sesudah penggabungan DEM
DEM Kisaran nilai Height error (m)
DEM Topo 3 19 m
DEM SRTM 4 30 m
DEM fusi 3 15 m
Evaluasi tingkat akurasi juga dilakukan secara statistik dengan menetapkan
bahwa error terjadi bila besar standar deviasi lebih besar dari 2. Berdasarkan
laporan hasil interpolasi dalam pembuatan Height Error Map maka diketahui
rata-rata standar deviasi adalah 5 m, sehingga 2adalah 10 m. Hasil
memperlihatkan bahwa DEM SRTM mempunyai error (>10 m) adalah sebesar
18.4%, DEM Topo mempunyai error sebesar 8%, dan DEM gabungan sebesar
5.8 %. Dengan kata lain telah ada peningkatan akurasi sebesar 1.4 kali pada
DEM gabungan terhadap DEM Topo.
Kesimpulan
Hasil fusi memperlihatkan bahwa DEM gabungan mempunyai resolusi dengan
tingkat kedetilan sama dengan DEM Topo (25 m) dan kesalahan ketinggian
pada wilayah relatif datar telah diperbaiki.
Metode DEM fusi menghasilkan DEM gabungan dengan tingkat error yang lebih
rendah dibandingkan DEM awal, dimana DEM gabungan berhasil meningkatkan
akurasi 1.4 kali lebih baik dari DEM awal untuk wilayah Enrekang.
Daftar Pustaka
Gesch D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM
Data of the United States: Implications for Topographic Change Detection,
SRTM Data Validation and Applications Workshop
Hoja D., Reinartz P. and Schroeder M., 2006, Comparison Of Dem Generation
And Combination Methods Using High Resolution Optical Stereo Imagery
And Interferometric SAR Data, International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science,
Volume XXXVI, Part 1, Paris, France, 2006
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|123
Honikel M. 1998, Fusion of Optical and Radar Digital Elevation Models in the
Spatial Fequency Domain, Workshop ESTEC, 21-23 Oktober 1998
Keydel W, Hounam D., Pac R. and Werner M., 2000, X-SAR/SRTM Part of a
Global Earth Mapping Mission, the RTO SET Symposium on Space-
Based Observation Technology, Island of Samos, Greece, 16-18 October
2000
Trisakti B. dan Pradana F.A., 2006, Pemanfaatan Data Stereo ASTER untuk
Pengembangan Model Updating Topografi, Laporan Akhir Program Riset
Unggulan, Pusbangja, LAPAN,2006
Trisakti B., 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi Dem (Digital Elevation
Model) Dari Data ALOS PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset
Dasar, Pusbangja, LAPAN, 2010
Yastikh et al., 2006, Accuracy and Morphological Analyses of GTOPO30 and
SRTM X-C band DEMS in the Test Area Istambul, ISPRS Workshop,
Ankara
124|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Combination of Speckle Divergence and Neighborhood Analysis to
Classify Settlement from Terrasar-X Data
1 2
M. Rokhis Khomarudin , Agung Indrajit
1
National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Jl. LAPAN 70 Pekayon Pasar Rebo
2
Jakarta Timur 13710 Tel/Fax: 021-8710065 ext 103 / 021 8710274.
National Coordinating Body for Survey and Mapping (Bakosurtanal). Cibinong. Bogor.
Email:
ayah_ale@yahoo.com
Abstract. The goal of this research is to use and apply the TerraSAR-X data to classify
settlement class in Indonesian region. The accuracy of the previous research of using
this data to classify settlement area in Indonesia is not satisfying. The use of merely
speckle divergence analysis to classify settlement class has a problem on settlement
classification in the hilly area and also in the rural area. The false detection of the
classification result in those area are very high. This research propose a new
methodology which combine the speckle divergence and the neighbourhood analysis to
improve the accuracy and minimize the false detection of settlement classification using
TerraSAR-X data. The study area of this research is in the Cilacap and Padang districts
which have combination of hilly and plain area and also urban and rural area. This is the
best location for this purpose of this research to investigate the accuracy of settlement
classification using the combination of speckle divergence and neighbourhood analysis.
The result of this investigation showed that the proposed methodology increase the
accuracy of settlement classification accuracy and decrease the false classification
especially in the hilly and rural areas. The implementation of the methodology on the
both of study areas has more than 80% accuracy. The combination of speckle divergence
and neighbourhood analysis give a better result on the accuracy and minimize the false
detection.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|125
Introduction
Background
Remote sensing settlement classification has made great progress, both for
optical and radar data and their fusion. Settlement classification with radar
imagery is the most challenging. Several studies on application of radar imagery
have been conducted using techniques such as textural analysis, multi-temporal
analysis, statistical model, spatial indexes and object-based classification. Most
of the development methods were not satisfying yet which have several
problems in the specific area especial in the tropical country.
The most common radar imagery classification for earth surface detection is by
using textural analysis. Dekker (2003) is one example, using ERS SAR imagery.
Modern texture measures such as histogram measures, wavelet energy, fractal
dimension, lacunarity and semivariogram were analyzed. The result improved
the accuracy of the classification compared to widely used texture measures
such as mean intensity, variance or entropy. Despite this improvement, the
classification was still not satisfying, because of the low separability of some
classes, especially of urban area and forest, and urban area and
industry/greenhouse. Acqua and Gamba (2003) propose to use the Histogram
Density Index (HDI) to identify urban characteristics of high-resolution imagery.
However, like Dekker (2003), the approach failed to classify main parts of urban
areas like city centers, residential and suburban areas. The current methods of
texture analysis therefore seem to be insufficiently developed for the detection
of urban areas. The low separability of some features is the main barrier of
using textural analysis for settlement classification.
Being dissatisfied with the previous result, Acqua et al. (2003) modify the
methodology with multi-temporal analysis to improve the urban characterization.
The main problems of urban area classification by radar imagery are multiple
bouncing, layovers and shadowing. Multi-temporal imagery produces a multi-
angle look on urban areas and thus allows identifying different details of the
same object. Hence, the discrimination of different classes in urban areas is
facilitated. Acqua et al. (2003) again apply the HDI and using multi-temporal
imagery, it provides better classification results than in the previous study.
Additionally, the extraction of streets is also improved by this approach. Another
comprehensive research on settlement classification by using multi-temporal
126|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
analysis was done by Pellizeri et al. (2003). They compared statistical analysis
and the neural kernel-based approach to classify urban area. The result from
the analysis shows that the neural kernel-based approach slightly outperforms
the statistical approach when classifying mono-temporal imagery. By extending
the data to multi-temporal and multi-frequency, both approaches achieve similar
accuracy of classification. This shows that multi-temporal data can slightly
improve the accuracy of single data classification method.
Another research about using SAR Imagery has been conducted by Tison et al.
(2004). This research revealed that classes can be discriminated based on their
statistical properties, which require an accurate statistical model. Hence, they
investigated various statistic distribution models such as Weibull, Log-Normal,
Nagatani-Rice and Fisher, and analyzed how these distributions fit the urban
area characteristics in SAR imagery. The Fisher distribution proved the most
appropriate distribution for urban characteristics in their study area Toulouse,
France. This is an important result related to settlement classification using SAR
imagery. It might be used as a reference for future applications of this kind. But
one has to be aware that the best fitting statistical distribution for one region is
not necessarily transferable to any other.
In the other development, Stasolla and Gamba (2008) propose spatial indices to
extract settlements from high-resolution SAR imagery. After reviewing several
indices, they defined three spatial indices for their purposes, Morans Index,
Gearys Index, and the Getis-ord Index. The basic principal of these indices is a
local indicator of spatial association (neighborhood).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|127
suppression compared to establish filtering routines, which preserve true
structures with texture and contour information (Thiel et al., 2008). This filter is
based on a sigma probability of the Gaussian distribution of speckle noise. It
removes speckle and suppresses noise, but preserves the texture, structure and
contour information. This is indispensable since many regions are characterized
by small-scale structures. The speckle divergence image is used for object-
based settlement classification. The result of this classification is satisfying and
has good accuracy. It is promising to implement the methodology for analyzing
the study area of this research, with an added improvement.
Objective of Research
The goal of this research is to use and apply the TerraSAR-X data to classify
settlement class in Indonesian region. The improvement methodology will be
undertaken in this research to improve the accurace of settlement classification.
Methodology
The settlement classification method is an improvement over the approach of
Esch et al. (2010). This research proposes the neighborhood analysis from the
real settlement image using the speckle divergence and intensity image. The
process of settlement classification is performed in two steps: pre-processing
and classification (neighborhood). To ensure efficiency and quality of the model,
an accuracy assessment and transferability analysis are carried out. The steps
of the settlement classification are shown in Figure 1.
128|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
neighborhood analysis (classification of settlement areas).
Pre-processing
The pre-processing of the data includes speckle suppression to enhance
images degraded by speckle noise. This speckle phenomenon in TerraSAR-X
data significantly hampers the analysis of radar data. The approach of speckle
suppression consists of determining the difference between the local image
heterogeneity and the theoretical, scene-specific heterogeneity of developed
speckle.
x , y ....................................................................................................... (1)
Dx , y Cx , y C with Cx , y
x, y
Where:
ENL La Lr 1/ C , La and
Lr defining the effective number of
looks in the azimuth and range (stated in TerraSAR X metadata)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|129
Figure 1. The steps of settlement classification by using TerraSAR-X
Threshold Analysis
The threshold of real and potential settlement from the intensity and speckle
divergence image is defined by analyzing samples of pixels in settlement and
non-settlement areas. The threshold can be decided by analyzing the histogram
of samples, as show in Figure 2.
130|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Figure 2. The threshold decision for potential settlement and real settlement
Neighborhood Analysis
The settlement classification can be performed by generating a simple threshold
of the speckle divergence, but this method cannot eliminate false settlement
detections in hilly areas that have similar speckle divergence values. To avoid
this error, it is proposed to use neighborhood analysis for the detection of
settlement areas from TerraSAR-X imagery. The steps are as follows:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|131
The resulting settlement mask is used to mask the intensity image to develop an
urban scatter image. Then, the density of this image is analyzed by calculating
the focal mean of a kernel size of 25 x 25 pixels and accordingly the urban
scatter by a kernel size of 45 x 45 pixels. The threshold of the density image
can be generated by analyzing several pixels to detect the settlement. Finally,
the settlement classification is generalized by combining the settlement mask
and the speckle divergence image, and filtering by a 45x45 matrix.
Accuracy Assessment
An accuracy assessment is performed to check the quality of the classification.
To conduct a proper accuracy assessment, references from the field are
needed. The confusion matrix accuracy assessment by Story and Congalton
(1986) is used in this research. This methodology allows identifying the omission
and commission error of every surface roughness class. The concept of
calculating the overall accuracy, omission and commission errors is illustrated in
Table 1 (Story and Congalton, 1986; Naesset, 1996; Liu et al, 2007).
Table 1. Population error matrix based on information of classified and reference land use (LU) data
Reference
Classified
LU 1 LU 2 ... LU k Total
LU 1 n11 n12 ... n1k n1+
LU 2 n21 n22 ... n2k n2+
. . . ... . .
. . . ... . .
. . . ... . .
LU k nk1 nk2 nkk nk+
Total n+1 n+2 n+k N
The overall accuracy, commission error and omission error are then calculated
as follows:
k
n ij
Overall Accuracy, OA x100% .............................................................................................(2)
i j
N
Omission error, OE n j n jj ........................................................................................................(3)
n j
Commission error, CE ni nii ....................................................................................................(4)
ni
132|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Where:
Figure 4. Confusion matrix accuracy assessment calculation (modified from Congalton and Green,
1999)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|133
Result And Discussion
Speckle Divergence
The result of speckle divergence analysis is shown in Figure 5. Using this
analysis, settlement areas and their characteristics can be distinguished better
than using the intensity image. Therefore the result is used further for settlement
classification with TerraSAR-X imagery.
Figure 5. TerraSAR-X image intensity (left) and after speckle divergence analysis (right)
Neighbourhood Analysis
The result of the neighborhood classification to detect the settlement area is
shown in Figure 6. The classification of settlements is performed automatically
and the result is visualized. After this process, the accuracy assessment is
carried out to check the quality of the remote sensing classification compared to
the settlement areas.
134|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Real settlement Settlement mask Urban scatter Settlement class
Figure 6. Settlement classification results and real settlement by using TerraSAR-X
Classification Results
Settlement areas within Cilacap District and Padang District have been
classified by using the speckle divergence and neighborhood analysis from
TerraSAR-X data. The overall accuracy is 85.5% for Cilacap and 78.14% for
Padang. The detailed results of settlement classification in these areas by using
TerraSAR-X are described in the following sub-chapters.
Cilacap District
The accuracy assessment of the speckle divergence and neighborhood analysis
for Cilacap is shown as confusion matrix in Table 2. The commission error of
built-up detection in Cilacap area is 27.5% and the omission error is 39.9%. The
overall accuracy of settlement classification by using TerraSAR-X in Cilacap
area is 85.5%.
Table 2. Accuracy assessment of speckle divergence and neighborhood analysis for Cilacap District
Reference Non-settlement Commission error
Settlement (km2) Total (km2)
Classification (km2) (%)
Settlement (km2) 101.5 38.4 139.9 27.5
Non-settlement (km2) 67.5 521.8 589.3 11.5
Total (km2) 168.9 560.2 729.2
Omission Error (%) 39.9 6.9 Overall accuracy 85.5
(%)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|135
occurrence of this error is due to the effect that the settlements in the rural areas
are often mixed with vegetation. The settlement with surrounding vegetation is
common and typical for almost all rural areas in Indonesia. The vegetation
sometimes, covers the roof of a house and is therefore classified as vegetation,
not as settlement. In urban areas, the classification of settlements delivers a
good detection (see red colors in Figure 7).
Figure 7. Result of speckle divergence and neighborhood analysis for settlement detection by using
TerraSAR-X on Cilacap District
Padang District
The same model as that used for Cilacap District to classify settlements using
Terra-SAR X data was also implemented to Padang area. The results of
classification and accuracy assessment are shown in Figure 8.
136|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 3. Accuracy assessment of speckle divergence and neighborhood analysis for Padang District
Reference
Settlement Non-settlement Commission error
classification (km2) (km2) Total (km2) (%)
Figure 8. Result of speckle divergence and neighborhood analysis for settlement detection using
TerraSAR-X of the Padang District
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|137
Discussion
The methodology of settlement classification of TerraSAR-X imagery by using a
combination of speckle divergence and the neighborhood analysis has been
applied in order to improve the settlement detection, especially for hilly areas.
The result of the accuracy assessment for the settlement classification in the
study area is over 85%. The high omission and commission errors appear in the
result of settlement classification, especially in the rural areas. It is assumed that
this is because of the settlement conditions in the rural area, which are usually
surrounded by vegetation. The texture of this area in the TerraSAR-X imagery is
more likely vegetation than settlement area. Figure 9 shows pictures of
settlement areas with vegetation surrounding, taken in the rural area of Cilacap.
The transferability of this method has been also successfully investigated in the
Padang area, which resulted in an accuracy of over 75%. The omission and
commission errors for the rural area are also high, such as for the Cilacap
District. The characteristics of settlement areas in the rural parts of Padang are
mostly similar to the conditions of the rural areas in Cilacap District.
Figure 9. Examples of settlements in the rural area of Cilacap District (settlements surrounded by
vegetation)
Conclusions
A method of settlement classification using radar data has been further
developed using TerraSAR-X imagery. The improvements include the concept
of neighborhood analysis. The settlement areas in the study area were mapped
with satisfying overall accuracy. Limitations occur in rural areas where
settlement structures are interspersed with vegetation. This results in relatively
high omission and commission errors.
138|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
The method of settlement classification has been successfully transferred to the
Padang District. Here, the same problem regarding rural settlements occurred,
also resulting in high omission and commission errors in rural areas. Thus,
future research on settlement classification using radar imagery must focus on
improving the methodology for the classification of rural settlements.
References
Acqua, F.D., Gamba, P., and Lisini, G. (2003). Improvements to Urban Area
Characterization Using Multitemporal and Multiangle SAR Images. IEEE
Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 41 (9), 1996-2004.
Acqua, F.D., and Gamba, P. (2003). Texture-Based Characterization of Urban
Environments on Satellite SAR Images. IEEE Transactions on Geoscience
and Remote Sensing, 41 (1), 153-159.
Congalton, R. and Green, K. (1999). Assessing the Accuracy of Remotely
Sensed Data: Principles and Practices. CRC/Lewis Press, Boca Raton, FL.
137 p.
Corbane, C., Faure, J.F., Baghdadi, N., Villeneuve, N., and Petit, M. (2008).
Rapid Urban Mapping Using SAR/Optical Imagery Synergy. Sensors, 8,
7125-7143.
Dekker, R.J. (2003). Texture Analysis and Classification of ERS SAR Images for
Map Updating of Urban Areas in the Netherlands. IEEE Transactions on
Geoscience And Remote Sensing, 41 (9), 1950-1958.
Esch, T., Thiel, M., Schenk, A., Roth, A., Mller, A., and Dech, S. (2010).
Delineation of Urban Footprints from TerraSAR-X Data by Analyzing
Speckle Characteristics and Intensity Information. IEEE Transactions on
Geoscience and Remote Sensing, 48 (2), 905-916.
Gamba, P. and Acqua, F.D. (2007). Fusion of Radar and Optical Data for
Identification of Human Settlements. In Weng, Q. (Editor): Remote Sensing
of Impervious Surface. Taylor and Francis Groups, LLC.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|139
Li, J. and Zhao, M. (2003). Detecting Urban Land-Use and Land-Cover Changes
in Mississauga Using Landsat TM Images. Journal of Environmental
Informatics, 2 (1), 38-47.
Mesev, V. (1998). The Use of Census Data in Urban Image Classification.
Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 64 (5), 431-438.
Mubareka, S., Ehrlich, D., Bonn, F., and Kayitakire, F. (2008). Settlement
Location and Population Density Estimation in Rugged Terrain using
Information Derived from Landsat ETM and SRTM Data. International
Journal of Remote Sensing, 29 (8),2339 2357.
Pellizzeri, T.M., Gamba, P., Lombardo, O., and Acqua, F.D. (2003)
Multitemporal/ Multiband SAR Classification of Urban Areas Using Spatial
Analysis: Statistical Versus Neural Kernel-Based Approach. IEEE
Transactions On Geoscience And Remote Sensing, 41 (10), 2338-2353.
Pozzi, F. and Small, C. (2001). Exploratory Analysis of Suburban Land Cover
and Population Density in the U.S.A. IEEE/ISPRS joint Workshop on
Remote Sensing and Data Fusion over Urban Areas. Paper 35. Rome,
Italy 8-9 November, 2001.
Story, M., and Congalton, R.G. (1986). Accuracy Assessment: A User's
Perspective. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 52 (3),
397-399.
Thiel, M., Esch, T., Schenk, A. (2008). Object-oriented Detection of Urban Areas
from TerraSAR-X Data. In: Proceeding of ISPRS 2008 Congress (37), Part
B8, Commission VIII, Beijing, pp. 23-27.
Tison, C., Nicolas, J.M., Tupin, F., and Matre, H. (2004). A New Statistical
Model for Markovian Classification of Urban Areas in High-Resolution SAR
Images. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 42 (10),
2046-2057.
Xu, H. (2007). A New Index for Delineating Built-up Land Features in Satellite
Imagery. International Journal of Remote Sensing, 29 (14), 4269-4276.
140|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Zha, Y., Gao, J., and Ni, S. (2003). Use of Normalized Difference Built-up Index
in Automatically Mapping Urban Areas from TM imagery. International
Journal of Remote Sensing, 24 (3), 583 594.
Zhang, Q., Wang, J., Peng, X., Gong, P., and Shi, P. (2002). Urban Built-up
Land Change Detection with Road Density and Spectral Information from
Multi-temporal Landsat TM data. International Journal of Remote Sensing,
23 (15), 3057 3078.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|141
142|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kajian Penghitungan Volume Hutan Menggunakan Model 3D dari
Data Radar Berbeda Band dan Koreksi Terrain Model 3D dari Data
Radar Satu Band
Atriyon Julzarika
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Jl. LAPAN No.70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710.
E-Mail:
verbhakov@yahoo.com
Abstrak. Data radar merupakan citra yang menggunakan sensor aktif dan memiliki
kelebihan bebas efek awan. Data radar dapat dibuat model 3D secara interferometri dan
stereo Synthetic Aperture Radar (SAR). Model 3D yang dihasilkan berupa Digital Surface
Model (DSM). Jenis band yang digunakan pada data radar ini berpengaruh pada kualitas
DSM yang dihasilkan. Band X memiliki penetrasi rendah, hanya pada tajuk pohon.
Kemudian band C memiliki penetrasi lebih tinggi, diikuti band L, dan paling baik band P.
Penetrasi band P sudah mencapai tanah. Selisih antara DSM band X atau band C
terhadap DSM band L atau band P akan menghasilkan volume tertentu, salah satunya
untuk volume vegetasi (hutan). Jika hanya memiliki satu DSM band X atau band C saja,
maka dapat dilakukan koreksi terrain untuk penentuan volume hutan. Koreksi terrain ini
merupakan proses mengubah model DSM menjadi Digital Elevation Model (DEM) maupun
ke Digital Terrain Model (DTM). Selisih antara DSM terhadap DEM maupun DTM ini akan
menghasilkan volume tertentu, salah satunya volume hutan. Hasil penghitungan volume
hutan ini bisa digunakan untuk berbagai aplikasi keteknikan seperti untuk penghitungan
karbon, penghitungan volume produksi hutan dan lain-lain.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|143
Pendahuluan
Saat ini perkembangan teknik geodesi dan geomatika dalam perkembangan
teknologi geospasial sudah memiliki kemajuan drastis. Salah satunya adalah
perkembangan berbagai jenis satelit untuk pemetaan yang menghasilkan
informasi geospasial. Penginderaan jauh sebagai salah satu cabang dari
fotogrammeteri yang merupakan bagian dari teknik geodesi dan geomatika
telah mampu menjadi alternatif dalam survei pemetaan cepat dan teliti dalam
menghasilkan informasi geospasial. Salah satu aplikasinya adalah dalam
membuat model 3D dan berbagai aplikasi yang dihasilkan. Berbagai aplikasi
pemetaan seperti model 3D, geostatistik, dan lain-lain menggunakan hitung
perataan. Selain hitung perataan, konsep jaring kontrol geodetik juga akan
berpengaruh terhadap penyelesaian aplikasi pemetaan yang bersifat unik
(Julzarika, 2007).
Model 3D merupakan model yang dibentuk secara tiga dimensi dengan sistem
tinggi, proyeksi, dan datum tertentu serta dengan referensi bidang tinggi tertentu
(Li et al. 2001). Ada beberapa jenis model 3D, yaitu DSM, DEM, DTM, dan EGM
(Li et al., 2005). DSM merupakan model 3D yang masih memiliki objek
permukaan seperti bangunan dan vegetasi yang memiliki referensi tinggi
terhadap ellipsoid. DEM adalah model 3D dalam bentuk bare earth atau sudah
tidak memiliki objek permukaan serta memiliki referensi tinggi terhadap ellipsoid.
DTM adalah model 3D yang memiliki tinggi fisis berupa topografi dan memiliki
referensi tinggi terhadap mean sea level. Sedangkan EGM adalah model 3D
berupa model geoid yang memiliki referensi tinggi terhadap bidang
ekuipotensial yang berimpit dengan permukaan laut. Model 3D dapat dibuat dari
data radar dan optik. Pada tulisan ini pembentukan model 3D lebih fokus pada
data radar, yaitu Synthetic Aperture Radar (SAR).
Citra SAR adalah citra yang diperoleh dari perekaman menggunakan sensor
aktif. Citra ini memiliki ciri khas tertentu, yaitu bebas efek awan. Saat ini ada
beberapa citra SAR, yaitu dari satelit dan airborne. Contoh citra radar dari satelit
adalah citra TerraSAR X, X SAR, SRTM C, Envisat, Radarsat, Cosmo SkyMed,
ALOS Palsar, JERS. Sedangkan contoh citra SAR dari airborne adalah IFSAR
dan LIDAR.
144|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
tinggi saja. Model 3D citra SAR dapat dibuat dengan metode perbedaan fase
(interferometri) dan stereoSAR (Knopfle, 1998). Model 3D dari X band hanya
penetrasi pada tajuk pohon dan atap bangunan. Model 3D X band dapat dibuat
dari Citra TerraSAR X, X SAR. Model 3D C band sudah penetrasi lebih baik dari
X band. Model 3D C band dapat dibuat dari SRTM, Envisat, Cosmo SkyMed.
Sedangkan model 3D L band sudah penetrasi sampai mendekati permukaan
tanah atau sekitar 1-3 m dari permukaan tanah. Model 3D L band dapat dibuat
dari ALOS Palsar. Model 3D P band memiliki penetrasi paling jauh, yaitu
mencapai permukaan tanah. Model 3D P band bisa dibuat dari Envisat, IFSAR,
LIDAR.
Volume hutan yang dimaksud adalah volume dari perhitungan luas kanopi
terhadap tinggi objek permukaan. Tinggi objek ini dapat diketahui dari
perbedaan tinggi bidang referensi. Beda tinggi dengan akurasi tinggi dapat
diperoleh dari model 3D X band terhadap model 3D P band. Sedangkan beda
tinggi dengan akurasi rendah diperoleh dari model 3D C band terhadap model
3D L band.
Koreksi terrain yang dimaksud pada tulisan ini adalah melakukan koreksi dari
DSM menjadi DEM/DTM sehingga semua menjadi bare earth atau unsur
permukaan sudah tidak ada lagi. Penelitian ini bertujuan untuk penghitungan
volume hutan menggunakan model 3D dari data radar berbeda band dan
melakukan koreksi terrain model 3D dari data radar satu band.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan diagram alir pada gambar 1.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|145
Pada penelitian ini mengkaji tentang penghitungan volume hutan menggunakan
model 3D dari data radar beda band dan koreksi terrain model 3D dari data satu
band. Pada kajian data radar beda band menggunakan DEM1 X SAR untuk X
band (DLR, 2010), SRTM C untuk C band, ALOS Palsar untuk L band, dan
IFSAR untuk P band. Model 3D tersebut perlu dilakukan koreksi Bull Eyes
dengan tujuan untuk menghilangkan nilai anomali tinggi terhadap delapan nilai
tinggi sekitarnya.
Koreksi Bull Eyes perlu dilakukan terhadap model 3D dari berbagai data
masukan. Ada tiga metode untuk koreksi bull eyes, yaitu fill sink, cut terrain,
dan height error map. Pada penelitian ini membahas koreksi Bull Eyes dengan
metode height error map. Height error dibuat dari nilai standar deviasi atau eror
vertikal pada data model 3D tersebut. Height error dapat dibuat dari data itu
sendiri.
Setelah dilakukan koreksi Bull Eyes, maka perlu dilakukan koreksi undulasi
geoid. Koreksi ini bertujuan untuk menyamakan bidang referensi tinggi terhadap
geoid yang sama dengan akurasi tinggi dan presisi baik (Heiskanen and Moritz,
1967). Penyamaan bidang referensi tinggi ini akan menghasilkan data yang
sama pada bidang ekuipotensial sama yang berimpit dengan mean sea level
pada satu periode pasang surut (Wellenhof, B.H., and Moritz, H., 2006). Koreksi
undulasi geoid menggunakan EGM2008.
Model 3D yang memiliki bidang referensi tinggi sama ini akan menghasilkan
kualitas presisi yang baik. Jika ada dua atau lebih model 3D, maka bisa
diaplikasikan terhadap penghitungan volume hutan. Jika hanya ada satu model
3D, maka diperlukan koreksi terrain yang bertujuan untuk mengubah objek
permukaan menjadi permukaan tanah tanpa ada objek permukaan. Koreksi
terrain ini secara umum berarti mengubah DSM menjadi DEM atau DTM.
Proses pengubahan DSM menjadi DEM ini bisa dilakukan dengan
menggunakan range tertentu. Pendefinisian range tersebut menggunakan
hitung perataan.
146|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
digunakan untuk aplikasi penghitungan volume permukaan, yaitu model 3D dari
data radar. Citra SAR memiliki beberapa jenis band, yaitu X, C, L, P band yang
memiliki perbedaan pendefinisian dalam bidang referensi tinggi permukaan.
Model 3D dari SAR X Band hanya mampu memetakan pada permukaan objek
bangunan maupun tajuk. SAR dengan C Band memiliki penetrasi lebih tajam,
demikian pula dengan SAR L Band. SAR P band bisa melakukan penetrasi
sampai ke permukaan tanah. Tinggi objek dapat diketahui dari beda referensi
tinggi antara X atau C band terhadap L atau P band. Ilustrasi ini dapat dilihat
pada gambar 2.
Contoh DSM X Band adalah DEM1 X SAR, TerraSAR X. Contoh DSM C Band
adalah SRTM C, ENVISAT, Cosmo SkyMed. Contoh DSM L Band adalah ALOS
Palsar, sedangkan contoh DSM P Band ENVISAT, Airborne. Koreksi surface
yang memiliki akurasi tinggi adalah DSM X Band - DSM P Band sedangkan
koreksi surface yang memiliki akurasi rendah adalah DSM C Band DSM L
Band.
Kemudian luas objek atau kanopi pada vegetasi dapat diketahui dari hasil
segmentasi berbasis objek. Setelah itu baru dilakukan penghitungan volume
yang melibatkan tinggi objek dan luas objek. Jika telah diketahui besar volume
permukaan, terutama pada vegetasi maka hal ini dapat diaplikasikan terhadap
berbagai aplikasi teknik. Salah satu aplikasi tersebut adalah untuk carbon stoke
taking, pemantauan kondisi tutupan lahan di DAS, pemantauan kondisi hutan,
pemantauan daya dukung lingkungan, pemantauan dan mitigasi bencana, serta
mengetahui potensi ekonomi dari produksi hutan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|147
Pada penelitian ini, kajian volume permukaan dilakukan di wilayah Kalimantan
dengan menggunakan model 3D DEM1 X SAR (Gambar 3) yang dibandingkan
terhadap DEM ALOS Palsar yang dibuat secara interferometri.
DEM1 X SAR ini terlebih dahulu dilakukan koreksi Bull Eyes berdasarkan
height error maps yang dibuat dari data itu sendiri, pada gambar 4.
Gambar 12. tampilan height error maps wilayah kajian ; 4b. EGM2008
Setelah dilakukan koreksi Bull Eyes, maka dilakukan koreksi terrain terhadap
EGM2008, gambar 4b.. Hasil yang diperoleh akan merepresentasikan kondisi
DSM dengan permukaan di tajuk pohon pada wilayah kajian di tahun 2000,
148|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
sesuai dengan data DEM1 X SAR. Gambar 5 merupakan hasil koreksi Bull
Eyes dan model 3D hasil koreksi undulasi geoid terhadap EGM2008.
Gambar 13. DEM1 X SAR hasil koreksi Bull Eyes. 5b. DEM1 X SAR hasil koreksi undulasi geoid
terhadap EGM2008
Kemudian dibuat juga model 3D dari ALOS Palsar secara interferometri. Hasil
yang diperoleh akan merepresentasikan kondisi DSM dengan permukaan lebih
dekat pada tanah. DEM ALOS Palsar ini merupakan kondisi model 3D tahun
2010, gambar 6.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|149
kemampuan penetrasi band. Gambar 7 merupakan tampilan DEM SRTM90
wilayah kajian.
150|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
dengan menghilangkan semua objek yang ada sehingga menghasilkan kondisi
bare earth. Koreksi terrain pada DEM 1 X SAR ini diharapkan akan
menghasilkan model 3D yang mirip dari ALOS Palsar. Koreksi terrain ini
menggunakan persamaan sederhana dengan memperhitungkan nilai standar
deviasi setiap objek. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|151
Gambar 18. DEM 1 X SAR (koreksi terrain)
Koreksi terrain Model 3D ALOS Palsar setelah dilakukan koreksi Bull Eyes dan
koreksi undulasi geoid.
152|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 20. Selisih beda tinggi DEM1 X SAR terhadap Model 3D ALOS Palsar
Pada model 3D ALOS Palsar juga dapat dibuat model 3D yang berada pada
bidang topografi atau dalam kondisi DTM. Secara sederhana, dilakukan koreksi
terrain terhadap model 3D ALOS Palsar. Hasil yang diperoleh akan mendekati
kondisi DTM atau hampir sama dengan model 3D dari penetrasi band P.
Gambar 13 merupakan tampilan DTM ALOS Palsar.
Kondisi DEM1 X SAR dan DEM1 X SAR koreksi terrain ini bisa digunakan untuk
penentuan volume permukaan. Hal ini bisa dijadikan alternatif jika tidak memiliki
dua atau lebih model 3D pada wilayah kajian. Secara pengujian geostatistik,
diperoleh nilai akurasi vertikal sekitar 3-4 m. Kondisi ini meningkat hampir 2 kali
lebih tinggi dibandingkan dengam akurasi vertikal DEM1 X SAR, yaitu sekitar 5-
6 m. Koreksi terrain model 3D akan menjadi salah satu alternatif penyelesaian
masalah untuk aplikasi penghitungan volume permukaan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|153
Kesimpulan
Pada tulisan ini ada tiga kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan, yaitu:
1. DEM1 X SAR yang dikoreksi Bull Eyes terhadap height error data itu
sendiri, koreksi referensi bidang tinggi terhadap EGM2008 akan
menghasilkan akurasi vertikal hampir 2 kali lebih tinggi.
Daftar Pustaka
154|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
[6] Li, Xiong., and Gotze. Hans-Jurgen., 2001, Tutorial Ellipsoid, geoid,
gravity, geodesy, and geophysics, Geophysics, Vol.66, No.6, P.1660-
1668, November-December 2001.
[7] Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C., 2005. Digital Terrain Modeling Principles
and Methodology. CRC Press. Florida. USA.
[8] Wellenhof, B.H., and Moritz, H., 2006, Physical Geodesy, Second
corrected edition, SpriengerWienNewYork, New York.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|155
156|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Pemetaan Distribusi Kelembaban Tanah Menggunakan Data
Polarimetrik PALSAR ALOS
1 1 2
Indah Prasasti , Ita Carolita , A. E. Ramdani
1
Pusbangja, LAPAN
2
Alumni Jurusan Geofisika dan Meteorologi, IPB
Pendahuluan
Pemantauan karakteristik distribusi kelembaban tanah secara spasial maupun
temporal sangat penting. Hal ini dikarenakan, kelembaban tanah berperan
dalam mengendalikan pertumbuhan tanaman, menjadi indikator perilaku tanah,
dan dapat digunakan untuk menilai kemampuan ketahanan tanah terhadap
erosi, dan sebagainya. Selain itu, kelembaban tanah merupakan parameter
utama dalam sejumlah pengkajian lingkungan, antara lain dalam bidang
hidrologi, meteorologi, dan pertanian. Di bidang hidrologi, informasi tentang
distribusi kelembaban tanah sangat bermanfaat dalam pengelolaan wilayah
Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk menentukan alokasi sumberdaya air yang
terbatas selama musim kering dan dapat membantu upaya penanganan banjir
pada musim penghujan. Distribusi kelembaban tanah juga memiliki peranan
yang sangat penting dalam memprediksi erosi dan muatan sedimen pada aliran
sungai dan waduk. Pada wilayah pertanian di sepanjang DAS, informasi
kelembaban tanah telah banyak digunakan dalam perencanaan irigasi,
pengelolaan penanggulangan hama dan penyakit, dan prediksi peningkatan
hasil-hasil pertanian. Sementara itu pada wilayah kering (arid) dan semi-arid,
informasi kandungan kelembaban tanah telah banyak digunakan sebagai salah
satu indikator untuk memantau kondisi tanaman.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|157
yang kuat dengan kelembaban permukaan tanah, kemampuan penetrasi dapat
mencapai 5 cm kedalaman tanah, dan mampu menembus awan dan atmosfir
bumi. Alasan lain adalah bahwa microwave dapat menembus vegetasi lebih
dalam dibandingkan gelombang optik. Kedalaman penetrasi tergantung pada
panjang gelombang microwave dan kandungan kelembaban vegetasi. Penetrasi
akan meningkat jika panjang gelombang meningkat, dan menurun jika
kandungan kelembaban vegetasi meningkat. Alasan ketiga adalah bahwa
kandungan informasi yang berbeda dibandingkan dengan yang diperoleh
menggunakan panjang gelombang visibel merah infra (Visible Infrared
(VIR)). Hamburan pada spektrum VIR tergantung pada sifat molekular lapisan
permukaan vegetasi atau tanah, sedangkan hamburan microwave tergantung
pada kekasaran permukaan dalam skala-besar (sentimeter kekasaran secara
tipikal) dan volume hamburan (sebagai contoh hamburan dari kanopi hutan).
Salah satu data SAR yang dapat digunakan untuk estimasi kelembaban tanah
adalah data Palsar-ALOS (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar
- Advanced Land Observation Satellite). Palsar-ALOS merupakan salah satu
sensor dari satelit ALOS milik Jepang. Palsar adalah sensor yang bekerja pada
gelombang mikro aktif L-band (pusat frekuensi 1270 MHz/23.6 cm) untuk
pengamatan pada siang dan malam hari serta bebas cuaca/awan. Sensor ini
merupakan hasil pengembangan dari SAR/JERS-1 oleh JAXA bekerja sama
dengan JAROS (Japan Resources Observation System Organization).
Instrumen Palsar secara penuh merupakan polarimetrik yang bekerja pada
salah satu dari mode: a/. Polarisasi tunggal (HH atau VV), b/. Polarisasi rangkap
dua (HH+HV atau VV+VH), dan c/. Polarisasi penuh. Teknik scan sensor
Palsar-ALOS disajikan pada Gambar 1. Data Palsar-ALOS ini memiliki potensi
untuk dapat dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi, seperti membuat DEM,
interferometri dari perubahan/penurunan permukaan lahan, estimasi biomasa
hutan, pemantauan kebakaran hutan/pertanian, pemantauan lapisan polusi
minyak, pemantauan banjir, estimasi kelembaban tanah, dan pemantauan
tumpahan minyak dari kapal.
158|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 1. Teknik scan sensor Palsar-ALOS (Sumber:
http://www.csrsr.ncu.edu.tw)
Nilai digital Palsar-ALOS polarimetrik (HH dan VV) dikonversi menjadi nilai
hambur balik (backscatter) menggunakan persamaan berikut:
dengan 0 adalah koefisien hamburbalik (db), DN adalah nilai digital citra, dan
CF adalah faktor kalibrasi (-86 db).
............................................................................ (2)
.
dengan:
= konstanta dielektrik
o = koefisien hamburan balik (db)
= sudut yang terbentuk (o)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|159
= panjang gelombang (23.6 cm)
Selanjutnya, nilai konstanta dielektrik dapat pula digunakan untuk menduga nilai
kekasaran permukaan :
. .
. .
.
10 .
.
10 ................................................................................(3)
dengan:
ks = kekasaran permukaan
= konstanta dielektrik
o = koefisien hamburan balik (db)
= sudut yang terbentuk (o)
= panjang gelombang (23.6 cm)
Sementara itu, nilai kelembaban tanah (mv) dapat diestimasi menggunakan
persamaanTop et al. (1980) berikut:
dengan :
160|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 2. Bagan Alir Pemetaan Distribusi Kelembaban Tanah
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|161
Gambar 3. Citra Hamburbalik dari Polarimetrik HH
162|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 5. Citra PauliRGB Wilayah Bekasi dan sekitarnya Tanggal 11 April 2007
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|163
Gambar 6. Peta Penutup Lahan yang Diekstraksi dari Citra AVNIR-2
Tabel 1. Kisaran Nilai Koefisien Hamburbalik (0) (db) dari citra Polarimetrik HH dan VV
Polarimetrik HH Polarimetrik VV
Jenis Penutup Lahan
Min Maks Rata-rata Min Maks Rata-rata
Badan air -86 -50 -72.1 -86 -65 -75.6
Lahan sawah fase air -86 -46 -69.7 -86 -45 -70.7
Lahan sawah bera -76 -38 -58.5 -64 -38 -45.9
Lahan terbuka -80 -38 -53.9 -74 -38 -49.8
Lahan terbangun -64 -38 -49.2 -64 -38 -45.4
Lahan bervegetasi -76 -38 -55.0 -74 -38 -51.3
164|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Selain itu apabila dibandingkan antara polarimetrik HH dan VV, terlihat bahwa
nilai rata-rata hamburbalik permukaan lahan yang berair lebih rendah pada
polarimetrik VV dibandingkan pada polarimetrik HH. Sebaliknya, nilai rata-rata
hamburbalik jenis permukaan lainnya akan lebih rendah pada polarimetrik HH
dibandingkan dengan polarimetrik VV. Selanjutnya berdasarkan nilai
hamburbalik polametrik HH dan VV diturunkan nilai konstanta dielektrik
menggunakan persamaan Dubois et al. (1995). Tabel 2 memperlihatkan nilai
konstanta dielektrik masing-masing penutup lahan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|165
tersebut. Gambar 7 memperlihatkan hubungan antara konstanta dielektrik
dengan kelembaban permukaan. Semakin tinggi nilai konstanta dielektrik,
semakin tinggi kandungan kelembaban tanah.
%vol
Dielektrik konstan
Dengan didasarkan pada sifat-sifat dielektrik, maka secara cepat kita dapat
mengetahui pengaruh kelembaban terhadap hamburbalik radar. Kontanta
dielektrik yang rendah pada permukaan yang kering menyebabkan sinar radar
masuk ke permukaan, dan masuknya serangkaian sinar yang berasal dari
hamburan permukaan dan volume. Ketika konstanta dielektrik meningkat, maka
penetrasinya menurun, sehingga hamburan permukaan yang lebih dominan.
Pada kasus yang ekstrim pada permukaan air, secara virtual tidak terdapat
penetrasi permukaan, dan hamburan murni hanya berasal dari pengaruh
permukaan.
Selain citra konstanta dielektrik, dari citra hamburbalik juga dapat diturunkan
citra kekasaran permukaan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9.
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa permukaan dengan tingkat kelembaban
yang tinggi seperti badan air dan sawah fase air memiliki nilai kekasaran
permukaan yang paling rendah dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya.
Kekasaran permukaan (Surface roughness) sangat mempengaruhi nilai kadar
air tanah. Meningkatnya kekasaran permukaan dapat mempengaruhi besar
sudut yang terbentuk dari pantulan balik sinyal yang ditransmisikan oleh
permukaan. Menurut Dubois (1995), ratio koefisien hamburan balik hh /vv
meningkat dengan meningkatnya kekasaran permukaan dan meningkatnya
kelembaban tanah atau meningkatnya sudut datang.
166|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
menjelaskan kisaran nilai kelembaban pada masing-masing penutup lahan.
Dalam pengkelasan kelembaban tanah (Tabel 3), kelas penutup lahan badan air
dan lahan sawah fase air tidak termasuk yang diperhitungkan dan hanya
digunakan sebagai faktor pembanding. Dari Tabel 3 terlihat bahwa kisaran nilai
kelembaban pada lahan terbuka memiliki kisaran yang cukup lebar, antara 7.0
51.9 (% volumetrik), sedangkan lahan terbangun memiliki kisaran kelembaban
yang paling pendek (13.8 32.7 % volumetrik).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|167
Daftar Pustaka
Dubois, P.C., Vanzyl, J.J. and Engman, T. 1995. Measuring soil moisture with
imaging radars. IEEE transactions on geoscience and remote sensing.
33:916-926.
Moran, M. S., Peters-Lidard, C. D., Watts, J. M., dan Elroy, S. M. 2004.
Estimation soil moisture at the watershed scale with satellite-based radar n
land surface models. Can. J. Remote sensing. 30:91-107.
NASDA (National Space Development Agency of Japan). 2004a. ALOS
:Advanced Land Observing Satellite, Satellite and Program, Japan.
NASDA (National Space Development Agency of Japan). 2004b. ALOS
:Advanced Land Observing Satellite, Sensor and Product. Japan.
Oh, Y., Sarabandi, K., and Ulaby, F.T. 1992. An empirical model and an
inversion technique for radar hamburan from bare soil surface. IEEE
transactions on geoscience and remote sensing. 30: 370-381.
Sitanggang, G. 2008. Kajian sistem penginderaan jauh satelit ALOS dan potensi
datanya untuk bermacam aplikasi. Potensi dan pemanfaatan data satelit
inderaja ALOS, Spot, dan Landsat.1:1-22.
Sonobe. R., Tani, H., Wang, X., dan Fukuda, M. 2008. Estimation of soil
moisture for bare soil field using alos/palsar hh polarization data.
Agricultural information research 17(4):171-177.
Top, G. C., Davis, J. L., and Annan, A. P. 1980. Electromagnetic determination
of soil water content: measurenments in coaxial transmission lines. Water
resource res. 16:574-582.
Ulaby, F. T., Moore, M. K. and Fung, A. K. .1982. Radar remote sensing and
surface scattering and emission theory. In microwave remote sensing:
active and passive. 2:57-84.
Ulaby, F. T., Moore, M. K. and Fung, A. K. .1986. Microwave Remote sensing
Active and Passive. Artech House, Norwood, 3:1098.
168|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Teknik Koreksi Bull Eyes untuk Peningkatan Akurasi dan Presisi
Model 3D dengan Height Error Maps Berbasis Hitung Perataan
E-Mail:
verbhakov@yahoo.com
Abstrak. Model 3D merupakan tampilan suatu model dengan sistem koordinat 3D (polar,
geodetik, raster dan kartesi) dengan bidang referensi yang terdefinisi terhadap proyeksi
dan datum tertentu. Model 3D dapat dibuat dari data radar dan optik. Model 3D ini
dapat berupa Digital Surface Model (DSM), Digital Elevation Model (DEM), Digital
Terrain Elevation Model (DTED), Digital Terrain Model (DTM), Earth Geoid Model (EGM),
dan lain-lain. Semua model 3D tersebut memiliki karakteristik tersendiri dengan akurasi
dan presisi tertentu. Model 3D dapat dibuat dari survei terrestrial, airborne mapping,
satellite mapping, dan unmanned mapping. Model 3D yang dihasilkan dari berbagai jenis
pengukuran tersebut masih menghasilkan bull eyes sehingga mempengaruhi tingkat
akurasi dan presisi. Bull Eyes adalah kesalahan acak berupa blunder yang terjadi akibat
anomali nilai tinggi terhadap tetangga terdekatnya.
Bull Eyes bisa disebabkan oleh interpolasi kontur yang salah akibat penyebaran titik
tinggi yang tidak merata atau bisa juga disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak
sesuai dengan yang sebenarnya. Bull eyes merupakan titik, garis, atau area yang
mempunyai nilai ketinggian, akan tetapi nilai tersebut tidak merepresentasikan keadaan
sebenarnya di lapangan.
Ada beberapa metode koreksi Bull Eyes yaitu cut terrain, fill sink, height error maps.
Pada tulisan ini, koreksi Bull Eyes menggunakan height error masp dengan pendekatan
secara hitung perataan. Height error maps yang dibuat digunakan untuk mengetahui
tingkat height error setiap piksel maupun titik. Bull Eyes dapat terdeteksi dengan nilai
pada height error map tersebut. Koreksi Bull Eyes ini bertujuan meningkatkan akurasi
dan presisi data model 3D sehingga dapat menghasilkan model 3D bebas Bull Eyes. Hasil
ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi keteknikan dan non keteknikan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|169
Pendahuluan
Saat ini Teknik Geodesi dan Geomatika sudah mencapai kemajuan signifikan,
salah satunya dibidang pemodelan bumi. Pemodelan ini menghasilkan model
3D sampai model 12D yang dihasilkan dari berbagai jenis data. Penginderaan
Jauh sebagai salah satu cabang ilmu dari Fotogrammetri yang juga sebagai
salah satu bagian dari Teknik Geodesi dan Geomatika ini ikut berpartisipasi
dalam pembuatan model 3D. Data masukan yang digunakan bisa bersumber
dari survei terrestris (surveying), airborne mapping (fotogrammetri), citra satelit
(penginderaan jauh), dan unmanned mapping (videogrammetri).
b. Essentially the full point cloud, with ground, structures, and vegetation.
(cheapest)
170|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
c. Bare Earth with structures and vegetation removed
b. DEM with thinned ground points (mass points) and breaklines. (most
expensive)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|171
f. Generally, a DTM could contain the following four groups of (topographic
and non topographic) information as follows:
o Landforms, such as elevation, slope, slope form, and the other more
complicated geomorphological features that are used to depict the
relief of the terrain.
172|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
b. A DGM more or less has the meaning of a digital model of a solid
surface.
b. the terms height emphasize the measurement from a datum to the top
of an object. Height do not necessarily refer to the altitude of the terrain
surface, but in practice, this is the aspect that is emphasized in the use of
these terms.
7. Geoid
a. The term Geoid is used to portray the shape of the Earth's surface, and
it identifies that surface to which the oceans would conform over the
entire Earth if free to adjust to the combined effect of the Earth's mass
attraction and the centrifugal force of the Earth's rotation.
b. Among the Earths equipotential surfaces, the Geoid coincides with the
mean sea level of the oceans through a process of Least Squares
Approximation. The Geoid extends under the continents and differs
from an ellipsoid of revolution by vertical distances that are within the
order of one hundred metres.
c. Ignoring for the moment that soundings on charts are referred to a low
water chart datum, the Geoid is the reference surface for heights
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|173
(orthometric or dynamic, defined below) used in mapping. As such it is
often called a "vertical datum" and the heights referred to it are
commonly known as "heights above mean sea level". The practical
realization of the vertical datum is normally achieved by accepting a
mean sea level at the locations of tide gauges along the seashore. This
realization carries with it some inherent errors that may reach well over
one metre. The local mean sea level is determined indirectly, by
studying the tide-gauge record for a certain time period and is thus
tacitly valid for that time period.
Model 3D dapat dibuat dari data radar dan optik. Data radar dan optik tersebut
dapat diperoleh dari satelit, airborne mapping, maupun survei terrestris. Gambar
1 berikut merupakan pendefinisian model 3D dan gambar 2 merupakan
pendefinisian referensi bidang tinggi.
174|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 2. Kondisi berbagai jenis bidang tinggi
Pada penelitian ini menggunakan model 3D dari data DEM 1 X SAR yang
memiliki resolusi spasial 1 arc second (sekitar 25 m) dengan akurasi vertikal 3-5
m. Gambar 3 adalah tampilan DEM 1 X SAR wilayah kajian. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan presisi model 3D dengan height error
maps berbasis hitung perataan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|175
Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengacu pada diagram alir penelitian gambar 4 berikut.
Model 3D
KoreksiBullEyes
Uji
Model3D
Gambar 4. Diagram alir penelitian
Hitung Perataan
Hitung perataan kuadrat terkecil dimaksudkan untuk mendapatkan harga
estimasi dari suatu parameter yang paling mendekati harga sebenarnya dengan
cara menentukan besaran yang tidak diketahui (parameter) dari sekumpulan
data ukuran yang mempunyai pengamatan lebih (Widjajanti, 1997). Prinsip
penyelesaian hitung kuadrat terkecil adalah jumlah kuadrat dari residu adalah
minimal (Hadiman, 1999).
Vi2 = minimal
Pada hitung perataan berpengaruh faktor akurasi dan presisi (wolf, 1981).
Akurasi adalah tingkat kedekatan atau konsistensi pengukuran terhadap nilai
yang benar (true value) sedangkan presisi adalah tingkat kedekatan atau
kedekatan pengukuran terhadap nilai rerata. (Soetaat, 1996). Ada berbagai
metode hitung perataan kuadrat terkecil, diantaranya adalah metode parameter,
minimal constraint dan more than constraint yang menganggap titik penelitian
fixed (Spiegel, 1975) dan (Uotila, 1985). Metode yang lain adalah metode
parameter berbobot dan jaring bebas serta inner constraint yang
memperhitungkan kesalahan dari titik penelitian (Widjajanti, 1997).
176|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Koreksi Bull Eyes
Bull Eyes adalah kesalahan acak berupa blunder yang terjadi akibat anomali
nilai tinggi terhadap tetangga terdekatnya. Bull Eyes bisa disebabkan oleh
interpolasi kontur yang salah akibat penyebaran titik tinggi yang tidak merata
atau bisa juga disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Bull Eyes merupakan titik, garis, atau area yang mempunyai nilai
ketinggian, akan tetapi nilai tersebut tidak merepresentasikan keadaan
sebenarnya di lapangan.
Ada tiga metode untuk koreksi Bull Eyes, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height
Error Maps. Height error dibuat dari nilai standar deviasi atau eror vertikal pada
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|177
data model 3D tersebut. Height error dapat dibuat dari data itu sendiri. Fill sink
adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cekungan
sedangkan Cut Terrain adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap
daerah cembung/terjal.
Koreksi Bull Eyes (Gambar 6) dilakukan dengan tiga metode yang ada, yaitu
FillSink (Gambar 7), Cut Terrain (Gambar 8), dan Height Error Maps (Gambar
9). Metode Height Error Maps menghasilkan data keluaran dengan akurasi dan
presisi lebih baik dari FillSink dan Cut Terrain. Metode FillSink memiliki
kelebihan pada pengisian anomali nilai tinggi pada wilayah lembah, tetapi tidak
bisa mengkoreksi data wilayah cembung/terjal, sedangkan metode Cut Terrain
berlaku kebalikan dan metode FillSink.
178|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 8. Koreksi Bull Eyes metode Cut Terrain
Setelah dilakukan koreksi Bull Eyes maka diperlukan pengecekan hasil berupa
Bull Eyes yang masih terdapat pada data model 3D tersebut. Gambar 10
merupakan hasil pengecekan Bull Eyes.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|179
Selain pengecekan setiap piksel nilai tinggi juga dilakukan pengecekan
terhadap nilai geostatistik wilayah kajian berupa pola histogram elevasi
(Gambar 11), grafik distribusi elevasi (Gambar 12), dan proporsi area (Gambar
13). Jika polanya sudah pada kondisi standar deviasi minimum (3 sigma), maka
model 3D tersebut sudah dalam kondisi bebas bull eyes atau sudah tidak
terdapat blunder lagi.
Jika model 3D sudah bebas dari Bull Eyes maka dapat digunakan untuk
berbagai aplikasi pemetaan seperti untuk penurunan model DSM menjadi DEM
maupun DSM menjadi DTM.
180|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 14. Penurunan Model DSM menjadi DEM/DTM
Salah satu cara koreksi DSM ke DEM maupun DSM ke DTM adalah dengan
melakukan pendeteksian surface/permukaan objek dengan metode hitung
perataan. Nilai parameter yang diperoleh dari hitung perataan dimasukkan ke
persamaan yang dibentuk dan diberlakukan untuk setiap piksel. Jika kondisi
surface dan topografi/terrain/elevasi hampir sama maka kondisi nilai sebelum
dan sesudah perkalian terhadap persamaan yang dibentuk akan relatif sama
juga. Jika kondisi surface berbeda dengan topografi/terrain/elevasi berbeda
maka kondisi nilai sebelum dan sesudah perkalian terhadap persamaan akan
berbeda juga. Perbedaan ini merupakan nilai koreksi surface dari DSM menjadi
DEM/DTM.
Kesimpulan
Ada tiga kesimpulan pada tulisan ini, yaitu:
1. Model 3D yang ada saat ini memiliki kriteria dan spesifikasi tertentu seperti
DSM, DEM, DTM, DTED, DGM, EGM dan DHM sehingga akan
menghasilkan akurasi dan presisi yang berbeda dan digunakan untuk
berbagai kepentingan pemetaan sesuai dengan kesepakatan yang ada.
3. Ada tiga metode koreksi Bull Eyes, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height
Error Maps. Metode Height Error Maps akan menghasilkan akurasi dan
presisi lebih baik dari metode FillSink dan Cut Terrain.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|181
Daftar Pustaka
182|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
II
OPTICAL
REMOTE SENSING,
AND THE APPLICATION
Environment
and Disaster Mitigation
This page intentionally left blank
Informasi Spasial Daerah Rawan Bencana sebagai Salah Satu
Masukan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah
A.B.Suriadi M Arsjad
Balai Penelitian Geomatika. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Jl. Raya
Jakarta Bogor Km. 46. Cibinong. Bogor.
Email:
budiman6109@gmail.com
Abstrak. Salah satu bencana alam yang amat sering terjadi di Indonesia adalah banjir
dan tanah longsor atau landslide. Dalam perencanaan tata ruang wilayah masalah
kebencanaan harus menjadi faktor pertimbangan. Hal ini diamanatkan dalam UU RI no
26 tahun 2007. Dalam makalah ini diuraikan pendekatan inderaja dan SIG dalam
mengidentifikasi daerah rawan banjir dan rawan longsor serta tingkat risiko terhadap
manusia atau pemukimannya. Karena tanah longsor dan banjir dipengaruhi banyak
faktor, maka pendekatannya dilakukan melalui integrasi layer-layer data baik yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data yang bersifat kualitatif seperti jenis tanah,
tipe batuan diberi nilai kuantitatif melalui pembobotan tergantung pengruhnya terhadap
kerentanan longsor. Data kuantitatif seperti kemiringan lereng juga diberi bobot sesuai
dengan tingkat pengaruhnya terhadap longsor. Data land use atau tutupan lahan adalah
salah satu data kualitatif yang dipercaya pengaruhnya cukup besar terhadap kejadian
longsor. Data ini diekstrak melalui Inderaja atau di olah melaui SIG. Identifikasi daerah
rawan banjir dilakukan melalui citra landsat dan DEM SRTM di konfirmasi melalui
informasi historis, dan wawancara dengan penduduk setempat.
Katakunci: tanah longsor, banjir, risiko, GIS, pengideraan jauh, multi kriteria, multi
layers data.
Abstract. One of the natural disasters that so often happens in Indonesia is flooding and
landslides. It is mandated in Law No. 26 of 2007 of the Republic of Indonesia that in the
process of regional spatial planning must be considerated factors of disaster. In this
paper are described the approach of remote sensing and Gographic Information System
(GIS) to identify areas prone to flooding and landslide and the level of risk to humans or
settlements. Due to landslides and flooding is affected by many factors, then the
approach is done through the integration of the layers of data both qualitatively and
quantitatively. Qualitative data such as soil type, rock type rated quantitatively through
a weighting depending of its influence on susceptibility to landslides or flooding.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|183
Quantitative data such as the slope is also given a weighting according to the level of
influence on landslides. Land use or land cover data is one of the qualitative data that is
believed considerable influence on the occurrence of landslides and flooding. This data
is extracted through remote sensing technique or through the GIS. Identify flood prone
areas be done through the Landsat imagery and SRTM DEM in conjunction with historical
information, and local residents interviews.
Keywords: landslides, floods, risk, GIS, remote sensing, multi-criteria, multiple layers
of data.
Pendahuluan
Latar Belakang
Berdasarkan UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1)
Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana. Dengan
demikian masalah kebencanaan ini harus merupakan pertimbangan dalam
penataan ruang wilayah.
Tanah longsor adalah hasil dari interaksi beberapa faktor, terutama faktor
geologi, geomorfologi, hidrometeorologi, kelerengan, dan tutuapan lahan. Salah
satu faktor yang melibatkan manusia adalah tutupan lahan (landcover/landuse).
Faktor yang lainnya merupakan parameter yang bersifat apa adanya (given)
adalah lereng permukaan, walaupun kadang-kala bisa juga hasil dari interaksi
manusia, misalnya pemotongan lereng untuk pembuatan jalan sehingga lereng
jadi lebih curam daripada sebelumnya. Faktor-faktor yang berinteraksi
mempengaruhi kejadian longsor ini dapat diidentifikasi melalui citra inderaja dan
diturunkan berdasarkan sistem informasi geografis.
184|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Dalam UU no 24 tahun 2007, PP no 21 tahun 2008 disebut bahwa pemerintah
daerah berkewajiban menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta
rawan bencana. Penelitian megenai pemetaan daerah rawan bencana longsor
sudah banyak dilakukan oleh para ahli dari berbagai negara. Dengan
berkembangnya teknologi inderaja dan sistem informasi geogarfi, maka
pemetaan daerah rawan bencana berkembang pula sesuai dengan teknologi
yang di adopsi.
Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan pemetaan daerah rawan longsor
dan rawan banjir, potensi bahaya (hazard prone) serta potensi risiko yang
kemungkinan berdampak pada penduduk.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|185
Lokasi penelitian
Peneltian ini dilakukan pada tahun 2010 di Kabupaten Brebes. Penelitian
risikobanjir Kali Pemali di kawasan muara (Downstream kali Pemali).
Sedangkan untuk penelitian longsor dibagian hulu Kali Pemali (Upper
Catchment of Kali Pemali )
Metodologi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan inderaja dan SIG. Identifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian longsor dan banjir melalui data inderaja
antara lain data penutup lahan (landcover/landuse), mengidentifikasi unit-unit
lahan berdasarkan aspek geomorfologi. Peta lereng diturunkan berdasarkan
digital elevation model (DEM) dari Shuttle Radar Topography Mission (SRTM)
menggunakan sistem informasi geografis. Data ini kemudian dipetakan dan
diklasifikasi menjadi peta-peta tematik input. Setiap satuan/unit kelas dari peta
tematik ini diberikan bobot atau skor tergantung pada perkiraan pengaruhnya
terhadap kejadian tanah longsor. Peta-peta tematik input dioverlay atau
diintegrasikan melalui operasi GIS.sehingga dihasilkan unit-unit baru dan tabel
atribut baru semua skor atau bobot akhirnya di jumlah sehinga didapatkan nilai
kumulatif hasil overlay. Nilai kumulatif ini kemudian diklasifikasi sehigga
tampilannya lebih sederhana menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Secara skematis proses GIS pemetaan Risiko bencana longsor adalah
seperti gambar 1. (lihat juga tabel 1)
Metode penelitian untuk risiko banjir adalah konsep multi criteria analisis.
Konsep multikriteria ini kemudian disesuaikan terhadap keberadaan data. Risiko
banjir dalam penelitian ini adalah risiko integral dari semua risiko banjir yang
mungkin terjadi disuatu tempat, namun dalam paper ini disajiakan dua risiko
utama yaitu risiko ekonomi dan risiko sosial. Penilaian risiko dilakukan untuk
mengidentifikasi besar dan distribusi spasial dari risiko banjir.
186|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
bidang pertemuan antara lapisan atas yang relatif lolos air/poros dan lapisan
bawah yang relatif kedap air). Pada bidang ini air tanah mengalir dalam bentuk
resapan (seepage), zona ini banyak mengandung clay akibat pencucuian dari
lapisan atas. Tanah longsor dikenal juga dengan debris slide, materialnya
campuran rombakan batu dan tanah dengan aliran sangat cepat.
Risiko Banjir
Dalam penelitiannya Mayer V, et al (2008) mendasarkan kan pada beberapa
kriteria sebagai berikut; a) untuk risiko ekonomi adalah kerusakan rata-rata
tahunan, b) untuk risiko sosial adalah rata-rata penduduk yang terkena bencana
banjir setiap tahun, dan kemungkinan dari sosial hot spot (rumah sakit, sekolah
dll) terkena banjir. Secara sederhana risiko banjir dapat diformulasikan sebagai
berikut:
Dimana R adalah risiko banjir, E risiko ekonomi, dan S adalah risiko sosial.
Dalam penelitian ini diberikan contoh untuk risiko ekonomi adalah kerugian
potensial perumahan dan kerugian potensial bawang merah, sedangkan
kerugian sosial adalah ada atau tidaknya sarana kesehatan (puskesmas, rumah
sakit) dan sekolah serta penduduk yang terdampak langsung oleh banjir. Untuk
sarana kesehatan akan diberi nilai ada dan tidak (1 dan 0) masing-masing kalau
ada atau tidak prasarana kesehatan yang terdampak, sedangkan untuk sekolah
adalah jumlah sekolah yang potensial terdampak dan risiko penduduk adalah
jumlah penduduk yang terdampak langsung oleh banjir.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|187
Gambar 1. Operasi GIS dalam Pemetaan Risiko bencana longsor
backswamp
pemukiman
Citra SRTM Muara Kali Pemali. Hasil delineasei daerah rawan banjir berdasrkan
informasi lapangan
188|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
perhitungan kemungkinan terlampaui atau probability of exceedence (Soren
Bagley, 2009). Metode ini sudah dikenal dalam texbook hidrologi sebagai
formula Weilbull (Chow, V T, 1988) sebagai berikut:
, dan
Dimana X adalah nilai tertentu misalnya debit puncak, m adalah urutan dari
besarnya nilai dari tinggi ke rendah (decending order), dan n adalah jumlah
pengamatan atau jumlah data, T adalah periode ulang (recurrence interval).
Hasil perhitungan debit periode ulang 10, 25, 50 dan 100 tahunan (probabilitas
terjadi tiap tahunnya masing-masing 10%, 4%, 2% dan 1% ) adalah sebagai
terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Peluang debit puncak Kali Pemali proyeksi sampai 100 tahunan.
Sumber data: Pulitbang Sumber Daya Air (PUSAIR) Bandung dan Balai SDA Kabupaten Brebes
Terlihat untuk periode ulang 100 tahun besarnya debit sekitar 3100 m3/det.
Data ini seharusnya dihubungkan dengan genangan banjir, namun karena tidak
terdapatnya data historis. Data historis banjir Kali Pemali tahun 1995 dengan
debit sekitar 2000 m3/det. Banjir tersebut berlangsung sangat lama sehingga
penduduk mengungsi. Dengan demikian debit 100 tahunan yang terhitung
sekitar 3100 m3/det tentunya berpotensi mendatangkan risiko lebih besar.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|189
Penyiapan Peta Tematik
Kerapatan aliran
Kerapatan aliran adalah perbandngan jumlah panjang alur sungai (baik yang
ber air atau tidak) atau drainage line per unit area. Kerapatan aliran
menunjukkan bahwa daerah itu mempunyai lereng yang relatif curam, material
yang relatif kedap, dan curah hujan yang relatif tinggi. Kerpatan aliran juga
menunjukkan intensitas erosi yang tinggi pada masa lampau. Dengan demikian
semakin tinggi kerapatan aliran maka cenderung berpotensi semakin tinggi
kemungkinan terjadi longsor/land slide. Peta keraptan aliran diturunkan
berdasarkan interpretasi visual data SRTM dan jaringan darinase berdasarkan
peta Rupa Bumi Indonesia (RB). Yang diidentifikasi dan delineasi adalah tingkat
torehan (degree of dissection). Semakin tinggi tingkat torehan semakin tinggi
keraptan aliran. Kerapatan aliran dibagi atas tiga tingkat yaitu: rendah, sedang,
dan tinggi.
Kemiringan lereng
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi dua titik dimuka
bumi dengan jarak mendatar antara dua titik tersebut. Secara matematis dapat
diformulasikan sebagai berikut.
S= tg x 100%
Dimana S=kemiringan lereng(%) dan adalah sudut yang dibentuk oleh dua
titik tersbut dengan bidang datar.
Geomorfologi
190|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
struktur yang mendasarinya, demikian juga sejarah perubahan geologi
sebagaimana terlihat pada kenampak permukaannya (M. J. Selby, Earth's
Changing Surface (Oxford University Press, 1985) ISBN 0198232527 , Richard
Chorley, Stanley Schumm, and David Sugden, Geomorphology (Methuen,
1984) dalam http://www.wordiq.com/
Liputan lahan
Dalam parameter ini tidak disebut curah hujan, karena pada daerah yang tidak
luas dianggap bahwa curah hujan relatif seragam sehingga potensi rawan
longsor adalah fungsi dari parameter-parameter tersebut dalam tabel 1.
41 - 70 5
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|191
Data layer Kelas Bobot
>70 9
geomorfologi/bentuk lahan Dataran fluvial 1
(Blh) Dataran tertoreh sedang 2
Pegunungan tertoreh ringan 7
Pegunungan tertoreh sedang 8
Pegunungan tertoreh berat 9
Perbukitan tertoreh ringan 4
Perbukitan tertoreh sedang 5
Perbukitan tertoreh berat 6
Liputan lahan 1. Tubuh air 0
Llh 2. Hutan 1
3. pemukiman 2
4. Kebun campuran 3
5. sawah 5
6. semak/belukar 7
7. lahan kosong 9
Hasil
Peta Rawan Longsor
Peta Rawan Longsor adalah peta yang memberikan informasi spasial daerah
yang berpotensi rawan longsor. Peta ini diturunkan berdasarkan overlay dari
peta-peta input sebagaimana terlihat dalam tabel 1.
192|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Peta Risiko Banjir
Peta risiko banjir merupakan integrasi semua kemungkinan risiko banjir.
Diturunkan berdasarkan overlay peta peta tematik potensi risik banjir antara lain
peta risiko ekonomi dan risiko sosial. Potensi Risko lingkungan sebenarnya
sangat penting juga diperhitungkan, namun dalam penelitan ini belum dilakukan.
Penutup
Peta pada gambar 3 adalah hasil dari pengolahan data input yang rawan
longsor dan sebaran pemukiman. Sebaran pemukiman adalah data existing
land use. Terlihat banyak lokasi pemukiman berada didaerah rawan longsor
level menengah bahkan didaerah yang amat rawan longsor (warna merah).
Sebagian besar pemukiman berada di kawasan yang tidak rawan longsor
(warna hijau).
Potensi risiko ekonomi dan sosial dari bahaya banjir merupakan peta yang
sangat berguna dalam proses rehabilitasi setelah bencana. Dengan
memprkirakan potensi risiko juga dapat dijadikan sebagai landasan dalam
realibilitas upaya mitigasi bencana.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|193
Gambar 4. Peta Land use, Peta Kelas lereng, dan Peta Tingkat rawan longsor
194|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Peta Risiko Sosial (jumlah Peta Risiko Sosial (Jumlah Peta Risiko Sosial
penduduk yang potensial Sekolah SD - SLTA yang berada (kemungkinan Rumah Sakit
terkena dampak banjir secara dalam kawasan rawan banjir.) dan Puskesmas terdampak
langsung). langsung banjir)
Gambar 6. Peta tematik potensi risiko ekonomi dan potensi risiko sosial
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|195
Gambar 7. Peta Risko Banjir Kali Pemali (integral dari dari semua risiko)
196|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Daftar Pustaka
Arsjad M, A.B.S, 2011, Aplikasi GIS untuk Analisis Risiko Banjir, Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Cibinong. Prosiding Seminar
Nasional Geomatika,2011. ,
Dune T, Leopold B L, 1978, Water in Environmental Planning, W H Freeman
and Co, San Francisco.
Jefri Ardian Nugroho1, Bangun Muljo Sukojo1, Inggit Lolita Sari2 (2008),
Pemetaan Daerah Rawan Longsor dengan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis, 1Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS
Surabaya, 2 LAPAN, Jakarta.
http://www.wordiq.com/, M. J. Selby, Earth's Changing Surface (Oxford
University Press, 1985) ISBN 0198232527 , Richard Chorley, Stanley
Schumm, and David Sugden, Geomorphology (Methuen, 1984)
Meyer Volker, S. Scheuer, dan D. Haase, 2008, A multicriteria approach for
flood risk mapping exemplified at the Mulde river, German, Springer
Science Business Media B.V.
Sarkar .S dan Kanungo D.P. (2003) An Integrated Approach for Landslide
Susceptibility Mapping Using Remote Sensing and GIS. Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing,Vol. 70, No. 5, May 2004, pp. 617625.
Selby M, J,1985, Earth Changing Surface, Clarendon Press. Oxford.
UU no RI 24 tahun 2007, Tentang Penanggulangan Bencana
UU RI No 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|197
198|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Vulnerability and Capacity Analysis to Support Disaster Risk
Reduction in Kampung Melayu, Jakarta Province
Email:
corn.mone@gmail.com
Abstract. Flood is always become the main issues in Jakarta. Based on history, there
were several great floods struck Jakarta in the past decades. Combination between
technical measures and the information gathered from the local community should be
integrated as a valuable input to help minimize the impact of the flood. Therefore, this
research tries to assess the vulnerability and capacity of the local community in
Kampung Melayu. The VCA is used to investigate the risk that people face in their
locality, their vulnerability to those risks and their capacity to cope with and recover
from disaster. There were 83 households interviewed using a pre-designed questionnaire
as a basis for households interview. Certain elements at risk that are related with
physical and socio-economic aspects were identified. The information collected from
the household interview was summed up into a VCA matrix to see the vulnerability and
capacity in three broad aspects, including physical/material, social/organizational and
motivational/attitudinal.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|199
Introduction
Floods in Jakarta annually occur during rainy season, triggered by heavy
seasonal rain in December, January, February and March. The flood in
February 2007 was considered as the largest flood that hit Jakarta in the last
three centuries; almost 60% area of Jakarta was flooded (Figure 1). Based on
the Emergency Situation Report #6 published by WHO (2007) more than 70,000
houses in Jakarta and surrounding were inundated. The range of water level
varied from 10 centimeters to 7 meters.
One of the methods for assessing the vulnerability with the emphasis on
participatory and people oriented approaches is Vulnerability and Capacity
Assessment (VCA). VCA has been used particularly to assess social
vulnerability, but it can be usefully extended to cover all key sectors. Social VCA
is only one element in the overall process of vulnerability assessment that needs
to include a wider range of concerns such as: (1) Physical/material (buildings,
infrastructure, and critical facilities); (2) Social/organizational (networks,
institutions, etc.); and (3) Motivational/attitudinal (Anderson and Woodrow,
1998).
The purpose of this study is to assess the vulnerability as well as capacity of the
people in Kampung Melayu related to physical/material, social/organizational,
200|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
and motivational/attitudinal in order to get the wider information how to solve the
flood problem in Kampung Melayu. This information should be integrated with
the mitigation plans developed by the government to minimize the adverse
impacts of floods.
Study Area
The study area of this research is Kelurahan Kampung Melayu in Jatinegara
District, East Jakarta, located along the Ciliwung River (Figure 1). It divided into
8 Rukun Warga and 114 Rukun Tetangga. The administration boundary of
Kelurahan Kampung Melayu:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|201
Quickbirddata
Kampung
Melayu
Methodology
The research process consists of three stages: pre-fieldwork, fieldwork and
post-fieldwork.
Pre-Fieldwork
The pre-fieldwork started with an intensive literature review through journals,
books, previous studies and reports relevant to get more information about the
proposed data needs and methods that will be used during the fieldwork and
data analysis stage. The key concept of this research is using local knowledge
as additional information and hopefully, it can used as an valuable input in
decision making against flood in this study area. From the literature and site
observation in study area, the author designed a sampling design and
formulated the questionnaires. Beside literature review, one of the activities in
the pre-fieldwork stage is data inventory. Most of the data needed for analysis
was collected through the field survey (primary data collection in the study area)
because those data were not available yet.
Field Work
The fieldwork was conducted from 23 July until 24 August 2007, in Kelurahan
Kampung Melayu through interview using questionnaire (Figure 2). Open-ended
202|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
questions conducted to gather more information how the respondents respond
to the flood.
Post-Fieldwork
Author using descriptive analysis to figure it out all activities related to
vulnerability and capacity analysis conducted by local people.
Flood Occurrence
In order to get the information about the flood occurrence in Kampung Melayu,
we use the timeline tools. It narrates the disaster history and significant events
that happened in the community.
Based on interviews, more than 90% of the people, who lived in Kelurahan
Kampung Melayu, affirmed that they experience the annual river flood with flood
heights that varied from 10 until 100 centimeters. The flood can come more
than 5 times during the rainy season. The peak of the rainy season is in
December, January and February. Most of the people are already prepared
before the flood season starts.
Generally, most respondents perceive flood as a normal event. They also still
remember the history of big flood in 1996, 2002, and the most recent one, in
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|203
February 2007 which is considered to be the worst flood that ever happened in
this area. The majority stated that the magnitude of floods is increasing every
year.
There is one interesting finding related to the waste management in the study
area. Although most of them believe that the garbage also influences the river to
be flooded, most of them throw their garbage in the river. People, who stayed
near the river, stated that it is the easiest way and because there is no longer
cleansing workers who collect and transport the waste to the final disposal site.
In the past, the Ciliwung River has 50 meter wide but now is only 6-9 meter
because of garbage along the river (see Figure 3). The rapid urbanization and
the competition in land occupation force the people to settle in this flood-prone
204|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
area. Based on observation during survey, the illegal housing along the
riverbanks can also be considered as one factor that contributes to river
narrowing and it can increase the water height during flooding. It can be
concluded that flooding in the study area is mostly affected by socio-cultural
aspects, i.e: poor housing along the riverbanks as the result of rapid
urbanization and poor garbage disposal system.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|205
optimal (dirty, not safe, not enough toilets, and a lack of security) and in
addition, people are afraid that their house will get robbed if they stay in the
shelter. When the water height is higher than their first floor, and they cannot
handle it anymore, they move to the shelter. There were several shelters
locations during the flood in Kampung Melayu, including musholla and mosque,
also Kelurahan office, school of Santa Maria Fatima and Jenderal Urip field near
the study area.
Physical/material Annual flooding during rainy season; the big People build 2-story houses using
flood every five years. The big flood history: construction materials that are locally
1996, 2002 and 2007. Flood in 2007 is the available and cheaper.
biggest flood that happens in this area. Many people can swim.
Poor housing along the riverbanks. Availability of public latrines.
206|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Aspects Vulnerabilities Capacities
Conclusions
Some information related with flood in the study area is also revealed. Flooding
comes annually every rainy season with fluctuating water heights, in the range
of 10 100 centimeters. The big floods with five years return period struck in
1996, 2002 and 2007. The flood of 2007 was the largest and the most
destructive flood that ever happened in the area. There are some main findings
based on interviews during the flood. People will stay in their house if water only
inundates their first floor and only move their properties to safer places. They
will leave their house and evacuate themselves if the water is getting higher and
they do not have the capability to handle it anymore.
Since the majority of these communities live mostly on trading, this research
revealed that proximity to the community's livelihoodrather than safetywas
the main reason why they settle in these flood prone areas. Some households
decide to live in this flood prone area for better access for their activities and
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|207
others stay because they have no choice. Three main causes of the flood in
Kampung Melayu based on peoples perception are banjir kiriman from Bogor
area, garbage and excessive rainfall. The waste disposal management and
houses in the riverbanks are serious problems found in this study area;
therefore local people with government should cooperate to handle this problem
if they want to reduce the impact of floods in this area. The information collected
from the household interview was summed up into a VCA matrix to see the
vulnerability and capacity in three broad aspects, including physical/material,
social/organizational and motivational/attitudinal.
References
Mary B Anderson and Peter J Woodrow [1989](1998) Rising from the Ashes:
Development Strategies in Times of Disaster. London: IT Publications.
Guarin, G. P. (2007). Local Knowledge and GIS: Implementing Community's
Perspective into Flood Hazard Assessment. Enschede, The Netherlands.
(Ongoing research).
UNDP (1992). An Overview of Disaster Management. New York, United
Nations Development. 2nd edition.
WHO. (2007). "Emergency Situation Report #6." Retrieved 6 June 2007, from
http://www.who.or.id/eng/contents/esr.html.
208|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Pendeteksian Asap Kebakaran Menggunakan Citra Komposit
MODIS
Email:
yenni.vetrita@gmail.com
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|209
Pendahuluan
Pendeteksian titik panas (hotspot) untuk memantau kebakaran hutan/lahan
sudah cukup lama dilakukan. Beberapa diantaranya sudah dilakukan secara
operasional menggunakan data NOAA-AVHRR (ASEAN Specialised
Meteorological Centre (ASMC), www.weather.gov.sg/wip/web/ASMC), maupun
satelit yang lebih baru yang diluncurkan pada tahun 2002 yaitu Terra dengan
salah satu sensornya MODIS. Pemantauan yang dilakukan menggunakan data
MODIS secara operasional cukup banyak dilakukan mengingat data ini mudah
diperoleh dan tidak dipungut biaya, misalnya The Fire Information for Resource
Management System/ASMC, Indofire Map Service
(http://indofire.landgate.wa.gov.au/), dll. Pemanfaatan data ini pun cukup luas
seperti estimasi area bekas kebakaran (Giglio et al., 2006; Roy et al., 2002;
Loboda et al., 2007), penentuan titik kebakaran di lapangan dan dapat dijadikan
sebagai upaya mitigasi bencana kebakaran sehingga dapat meminimalisir
dampak yang ditimbulkan.
210|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
sebagai pendekatan yang sederhana untuk mengidentifikasi asap maupun debu
yang tebal. Hal ini karena BRD mampu memisahkan asap yang ditimbulkan
akibat kebakaran besar dari biomassa dan debu dari berbagai kejadian, seperti
awan, es, asap maupun kondisi bebas awan. Chia et al. (2007) menemukan
bahwa produk MODIS aerosol sangat baik untuk mendeteksi asap dan dapat
dijadikan sebagai input model haze transport.
Untuk menguji hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kami mencoba
melakukan penelitian dengan menguji beberapa komposit RGB citra MODIS
resolusi 500 meter secara visual, dengan menggunakan kanal 1, 2, 3, 4, dan 6
yang masing-masing merupakan kanal merah, NIR, Biru dan SWIR untuk studi
kasus wilayah Riau. Dengan dipastikannya komposit terbaik, dapat dijadikan
sebagai alat pemantauan kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|211
KANAL (nm) Resolusi Contoh pemanfaatan aplikasi
3 469 500 m Soil, Vegetation Differences
4 555 500 m Green Vegetation
5 1240 500 m Leaf/Canopy Differences
6 1640 500 m Snow/Cloud Differences
7 2130 500 m Land and Cloud Properties, Sun glint and coastal false alarm
rejection.
Gambar 8. (Sumber: ATBD, MODIS Website); (panjang gelombang),
Metodologi
Sumber Data dan Area Studi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Citra MODIS hasil akuisisi LAPAN Pare-Pare dan citra MODIS yang tersedia
di website Indofire, tanggal 15 Oktober tahun 2010
212|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 1. Lokasi studi di Provinsi Riau. Bendera warna merah pada Gambar menunjukkan titik
kebakaran di lapangan, hasil validasi tahun 2010.
Metode Analisis
Analisis dilakukan dengan memplotkan titik koordinat lapangan pada beberapa
kombinasi RGB citra MODIS dari kanal 1,2,3,4, dan 6. Komposit terbaik adalah
yang dapat memberikan informasi kondisi asap yang lebih detail dibandingkan
yang lain. Apabila asap tidak dapat dideteksi pada kejadian kebakaran tersebut,
maka diasumsikan bahwa kejadian kebakaran tersebut tidak cukup besar atau
tertutup awan mengingat hal ini adalah salah satu kelemahan dalam deteksi
hotspot maupun asap dari citra satelit (Giglio et al, 2003; Singapore
Meteorological Service, 2011)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|213
lokasi yang ditemukan bekas kebakarannya di lapangan dan diperkirakan terjadi
sekitar tanggal 15 Oktober 2010. Sedangkan titik (A), (B) dan (D) merupakan
hasil pantauan visual yang didukung oleh keberadaan hotspot, yang dapat
terlihat jelas terjadinya kebakaran pada waktu tersebut. Hal ini dapat diyakini
pula mengingat pola asap yang ditimbulkan sama dengan titik (C) yang telah
divalidasi di lapangan.
Dari semua kombinasi yang dihasilkan, titik (C ) dapat terlihat dengan jelas
sebagai kejadian kebakaran yang memiliki jumlah hotspot sangat banyak. Hal
ini juga diyakini kebenarannya dari hasil validasi di lapangan. Namun untuk titik
(E), tidak dapat terdeteksi di citra satelit meskipun di lapangan telah ditemukan
bekas terjadinya kebakaran. Ada beberapa faktor yang memungkinkan hal ini
terjadi antara lain: (a) areal kebakaran tidak terlalu luas, (b) waktu kebakaran
tidak sama dengan waktu lintasan satelit, atau (c) tertutup awan (Giglio et al.,
2003).
Bila diperhatikan, kondisi awan dapat dideteksi dengan lebih baik pada titik (E)
yakni pada Gambar 4 (komposit citra kanal 2-1-2). Warna yang dihasilkan
adalah putih keunguan. Dengan demikian, komposit ini sangat bermanfaat
untuk memisahkan awan dari obyek lain. Namun komposit ini tidak lebih sensitif
untuk mendeteksi pola asap yang ditimbulkan akibat kebakaran. Sebaliknya
komposit citra 1-2-1 (Gambar 3) yang menonjolkan awan dengan warna putih,
jauh lebih baik untuk mendeteksi asap akibat kebakaran.
214|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
lautan, membutuhkan warna yang lebih kontras untuk dapat memisahkannya
dari asap atau awan. Komposit true color tampak lebih baik memisahkan objek
ini. Meskipun demikian, identifikasi menggunakan beberapa komposit kanal
yang ada, akan lebih meningkatkan keyakinan untuk mengindentifikasi asap
kebakaran yang terjadi di lapangan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|215
Gambar 3. Komposit citra MODIS kanal 1-2-1 tanggal 15 Oktober 2010
216|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 5. Komposit citra MODIS kanal 1-3-4 tanggal 15 Oktober 2010
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|217
Gambar 7. Komposit citra MODIS kanal 4-3-1 tanggal 15 Oktober2010
Kesimpulan
Penelitian untuk mendukung validasi hotspot yang dihasilkan dari citra satelit
Terra/Aqua MODIS telah dilakukan. Upaya tersebut meliputi pengecekan
beberapa komposit citra menggunakan kanal 1, 2, 3, 4, dan 6. Komposit citra
menggunakan kanal biru berperan penting untuk memisahkan asap dari obyek
lain. Meskipun komposit citra true color menunjukkan hasil yang lebih baik
secara visual, namun dukungan komposit citra kanal lain serta lokasi hotspot
sangat bermanfaat untuk memastikan lokasi kebakaran di lapangan.
Daftar Rujukan
Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing. Forest Fire Detection and
Monitoring. http://www.crisp.nus.edu.sg, diakses tanggal 24 Agustus
2011.
Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing. Interpreting Optical
Remote Sensing Images.
218|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Http://Www.Crisp.Nus.Edu.Sg/~Research/Tutorial/Opt_Int.Htm#Colour.
Diakses tanggal 1 Agustus 2011.
CHIA, Aik Song., Kim Hwa LIM, Boon Ning CHEW, Santo V. SALINAS and Soo
Chin LIEW. 2007. Detection of smoke haze from vegetation fires using
modis aerosol products. ACRS proceeding (http://www.a-a-r-
s.org/acrs/proceeding/ACRS2007/Papers/PS1.G6.3.pdf).
Cochrane, M.A. 2003. Fire science for rainforests. Nature 421
Csiszar, Ivan A., Jeffrey T. Morisette, and Louis Giglio. 2006. Validation of
Active Fire Detection From Moderate-Resolution Satellite Sensors: The
MODIS Example in Northern Eurasia. Ieee Transactions on Geoscience
and Remote Sensing 44, 7
Giglio, L., G. R. Van Der WerfJ, T. Randerson, G. J. Collatz , P. Kasibhatla.
2006. Global estimation of burned area using MODIS active fire
observations. Atmospheric Chemistry and Physics 6, 4, 957-974
Giglio, Louis., Jacques Descloitres, Christopher O. Justice, Yoram J. Kaufman.
2003. An Enhanced Contextual Fire Detection Algorithm for MODIS.
Remote Sensing of Environment 87, 273282.
Indofire map service. http://indofire.landgate.wa.gov.au/, diakses 1 Agustus
2011.
Kartasasmita, Mahdi. 2011. Aplikasi Umum Kanal Optik (Dirujuk Pada Sensor
Landsat ETM), Baselining LAPAN, 4-7 Juli 2011.
Liu, Ronggao and Yang Liu. 2010. Blue Reflectances Contrast of Modis
Imagery: Implication for Dust and Biomass Burned Smoke Detection.
Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), 25-30 July, Pg.
1149 1150.
Loboda, T., K.J. O'Neal and I. Csiszar. 2007. Regionally adaptable dNBR-based
algorithm for burned area mapping from MODIS data. Remote Sensing of
Environment 109, 4, 429-442.
MODIS Website. Algorithms. http://modis.gsfc.nasa.gov/data/atbd/index.php,
diakses 25 Agustus 2011.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|219
Nakya, Suwalak, Anusorn Rangsipanich and Wanapong Kaewsing. 2007.
Applications of terra modis data for disaster monitoring in Thailand. ACRS
proceeding.
Phonekeo, Vivarad. 2008. Monitoring of Active Fire, Smoke and Haze in
Southeast Asia using MODIS products (MOD14, MOD04) Terra/Aqua
MODIS Receiving Station, A case study of Thailand. Geoinformatics
Center Asian Institute of Technology. July 15, 2008.
Roy, D.P., P. E. Lewis and C. O. Justice. 2002. Burned area mapping using
multi-temporal moderate spatial resolution data a bi-directional reflectance
model-based expectation approach. Remote Sensing of Environment 83,
263-286.
Singapore Meteorological Service. Interpreting satellite imageries.
http://www.weather.gov.sg/wip/web/ASMC/Satellite_Imagery, diakses
tanggal 26 Agustus 2011.
Suwarsono dan Parwati. 2004. Studi Identifikasi Kabut Asap Kebakaran Hutan
dan Lahan Menggunakan Analisis Spektral Data NOAA-18/AVHRR.Jurnal
Inderaja.
The Fire Information for Resource Management System (FIRMS).
http://maps.geog.umd.edu/firms/, diakses 1 Agustus 2011.
Tjahjaningsih, Arum., Katmoko Ari Sambodo, dan Indah Prasasti. 2005.
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV.
220|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Deteksi Kekeringan Menggunakan Data MODIS di Kalimantan
Abstrak. Based on data from BNPB (National Board for Disaster Management), drought is
the second largest disaster after the flood since 2000-2007 in Indonesia. The impact of
drought has decreased food production as well as trigger the occurrence of forest/land
fires. Fires that occur each year has become a serious concern due to large emission
contribution in the world. Drought can be detected using parameter vegetation index
from MODIS satellite remote sensing data.
The objective of this study is to detect drought using MODIS data in Kalimantan.
Parameters of vegetation indexes used are EVI (Enhanced Vegetation Index), VCI
(Vegetation Condition Index), TCI (Temperature Condition Index), and VHI (Vegetation
Health Index). The results of this study indicate there is a fluctuation drought during
January to August 2011. Peak drought occurred on March 2011 that is in the western
part of West Kalimantan, eastern part of Central Kalimantan, and western part of South
Kalimantan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|221
Pendahuluan
Latar Belakang
Bencana kekeringan lahan dan kebakaran hutan/lahan di Indonesia merupakan
persoalan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun akibat fenomena alam,
serta perubahan penggunaan lahan. Kekeringan dapat menyebabkan
berkurangnya persediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan vegetasi
selama musim kemarau. Apabila keadaan ini terjadi, maka dapat
mengakibatkan meluasnya lahan kritis yang akan berdampak terjadinya
degradasi kualitas lingkungan. Kekeringan lahan juga dapat mengakibatkan
penurunan atau gagalnya produksi tanaman pangan, kekurangan cadangan air,
serta terjadinya kebakaran hutan/lahan.
Menurut Wilhite & Glanz (1985), ada tiga jenis kekeringan lahan, terdiri atas:
kekeringan meteorologis, kekeringan agronomis, dan kekeringan hidrologis.
Kekeringan secara meteorologis berhubungan dengan curah hujan atau
presipitasi, kekeringan agronomis berhubungan dengan kelengasan tanah, dan
kekeringan hidrologis berhubungan dengan ketersediaan aliran air dibawah
permukaan tanah.
222|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Berdasarkan data kebencanaan dalam kurun waktu 8 tahun (periode tahun
2000 sampai dengan tahun 2007) dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) menyebutkan bahwa bencana kekeringan yang sering terjadi di
Indonesia merupakan bencana peringkat kedua setelah bencana banjir.
Bencana kekeringan ini dapat dideteksi dari data penginderaan jauh MODIS,
dimana data tersebut dapat memperlihatkan adanya indeks vegetasi dan indeks
kekeringan yang terjadi di suatu wilayah.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan deteksi kekeringan lahan
menggunakan data penginderaan jauh MODIS di Kalimantan. Dalam deteksi
kekeringan lahan menggunakan parameter indeks vegetasi dan indeks
kekeringan yang dapat diekstraksi dari data MODIS yang memiliki keterkaitan
dengan kekeringan lahan, yaitu meliputi; EVI, VCI, TCI, dan VHI.
Tinjauan Pustaka
Beberapa data satelit penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk
pemantauan perubahan lahan, kekeringan lahan dan kebakaran hutan
diantaranya adalah MODIS. MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer) merupakan instrumen pembawa yang terdapat pada satelit
Terra (EOS AM-1), diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-
1), diluncurkan pada 4 Mei 2002. MODIS merekam hampir keseluruhan
permukaan bumi setiap hari, untuk memperoleh data dalam 36 band spektral di
atas dihasilkan citra dengan swath/lebar cakupan 2330 km. Sensor Terra
mengelilingi bumi dari utara ke selatan melewati equator pada pagi hari
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|223
sedangkan Aqua mengelilingi bumi dari selatan ke utara melewati ekuator pada
sore hari. Sensor Terra dan Aqua merekam permukaan bumi sebanyak 4 kali
dalam sehari yaitu 2 kali pada pagi hari dan 2 kali pada malam hari (Ichoku et
al., 2003).
Dua indeks vegetasi yang paling banyak diaplikasikan pada data MODIS adalah
NDVI dan EVI. NDVI dapat dihitung melalui rasio yang dibangun dari kanal
spektral infra merah (Infra Red/IR) dan infra merah dekat (Near Infra Red/NIR).
224|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Sedangkan EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI. EVI
telah diketahui lebih sensitif terhadap perubahan biomasa selama fase vegetatif
yang lama, serta tahan terhadap efek atmosfer dan kanopi (Huete et al.,1997).
Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah (red), kanal infra
merah dekat (NIR) dan kanal biru (blue). Kanal spektral biru sangat sensitif
terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Xiao et al.,
2006).
Metodologi
Data
Data yang digunakan dalam penelitian deteksi kekeringan ini adalah data
penginderaan jauh MODIS, adapun data yang digunakan secara rinci seperti
pada tabel 1 berikut ini:
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kekeringan
agronomis, dimana dalam kekeringan agronomis menggunakan parameter
indeks vegetasi dan indeks kekeringan yang dapat diekstraksi dari data MODIS
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|225
yang memiliki keterkaitan dengan kekeringan lahan, yaitu meliputi; EVI
(Enhanced Vegetation Index), VCI (Vegetation Condition Index), TCI
(Temperature Condition Index), dan VHI (Vegetation Health Index). Formulasi
yang digunakan untuk penghitungan parameter indeks tersebut sebagai berikut:
Nilai LST diturunkan berdasarkan algoritma split window yang dirumuskan oleh
Mao et al (2005). Adapun kanal-kanal yang digunakan untuk menurunkan nilai
LST adalah kanal 2, 17, 18, 19, 31 dan 32.
(1)
dimana :
(2)
dimana :
(3)
dimana :
226|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
NDVI max : Nilai NDVI maksium
NDVI min : Nilai NDVI minimum
TCI (Temperature Condition Index) Kogan (2000):
(4)
dimana :
(5)
dimana :
Diagram Alir
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|227
Hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan data MODIS untuk kekeringan lahan dari bulan
Januari hingga Agustus 2011, dapat dianalisis sebagai berikut:
Hasil pengolahan data MODIS pada bulan Januari 2011 hanya sebagian saja
daerah yang terjadi kekeringan (Gambar 2). Kekeringan yang terjadi di
Kalimantan Barat terjadi di Kabupaten Sambas bagian utara, kekeringan di
Kalimatan Tengah terjadi di daerah Pegunungan Schwaner dan Daerah
Tamianglayang bagian utara, dan kekeringan yang terjadi di Kalimantan Selatan
terjadi di daerah Tanjung bagian utara, serta kekeringan yang terjadi di
Kalimantan Timur terjadi di Malinau bagian utara dan di Kabupaten
Tanjungredep bagian timur.
Pengolahan data MODIS untuk kekeringan pada bulan Februari 2011 lebih
banyak dibandingkan dengan kekeringan yang terjadi di bulan Januari 2011.
Sebagian besar kekeringan di bulan Februari ini (Gambar 3) terjadi di
Kalimantan Barat bagian selatan dan Kalimantan Selatan bagian barat.
Kekeringan di bulan Februari 2011 dimana kekeringan di Kalimantan Barat
terjadi di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau bagian utara, serta di
Kabupaten Ketapang bagian selatan. Kekeringan yang terjadi di Kalimatan
Tengah terjadi di Kotawaringin dan Riam bagian barat, serta Kuala Kurun.
Hasil pengolahan data MODIS untuk kekeringan di Kalimantan bulan April 2011
(Gambar 5) semakin berkurang dibandingkan kekeringan yang terjadi dibulan
228|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Maret. Kekeringan yang terjadi dibulan April 2011 di Kalimantan terjadi di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pengolahan data MODIS untuk
kekeringan di Kalimantan Barat bulan April 2011 terjadi di Pontianak dan di
Sintang. Sedangkan kekeringan di Kalimantan Timur dibulanApril 2011 terjadi di
daerah Longboh dan sebagian daerah Longnawan. Kekeringan di Kalimantan
bulan Mei 2011 (Gambar 6) semakin menurun untuk Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur, sedangkan untuk Kalimntan Selatan dan Kalimantan Tengah
terjadi adanya sedikit peningkatan. Peningkatan terjadinya kekeringan di
Kalimantan Selatan terjadi di daerah Marabahan, Amuntai dan Tanjung,
sedangkan kekeringan di Kalimantan Tengah terjadi di Palangkaraya bagian
utara sampai daerah Kuala Kurun.
Pengolahan data MODIS untuk kekeringan pada bulan Juni 2011 (Gambar 7) di
Kalimantan kembali meningkat dibandingkan kondisi kekeringan di bulan Mei
2011. Peningkatan terjadi di Kalimantan Barat dan sebagian di Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kekeringan di Kalimantan
Barat terjadi di daerah Ketapang, Kotabaru, Pontianak, Sanggau, Sintang, dan
Putussibau. Sedangkan kekeringandi Kalimantan Timur terjadi di Samarinda,
Longlees, Longboh, Longnawan, Longpemuat dan Longbawan. Kekeringan
yang terjadi Kalimantan Tengah dibagian utara dan kekeringan di Kalimantan
Selatan terjadi dibagian barat.
Hasil pengolahan data MODIS untuk kekeringan dibulan Agustus 2011 (Gambar
9) kembali terjadi peningkatan dihampir semua daerah di wilayah Kalimantan.
Kekeringan yang terjadi Kalimantan Barat terjadi di sebagian Kotabaru, dan
sebagian besar kekeringan terjadi di daerah Sanggau dan Sintang. Kekeringan
yang terjadi di Kalimantan Tengah terjadi di bagian utara dan bagian tengah
yakni di daerah Buntok, Kasongan dan disekitar Pegunungan Schwaner.
Kekeringan di Kalimantan Selatan terjadi di daerah Marabahan dan Amuntai.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|229
Sedangkan kekeringan yang terjadi di Kalimantan Timur terjadi Samarinda,
Barongtangkak, Longboh, Tanjung Redep, Tanjung Selor, Longlai dan
Longpeso.
Gambar 2. Kekeringan (VHI) Bulan Januari 2011 Gambar 3. Kekeringan (VHI) Bulan Februari
2011
Gambar 4. Kekeringan (VHI) Bulan Maret 2011 Gambar 5. Kekeringan (VHI) Bulan April 2011
Gambar 6. Kekeringan (VHI) Bulan Mei 2011 Gambar 7. Kekeringan (VHI) Bulan Juni 2011
230|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 8. Kekeringan (VHI) Bulan Juli 2011 Gambar 9. Kekeringan (VHI) Bulan Agustus
2011
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengolahan citra MODIS untuk kekeringan di Kalimantan
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2011, dapat disimpulkan
bahwa kekeringan yang paling tinggi terjadi pada bulan Maret 2011,
kekeringan yang luas terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|231
Daftar Pustaka
232|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Analisis Tanah Longsor di Tenjolaya Menggunakan Data
Penginderaan Jauh
Abstrak. Longsor yang terjadi di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten
Bandung pada tanggal 23 Februari 2010 akibat hujan yang lebat pada hari sebelumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis terjadinya tanah longsor berdasarkan
data penginderaan jauh di Desa Tenjolaya. Analisis data menggunakan citra satelit
MTSAT-1R dan QMORPH, serta kondisi fisik daerah di sekitar Bandung dapat dilihat dari
berbagai citra penginderaan jauh, antara lain: citra ALOS dan Citra IKONOS. Hasil
analisis curah hujan dari data satelit MTSAT memperlihatkan adanya peluang hujan yang
lebat pada hari sebelumnya, dan data Qmorph memperlihatkan adanya curah hujan yang
lebat sampai dengan sangat lebat, sedangkan dari citra ALOS dan Ikonos
memperlihatkan bahwa morfologi daerah terjadinya longsor adalah merupakan daerah
perkebunan teh yang terletak di daerah perbukitan yang tinggi yang merupakan daerah
rawan longsor.
Abstract. The landslide in Tenjolaya Village, Pasir Jambu Subdistrict, Bandung District
on February 23, 2010 was triggered by a heavy rainfall on previous day. The aim of the
research is to analyze the landslide occurrence based on remote sensing data in
Tenjolaya Village. The data analyze uses satellite images MTSAT-1R and QMORPH, and
physical condition around Bandung, which can be seen from various remote sensing
images, among others ALOS and IKONOS images. The result of rainfall analysis from
MTSAT satellite shows a probability of heavy rainfall on previous day, and QMORPH data
shows the heavy to very heavy rainfall. Meanwhile ALOS and IKONOS images shows that
the morphology around the landslide area is a tea plantation field located in the high
mountainous coverage with landslide sensitive properties.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|233
Pendahuluan
Latar Belakang
Bencana tanah longsor di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten
Bandung, Provinsi Jawa Barat yang terjadi pada tanggal 23 Februari 2010
mengakibatkan 50 rumah milik buruh, satu pabrik pengolahan teh, satu gedung
olahraga, satu koperasi karyawan, satu puskesmas pembantu, dan satu masjid
tertimbun tanah longsor.
Jumlah korban jiwa, akibat longsor berjumlah 45 orang, terdiri dari 12 orang laki-
laki, 21 orang perempuan, dan 12 orang anak-anak berdasarkan dari data
pengaduan dari masyarakat yang kehilangan anggota keluarga kepada posko
penanganan bencana longsor.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tanah longsor menggunakan data
satelit penginderaan jauh yang terjadi di Desa Tenjolaya, Kecamatan Jeruk
Legi, Kabupaten Bandung pada tanggal 23 Februari 2010.
234|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kondisi Fisik Daerah Bandung
Kondisi Fisik Daerah Bandung dan sekitarnya meliputi letak geografis,
morfologi, geologi dan tanah.
Letak Geografis
Morfologi
Geologi
Geologi daerah Bandung dan sekitarnya secara umum dicirikan oleh batuan
hasil aktivitas gunung berapi Tangkuban Perahu, kompleks Sunda, dan
sedimen laut berumur Miosen hingga Resen. Berdasarkan ciri-ciri litologi yang
membedakan batuan penyusunnya, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|235
2. Hasil gunung api tua, satuan ini terdiri dari perselingan antara breksi gunung
api, lahar, dan lava. Penyebaran di daerah Bandung dikenal sebagai formasi
Cikapundung berumur Plistosen, dengan ketebalan 0 meter hingga 350
meter.
3. Hasil gunung api muda, satuan ini terdiri dari breksi gunung api lapili, lava
dan tufa, penyebaran di daerah Bandung dikenal dengan formasi Cibeureum
dan formasi Cikidang.
7. Kolovium, satuan ini terbentuk dari reruntuhan gunung api, dengan material
berupa bongkah batuan beku, batu pasir tufaan, dan lempung tufaan.
Tanah
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1 : 250.000 tahun
1966 oleh Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor, bahwa jenis tanah di
Daerah Bandung dan sekitarnya adalah Asosiasi Glei humus rendah dan
Aluvial kelabu, Latosol coklat kemerahan, Aluvial coklat kekelabuan,
Grumusol kelabu tua, dan Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat
Kekelabuan. Adapun untuk mengetahui jenis tanah, bahan induk dan fisiografi
seperti pada tabel berikut.
236|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
NO. JENIS TANAH BAHAN INDUK FISIOGRAFI
4 Grumusol kelabu tua Batu kapur dan napal Bukit lipatan
5 Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Endapan Liat dan berpasir Dataran
Coklat Kekelabuan
Sumber: Peta Tanah Tinjau Jawa Barat, 1966.
Metodologi
Data Yang Digunakan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: data MTSAT-1R tanggal 17
dan 22 Februari 2010, data Qmorph pada tanggal 17 Februari 2010, citra ALOS
AVNIR tanggal 23 Juni 2009 (sebelum terjadi longsor), citra ALOS AVNIR
tanggal 27 Februari 2010 (sesudah terjadi longsor), citra IKONOS tanggal 3 Juli
2007 (sebelum terjadi longsor), citra IKONOS tanggal 2 Maret 2010 (sesudah
terjadi longsor), dan data Digital Elevation Model - Shuttle Radar Topography
Mission (DEM - SRTM) Resolusi 90 m tahun 2000.
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
1) Melakukan Download data dari file bin setiap jam untuk data MTSAT - 1R
2) Melalukan Convert data format bin ke format ers untuk setiap jam.
Sedangkan untuk pengolahan data citra ALOS dan citra IKONOS dilakukan
koreksi geometrik dan selanjutnya dilakukan Cropping lokasi terjadinya longsor
dan daerah sekitarnya.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|237
Tenjolaya, Kecamatan Jambu, Kabupaten Bandung dan sekitarnya dapat
dilihat pada Gambar 1a, 1b, dan 1c. Curah hujan pada tanggal 17 Februari 2010
jam 10 UTC seperti pada Gambar 1a, terlihat bahwa adanya peluang hujan
yang lebat (dalam gambar terlihat warna kuning) dan peluang hujan sangat
lebat (dalam gambar telihat warna merah), sedangkan peluang hujan yang
terjadi pada tanggal 22 Februari 2010 jam 11 UTC seperti pada Gambar 1c,
terlihat adanya peluang hujan lebat (dalam gambar terlihat warna kuning).
Analisis data curah hujan dari hasil pengolahan data Qmorph (Q Morphing) di
daerah Jawa Barat khususnya di Wilayah Bandung dan sekitarnya dapat dilihat
pada Gambar 1b. Sebagai contoh curah hujan sebelum terjadinya longsor pada
tanggal 17 Februari 2010 (Gambar 1b), terlihat bahwa curah hujan cukup besar
berkisar antara 35 mm - 45 mm/jam (dalam Gambar 1b terlihat warna kuning).
dan bahkan curah hujan terjadi lebih dari 45 mm/jam (dalam Gambar 1b terlihat
warna merah). Curah hujan yang cukup tinggi pada tanggal 17 Februari 2010,
apabila terjadi berturut-turut selama beberapa hari atau terakumulasi (dari
tanggal 17 sampai dengan tanggal 22 Februari 2010) maka akan sangat
memicu terjadinya longsor di wilayah tersebut. Curah hujan yang terakumulasi
selama beberapa hari tersebut, akhirnya terjadi tanah longsor di Desa
Tenjolaya, Kabupaten Bandung pada tanggal 23 Februari 2010.
238|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Sumber: QMORPH
Gambar 2. Citra QMORPH 17 Februari 2010 Jam 10 UTC
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|239
Gambar 4. Peluang Hujan dari Data MTSAT-1R (17 dan 22 Februari 2010) dan Curah Hujan dari
QMORPH (17 Februari 2010)
Gambar 5. Citra ALOS dan Citra IKONOS sebelum dan sesudah longsor
240|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Analisis Citra Satelit
Berdasarkan citra DEM - SRTM (Digital Elevation Model - Shuttle Radar
Topographic Mision) pada tahun 2000 seperti pada Gambar 2, dapat dianalisis
bahwa dari citra DEM SRTM tahun 2000 di daerah Jawa Barat khususnya
Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung terlihat lokasinya bervariasi antara
dataran rendah di bagian selatan dan semakin ke utara merupakan dataran
tinggi, yang mempunyai ketinggian antara 0 sampai 1000 m di atas permukaan
air laut.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|241
Analisis Data Tanah
1). Asosiasi Glei humus rendah dan Aluvial kelabu
Jenis tanah ini mempunyai bahan induk endapan liat, terdapat di daerah yang
datar yang merupakan tanah yang cukup banyak mengandung hara tanaman,
daerah ini diperlukan sekali pengaturan terhadap tata air termasuk perlindungan
terhadap banjir, drainase dan irigasi.
Jenis tanah ini mempunyai bahan induk Tuf volkan intermedier, dengan
fisiografi volkan. Jenis tanah latosol coklat kemerahan mempunyai batas-batas
horison yang relatif jelas, bertekstur lempung, dengan struktur remah sampai
pejal, konsistensi bervariasi dan gembur sekali.
Jenis tanah Aluvial coklat kekelabuan mempunyai bahan induk endapan liat,
terdapat di daerah yang datar yang sering digenangi air, sehingga warna tanah
kelabu tua atau kehitam-hitaman, sifat tanah lekat tanpa struktur.
4). Grumusol
Jenis tanah ini merupakan bahan induk batu kapur dan napal dengan fisiografi
bukit lipatan. Jenis tanah ini perkembangannya ditentukan oleh susunan dan
struktur batu kapur.
Jenis tanah ini terdapat di daerah dataran yang sering digenangi air, sehingga
warna tanah kelabu tua, dengan bahan induk endapan liat berpasir. Tanah jenis
ini penyebarannya mempunyai sifat fisika yang kurang baik sampai dengan
sedang.
242|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
hujan yang lebat sampai dengan sangat lebat yaitu berkisar antara 35
sampai 45 mm/ jam, sehingga curah hujan ini akan memicu terjadinya
tanah longsor.
3. Daerah yang berbukit dengan kemiringan lereng yang terjal sampai curam
dengan penutup lahan dan penggunaan lahan perkebunan dan
permukiman (sangat jelas terlihat dari citra IKONOS), apabila terjadi hujan
yang lebat selama beberapa hari maka akar tanaman di daerah
perkebunan tidak lagi kuat menahan air maka akan berpotensi terjadinya
tanah longsor.
Saran
1. Perlu diwaspadai potensi longsor di sekitar daerah kejadian tanah longsor
(di Desa Tenjolaya) yang mempunyai kesamaan atau ciri-ciri dalam hal
morfologi dan penutup lahannya, dengan mempunyai ciri-ciri yang sama
kemungkinan potensi terjadinya tanah longsor semakin besar.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|243
Daftar Pustaka
Bieri, Stephan., Disaster Risk Management and the Systems Approach World
Institute for Disaster Risk Management (DRM), (www.drmonline.net).
2003.
Donn William L., Meteorologi, MC Graw-Hill, New York. 1975.
Lembaga Penelitian Tanah (LPT). Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala
1 : 250.000. Bogor. 1966
Meijerink, A., Hydrogeomorphology (Lecture Note), Departement of
Geomorphology, ITC, The Netherlands. 1982.
Niewolt, S. Tropical Climatology: An Introduction on Climates of The Law
Latitudes. John Willey and Sons. New York USA. 1982.
Simpson, Joanne,. Global Circulation and Tropical Cloud Activity, Goddard
Space Filight Center, National aeronautics and Space Administration,
Greenbelt, Mariland, USA. 1992.
William L. Donn (Professor, Dept. of Earth and Planetary Sciences, The City
College of New York). Meteorology. 1975.
Wisnu Wibowo, Puryanto Repoyadi,. Geometri Akuifer dan Potensi Air Tanah
Cekungan Bandung ( Seminar Air Tanah Cekungan Bandung, ITB -
Bandung). 1995.
244|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Informasi Spasial Titik Panas Menggunakan Globe Virtual: Studi
Kasus Menggunakan Data MODIS Wilayah Indonesia
Email :
ayah_ale@yahoo.com
Abstrak. Salah satu produk informasi spasial dari Bidang Lingkungan dan Mitigasi
Bencana adalah informasi spasial titik panas (Hotspot) untuk wilayah Indonesia,
khususnya propinsi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan menggunakan data
MODIS. Informasi spasial ini dihasilkan secara harian maupun bulanan dan telah di-
diseminasi-kan melalui website SIMBA (www.lapanrs.com/simba), serta dapat diunduh
oleh para pengguna. Dalam rangka memberikan informasi spasial titik panas yang lebih
menarik dan hiperaktif bagi pengguna, perlu dilakukan perubahan baik tampilan maupun
isi informasi spasial tersebut sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Google
Earth merupakan program globe virtual atau disebut juga dengan Earth Viewer. Program
ini dibuat oleh Keyhole, Inc. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar
permukaan Bumi. dan juga merupakan sebuah klien Web Map Service. Google Earth
mendukung pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language
(KML). KML adalah format file yang digunakan untuk menampilkan data geograpi
informasi system dalam Earth browser, seperti Google Earth, Google Maps, dan Google
Maps untuk mobile. Dalam tulisan ini, dilakukan kombinasi antara format data
geospasial dengan format KML, dan nantinya dapat diunduh secara realtime dengan
menggunakan earth browser. Informasi spasial titik api berbasis KML memberikan
beberapa informasi lintang, bujur, lokasi atau posisi titik panas kejadian yang
diprediksiskan telah terjadi di wilayah Indonesia. Tulisan ini diharapkan menjadi bahan
untuk pengambilan keputusan bagi pihak terkait dan menambah referensi pemanfaatan
di bidang teknologi informasi.
Abstract. One product of spatial information from the Division of Environment and
Disaster Mitigation is the spatial information of hotspots for parts of Indonesia,
especially Sumatra province, Kalimantan, and Sulawesi using MODIS data. Spatial
information is generated daily or monthly and has been the dissemination through the
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|245
website SIMBA (www.lapanrs.com/simba), and can be downloaded by users. In order to
provide spatial information of hot spots and hyperactivity are more attractive to users,
is necessary to change both the look and content of spatial information in accordance
with the development of information technology. Google Earth is a virtual globe
program or also called Earth Viewer. The program was created by Keyhole, Inc.. Google
Earth was able to show all the images the Earth's surface. and is also a Web Map Service
client. Google Earth supports managing three-dimensional Geospatial data through
Keyhole Markup Language (KML). KML is a file format used to display data geography
information systems in the Earth browser, such as Google Earth, Google Maps, and
Google Maps for mobile. In this paper, do a combination of geospatial data formats to
KML format, and can later be downloaded in real time by using the earth browser.
Spatial information-based KML hotspots provide some information of latitude, longitude,
location or position of the hot spots that diprediksiskan events have occurred in parts of
Indonesia. This paper is also expected to be material to decisions that affect the
relevant parties and add a reference in the field of information technology utilization.
Pendahuluan
Salah satu produk informasi spasial Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana
adalah informasi spasial titik panas (Hotspot) untuk wilayah Indonesia,
khususnya propinsi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan menggunakan
data MODIS. Informasi spasial ini dihasilkan secara harian maupun bulanan dan
telah di-diseminasi-kan melalui website SIMBA (www.lapanrs.com/simba), serta
dapat diunduh langsung oleh para pengguna.
Dalam rangka memberikan informasi spasial titik panas yang lebih menarik dan
hiperaktif bagi pengguna, perlu dilakukan perubahan baik tampilan maupun isi
informasi spasial tersebut sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Google Earth merupakan sebuah program globe virtual atau disebut juga
dengan Earth Viewer. Program ini dibuat oleh Keyhole, Inc. Google Earth
mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi. dan juga merupakan
sebuah klien Web Map Service. Google Earth mendukung pengelolaan data
246|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language (KML). KML adalah
format file yang digunakan untuk menampilkan data geograpi informasi system
dalam Earth browser, seperti Google Earth, Google Maps, dan Google Maps
untuk mobile.
Dalam tulisan ini, dilakukan kombinasi antara format data geospasial dengan
format KML, dan nantinya dapat diunduh secara realtime dengan menggunakan
earth browser. Informasi spasial titik api berbasis KML memberikan beberapa
informasi lintang, bujur, lokasi atau posisi titik panas kejadian yang
diprediksiskan telah terjadi di wilayah Indonesia. Tulisan ini juga diharapkan
menjadi bahan untuk pengambilan keputusan bagi pihak terkait dan menambah
referensi pemanfaatan di bidang teknologi informasi.
Komponen utama SIG adalah sistem komputer, data geospatial dan pengguna
seperti: Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras (hardware),
perangkat lunak (software) dan prosedur untuk penyusunan pemasukkan data,
pengolahan, analisis, pemodelan (modelling), dan penayangan data geospatial.
Sumber-sumber data geospatial adalah peta digital, foto udara, citra satelit,
tabel statik dan dokumen lain yang berhubungan.
Data dalam SIG dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu data spasial dan data
non spasial. Data spasial merupakan data yang memuat tentang lokasi suatu
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|247
objek dalam peta berdasarkan posisi geografi objek tersebut di dalam bumi
dengan menggunakan sistem koordinat.
Google Earth digunakan untuk menampilkan Earth KML file. File ini dapat dibuat
dengan menggunakan bahasa XML (eXtra Mark up Laguange). Namun banyak
sudah bahasa aplikasi yang digunakan untuk melakukan konversi file dalam
format shapefile ke dalam format KML file. Sehingga bagi pengguna dapat
melihat file KML ini pada browser masing-masing setelah terinstal Google Earth.
Banyak aplikasi yang dapat menampilkan KML file, seperti Google Earth,
Google Maps, Google Maps untuk mobile, NASA WorldWind, ESRI ArcGIS
Explorer, Adobe PhotoShop, AutoCAD, dan Yahoo Pipes.
Gambar di bawah ini merupakan timeline sejarah dari Google sejak tahun 1996
hingga tahun 2010. Sejak terjadinya diskusi antara dua mahasiswa pada saat
penemuan masalah mengenai data hingga perkembangan terakhir daripada
produk yang telah dihasilkan oleh Google.
248|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 1. Timeline sejarah dari Google sejak tahun 1996 hingga tahun 2010
Metodologi Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
4. Tahap keempat adalah tahap pengujian hasil untuk melihat apakah sistem
yang dibuat sudah atau belum sesuai dengan kebutuhan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|249
5. Tahap kelima adalah membuat dokumentasi untuk tiap tahapan proses di
atas sebagai kebutuhan laporan dalam Tugas Akhir.
Rekapitulasi harian dari titik panas wilayah Indonesia dilakukan setiap hari dan
inventarisasi untuk masukan ke dalam file KML nantinya. Rekapitulasi ini berisi
informasi titik panas di setiap propinsi dengan titik Latitude dan Longitude.
Selain itu dalam file titik panas ini berisi satelit MODIS Terra atau Aqua yang
digunakan.
250|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 2. Rekapitulasi titik panas Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2011.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|251
Dengan informasi spasial yang diberikan seperti beberapa gambar di atas, dan
dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi dalam bidang geograpi
informasi system maka perlu dilakukan kombinasi penyampaian secara virtual
bagi pengguna, sehingga lebih menarik dan hiperaktif.
Untuk memudahkan pembuatan file KML diperlukan aplikasi konversi shape file
ke format KML. Dalam hal ini digunakan aplikasi shp2kml yang dapat diunduh
secara gratis. Penggunaann Google earth ini memudahkan koleksi data secara
harian dan dapat kita buat sub folder untuk kebutuhan rekapitulasi tambahan,
seperti rekapitulasi Hotspot per hari dan rekapitulasi hotspot per propinsi.
Dengan adanya teknologi Google earth, maka informasi spasial ini dapat
dilakukan kombinasi sehingga dalam bentuk tampilan seperti pada gambar 4,
berikut merupakan hasil kombinasi shapefile dengan KML file.
Gambar 4. Tampilan rekapitulasi titik panas wilayah Indonesia (titik-titik warna merah merupakan titik
panas).
252|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 5. Tampilan rekapitulasi titik panas wilayah Indonesia per propinsi dalam bentuk grafik.
Gambar 6. Tampilan rekapitulasi titik panas wilayah Indonesia per hari dalam bentuk grafik.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|253
Gambar 7. Tampilan tempat pengunduhan file KML di website lapanrs.com/simba.
Sebelum diunduh alangkah baiknya diinstal terlebih dahulu google earth pada
computer browser, sehingga akan memudahkan proses visualisasi.
254|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Daftar Pustaka
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|255
256|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Indeks Kekeringan Meteorologis SPI (Standardized Precipitation
Index) sebagai Peringatan Dini Bahaya Kebakaran Hutan di
Indonesia Berdasarkan Data Satelit TRMM
Email:
parwati_s@yahoo.com
Abstract. The main cause of forest/land fires are the human factors associated with
land clearing for agriculture businesses, plantations and forestry. In addition to human
factors, forest/land fires in Indonesia affected by extreme climate phenomena ENSO (El
Nino and the Southern Oscillation) which causes a high level of drought and trigger the
fires. The first indication the drought is shown by a deficit of rainfall in a particular
period, or referred to meteorological drought. The area which has decifit rainfall shoud
be give more attention, especially in areas prone to forest fires/land, because it can
trigger the fire. In this study, we try to use SPI (Standardized Precipitation Index)
method based on TRMM rainfall data in Indonesia (1998-2008). SPI model is then applied
to monitor the meteorological drought conditions in Indonesia in 2009 and 2010 period.
The results showed that SPI can represent drought conditions in Indonesia in extreme
climatic conditions of El Nino in 2009, and La Nina conditions that cause an increase in
rainfall as happened in Indonesia in 2010. Meanwhile, the results of SPI analysis related
to hotspot data show that approximately 80% of hotspots are in the negative SPI (dry
conditions), where the highest number of hotspots during the years 2009 to 2010 are in
the interval -1.2 to -1.5 SPI. This suggests that the meteorological drought index SPI can
be used as a Drought Early Warning System that led to forest fire/land in Indonesia.
Abstrak. Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah faktor manusia terkait
dengan pembukaan lahan bagi usaha-usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Selain faktor manusia, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dipengaruhi oleh
fenomena iklim ekstrim ENSO (El Nino and the Southern Oscillation) yang menyebabkan
tingkat kekeringan menjadi tinggi sehingga memudahkan untuk terjadinya kebakaran.
Indikasi pertama adanya kekeringan ditunjukkan oleh adanya defisit curah hujan pada
periode tertentu, atau disebut dengan kekeringan meteorologis. Kondisi curah hujan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|257
yang defisit menjadi suatu indikator yang perlu diperhatikan terutama di wilayah rawan
kebakaran hutan/lahan, karena dapat memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan. Pada
penelitian ini kekeringan meteorologis dibangun berdasarkan model SPI (Standardized
Precipitation Index) menggunakan data curah hujan dari satelit TRMM bulanan periode
tahun 1998-2008. Model SPI tersebut kemudian diaplikasikan untuk memantau kondisi
kekeringan meteorologis di wilayah Indonesia periode tahun 2009 dan 2010. Hasilnya
menunjukkan bahwa SPI dapat merepresentasikan kondisi kekeringan di Indonesia pada
kondisi iklim ekstrim El Nino tahun 2009, serta kondisi La Nina yang menyebabkan
peningkatan curah hujan seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2010. Sementara
itu, hasil analisis SPI terhadap data hotspot menunjukkan bahwa sekitar 80% hotspot
berada pada SPI negatif (kondisi kering), dimana jumlah hotspot tertinggi selama tahun
2009 - 2010 berada pada interval SPI -1.2 hingga -1.5. Hal ini menunjukkan bahwa
kekeringan meteorologis dari indeks SPI dapat digunakan sebagai Peringatan Dini Bahaya
Kekeringan yang memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
Pendahuluan
Kekeringan lahan sudah lama menjadi ancaman yang sangat serius bagi
kelangsungan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dampak yang
paling besar akibat adanya kekeringan lahan di Indonesia adalah sebagai
pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta berpengaruh terhadap
kegagalan produksi tanaman pangan. Bahaya kekeringan pada hutan/lahan
harus mendapat perhatian karena dapat memicu terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pemicu dan penyebab
utama terjadinya kebakaran hutan adalah manusia melalui kegiatan seperti
pembukaan lahan bagi lahan-lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan
(Taconi, 2003). Selain faktor manusia, beberapa penelitian menjelaskan adanya
pengaruh fenomena iklim ekstrim ENSO (El Nino and the Southern Oscillation)
yang menyebabkan tingginya tingkat kekeringan dan memicu terjadinya
kebakaran hutan di Indonesia. Fenomena El Nino 1997/1998 telah
menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO 2001;
Rowel and Moore 2001) dengan 9.75 juta hektar berasal dari kebakaran hutan
di Indonesia (BAPPENAS-ADB 1999 dalam Tacconi, 2003).
Indikasi pertama adanya kekeringan ditunjukkan oleh adanya defisit curah hujan
pada periode tertentu, atau disebut dengan kekeringan meteorologis. Kondisi
curah hujan yang defisit menjadi suatu indikator yang perlu diperhatikan
258|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
terutama di wilayah rawan kebakaran hutan/lahan, karena dapat memicu
terjadinya kebakaran hutan/lahan. Terdapat banyak indeks kekeringan
meteorologis yang mengukur defisit curah hujan pada kurun waktu tertentu,
seperti Precipitation Index, Relative Precipitation Sum, Relative Anomaly,
Standardized Anomaly Index, Standardized Precipitation Index (SPI), dan lain-
lain. Index kekeringan meteorologist yang sering digunakan di dunia adalah SPI
(Mckee et al, 1993). SPI merepresentasikan jumlah curah hujan selama periode
waktu tertentu terhadap kondisi curah hujan normalnya. Keuntungan utama dari
indeks ini adalah standar dan skala waktu perhitungan yang fleksibel. SPI sudah
digunakan untuk penentuan periode kekeringan di Hungaria (Szalai dan
Szinnel, 2000), di mana mereka menyimpulkan bahwa SPI pada skala waktu
yang berbeda mampu mengidentifikasi semua jenis kekeringan. Lloyd-Hughes
dan Saunders (2002) menyimpulkan, bahwa SPI memberikan kontribusi untuk
standarisasi spasial yang lebih baik dibandingkan indeks keparahan kekeringan
Palmer - PDSI (Palmer, 1968). NMDC (National Drought Mitigation Center)
secara luas menggunakan SPI pada tingkat nasional. Studi kekeringan Eropa
(Saunders dan Hughes, 2002) mengungkapkan, bahwa SPI adalah alat
sederhana dan efisien untuk penilaian kekeringan di sebagian besar Eropa.
Ketersediaan data curah hujan yang baik dalam spasial dan temporal mutlak
diperlukan untuk pengembangan sistem peringatan dini bahaya kekeringan.
Data satelit penginderaan jauh, salah satunya TRMM (Tropical Rainfall
Measurement Mission) mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi
kekeringan berdasarkan curah hujannya. Data TRMM tersedia secara realtime
dari bulanan, harian hingga setiap 3 jam dari tahun 1998 hingga sekarang.
Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis kemampuan data TRMM dalam
merepresentasikan kondisi kekeringan meteorologis di Indonesia terkait dengan
usaha pencegahaan kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
Data TRMM
Satelit TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA) dalam memantau dan mempelajari curah hujan di
wilayah tropik. TRMM diluncurkan pada tanggal 28 November 1997 pada
ketinggian 403 km, dan dapat memantau permukaan bumi wilayah tropik (50LU
50LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit (Gambar 1). Jenis sensor
TRMM dapat dilihat pada Tabel 1.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|259
Gambar 1. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM.
Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan
temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor
berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Tabel 2.
Produk data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center
NASA (GSFC NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth
Observation Research Center JAXA (EORC) di
260|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm. Berbagai penelitian, validasi, serta
aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan (Liao et al 2009, Ichikawa and
Yasunari 2006).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|261
(1993) untuk memprediksi anomali dan kondisi ekstrim curah hujan. Adapun
rumus SPI dapat dilihat sebagai berikut:
(1)
dimana :
Untuk mendeteksi hotspot pada siang hari, apabila memenuhi salah satu
kombinasi berikut ini :
{T4 > mean(T4) + 3stddev(T4) atau T4 >330K} dan {T4-T11 > median(T4-T11) +
3stddev(T4-T11) atau T4-T11>25K Atau T4>360K
Untuk mendeteksi hotspot pada malam hari, apabila memenuhi salah satu
kombinasi berikut ini :
262|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
{T4 > mean(T4) + 3stddev(T4) atau T4 >315K} dan {T4-T11 > median(T4-
T11) + 3stddev(T4-T11) atau T4-T11>10K Atau T4>330K
dimana:
Mean, median dan stddev= nilai rata-rata, nilai tengah dan standar deviasi
dari nilai suhu sekitarnya (21 x 21 pixel) dari channel 4 m dan 11 m.
Untuk menghindari kesalahan akibat awan dan air maka digunakan
masking awan (MOD 35) dan external masking air.
Hasil analisis timeseries pada Gambar 2 terlihat bahwa pola fluktuasi curah
hujan dari TRMM dan dari stasiun meteorologi relatif sama, dan koefisien
korelasinya (r) mencapai lebih dari 0.8. Oleh karenanya, dapat ditunjukkan
bahwa data TRMM mampu merepresentasikan curah hujan wilayah Indonesia
dengan cukup baik.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|263
Indramayu - West Java (1998 - 2004) Bali (1998 - 2005)
600 600
Rainfall_TRMM
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
500 Rainfall_Ground Based 500
r = 0.807 r = 0.881
400 400
300 300
200 200
100 100
0 0
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007) Bandung - West Java (1998 - 2006)
Rainfall_TRMM
700 600
Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based
Rainfall (mm/month)
Rainf all (mm/month)
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0 0
11
11
11
11
11
11
11
11
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Rainfall_TRMM
600 1500
Rainfall_TRMM
Rainfall_Ground Based
Rainfall_Ground Based 1300
500 r = 0.940
r = 0.807 1100
Rainf all (mm/month)
Rainf all (mm/month)
400
900
300 700
500
200
300
100
100
-100
11
11
11
11
11
11
11
11
11
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
7
9
1
3
5
0
10
11
12
10
11
12
10
11
12
1
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Gambar 2. Timeseries curah hujan berdasarkan data TRMM dan stasiun periode 1998 2007 in
Indramayu, Bali, Palangkaraya, Bandung, Aceh dn Maros.
264|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
bulan Januari 2010. Wilayah Indonesia yang lebih kering (ditunjukkan dengan
warna merah) pada bulan Januari 2009 yaitu di P. Sumatera, Kalimantan dan
Papua.
Gambar 3. SPI Indonesia bulan Januari 2009 (atas) dan Januari 2010 (bawah) dari data TRMM.
Sementara itu, pada bulan April yang merupakan bulan peralihan musim hujan
ke musim kemarau, nilai SPI 2009 dan 2010 secara spasial dapat dilihat pada
Gambar 4. Kondisi tingkat kekeringan di Indonesia secara meteorologist pada
bulan April 2009 juga lebih kering dibandingkan pada bulan April 2010. Wilayah
yang lebih kering pada bulan April 2009 yaitu di P. Sumatera, Sulawesi, Maluku,
Jawa-Bali, dan Nusa Tenggara.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|265
Gambar 4. SPI Indonesia bulan April 2009 (atas) dan April 2010 (bawah) dari data TRMM.
266|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Pada bulan Juli yang umumnya merupakan puncak musim kemarau di sebagian
wilayah Indonesia terdapat perbedaan nilai SPI yang nyata pada tahun 2009
dan 2010, dimana pada tahun 2009 kondisi kekeringan di Indonesia secara
meteorologis umumnya lebih kering dibandingkan pada tahun 2010 (Gambar 5).
Tingkat kekeringan sangat tinggi Nampak terjadi di wilayah Provinsi Sumatera
Utara dan Riau pada bulan Juli 2009, sedangkan pada bulan Juli 2010 hampir
sebagian wilayah Indonesia berada dalam kondisi basah (banyak hujan).
Gambar 5. SPI Indonesia bulan Juli 2009 (atas) dan Juli 2010 (bawah) dari data TRMM.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|267
Pada bulan September yang umumnya merupakan musim peralihan dari
kemarau ke hujan di sebagian wilayah Indonesia juga terdapat perbedaan nilai
SPI yang nyata pada tahun 2009 dan 2010, dimana pada tahun 2009 kondisi
kekeringan di Indonesia secara meteorologis umumnya lebih kering
dibandingkan pada tahun 2010 (Gambar 6). Wilayah yang nampak mengalami
kekeringan sangat tinggi pada bulan September 2009 terdapat di Kalimantan,
Sumatera bagian selatan, Sulawesi, Maluku serta Papua, sedangkan pada
bulan September 2010 kondisi di wilayah Indonesia sangat basah (banyak
hujan).
Gambar 6. SPI Indonesia bulan September 2009 (atas) dan September 2010 (bawah) dari data
TRMM.
268|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Berdasarkan hasil SPI di atas dapat dijelaskan bahwa umumnya kondisi curah
hujan di wilayah Indonesia pada tahun 2009 lebih kering dibandingkan dengan
tahun 2010. Berdasarkan kondisi suhu permukaan laut Pasifik Tropik (Gambar
7), pada tahun 2009,terdapat fenomena naiknya suhu permukaan laut Pasifik
Tropik dari rata-ratanya (anomali positif) atau yang disebut dengan fenomena El
Nino. Pada kondisi EL Nino, zona awan konvergensi di wilayah Indonesia
pindah ke arah Samudera Pasifik, sehingga menyebabkan kondisi curah hujan
yang rendah di wilayah Indonesia. Sementara itu pada tahun 2010, suhu
permukaan laut Pasifik Tropik menunjukkan anomali negatif yang disebut
dengan fenomena La Nina. Pada fenomena La Nina, curah hujan di Indonesia
lebih banyak dibandingkan dengan normalnya.
Gambar 7. Timeseries anomaly suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4 Pasifik Tropik (Sumber:
BOM Australia).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|269
sebesar 80.3 %. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa hotspot juga terjadi di
wilayah yang mempunyai SPI positif (basah). Hal ini menunjukkan bahwa ada
faktor lain selain curah hujan yang menyebabkan adanya hotspot, misalnya
kegiatan seperti pembukaan lahan bagi lahan-lahan pertanian, perkebunan dan
kehutanan (Tacconi, 2003).
Gambar 8. Persentase distribusi hotspot terhadap nilai SPI di wilayah Indonesia periode Januari
2009 Agustus 2010.
Hasil analisis bulanan seperti yang terlihat pada Gambar 9 menunjukkan bahwa
jumlah hotspot tertinggi periode 2009-2010 terjadi pada bulan September 2009
dan sebagian besar terjadi pada wilayah yang mempunyai SPI negatif (kondisi
kering). Distribusi hotspot pada tahun 2010 berada pada SPI positif (kondisi
basah) dan SPI negatif (kondisi kering), kondisi terakhir pada bulan September
2010 menunjukkan dominasi distribusi hotspot di wilayah SPI positif (kondisi
basah).
270|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 9. Jumlah hotspot terhadap nilai SPI (positif dan negatif) di wilayah Indonesia periode Januari
2009 September 2010.
Selanjutnya, analisis hotspot didasarkan pada nilai SPI yang negatif saja seperti
yang terlihat pada Gambar 4-9. Berdasarkan hasil analisis, akumulasi hotspot
tertinggi terdapat pada nilai SPI dengan interval (-1.2 >SPI>-1.5) dan interval (-
1.5 >SPI>-1.8). Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa semakin rendah nilai SPI
tidak menyebabkan semakin banyaknya hotspot. Hal ini mungkin disebabkan
karena keterbatasan data MODIS untuk mendeteksi hotspot, dimana hotspot
tidak dapat terdeteksi jika citra MODIS ditutupi oleh awan atau asap, sehingga
ada kalanya hotspot tidak terdeteksi pada saat terjadi kebakaran lahan karena
citranya tertutup oleh asap.
Gambar 10. Jumlah hotspot terhadap nilai SPI negatif di wilayah Indonesia periode Januari 2009
September 2010.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|271
Adapun gambaran secara spasial kondisi SPI yang dioverlay dengan data
hotspot yaitu pada saat puncak akumulasi hotspot bulan September 2009 dan
perbandingannya pada bulan September 2010 dapat dilihat pada Gambar
berikut. Terlihat pada Gambar 11 perbandingan kondisi September 2009 dan
September 2010. Pada bulan September 2009 titik hotspot (warna kuning)
berada di sebagian besar SPI negatif (warna merah), sedangkan pada bulan
September 2010 titik hotspot lebih banyak berada pada wilayah yang
mempunyai SPI positif (warna biru).
Gambar 11. Perbandingan kondisi hotspot yang dioverlay terhadap SPI bulan September 2009
(atas) dan September 2010 (bawah).
272|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kesimpulan
Pada penelitian ini telah dilakukan kajian pemanfaatan data TRMM untuk
memberikan informasi potensi kekeringan meteorologis. Informasi ini dibuat
sebagai salah satu upaya untuk Peringatan Dini Bahaya Kekeringan terutama
terhadap kebakaran hutan/lahan. Hasil analisis SPI menunjukkan bahwa SPI
dapat merepresentasikan kondisi kekeringan di Indonesia pada kondisi iklim
ekstrim El Nino tahun 2009, serta kondisi La Nina yang menyebabkan
peningkatan curah hujan seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2010.
Sementara itu hubungan SPI dengan hotspot menunjukkan bahwa sekitar 80%
hotspot (titik panas) berada pada SPI negatif (kondisi kering), dimana jumlah
hotspot tertinggi selama tahun 2009 - 2010 berada pada interval SPI -1.2 hingga
-1. Dengan kata lain, hasil analisis SPI dari data curah hujan TRMM dapat
digunakan sebagai salah satu informasi Peringatan Dini Bahaya Kekeringan di
Indonesia.
Daftar Pustaka
FAO. 2001. State of the Worlds Forests: 2001. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome.
http://trmm.gsfc.nasa.gov
http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm
Hughes B. and Saunders A. M. (2002). A drought climatology for Europe.
International journal of climatology 22. 1571 1592.
Ichikawa, Hiroki, Tetsuzo Yasunari, 2006: TimeSpace Characteristics of
Diurnal Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by
TRMM-PR. J. Climate, 19, 12381260.
Liao, Liang, Robert Meneghini, 2009: Validation of TRMM Precipitation Radar
through Comparison of Its Multiyear Measurements with Ground-Based
Radar. J. Appl. Meteor. Climatol., 48, 804817.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|273
Meneghini et al. 2004, Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari
2006, Shige et al. 2007
McKee T.B., Doesken N.J., Kliest J. (1993). The relationship of drought
frequency and duration to time scales. In Proceedings of the 8th
Conference on Applied Climatology, 1722 January, Anaheim, CA.
American Meteorological Society: Boston, MA; 179184.
Palmer W. C. (1968). Keeping track of crop moisture conditions, nationwide:
The new crop moisture index. Weatherwise 21(4):156-161.
Rowel, A. dan Moore, P.F. 2001. Global Review of Forest Fires. WWF;IUCN,
Gland.
Szalai S. and Szinell C. (2000). Comparison of two drought indices for drought
monitoring in Hungary - a case study. In Drought and Drought Mitigation in
Europe, Vogt J.V., Somma F (eds). Kluwer: Dordrecht; 161-166.
Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia. Penyebab, Biaya dan
Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research.
Occasional Paper No. 38(i).
274|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Analysis of the Enhanced Vegetation Index (EVI) Multi-Temporal
Terra MODIS as an Indicator Deforestation in Central Kalimantan,
Indonesia
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|275
Introduction
Forest is a unit of ecosystem in the form of landscape with biological resources,
dominated by trees. Forest area is designated and specific area or set by the
government to maintain its existence as a permanent forest. Forests serve as
are reservoirs of carbon dioxide, animal habitats, hydrologic cycle modulator
and soil conservationist, and is one aspect of Earths biosphere is most
important. Permanently changes from forest areas into non-forest caused by
human activity called deforestation. Deforestation is wide spread forest decline
both in quality and quantity. Deforestation in the quality of ecosystem decline in
flora and fauna found in the forest, while a decrease in the quantity of
deforestation in forest area. Some causes of deforestation, among others, due
to lack of supervision and accountability of forest concessions (HPH) in the
management of forests, illegal logging, burning for forest clearance, and others.
Forest conditions in the world clearly seen that the forest area in the world today
reached under 4 billion hectares, of which 30% of land cover land in the world.
In that area, there has been an average of deforestation of 13 million/ha/year at
the same time forest plantation development and expansion of natural forests
has a strong significance to the decrease of forest area. At about 1990 to 2005,
the world has lost 3% of the total area of forest with an average decline of 0.2%
per year. From the years 2000-2005 shows that the average reduction
correlated with construction activity (FAO, 2001). 57 countries reported to have
increased its forest area, while 83 countries reported a decline (including 36
states with the greatest rate of more than 1% per year) in the same period.
About 6 million hectares of primary forests have been reduced and used for
other uses every year. Nine of the 10 countries that have a primary forest more
than 80% of the world have dropped more than 1% of the period 2000-2005
including Indonesia (13%), Baja California (6%), Papua New Guinea (5%) and
Brazil (4 %) (Houghton et al, 2001). Based on the book calculation area land
cover in Indonesia in 2005, extensive forests cover Indonesia in 2003 live 93.92
million ha. If reduced by the use of Other Areas (APL) covering 7.96 million ha
of the forest area that is still forested left only 85.95 million ha. But in 2006 the
Ministry of Forestry estimates of forest area to be 120.3 million hectares. The
area is exacerbated by the degradation reached 59.17 million ha by the
degradation rate of 2.83 million hectares per year (Van der Werf, 2009).
Damage to forests contributes to carbon stocks. Carbon stocks in forest
276|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
biomass decreased at a global level reached 5.5% in the period 1990-2005. In
general, the trends of carbon stocks follow the trend of forest area and
availability of forest resources. Carbon reserves in the world increased in
regions of Europe and North America and the decline in tropical regions.
Tropical forest CO2 emissions accounted for 1.6 billion tons per year.
Deforestation in developing countries (mostly tropical) CO2 emissions
accounted for approximately 20% of global emissions. Of the total greenhouse
gas emissions, 18% came from the forestry sector, which 75% came from
developing countries including Indonesia (Lasco, 2002).
Method
Indication of deforestation in this paper is done by analyzing the temporal
changes in the content of vegetation in forest cover by using the Enhanced
Vegetation Index (EVI) Terra MODIS Data. EVI is an index that is designed to
increase the sensitivity of the channel vegetation in areas with high biomass
content and monitoring of vegetation can be increased through decoupling of
the canopy background signal to reduce the influence of the atmosphere.
Indication of deforestation in area study Province of Central Kalimantan
(Borneo) based on temporal change in the value of EVI Terra MODIS data
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|277
(MOD13Q1) level of 3.0 with a spatial resolution of 250 meters, a series of 16
daily from year 2005 to 2010.
Figure 1. Changes EVI values in 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 and 2010
Shown in Figure 1 changes the value of EVI indicated by red color. Change the
value of EVI indicate a change in vegetation cover. EVI values decreased
278|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
indicating reduced vegetation, while the value of EVI rose signifies the addition
of vegetation. Terra MODIS data processing based on the analysis of temporal
changes in the value of EVI (Enhanced Vegetation Index) Year 2005-2010 as
presented in Figure 1 can be used as a preliminary to know the indications of
deforestation that occurred in 2005-2010. Many changes occurred in 2006 and
2008. Checking some indication of the location of deforestation can be done by
field surveys or by using satellite images have higher resolution, such as: the
image of LANDSAT, SPOT-4, SPOT-2, ALOS, IKONOS, Quick bird and others.
In this article check some indication of the location of deforestation carried out
by using the image satellite LANDSAT 5, LANDSAT 7 ETM and multiple point
locations in the survey field as plotting in Figure 2. Checking on the ground that
has been done is a region that is relatively easy to reach from the main road.
While the plotting of checks by using LANDSAT satellite imagery point C1 - C10
are the locations are very difficult to reach by road. So with the checks using
imagery such as LANDSAT can assist in determining the indications of
deforestation that could not be reached using the road. Figure 2. Showed
indications of change in EVI values in 2005 to 2010 using MODIS Terra data
obtained based on analysis of temporal changes in EVI.
Figure 2. The results indicate changes in the value of EVI year 2005 to 2010 using MODIS Terra
data obtained by analysis of temporal changes in the value of EVI
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|279
Figure 3. Location Survey Checking Indication Deforestation in the Field (P1-P18 on Inset 1 and S1-
S11 on Inset 2)
Figure 3 shows the location of the field survey, points P1-P18 in the inset 1 and
S1-S11 in the inset 2. The results of checks in the field indicate the
correspondence between field conditions with information that is processed from
the MODIS data. Checks in addition to using satellite data that has a higher
resolution would still require other data to ascertain whether this location is a
forest area that can be defined as deforestation. Therefore, the addition of other
supporting data such as the determination of forest, land use / RTRWP local
area, it is helpful to obtain more accurate data. Indications deforestation is
characterized by a decrease in EVI MODIS values that can be seen in profile or
cross section in Table 1. Series 16 daily MODIS EVI data presented at the time
of year range from 2005 to 2010, showing the fluctuating value of the EVI
MODIS as a sign of an indication of deforestation. At the time MODIS EVI
values decreased indicating the existence of "deforestation", while at the MODIS
EVI values indicate increased activity of "reforestation".
Conclusion
In general, temporal observations of EVI values could indicate a change in
vegetation land cover. EVI values fall showed reduced vegetation while the EVI
values indicate increasing rise of vegetation. Indications can be used as a
starting point in identifying the presence of deforestation when the EVI values
tend to fall drastically.
280|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
References
Antara news. Indonesian Peat lands store 2.650 Ton/Ha Carbon. 2nd June 2010
Ramos, C.A., O. Carvalho and B.D. Amaral. 2006. Short-term effects of
reduced-impact
Departemen Kehutanan RI. Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor : P. 30/Menhut-
II/2009. Dephut, 2009.
TGC (Tree Growing Community) -IPB (2010). Deforestasi Hutan.
http://tgc.lk.ipb.ac.id/2010/06/20/deforestasi-hutan/
FAO. 2001. State of the World's Forests: 2001. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome.
Houghton, J. T., Y. Ding, D. J. Griggs, M. Noguer, P. J. van der Linden, and D.
Xiaosu, Eds., 2001: Climate Change 2001: The Scientific Basis:
Contributions of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press,
881 pp.
Van der Werf. 2009. Human role in Indonesian polluting forest fires. Majalah
Nature Geoscience (22 February 2009).
Lasco, RD. 2002. Forest carbon budget in Souteast Asia following harvesting
and land cover area. Science in China 45 : 55-64.
Buchanan, G.M., Butchart, S.H.M., Dutson, G., Pilgrim, J.D., Steininger, M.K.,
Bishop, D., Mayaux, P. 2008. Using remote sensing to inform conservation
status assessment: Estimates of recent deforestation rates on New Britain
and the impacts upon endemic birds. B iological Conservation 1 4 1 ( 2 0 0
8 ) 5 6 6 6.
Rowel, A. dan Moore, P.F. 2001. Global Review of Forest Fires. WWF;IUCN,
Gland.
Ochego, H. 2003. Application of Remote Sensing in Deforestation Monitoring: A
Case Study of the Aberdares (Kenya). 2nd FIG Regional Conference
Marrakech, Morocco, December 2-5, 2003.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|281
Morton, D.C., Santo, F.D.B.E., Shimabukuro, Y.E., De Fries, R.S., and
Anderson, L.O. 2005. Validation of MODIS annual deforestation monitoring
with CBERS, Landsat, and field data. University of Maryland, College Park
Department of Geography and Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais
INPE Caixa Postal 515 12201-970 So Jos dos Campos SP, Brasil.
Huete, A. R., K. Didan, Y. E. Shimabukuro, P. Ratana, S. R. Saleska, L. R.
Hutyra, W. Yang, R. R. Nemani, and R. Myneni (2006), Amazon
rainforests green-up with sunlight in dry season, Geophys. Res. Lett., 33,
L06405, doi:10.1029/2005GL025583.
Table 1. Checking the results of the Terra MODIS EVI value changes as indications of
Deforestation Using LANDSAT images in 2005 and 2010
282|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|283
284|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Deteksi Pola Tanam Tanaman Padi di Lahan Sawah Menggunakan
Data EVI MODIS Multitemporal
Email:
dede_dirgahayu03@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi pola tanam padi di lahan sawah
menggunakan data EVI MODIS multitemporal. Data yang digunakan adalah data 8 harian
EVI MODIS multitemporal (tahun 2007- 2009). Analisis statistik dan spasial dilakukan
terhadap data time series EVI MODIS setiap piksel meliputi paramater : minimum,
maksimum, rata-rata (mean) selama 3 tahun, waktu mencapai EVI maksimum, nilai EVI
saat tanam dan panen, rata-rata EVI selama pertumbuhan vegatatif dan generatif. Hasil
penelitian menunjukan bahwa tanaman padi di lahan sawah dapat dibedakan dengan
tanaman lain dengan kriteria sebagai berikut : Nilai EVI maksimum > 0.45, perbedaan
EVI maksimun dengan minimum > 0.35, dan EVI saat tanam (fase air) < 0.25.
Berdasarkan hasil penelitian, pola tanam di suatu lokasi dapat diketahui serta dapat
dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan IP (Indeks Pertanaman)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|285
Latar Belakang
Peningkatan produksi tanaman pangan khususnya tanaman padi perlu
dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Karena
berdasarkan UU RI tahun No. 7 tahun 1996, dinyatakan bahwa ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercerminimum dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Namun produksi padi disuatu negara
setiap tahunnya dapat mengalami fluktuasi akibat adanya bencana kekeringan
dan kebanjiran di lahan sawah. Bencana tersebut juga dapat terjadi Pulau Jawa
yang merupakan daerah pemasok terbesar produksi padi nasional. Dengan
demikian perlu adanya upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada
pangan, yang salah satunya adalah dengan melakukan pemantauan terhadap
kondisi pertanaman padi di Pulau Jawa. Dengan adanya pemantauan tersebut
diharapkan pemerintah dapat segera mengambil tindakan yang diperlukan
dalam menjaga dan meningkatkan produksi padi nasional.
Pada fase tebar-tanam hingga tahap anakan didominasi oleh air selama sekitar
20 hari Pada fase vegetatif dan generatif didominasi oleh tajuk tanaman dengan
286|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
tingkat kehijauan dan kerapatan yang berbeda yang berlangsung selama 80-90
hari tergantung jenis varietasnya. Setelah itu tanaman padi dipanen dan
diberakan selama beberapa hari tergantung ketersediaan air
a) Air mencukupi bagi tanaman jika curah hujan lebih besar dari 50
mm/dasarian,
Salah satu metode pemantauan tanaman padi yang dapat dilakukan adalah
dengan memanfaatkan data satelit penginderaan jauh. Data satelit yang dapat
digunakan untuk pemantauan tanaman padi dengan cakupan wilayah yang luas
dan temporal yang tinggi adalah data MODIS dari satelit TERRA-AQUA. Dari
data MODIS dapat diekstrak nilai indeks vegetasi EVI (Enhanced Vegetation
Index) seperti yang pernah dilakukan oleh Huete, et.al (1997). Dengan
menggunakan nilai EVI secara temporal diharapkan dapat dilihat dan dicirikan
fluktuasi pertumbuhan tanaman padi.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|287
Produksi tanaman pangan dipengaruhi oleh variabilitas iklim, ketersediaan air
dalam tanah, kondisi hara, varietas, dan adanya serangan hama dan penyakit
tanaman. Di antara faktor-faktor tersebut, salah satu penyebab kegagalan atau
penurunan produksi adalah ketersediaan air yang kurang sehingga awal musim
tanam mengalami keterlambatan atau pergeseran. Oleh sebab itu perencanaan
pertanian perlu memperhitungkan saat tanam yang tepat agar kerugian akibat
kekurangan air, penurunan produktivitas maupun kegagalan panen dapat
dikurangi.
Metodologi
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada beberapa lokasi terpilih dengan memperhatikan
wilayah yang menjadi sentra produksi padi di Jawa Tengah, khususnya daerah
Demak dan sekitarnya.
Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan adalah data reflektan MODIS 8 harian dari tahun 2007-
2009. Kemudian dilakukan koreksi geomterik dan mozaiking dengan
menggunakan software MODIS tool dan ER-MAPPER. Setelah itu dilakukan
pemisahan awan dengan menggunakan metode RGB Clustering. Setelah data
MODIS dikoreksi kemudian dilakukan ektraksi nilai EVI dari data tersebut
288|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
sehingga diperoleh data raster indeks vegetasi (IV) MODIS 8 harian dari tahun
2007 sampai dengan 2009.
rNIR rRe d
EVI xG
rNIR C1 rRe d C 2 rBlue L
dimana L=1, C1 = 6, C2 = 7.5, and G (gain factor) = 2.5.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|289
dari smoothing tersebut dioverlay dengan lahan baku sawah dari data landsat
sehingga diperoleh profil IV per piksel.
Ektraksi informasi awal tanam (AT) padi dilakukan berdasarkan waktu terjadinya
EVI Maksimum atau Letak Maksimum (LM). EVI maksimum diasumsikan terjadi
ketika padi berumur 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu setelah pembungaan
dan saat terbentuknya bulir gabah. Dengan demikian awal tanam (AT) padi
pada data EVI 8 harian dapat diketahui dengan formula :
(2). . AT = LM 60/8 ~ LM 8
Dimana,
290|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 2. Contoh program penghalusan EVI dan hasilnya
Hasil dari smoothing tersebut kemudian di overlay dengan lahan baku sawah
dari data Landsat sehingga diperoleh profil IV per piksel. Karena setiap obyek
yang dipermukaan bumi mempunyai profil yang berbeda-beda maka dapat
dibedakan juga profil yang diduga sebagai profil tanaman padi. Berdasarkan
profil yang diperoleh dari tiap piksel didapat bahwa untuk piksel-piksel yang
diduga tanaman padi dapat memiliki mempunyai satu hingga tiga puncak (EVI
Maksimum) untuk periode 2007 sampai dengan 2009. Hal ini menandakan
bahwa terjadi tiga periode tanam. Berdasarkan hasil analisis statistik pada
sampel area yang dibuat menunjukkan bahwa perubahan EVI selama
pertumbuhan tanaman padi membentuk kurva seperti lonceng (Gambar 2) dan
mempunyai selang waktu 112-120 hari. Hasil plot data EVI selama tahun 2011
(Januari hingga awal Agustus ) di salah satu kecamatan di kabupaten Demak
ditunjukkan pada Gambar 3.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|291
Gambar 3. Profil Pertumbuhan Tanaman (EVI) di Lahan Sawah, Demak
292|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tabel 1. Hasil Analisis Spasial EVI Multitemporal di Lahan Sawah Demak dan Sekitarnya
EVI maksimum tanaman padi yang dapat dicapai selain tergantung dari
kemampuan lahan sawahnya, juga tergantung dari ketepatan waktu awal
tanamnya, karena terkait dengan tambahan pasokan air dari hujan dan
intensitas radiasi sinar matahari yang dapat diterima tanaman.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|293
Gambar 4. Pemetaan Awal Tanam Padi Sawah di Kab. Demak Tahun 2011
294|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Daftar Pustaka
Adiningsih, E.S., dkk. 2000. Penentuan awal musim tanam menggunakan data
satelit lingkungan dan cuaca di pulau Jawa. Prosiding Seminar
Internasional Penginderaan Jauh dalam Pengembangan Ekonomi dan
Pelestarian Lingkungan Hidup", Jakarta, 11-12 April 2000.
Hardjowigeno, S. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah.
IPB, Bogor
Hillel, D. 1971. Soil and Water Physical Principles and Processes. Academic
Press, New York.
Puslitanak. 2002. Perkiraan Dini Areal Pertanian yang Terancam Kekeringan di
Pulau Jawa Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Laporan
Kerjasama dengan Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen
Pertanian
Wu, L., F. X. Le Dimet, B. G. Hu, P. H. Cournde, P. de Reffye. 2004. A Water
Supply Optimization Problem for Plant Growth Based on GreenLab Model.
Cari 2004 - Hammamet. p: 101 108
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|295
296|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Modelling Impact of Tidal Inundation to Fishpond Area in Pantura
Coast Zone, Central Java, Indonesia
Abstract. One of the impacts of global warming phenomenon in coastal area is a tidal
inundation from upsurge of Sea Level Rise (SLR). Northern coast of Java or Pantai Utara
Jawa, known as Pantura, have coastal biodiversity ecosystem such as fishpond. The
phenomenon of SLR in a higher level may cause damage and loss of the fishpond
ecosystem. This research focused on the impact of tidal inundation to fishpond area in
Pantura. The scenario models of tidal inundation created using integration of remote
sensing raster data and Geographic Information System (GIS). Result of remote sensing
data interpretation GIS, could be used to spatial models tidal inundation. Tidal
inundation created from GIS raster image such as iteration model using neighborhood
operation from one of the function in ILWIS 3.4 Software. The result of this research
showed that the scenario models of tidal inundation gave a various impact to fishpond
area. Scenario model of tidal inundation with 1.5 2.0 m, predicted that there are
13,175 ha of inundated and 14,200 ha un-inundated fishpond areas.
Keywords: Sea Level Rise (SLR), Tidal Inundation, GIS, Remote Sensing, neighborhood
operation, and iteration models.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|297
Introduction
Sea Level Rise (SLR) is one of the problems global warming phenomenon
cause damage environment, healty, property, and the activities of community. It
can be happened cause of the many factor, i.e: (a) the plain of area have
location more less than SLR occurrence, and (b) land subsidence activity.
Coastal flood is defined as flood in low-lying coastal areas, including estuaries
and delta, involving inundation of land by brackish or saline water. Coastal flood
also called tidal inundation when it is caused by a high tides. Impact of the tidal
inundation can be effect toward fishpond ecosystem.
The phenomenon of upsurge SLR can bit into fishponds ecosystem. To know
the impact and distribution effect tidal inundation to fishponds area, model can
be used to prediction. A representation of the real world into the simple form can
be considered a model. There are two types of the model, namely static and
dinamic model. Static model generally represent a single state of affairs.
Dynamic model or process model emphasis on changes that have taken place,
are taking place, or may take place. Dynamic model, are inherently more
complicated than static model, and usually require much more computation to
obtain an intuitive presentation of the underlying processes. Integration of
298|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
interpretation RS data GIS can be used to spatial model tidal inundation with
numerical modeling. The application of neighboorhood operation iteration
model, one of the fuction spatial analysis in ILWIS 3.4 software (Integrated Land
and Water Information System) used to create tidal inundation models.
The main objectives have been elaborated into sets of practical tasks, namely:
Tasks 1
Tasks 2
a) performing the tidal inundation models using iteration model from raster
GIS based on the DEM modification;
Method
A raster based tidal inundation model has been constructed and calculate using
a neighborhood function. The neighborhood function for spatial data analyses
enables the evaluation of characteristics of a specific location and its
surrounding area. The outcome of a calculation depends directly on value of the
neighborhood pixels. The neighborhood function for tidal inundation model
spreading calculation is an iterative procedure. Iteration is a successive
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|299
repetition of a mathematical operation, using the result of one calculation as
input for the next. For the iteration operation, the value raster map is needed,
i.e. surface elevation map (DEM). Every pixel on the map is representative of
surface elevation at that location. The steps in the tidal inundation modeling are
shown in (Figure 1).
300|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
latitudes 6o 7o30S and longitudes 108o30 112o00E. Geomorphologically,
Central Java can be divided into two zones, lowlands near the northern and
southern coast and mountain ranges in the centre of the region. Location
sample of research area focused in Coast Zone Northern Java known as
Pantura Central Java (Figure 2).
Based on image satellite data LANDSAT ETM7 2010 (Figure 3), the fishpond
area can be interpretation using visualization interpretation method. Result of
this interpretation used to the data base spatial; consist of fishpond,
sea/rivers/water bodies, and non-fishpond area on vector format data (Figure 3
and 4).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|301
Figure 4. Result of interpretation fishpond area based on LANDSAT ETM7 - 2010
Digital Elevation Model (DEM) created using interpolation method from point
map or high spot data based on thopograpic map (Figure 5). Point map is a
representative high spot or elevation area in form of point. In research area,
elevation data between 0.00 - 3.00 m from mean sea level. The moving average
method used to interpolation point map data. Result interpolation is a raster data
map with the value domain on every pixel. The modification of DEM conducted
to show the reality model elevation in research area. Water bodies or rivers
given value (0) with assumption that its elevation equal to value (0) of sea
surface, the value raster of fishpond area given value 0.75 m. Based
assumption that event of tidal inundation between 0.5 to 0.75 m, the fishpond
area always experience inundation of increase to boundary of land, so its very
significance to fishpond area.
Figure 5. Result of manipulation (DEM) Digital Elevation Model based on the point map interpolation
and modification actual fishpond area
302|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tidal inundation model has been generated based on the DEM modification
data using the neighborhood operation and iterative calculation in GIS raster
format with scenario 0.50 to 2.00 m (Figure 6). Neighborhood operation, as a
spatial analysis tool on the GIS-ILWIS system, has been applied on DEM data in
order to calculate the spreading of coastal inundation. This operation makes use
of a small computation window (e.g., 3 x 3 cells) that repeats a specified
calculation on every pixel in the map, taking into consideration the values of its
neighbors. The neighborhood operation for tidal inundation model is an iterative
procedure. It is a consecutive repetition of a mathematical operation, using the
result of one calculation as input for the next. Iterative calculations are
performed line-by-line, pixel-by-pixel and take place in all directions on the
digital map.
The impact of tidal inundation to fishpond area has been determined using cross
map operation and calculation based on the scenario model in research area
showed on the (Table 1). The result of this research show that the scenario
models of tidal inundation gave a various impact to fishponds area. Scenario
model tidal inundation with 1.5 2.0 m, predicted there 13,175 ha of fishpond
area inundated and 14,200 ha un-inundated.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|303
Table 1. Impact of Tidal Inundation to Fishpond Area Based
on the Scenario Model In Pantura Coast Zona Central Java, Indonesia
Tidal Number of Number of
Inundation Un-inundation
No Inundation Pixel Pixel
(Ha) (Ha)
(m) (NPix) (NPix)
1 0.00 0.50 - - 1095 27375
2 0.50 1.00 79 1975 1016 25400
3 1.00 1.50 285 7125 810 20250
4 1.50 2.00 527 13175 568 14200
Conclusion
The scenario models of tidal inundation created using integration of raster
Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing (RS) data. Result of
the interpretation RS data GIS, could be used to spatial models tidal
inundation. The DEM has been manipulated in order to correct for real world
conditions of the surface, and to restrict the iteration operation. The result of this
research show that the scenario models of tidal inundation gave a various
impact to fishponds area. Scenario model tidal inundation with 1.5 2.0 m,
predicted there 13,175 ha of fishpond area inundated and 14,200 ha un-
inundated.
304|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
References
Bryan, B., Harvey, N., Belerio, T., Bourman, B., 2001. Distributed process
modeling for regional assessment of coastal vulnerability to sea level rise.
Environ Model Assess 6:5765
ILWIS, 2001. Integrated land and water information system. Geographic
Information System. Version 3.1. International Institute for Geo-Information
and Earth Observation, ITC, Enschede
Kumar, D., PK., 2006. Potential vulnerability implications of sea level rise for the
coastal zones of Chocin, southwest coast of India. Environ Monit Assess
123:333344. Doi:10.1007/s10661- 006-9200-2
Marfai, M.A., 2003. GIS modeling of river and tidal flood hazard on a coastal
urban Area, a case study: Semarang city, Central Java, Indonesia. M.Sc
Thesis ITC, Enschede
Marfai, M.A., 2004. Tidal flood hazard assessment: modelling in raster GIS,
case in western part of Semarang coastal area. Indonesian J Geogr
36(1):2538
Marfai, M.A., Sudrajat, S., Budiani, S.R., Sartohadi, J., 2005. Tidal flood risk
assessment using iteration model and geographic information system (in
Indonesian). The competitive research grants scheme no ID:
UGM/PHB/2004. Research Centre, Gadjah Mada University, Yogyakarta
Marfai, M.A., King, L., 2007. Monitoring land subsidence in Semarang,
Indonesia. Environ Geol. doi:10.1007/s00254-007-0680-3
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|305
306|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
II
OPTICAL
REMOTE SENSING,
AND THE APPLICATION
Natural Resources
Disaster Management
This page intentionally left blank
Identifikasi Pola Tanam Padi Sawah Menggunakan Data MODIS
Multitemporal di Kabupaten Kebumen
Emiyati
Pusfatja-LAPAN. Jakarta.
Email:
emiyati@gmail.com
Abstrak. Pemantauan pola tanam padi merupakan upaya untuk dapat mejaga dan
meningkatkan produksi padi. Karena kapan saat yang tepat dan berapa kali petani
menanam padi di sawah mempengaruhi besar kecilnya jumlah produksi padi. Data MODIS
dapat digunakan untuk pemantauan tanaman padi karena mempunyai resolusi temporal
yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah adalah mengidentifikasi pola tanam padi
sawah di Kabupaten Kebumen dengan menggunakan data MODIS multitemporal. Selain
itu dilihat pula bagaimana pengaruh curah hujan terhadap pola tanam padi sawah
tersebut dan nilai EVI nya. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan EVI
(Enhanced Vegetation Index) multitemporal yang diektraks dari data MODIS pada tahun
2007-2009. Hasil dari penelitian ini adalah fluktuasi nilai EVI MODIS padi sawah secara
multitemporal dapat menggambar suatu pola fase pertumbuhan tanaman padi. Dimana
secara rata-rata pola tanam padi sawah di Kabupaten Kebumen adalah dua kali dalam
setahun. Awal tanam terjadi pada bulan Maret dan Oktober pada setiap tahunnya.
Sedangkan panen terjadi pada bulan Februari dan Juli. Pemilihan jadwal tanam di
Kabupaten Kebumen tersebut didasarkan pada mulainya musim penghujan dan
pembagian air irigasi. Pada penelitian ini ditemukan pula bahwa perbedaan nilai EVI
maksimum dan nilai EVI minimum pada setiap periode dari tahun 2007-2010 terkait
dengan intensitas curah hujan.
Abstract. Monitoring of rice cropping pattern is an attempt to keep track and improve
rice production. Because when and how many times farmers grow rice in the rice fields
affected a size of a amount of rice production. MODIS data can be used for monitoring
of rice crops due to its high temporal resolution. The purpose of this study is to identify
the cropping pattern is paddy rice fields in Kebumen using multitemporal MODIS data
and how the influence of rainfall on paddy cropping pattern and its EVI value. The
method used is extracting EVI (Enhanced Vegetation Index) value from Multitemporal
MODIS data in 2007-2009. The results of this study is the fluctuation of rice MODIS EVI in
multitemporal to draw a pattern of rice plant growth phase where the average of rice
cropping pattern in Kebumen is two times a year. Early planting occurred in March-April
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|307
and October-December of each year. While the harvest occurred in February-March and
July-August. Selection of the planting schedule in Kebumen is based on the the rainy
season and distribution of irrigation water. This research also discovered that the
difference in the value of EVI EVI maximum and minimum values at every period of the
year 2007-2010 related to the intensity of rainfall.
Pendahuluan
Sektor pertanian merupakan tulang tulang punggung perekonomian daerah
Kabupeten Kebumen. Hal ini terlihat pada kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB tahun 2007 mencapai 37,15%. Dimana dalam sub sektor tanaman
pangan, produksi padi di lahan sawah 68.656 hektar mencapai 371.803 ton atau
rata-rata produksi 5,42 ton perhektar. Diketahui bahwa salah satu upaya untuk
menjaga dan meningkatkan produksi padi adalah dengan memantau pola
tanam padi. Karena kapan saat yang tepat dan berapa kali petani dapat
menanam padi di sawah secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya
jumlah produksi padi. Menurut Ronny Adriandi (2008) pola tanam merupakan
suatu urutan masa tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk
didalamnya masa pengolahan tanah. Secara fisik pola tanam padi sawah
berbeda di setiap daerah. Perbedaan pola tanam tersebut tentu saja bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah hujan atau kebijakan dinas
setempat.
308|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
dalam rentang waktu tertentu dapat membentuk suatu pola tanam. Dengan
demikian tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pola tanam padi
sawah di Kabupaten Kebumen dengan menggunakan data MODIS
multitemporal. Selain itu dilihat pula bagaimana pengaruh curah hujan terhadap
pola tanam padi sawah tersebut dan nilai EVI nya.
Metodologi
Lokasi penelitian dilakukan di lahan sawah yang ada di Kabupaten Kebumen.
Hal ini dapat dilihat pada gambar 1.Data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah data MODIS level 2 delapan harian tahun 2007-2010 yang sudah dalam
bentuk reflektan. Sehingga ada 179 data MODIS delapan harian yang
digunakan. Selain itu juga digunakan data curah hujan lapangan dari Dinas
Sumber Air dan Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Kebumen.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|309
Data
Pengolahanawal
EVI PetaSawah
Ektraksi
Survei Analisis
Lapangan
PolaTanam Curah
Pada diagram alir tersebut dijelaskan bahwa setelah data terkumpul pada
mulanya dilakukan pengolahan awal pada data reflektan MODIS seperti koreksi
geomterik dan pemisahan awan. Koreksi geometrik dan pemisahan awan
dilakukan pada masing-masing data MODIS (179 data). Kemudian setelah
masing-masing data tersebut terkoreksi dilakukan ektraksi nilai EVI dengan
menggunakan formula EVI (Huete, 1997) sebagai berikut:
rNIR rRe d
EVI x2.5 ........................................................................ (1)
rNIR 6rRe d 7.5rBlue 1
Dimana rNIR adalah reflektansi panjang gelombang inframerah dekat, rRed adalah
reflektansi panjang gelombang merah dan rBlue adalah reflektansi panjang
gelombag biru. Nilai EVI adalah dalam bentuk nilai reflektan dalam selang (-
1,1).
Setelah nilai EVI diperoleh lalu dilakukan overlay agar diperoleh satu raster EVI.
Sehingga diperoleh data raster EVI MODIS 8 harian dari tahun 2007 sampai
dengan 2010. Setelah data raster EVI diperoleh kemudian dilakukan overlay
dengan peta sawah Kabupaten Kebumen agar diperoleh raster EVI secara
310|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
multitemporal di padi sawah. Kemudian analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode statistik dan teknik overlay. Metode statistik dilakukan
dengan mengambil 83 sample padi sawah yang diambil merata diseluruh lahan
sawah yang ada diKabupaten Kebumen. Sample yang diambil mempunyai
lahan sawah yang luas dan nilainya dominan agar tidak terjadi bias. Dari
seluruh sample yang ada kemudain dilakukan filtering mayoriti. Sehingga
diperoleh pola tanam padi sawah dengan menggunakan nilai EVI MODIS
tersebut. Kemudian hasil pola tanam yang diperoleh tersebut divalidasi dengan
data survei lapangan. Sehingga diperoleh pola tanam padi sawah Kabupaten
Kebumen. Setelah pola tanam diperoleh, kemudian dilakukan teknik overlay
anatar nilai EVI padi sawah yang diperoleh dengan data curah hujan untuk
melihat pengaruh curah hujan terhadap pola tanam tersebut.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|311
Gambar 3. Grafik EVI Modis padi sawah di Kabupaten Kebumen tahun 2007-2010 tiap Kecamatan
Secara rata-rata, hasil ekstraksi statistik nilai EVI padi sawah di Kabupaten
Kebumen dapat dilihat pada grafik yang ada pada gambar 5. Dari gambar 5
terlihat bahwa nilai EVI dari tahun 2007-2010 berfluktuatif setiap bulannya. Nilai
EVI rata-rata minimum adalah 0.2. Sedangkan nilai EVI rata-rata maksimum
adalah 0.54. Fluktuasi nilai EVI MODIS secara multitemporal menggambar
suatu pola tertentu. Bila dilihat dari rentang waktu tertentu nilai EVI MODIS padi
sawah menggambarkan pola fase pertumbuhan tanaman padi. Dengan
mengekstrak data EVI MODIS secara multitemporal di Kabupaten Kebumen
maka dapat diperoleh pola tanam padi sawah di Kabupaten Kebumen.
EVIMODISPadiSawahKabupatenKebumen20072010
EVI
Waktu(bulan)
Gambar 4. Grafik EVI Modis padi sawah di Kabupaten Kebumen tahun 2007-2010
312|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Dari grafik yang ada pada gambar 4 terlihat bahwa setiap tahun terjadi dua kali
tanam padi sawah di Kabupaten Kebumen. Awal tanam terjadi pada bulan
Maret dan Oktober pada setiap tahunnya. Sedangkan panen terjadi pada bulan
Februari dan Juli. Fase air (awal tanam) di Kabupaten Kebumen terjadi pada
bulan Oktober-Desember (musim tanam 1) dan Maret-April (musim tanam 2).
Dari grafik pada gambar 4 terlihat bahwa fase air terjadi pada nilai EVI 0.21-0.28
(musim tanam 1) dan 0.28-0.32 (musim tanam 2) dengan slop menurun lalu
naik lagi. Fase vegetatif terjadi pada bulan Desember-Januari (musim tanam 1)
dan April-Juni (musim tanam 2). Nilai EVI pada saat fase vegetatif adalah 0.23-
0.54 (musim tanam 1) dan 0.28-0.45 (musim tanam 2) dengan slope menaik.
Fase generatif terjadi pada bulan Januari-Maret (musim tanam 1) dan Juni-
September (musim tanam 2). Nilai EVI pada saat fase generatif adalah 0.32-
0.54 (musim tanam 1) dan 0.32-0.45 (musim tanam 2) dengan slope menurun.
Fase akhir tanam (bera) terjadi pada bulan Maret (musim tanam 1) dan
September-Oktober (musim tanam 2). Nilai EVI pada saat bera adalah 0.32
(musim tanam 1) dan 0.21-0.28 (musim tanam 2) dengan slope menurun.
Bila diambil nilai EVI pada bulan Oktober 2007-September 2010 dan dibuat
berdasarkan periode musim tanam maka diperoleh grafik seperti gambar 5.
Pemilihan jadwal tanam di Kabupaten Kebumen tersebut didasarkan pada
mulainya musim penghujan dan pembagian air irigasi. Berdasarkan gambar 5
terlihat bahwa pada saat fase air, musim tanam 1 mempunyai nilai EVI yang
rendah dibandingkan dengan musim tanam 2. Hal tersebut terjadi karena pada
saat musim tanam 1 intensitas curah hujan sangat tinggi, seperti yang terlihat
pada gambar 5. Sedangkan masa bera terjadi cukup singkat pada saat musim
tanam 1 dibandingkan dengan pada saat musim tanam 2. Hal ini terkait karena
pada saat musim tanam 2 intesitas curah hujan semakin sedikit karena sudah
masuk musim kering. Sehingga petani hanya mengandalkan sumber air dari
saluran irigasi.
Perbedaan nilai EVI maksimum dan nilai EVI minimum pada setiap periode dari
tahun 2007-2010 terkait dengan intensitas curah hujan. Hal ini dapat dilihat
pada gambar 5. Pada saat intensitas curah hujan tinggi nilai EVI maksimun
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EVI maksimum pada saat intensitas
curah hujan rendah. Namun demikian tinggi rendahnya nilai EVI tidak hanya
dipengaruhi oleh intensitas curah hujan saja tetapi juga oleh faktor lainnya
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|313
seperti irigasi, jenis varietas padi, penggunaan pupuk, hama dan lain
sebagainya.
EVIMODISdanCurahHujandiLahanSawahKabupatenKebumen
20072010
CH0708
CH0809
CH09010
EVI
EVI0708
EVI0809
EVI09010
Waktu(Bulan)
Gambar 5. Grafik EVI MODIS dan curah hujan per Periode di Kabupaten Kebumen pada tahun
2007-2010
Kesimpulan
Fluktuasi nilai EVI MODIS padi sawah secara multitemporal dapat menggambar
suatu pola fase pertumbuhan tanaman padi. Dari data EVI MODIS secara
multitemporal dapat diperoleh pola tanam padi sawah dikabupaten Kebumen.
Secara rata-rata pola tanam padi sawah di Kabupaten Kebumen setiap
tahunnya terjadi dua kali tanam padi. Awal tanam terjadi pada bulan Maret dan
Oktober pada setiap tahunnya. Sedangkan panen terjadi pada bulan Februari
dan Juli. Pemilihan jadwal tanam di Kabupaten Kebumen tersebut didasarkan
pada mulainya musim penghujan dan pembagian air irigasi. Perbedaan nilai EVI
maksimum dan nilai EVI minimum pada setiap periode dari tahun 2007-2010
terkait dengan intensitas curah hujan. Pada saat intensitas curah hujan tinggi
nilai EVI maksimun lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EVI maksimum pada
saat intensitas curah hujan rendah.
314|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik pengolahan sehingga
diperoleh teknologi pemantauan dengan data MODIS yang dinamis yang dapat
diektrak perpiksel.
Daftar Pustaka
Adriandi R. 2008. Kajian Pola Tanam Dalam Rangka Peningkatan Produksi Dan
Produktivitas Daerah Irigasi Batang Tongar Di Kabupaten Pasaman Barat
Propinsi Sumatera Barat. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-ronnyadria-31337 diunduh 23-
02-2011
Falcon WP, Naylor RL, Smith WL, Burke MB, McCullough EB. 2004. Using
climate models to improve Indonesian food security. Bulletin of Indonesian
Economic Studies 40, 357-79.
Hartono N. 2011. Penguatan Kelembagaan Petani Dalam Pemanfaatan Air
Irigasi Dalam Pengembangan Agribisnis (Studi Kasus Di Kabupaten
Tasikmalaya). psdal.lp3es.or.id/kajian1.html diunduh 23-02-2011
Koesmaryono Y, Apriyana Y. 2011. Pengembangan Standar Operasional
Prosedur Adaptasi Kalender Tanam Padi Terhadap Enso -Iod Berbasis
Sumberdaya Iklim Dan Air. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/
41775/.../Pres_Yayan%20Apri.pdf diunduh 18-02-2011
Kogan FN. 1990. Remote sensing of weather impacts on vegetation in non-
homogeneous areas. International Journal of Remote Sensing 11 (8),
14051419.
Kogan FN. 1995. Application of vegetation index and brightness temperature for
drought detection. Advanced Space Research 15 (11), 91100.
Kogan FN. 2002. World droughts in the new millennium from AVHRR-based
Vegetation Health Indices. Eos Transactions 83 (48), 562563.
Kogan FN, Gitelson A, Edige Z, Spivak I, Lebed L. 2003: AVHRR-based
spectral vegetation index for quantitative assessment of vegetation state
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|315
and productivity: Calibration and validation. Photogrammetric Engineering
and Remote Sensing 69 (8), 899906.
McKee TB, Doesken NJ, Kleist J. 1993. The relationship of drought frequency
and duration to time scales. The 8th Conference on Applied Climatology,
179184.
Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D, Wada N. 2001: Using El Nio/Southern
Oscillation climate data to predict rice production in Indonesia. Climatic
Change 50, 25565.
Panuju DR, dkk. 2009. Variasi nilai indeks vegetasi MODIS pada Siklus
Pertumbuhan padi. Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 15 No. 7 Desember
2009
Wahyunto, Hikamatullah. 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia
25(6), 3-4
Wilhite DA. 1993. The enigma of drought. In: Drought Assessment,
Management, and Planning: Theory and Case Studies (D. A. Wilhite, Ed.).
3-15. Kluwer.
Wilhite DA. 2006: Drought monitoring and early warning: concepts, progress
and future challenges. World Meteorological Organization. WMO-No.
1006, ISBN 92-63-11006-9.
316|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Sunglint: How Much It Affects Satellite Image-Based Benthic
Habitat Identification?
Pramaditya Wicaksono
PUSPICS. Faculty of Geography, Gadjah Mada University. Yogyakarta 55281, Indonesia.
Email:
prama.wicaksono@gmail.com
Abstract. Remote sensing for benthic habitat mapping poses its own handicap especially
when using high spatial resolution image. One of the handicaps is the occurrence of
sunglint on water surface that alter the intra spectral habitat variation recorded by the
sensor. Prior to further image analysis, sunglint should be removed to avoid any
confusion. The aims of this study were to remove sunglint from Quickbird image using
Hedley et al.s (2005) method and analyze the effect of sunglint on altering benthic
habitat spectral variation. This method uses near infrared band that almost has similar
index of refraction with visible bands. Moreover, coefficient of variation analysis was
conducted to analyze the habitats spectral variance due to the existence of sunglint.
The results showed that NIR was very effective to remove sunglint from visible bands
and an average of 64.30% variation within a single habitat class was due to sunglint. It is
also found that sunglint correction revealed more detail information about benthic
habitat that has been previously limited by sunglint.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|317
Introduction
Remote sensing technology is very potential on replacing the extensive field
survey for benthic habitat mapping and put the information about benthic habitat
in spatial and temporal context. Remote sensing has the ability to cover large
portion of earth, identifies objects spectral information, and temporally records
data at various spatial resolutions. Remote sensing for benthic habitat mapping
requires visible bands with its water penetration ability. Visible bands have the
ability to penetrate water up to 25 m when the water is very clear (Jupp, 1988).
However, the maximum penetration ability varies with geographical and water
condition (Wicaksono, 2010). Visible bands have lower penetration ability when
encountered by more turbid water due to scattering by the sediment suspended
on water column. Wavelengths longer than red should and cannot be used for
identifying underwater objects. These energies are effectively absorbed by
water and cannot penetrate into water body, and thus produce very low
reflectance and appear black on the image.
Remote sensing images with the ability to perform underwater mapping are
Landsat series, SPOT series, ASTER, ALOS AVNIR-2, IKONOS, Quickbird,
Geoeye-1, Worldview-2, and Rapideye. These images are multispectral and
only have the ability to map benthic habitat at second level of detail at Mumby
and Harborne (1999) benthic habitat classification scheme (Wicaksono, 2010).
Currently, the best image for benthic habitat mapping is CASI hyperspectral
(Green et al. 2000; Phinn et al. 2008). CASI manages to perform well until the
third level of benthic habitat hierarchical classification scheme. The issues
regarding the use of CASI for benthic habitat mapping are the image is not
widely available, the sensor is airborne, the operational is expensive, the area
coverage is small, and the processing technique is more complex than
multispectral image. These issues should be considered prior to the data
collection. Therefore, the selection of remote sensing data is highly depending
on the purpose and the required level of detail of the output map.
318|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
the water surface. In fact, sunglint can be useful to identify wind direction and
variation, surface water currents, oil slick, and water temperature (NASA, 2010).
Unfortunately, sunglint is quite a problem for underwater mapping effort.
Therefore, in spite of its promising capacity, remote sensing for underwater
mapping is still affected by sunglint issue.
Figure 1. Quickbird at composite RGB 432 (left) and sunglint from field observation (right). Note how
the underlying information on the right image is hardly visible.
This study covers the removal of sunglint on Quickbird image as well as the
analysis of the comparison between the original image and sunglint-free image.
This analysis was intended to see how much sunglint benthic habitat spectral
information. Quickbird image was selected because of its high spatial resolution
and high radiometric resolution that allows sunglint to be effectively detected.
Furthermore, Coefficient of Variation (COV) analysis was used to see how the
information within particular class habitat is altered due to sunglint effect. The
method to remove sunglint from Quickbird image followed the algorithm
developed by Hedley et al. (2005). His method utilizes NIR band for correcting
the sunglint in the available visible bands.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|319
Study Area
The study area is located within the National Park of Ujung Kulon. The area is
administratively located on Kecamatan Sumur and Cimanggu, Pandeglang
District, Banten Province. The whole National Park is extending from 102o 2 32
to 102o 37 37 E and 6o 3034 to 6o 5217 S. The National Park has an area
of 120,551 ha composed of 76,214 ha of land and 44,337 ha of the surrounding
reef and sea.
Most reefs in this area are classified into fringing reef and associated with
seagrass meadows, white sandy beach, and mangrove stands along the
shoreline. The shoreline of the area is shaped by the dynamics of the
surrounding sea, especially by wave energy. Since this area has high wave
energy, it is a very good place to spot sunglint occurrence. Consequently, most
benthic habitats in this area are affected by sunglint, and thus this location is
perfect for analyzing the effect of sunglint on benthic habitats identification via
satellite image. The exact location of the study area is on the south west part of
Panaitan Island near Kasuaris Bay (Figure 2).
Figure 2. The location of study area within Ujung Kulon National Park. The exact location is show in
red box
320|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Image Data
The image used in this study is 16-bit (11-bit original dynamic ranges) Quickbird
image delivered in 2A level of correction and was acquired on August 15th
2002. This image is owned by DigitalGlobe and was obtained for free from
Global Land Cover Facility (GLCF). The image has 2.88 m spatial resolution
due to 14.7o off-nadir recording. According to Quickbird Imagery Product Guide
(2006), the corrections applied on product level 2A are dark pixel subtract, non-
uniformity correction (detector-to-detector relative gain), non-responsive
detector fill, and a conversion for absolute radiometry. Sensor corrections
account for internal detector geometry, optical distortion, scan distortion, any
line-rate variations, and registration of the panchromatic and multispectral
bands. Geometric corrections remove spacecraft orbit position and attitude
uncertainty, earth rotation and curvature, and panoramic distortion. As we did
not integrate any field data into the image, geometric correction using GCP
(Ground Control Point) was not applied. Table 1 shows basic specification of
Quickbird image used in this study.
Methods
Before applying sunglint removal technique, some adjustments were made to
the image. First, Quickbird image was converted into TOA (Top of Atmosphere)
spectral radiance. The unit of TOA spectral radiance is W/m2 str m. The
formula to convert DN to TOA spectral radiance is given below (Krause, 2005):
LPixel.Band=absCalFactorBandxqPixel.Band(1)
LPixel.Band=LPixel.Band/Band(2)
Where:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|321
LPixel,Band : TOA bandaveraged spectral radiance image pixels (W/m2 str m)
Band : The effective bandwidth (m) for a given band
absCalFactorBand : The absolute radiometric calibration factor (W/m2 str count) for a given
band
qPixel,Band : Radiometrically corrected image pixels (Quickbird DN values).
The value of absCalFactor (K) has been revised based on the ground truth
measurement and analysis from Joint Agency Commercial Imagery Evaluation
(JACIE) Team. However, the revised value is only available on the .IMD file on
the image recorded after June 6th 2003 00:00 GMT. The image used in this
study was recorded on August 15th 2002, and thus the K-revised value was not
in the .IMD file. Therefore, the calibration factor values for the TOA spectral
radiance calculation were taken from the value given in Table 2.
Table 2. K-revised value for Quickbird image recorded before June 6th 2003
Band K revised (W/m2 str count)
Blue 1.604120e-02
Green 1.438470e-02
Red 1.267350e-02
NIR 1.542420e-02
Source: Krause, 2005
TOA spectral radiance image was still not free from atmospheric disturbance
and the objects spectral signature was also still altered. To solve these issues,
FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes)
atmospheric correction method was applied. Basic data needed to run FLAASH
model were the scene center location, sensor type, sensor altitude, average
ground elevation, spatial resolution, the time of image acquisition, atmospheric
model, aerosol model, and initial visibility. Some parameters were available
directly on image metadata and others were derived from geographic condition
of the study area. In addition, Digital Elevation Model (DEM) from SRTM
(Shuttle Radar Topographic Mission) image was used to estimate the average
ground elevation of the study area. Finally, FLAASH processed these
parameters to remove the atmospheric disturbance and repair the objects
spectral signatures in the Quickbird image.
322|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Sunglint removal was conducted on atmospherically corrected image using the
technique developed by Hedley et al. (2005). This method utilizes NIR band that
has similar index of refraction with visible bands to remove the sunglint on
visible bands. There are two assumptions used in this method, first, NIR band
produces minimum reflectance on water body, and thus any NIR reflectance
above that minimum value was considered as sunglint additive reflectance, and
second, the lowest NIR value was the sunglint-free pixel. Next, to remove
sunglint from visible bands, empirical model between NIR and visible bands
were created to obtain how much sunglint energy affect NIR band. Finally, this
additive sunglint value on NIR was integrated with the gradient of calibration
obtained during the empirical model to remove sunglint in visible bands.
Basically, this technique requires the best NIR band to perform the regression.
The selection of the best NIR can be conducted by empirically connect each
NIR band with visible bands to find the NIR band that has the best fit with visible
bands. However, Quickbird has only one NIR band, and thus the selection for
the best NIR band was not necessary. The empirical model between NIR and
visible bands was intended to obtain the gradient of calibration or slope (b). The
slope (b) was used as the coefficient to perform sunglint correction on visible
bands using the following equation:
Ri=Ri(bix(RNIRMinNIR))(3)
Where:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|323
during visual interpretation or digital classification. The COV value was
calculated by rationing the standard deviation to its mean (). Last, the ratios of
COV from uncorrected and corrected images were calculated in order to see
how much sunglint alter the spectral variation on particular habitat class.
Atmospherically corrected image was processed for sunglint removal. First, the
lowest NIR value was selected from relatively clear and deep ocean water and
impenetrable by remote sensing energy (optically deep water). This minimum
NIR value was treated as sunglint-free value. To obtain this minimum NIR value,
pixels from various levels of sunglint intensity were selected. Three classes of
different sunglint intensity were used consist of low, medium, and high intensity.
However, from 25,600 selected optically deep water pixels, some negative
values were found due to the residual error from atmospheric correction. The
negative value posed a problem to the regression process since it did not
provide valid data for the correction. Therefore, we decided to take the mean of
the optically deep water pixels, and treated that value as minimum NIR pixel.
The average value of optically deep water was 133.226.
Total 5,000 different sunglint pixels from each of VNIR bands were collected and
put them into bi-plot to create linear regression between the pixels in NIR and
visible bands. The linear regression between NIR and visible bands produced a
324|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
slope (b) which is an important input to the Equation 3. The relationship between
visible bands and NIR band was very high. It is shown by R2 (coefficient of
determinant) values that exceed 0.85 at all visible bands. The results of linear
regression for each bi-plot are given in Figure 4 and Table 3.
Dry Sand
Green
Vegetation
Clear Water
Figure 3. Spectral signatures comparison over known objects between TOA spectral radiance image
(left) and atmospherically corrected image (right)
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|325
correction (Lyzenga, 1978; Bierwirth et al. 1993; Sagawa et al. 2007;
Wicaksono, 2010) and PCA model (Palapa, 2002; Wicaksono & Heru Murti,
2009). Last, the value of slope (Table 3) and minimum NIR were entered into
Equation 3 to remove the sunglint from Quickbird image. After the algorithms
were applied, the sunglint occurred on the water surface were effectively
removed. The comparison between original image and sunglint-free image is
given in Figure 5.
Figure 4. Bi-plot of 5,000 pixels with different sunglint intensity between visible bands and NIR band
326|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 3. The results of linear regression analysis between NIR band and visible bands
Bands R2 b
Blue NIR 0.859 0.9659
Green NIR 0.861 0.9903
Red - NIR 0.961 1.0061
However, there were still some issues that should be carefully considered when
using this sunglint-free image for underwater mapping process. First, usually
NIR band cannot be corrected unless the sensor has more than one NIR bands.
However, NIR band is rarely useful for underwater mapping due to its inability to
penetrate water. Second, as previously mentioned, any terrestrial or emergent
objects will have invalid due to this sunglint removal. Figure 5 reveals that
terrestrial objects such as dry sand, dry soil, and green vegetation were
completely dark. The dark appearance of these three terrestrial objects showed
the invalidity of the data, and thus these objects should be masked out
afterwards. In fact, the masking process of the terrestrial objects after sunglint
removal process does not only apply on soil and vegetation but also on other
emergent objects. Even for underwater objects that were emerged due to tidal
process at the time the image was recorded would also contain invalid value.
Last, areas affected by combination of sunglint and foam produced by breaking
wave were not able to be resolved. The thick white bands of sunglint and foam
were remained in the area. Any information about benthic habitats located
underlying this kind of water surface condition could not be recovered because
there is no information to begin with. These issues should be kept in mind and
should not be ignored following sunglint removal process.
The visual qualities of the sunglint-free image were subject dependant. The
visual appearances of the sunglint-free image were considered as the qualitative
or relative quality of the sunglint-free image. As a result, saying that the sunglint-
free image is better than the original one without any quantitative measurement
would be unfair. It is because the ability and conformity of each people to
visually interpret information on remote sensing image varies greatly with
knowledge, experience, and educational background. Then, to test the image
quantitatively, the COV analysis within particular class habitat was conducted.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|327
Figure 5. Quickbird image before sunglint removal (above) and after sunglint removal (bottom)
The COV analysis was conducted on each habitat class found on the image.
The habitat classes selected for this analysis were shallow sand, deep sand,
dense seagrass, sparse seagrass, coral reef, and optically deep water. For each
habitat class, 150 pixels were selected and assumed to be the representative
pixels for each habitat. Habitat descriptor such as dense, sparse, deep, and
shallow was only qualitative based on visual interpretation. The purpose of
having these habitat descriptors was to obtain better overview and
understanding of the COV result for each habitat class after sunglint removal
328|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
due to the existence of water column energy attenuation. Without water column
correction, similar habitat distributed at different depth surely contains high
variance and COV due to the attenuation of light by water column. Therefore, it
is important to categorize these habitats based on its depth distribution. The
result of the COV analysis and percentages of sunglint disturbance along with
the revealed additional information is shown in Table 4.
Interestingly, the removal of sunglint did not only minimize the variance of
particular habitat but also improving it. This improvement in the spectra variation
applied on dense and sparse seagrass class. Rather than experiencing a
decrease in variance, they experienced an improvement in variance about
31.17% and 70.75% for sparse and shallow seagrass respectively (Table 4 - red
highlighted columns). It means that 70.75% more information on dense
seagrass habitat has been revealed in the sunglint-free image. If the dense
seagrass area located just south of the Island were carefully identified visually,
there were some obvious differences between original image and the corrected
one. On the original image, dense seagrass appears pretty homogenous and
there will be a big chance of this area to be classified into one class of dense
seagrass. Conversely, the sunglint-free image showed that there are some
variations in this area, not only dense seagrass, but also seagrass at various
densities interleaving with sand habitat in between. It seems that the removal of
sunglint enhanced the contrast, color, and texture of the some habitats and
improves the discriminating ability of the image.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|329
Sunglint correction is also very promising for other application such as
ecological parameter modeling that utilizes, for example, the accurate
identification of seagrass shoots density which is highly related with its standing
crop and LAI (Green et al. 2000). In a nutshell, sunglint removal is very useful
on minimizing the variance due to sunglint noise and improves the
discrimination power of the image by enhancing the contrast, color, and texture
of some habitats.
Conclusions
This study showed that sunglint in high spatial resolution image can be removed
using NIR band to improve the radiometric quality of the image for further
underwater image processing routines. Quantitatively, an average of 64.30%
variations within particular habitat class was due to the existence of sunglint in
water surface in which deeper areas were affected more. In addition sunglint
removal managed to reveal more detail information on areas that seems to be
homogenous. To conclude, sunglint removal is very useful on minimizing the
variance due to sunglint and improves the discrimination ability of the image by
providing more detail information on some habitats.
Acknowledgements
The authors would like to thank Global Land Cover Facility (GLCF) of University
of Maryland, United States and also DigitalGlobe for the free Quickbird image of
Ujung Kulon National Park, Banten Province, Indonesia.
330|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Uncorrected Corrected Ratio COV Sunglint
Habitat Band Mean (%)
Image Image (%) Influence (%)
Dense #1 (Blue) 0.253 1.070 23.64 29.25 70.75
Seagrass
#2 (Green) 0.126 0.447 28.18
References
Bierwirth PN, Lee T.J, Burne RV. 1993. Shallow Sea-Floor Reflectance and
Water Depth Derived by Unmixing Multispectral Imagery. Photogrammetric
Engineering and Remote Sensing 59(3), 331-338.
DigitalGlobe. 2003. Quickbird scene 000000185959_01_P005, Level Standard
2A, DigitalGlobe, Longmont, Colorado, 8/15/2002.
DigitalGlobe. 2006. Quickbird Imagery Product - Product Guide (Revision 4.7.1).
DigitalGlobe, Inc.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote Sensing
Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management
Sourcebooks 3. Paris: UNESCO. ISBN 92-3-103736-6.
Hedley JD, Harborne AR, Mumby PJ. 2005. Simple and Robust Removal of
Sunglint for Mapping Shallow-Water Benthos. International Journal of
Remote Sensing 26(10), 2107-2112.
Image Science and Analysis Laboratory, NASA-Johnson Space Center. The
Gateway to Astronaut Photography of Earth.
<http://eol.jsc.nasa.gov/newsletter/RedSeaReefs.htm> (accessed August
21st 2010 10:44:38).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|331
Jupp DLB. 1988. Background and extensions to depth of penetration (DOP)
mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the Symposium on
Remote Sensing of the Coastal Zone, Gold Coast, Queensland,
September 1988, IV.2.1-IV.2.19.
Krause K. 2005. Radiometric Use of Quickbird Imagery. Technical Note.
DigitalGlobe, Inc.
Lyzenga DR. 1978. Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water
Depth and Bottom Features. Applied Optics 17, 379-383.
Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification
scheme of marine habitats to facilitate regional management and mapping
of Caribbean coral reefs. Biological Conservation 88, 155-163.
Palapa J. 2002. Pengolahan Citra Digital CASI-Themap Untuk Identifikasi dan
Pemetaan Terumbu karang (Coral Reef) di Pulau Harapan, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Faculty of Geography Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Phinn S, Roelfsema C, Brando V, Anstee J. 2008. Mapping seagrass species,
cover and biomass in shallow waters: An assessment of satellite multi-
spectral and airborne hyper-spectral imaging systems in Moreton Bay
(Australia). Remote Sensing of Environment 112, 34133425.
Sagawa T, Komatsu T, Boisnier E, Ben Mustapha K, Hattour A, Kosaka N,
Miyazaki S. 2007. A new Application Method for Lyzengas Optical Model.
http://www.ceg.ncl.ac.uk/rspsoc2007/ papers/188.pdf (accessed July 30th
2008).
Wicaksono P, Murti SH. 2009. Factor Loadings Analysis: Which band
contributes more on coral reef health condition identification?. Proceeding
of the 10th SEASC 2009 Nusa Dua Bali, Indonesia, August 3rd 7th,
2009.
Wicaksono P. 2010. Integrated Model of Water Column Correction Technique
for Improving Satellite-Based Benthic Habitat Mapping. Master Thesis.
Faculty of Geography Gadjah Mada University, Yogyakarta.
332|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kajian Daya Dukung Pesisir untuk Pengembangan Wisata Bahari di
Pulau Hari, Provinsi Sulawesi Tenggara
Suharto Widjojo
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Jalan Raya
Jakarta-Bogor, Km. 46, Cibinong 16911, Indonesia.
Email :
suharto_widjojo@yahoo.com
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|333
Abstract. Any effort to develop a coastal area, it is necessary to recognize the potential
resource and environmental carrying capacity (characteristics of the coast) as well as its
natural phenomena around them, so that, an adjustments can be made to minimize the
cost or risk to the impacts of future developments. Hari Island is a small island located
in South Konawe District, Southeast Sulawesi Province, this area is not populated and
looks unbeneficial. However, it turns out that the beach on the Hari Island's surrounded
by beautiful coral reefs as well as white sand. The sea water is crystal clear in a
temperature range 28-34 C. The area can be reached about 1 hour by boat or 30
minutes by speed boat from the Port of Kenari. The goal of the study is to make
assessment of the carrying capacity of coastal environments of Hari Island for marine
tourism development, especially for diving and snorkeling. The method used are as
follows: 1) identify the shape and stretch of reefs; 2) identify types of marine tourism
that can be approached by formula Tour Suitability Index (TSI); 3) estimation of the
number of visitors and social carrying capacity; and 4) estimation of the economic value
of tourism activities. The results obtained are as follows: In the area of coral reefs
there are marine type of fish for example, Sea Rabbits, or commonly known Nudibranch
and Electric Clamp, which is shaped like sea shells, which can illuminate at night. These
type of fishs can be found in the depth of 6-8 metres from the water surface. Moreover,
these areas are good for snorkeling. The water is very bright until as depth as 10 meters
below the surface; The TSI of Hari Island is quite suitable for diving and snorkeling
activities; and The economic value of tourism could reached more than IDR 200
millions/year assuming Carrying Capacity Regions (CCR) as many as 985 people.
334|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem darat dan
laut. Pengembangan wisata bahari dapat dilakukan di kawasan pesisir yang
bersifat lindung maupun kawasan pengembangan budidaya. Khusus untuk
kawasan lindung luas kawasan yang dapat digunakan sekitar 10 % dari luas
kawasan pemanfaatan dan harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah
ditetapkan ( PP No 18 tahun 1994). Konsep pengembangan pariwisata
berkelanjutan dapat dikatakan bahwa persepsi seseorang dalam menggunakan
ruang pada waktu yang bersamaan atau persepsi pemakai kawasan terhadap
kehadiran orang lain secara bersamaan dalam memanfaatkan area tertentu (Mc
Lead and Cooper, 2005).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|335
pengembangan lokasi pariwisata perlu diperhatikan dampak negatif
kemungkinan terjadi, dapat diantisipasi sedini mungkin.
336|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
pembinaan karena dikawatirkan timbul kerusakan terumbu karang dan
mengurangi daya tarik obyek wisata. Adanya otonomi daerah, menjadikan
pengelolaan P. Hari diserahkan pada Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan.
Sampai saat ini dukungannya terhadap pengembangan wisata daerah tersebut
minim sekali. Pengelolaannya di lakukan oleh Badan Pariwisata Provinsi dalam
membantu Corona Diving Club Kendari untuk mempromosikan pulau tersebut
ke event Nasional., mengikuti kegiatan di Jakarta antara lain berperan serta
dalam pameran potensi wisata Pulau Hari di ajang Nasional. Dalam
pengembangan pariwisata Pemerintah membutuhkan dana yang besar
sehingga perlu dikaji daya dukung kawasan pesisir P. Hari untuk
pengembangan wisata bahar.
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji daya dukung lingkungan pesisir Pulau
Hari untuk pengembangan wisata bahar.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|337
Untuk mengkaji daya dukung kawasan pesisir dengan pendekatan Indek
Kesesuaian Wisata (IKW) berdasar rumus dari Yulianda (2007), yang menilai
kemampuan daya dukung kawasan pesisir khususnya selam dan snorkeling.
Daya dukung kawasan pesisir yang layak untuk penyelaman selama 2 jam
wisata bahari selam 1000 m perorang, dan untuk wisata snorkeling 500 m
perorang. Bobot tiap parameter IKW atau Indek Kesesuaian Wisata (tingkat
kepentingan). Selain itu tiap parameter juga diberi skor berdasar kualitas tiap
parameter menggunakan rumus :
338|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tabel 1. Jenis data dan cara pengambilannya
No Komponen data Metode pengambilan Sumber data
1 Biofisik
Sebaran tutupan karang Interpretasi citra, data Data pendukung
sekunder
Jenis pertumbuhan karang Interpretasi citra, data Data pendukung
sekunder
Jenis dan jumlah ikan karang Data sekunder KSDA Prov Sultra
Kedalaman terumbu karang Interpretasi citra, data Data pendukung
sekunder
Kecepatan arus download Google
Kecerahan perairan Interpretasi citra, data Data pendukung
sekunder
2 Sosial ekonomi
Presepsi masyarakat dan jumlah Data sekunder/ wawancara BPS, Travel Pelayanan
pengunjung Wisata
3 Data pendukung Citra download Google
Penginderaan jauh Geoeye
2010 dan Landsat ETM 2005
Setelah diketahui daya dukung tiap komponen-komponen tersebut, kemudian
dinilai kemampuan daya tampungnya seperti alur pikir dalam gambar 2, berikut
Hamparan terumbu
karang, kedalaman
Kelayakan Fisik
keberadaan terumbu
Sumberdaya untuk pariwisata :
karang, jenis ikan
Alam Daya dukung
karang, kecerahan
lingkungan / SDA
perairan, kecepatan
arus
Keamanan,perilaku
Kelayakan
sosial masyarakat
Sumberdaya Sosekbud untuk
lokal,penyediaan jasa
Sosial- pariwisata :
transportasi,akomodasi
Ekonomi Daya dukung
dan konsumsi, macam
sosek
obyek wisata lain .
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|339
Pembahasan
Berdasarkan analisis data citra penginderaan jauh Geoeye Tahun 2010 setiap
sampel seperti dalam gambar kawasan wisata Pulau Hari.
1 2
7
6 3
4
5
Gambar 3. Analisis Citra dan Sampel pengukuran.
Sebaran sampel dan data sekunder dari KSDA Provinsi Sulawesi Tenggara
tahun 2008 kondisi komunitas karang, kualitas perairan, hamparan terumbu
karang di pesisir Pulau Hari yang hidup pada kedalaman sekitar 3 - 10 m dpl
setiap sampel dapat dilihat tabel 2 sebagai berikut:
340|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Lebar hamparan
Pengambilan Kecepatan
No Warna digambar tutupan karang Kecerahan
sampel arus (cm/dt)
(m)
5 Sampel nomor 5 Coklat tua 43,35 6.00 Cerah
6 Sampel nomor 6 Putih bintik2 coklat 164 10.00 Cerah
7 Sampel nomor 7 Coklat kehitaman 90,25 6.20 Cerah
Sumber: KSDA Prov Sultra 2008 dan hasil Interpretasi Citra Landsat ETM 2005 dan Geoeye
2010
Dari tabel tersebut lokasi 2 yang berwarna biru tua hamparan karangnya luas
dengan kecepatan arus rendah yaitu 3,80 cm /detik Untuk lokasi 6 yang
berwarna putih bintik coklat kecepatan arusnya makimal 10 cm/detik Lokasi
yang biru muda sampai tua kecepatan arus maksimal 7 cm/dt. Bila dilihat
secara keseluruhan kecepatan arus di P. Hari dan sekitarnya tidak terlalu deras
sedang apabila kecepatan arus lebih dari 50 cm/dt tidak dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan wisata bahari baik selam maupun snorkeling.
Hamparan karang berdasar citra landsat ETM tahun 2005 dan citra Geoeye
tahun 2010, di P. Hari mencapai areal cukup luas 25.000 Ha. Dari data
tersebut dapat diperkirakan daya dukung para penyelam dan snorkeling adalah
1.666 orang. Dalam mengelola wisata bahari ini perlu diantisipasi agar
terumbu karang dilestarikan jangan sampai mengalami kerusakan. Dengan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|341
jalan membatasi para penyelam, obyek wisata akan terselamatkan kondisinya.
Ada kekawatiran bahwa semakin banyak penyelam maka tingkat kerusakan
semakin tinggi
Berdasar data dari KSDA Prov Sultra tahun 2008, jenis ikan yang ada di
kawasan karang pesisir P.Hari pada kedalaman 3 m ada 18-30 jenis dan pada
kedalaman 10 m ada 16-32 jenis. Tingkat kehidupan karang dipesisir P. Hari
di atas 50 % sehingga kelayakannya untuk wisata bahari masih tergolong cukup
tinggi, apabila dilihat dari 6 (enam) parameter kawasan pesisir P. Hari, yaitu
tingkat kehidupan karang, kedalaman karang, kecerahan perairan, kecepatan
arus, hamparan karang, jumlah jenis ikan yang ada di karang. Gambaran
kawasan pesisir P. Hari dan sekitarnya seperti dalam data berikut :
342|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kawasan Wsata Bahari
P. Hari dari citra Geoeye
Laut Banda
U
Sela
Sela Selam
Sela Selam
n
Selam
n
-- 0402'19"
n LS
n
I
Sela
Laut Banda
n
Daya dukung sosial dan masyarakat untuk kegiatan wisata bahari meliputi
keamanan, penerimaan masyarakat lokal, dukungan pemerintah, sarana
transportasi, peruntukan kawasan, ketersediaan peralatan wisata, akomodasi
dan persediaan air tawar/ bersih Adapun tingkat daya dukung sosial P. Hari
dan sekitarnya seperti tabel 4 sebagai berikut:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|343
No Parameter sosial Bobot Skor Nilai
6 Ketersediaan pelengkapan wisata (tersedia di setiap Dinas 1 1 1
terkait)
7 Akomodasi (tak ada peruntukan khusustapi ada rumah 1 1 1
pendudukdi mainland tersedia untuk peristirahatan
wisatawan).
8 Ketersediaan air tawar (tersedia di mainland) 1 1 1
Total 22
Nilai maksimum untuk daya dukung sosial
wisata bahari 24
Daya Dukung sosial P. Hari 90%
Dari tabel tersebut dapat dilihat
Penilaian keamanan dengan skor 2 karena tak ada sara dan mayoritas
penduduk di mainland adalah Islam sehingga tak ada konflik agama
dan diberi skor 2.
Sarana taman laut. Untuk transportasi menuju obyek wisata belum ada
yaang reguler. Ada transportasi non reguler dalam seminggu 3-4 kali
dengan angkutan laut milik masyarakat sehingga mendapat skor 1
344|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
tempat istirahat ada tersedia rumah penduduk di mainland sehingga
mendapat skor 1
Dari penilaian tiap parameter daya dukung sosial mencapai 90 % dan dapat
dikatakan cukup mendukung untuk pengembangan wisata bahari.
Kesimpulan
Hasil kajian daya dukung kawasan perairan P. Hari untuk pengembangan
pariwisata adalah sebagai berikut:
Nilai ekonomi pertahun diatas 200 juta dengan asumsi kunjungan per
orang 1 x dalam setahun.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|345
Daftar Pustaka
346|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Aplikasi MapWindowSWAT untuk memprediksi Hidrologi di DAS
Cirasea, Jawa Barat
1 1,2 3
Sri Malahayati , Kukuh Murtilaksono , Mahmud A. Raimadoya
1
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB, Email: malahayati10@gmail.com
2
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan-IPB, murtilaksono@yahoo.com
3
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan-IPB, mud@indo.net.id
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|347
Pendahuluan
SWAT merupakan model hidrologi skala DAS yang dikembangkan oleh Dr. Jeff
Arnold untuk United State Department of Agriculture (USDA) pada awal tahun
1990-an. SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek
pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang
masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks (Neitsch et al.
2005). Aplikasi SWAT di beberapa negara tropis beberapa tahun terakhir ini
mengalami perkembangan yang pesat diantaranya untuk memprediksi aliran
sungai karena perubahan penggunaan lahan dan prediksi aliran permukaan
(Guo et al. 2008; He at al. 2008). Hal tersebut terutama dikarenakan SWAT
telah terintegrasi dengan data spasial.
Penggunaan SWAT di Indonesia dapat dikatakan relatif masih rendah. Hal ini
dikarenakan ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana
model ini diciptakan. Oleh karena itu, perlu suatu usaha dimana SWAT dapat
diterapkan dengan baik di Indonesia. Beberapa diantaranya yaitu penyediaan
data input yang memadai untuk SWAT seperti data tanah, iklim dan
penggunaan lahan serta data hidrologi. Selain itu, SWAT perlu dikalibrasi untuk
mengetahui tingkat penerimaan model tersebut.
Daerah Penelitian
Penelitian dilaksanakan di DAS Cirasea yang berada di kawasan hulu DAS
Citarum. Secara geografis daerah penelitian terletak pada 0703'02''-0717'15''
LS dan 10737'00''-10743'10''BT dan secara administratif termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Bandung Selatan, Provinsi Jawa Barat. Luas daerah
penelitian adalah 6,832 ha. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
348|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 6. Lokasi Daerah Penelitian
Daerah penelitian memiliki tipe iklim D yaitu adanya bulan basah (curah hujan
bulanan > 100 mm) selama 6 bulan dan bulan kering (curah hujan bulanan <60
mm) selama 4 bulan. Curah hujan yang jatuh di daerah ini sangat bervariasi
yaitu antara 1,057 mm hingga 2,535 mm (Gambar 2). Temperatur maksimum
rata-rata bergerak antara 27,81C 30,09C dan minimum rata-rata 18,10C
19,96C. Rata-rata radiasi matahari bulanan di daerah penelitian sebesar 14,66
2
MJ/m /hari dan kelembaban udara sebesar 78%.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|349
Gambar 1. Curah Hujan Tahunan DAS Cirasea Tahun 1993-2007
350|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Gambar 2. Peta Tanah DAS Cirasea
Prosedur Analisis
Penelitian dilakukan melalui 3 tahap yaitu pengumpulan data, analisis data dan
kalibrasi model. Analisis data meliputi analisis citra dan analisis hidrologi.
Analisis citra dilakukan menggunakan program ERDAS Imagine dengan metode
klasifikasi kemiripan maksimum (maximum likelihood classification) dan
interpretasi visual.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|351
hasil air DAS. Prosedur analisis hidrologi mencakup deliniasi daerah penelitian,
pembentukan HRU dan penggabungan HRU dengan data iklim.
Pada tahap kedua, masing-masing sub DAS dibagi menjadi beberapa HRU
(Hydrological Response Unit) yang menggambarkan kombinasi dari jenis tanah
dan penggunaan lahan. Metode yang digunakan adalah threshold by
percentage. Metode ini digunakan untuk menentukan seberapa besar luas
tanah dan penggunaan lahan yang akan diabaikan oleh model dalam
pembentukan HRU. Tahap terakhir dari model ini yaitu penggabungan HRU
dengan data iklim.
2
( Rday I a )
Qsurf=
( Rday I a S )
dimana Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah
jumlah curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat
simpanan permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter
retensi (mm).
352|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
2
y y
NS = 1 -
y y
2
dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), adalah debit hasil simulasi
H0 = tidak terdapat perbedaan antara debit hasil prediksi model dan debit
observasi.
H1 = terdapat perbedaan antara debit hasil prediksi model dan debit observasi.
H0 diterima apabila t hitung lebih kecil dari t tabel pada taraf signifikansi 5%.
MD
t0
SEM D
dimana to adalah t hitung, MD adalah mean of different (rata-rata hitung
dari selisih antara skor variabel i dan variabel ii) dan SEMD adalah standart
error of mean different .
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|353
terhadap luas DAS sebesar 54,61%. Penggunaan lahan dengan luasan terkecil
adalah pemukiman dengan persentase terhadap luas DAS sebesar 4,02%.
354|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tabel 3. Luas Sub DAS pada DAS Cirasea Hasil Deliniasi Model
Luas
Nama Sub DAS
Ha % DAS
1 Sub DAS 1 576 8,42
2 Sub DAS 2 773 11,32
3 Sub DAS 3 1,457 21,32
4 Sub DAS 4 1,121 16,41
5 Sub DAS 5 2,168 31,73
6 Sub DAS 6 385 5,64
7 Sub DAS 7 98 1,44
8 Sub DAS 8 4 0,06
9 Sub DAS 9 251 3,67
Total 6,832 100,00
Jumlah HRU yang terbentuk pada 9 sub DAS tersebut adalah sebanyak 206
HRU. HRU merupakan unit anlisis terkecil yang digunakan dalam perhitungan
pada model SWAT. Threshold yang digunakan dalam proses pembentukan
HRU adalah masing-masing 5% untuk jenis tanah dan penggunaan lahan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|355
Kalibrasi Model
Model dikalibrasi dengan membandingkan debit hasil perhitungan model
dengan debit hasil pengukuran lapang pada SPAS Cengkrong-Cirasea.
Kalibrasi dilakukan menggunakan data hujan dan debit air tahun 2007 untuk
periode harian yaitu sejak tanggal 1 Januari sampai 23 April 2007.
Gambar 5. Debit Simulasi dan Hasil Pengukuran DAS Cirasea sebelum Kalibrasi
Gambar 6. Debit Simulasi dan Hasil Pengukuran DAS Cirasea setelah Kalibrasi
356|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Parameter yang sangat sensitif pada tahap kalibrasi ini adalah parameter yang
terkait dengan metode penelusuran air di aliran sungai (routing methode),
parameter aliran dasar, parameter pada saluran sungai utama, parameter pada
tingkat sub DAS dan HRU. Setelah kalibrasi dilakukan, nilai NS mencapai 0,737
2
dan R sebesar 0,7527. Adapun input pada masing-masing parameter tersebut
disajikan pada Tabel 4.
Analisis Hidrologi
Hasil prediksi hidrologi untuk DAS Cirasea dengan data penggunaan lahan
tahun 2007 disajikan pada Tabel 5. Data tersebut merupakan hasil simulasi
untuk periode 1 Januari hingga 23 April 2007.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|357
Tabel 5. Prediksi Hidrologi DAS Cirasea Tahun 2007
Parameter Hidrologi Jumlah
Hujan 858
Kesimpulan
Aplikasi model MWSWAT pada DAS Cirasea dapat dikatakan cukup akurat
2
dengan nilai efisiensi NS sebesar 0,737 dan R sebesar 0,7527. Dengan
demikian, model ini dapat diaplikasikan pada DAS lainnya di Indonesia.
Daftar Pustaka
Guo, H., Q. Hu, and T. Jiang. 2008. Annual and Seasonal Streamflow
Responses to Climate and Land Cover Changes in the Poyang Lake
Basin, China. Journal of Hydrology (2008), 355:106-122.
He, H., J. Zhou and W. Zhang. 2008. Modelling the Impacts of Environmental
Changes on Hydrology Regimes in the Hei River Watershed, China.
Journal of Global and Planetry Change (2008), 61:175-193.
Neitsch, S. L., J. G. Arnold, J. R. Kiniry and J. R. William. 2005. Soil and Water
Assessment Tool : Theoritical Documentation Version 2005. Agricultural
Research Service and Texas Agricultural Experiment Station.
[puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Peta Tanah Tinjau
Mendalam Daerah Citarum Bagian Hulu. Bogor: puslittanak.
358|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Sudijono, A. 1986. Pengantar Statistik Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Suryani, E. Optimasi Perencanaan Penggunaan Lahan dengan Bantuan Sistem
Informasi Geografi dan Soil and Water Assessment Tool : Suatu Studi di
DAS Cijalupang, Bandung, Jawa Barat [tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|359
360|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Shoreline Change Assessment by Means of Remotely Sensed Data
and Geographic Information System (GIS): Case of Demak Coastal
Area
Nita Maulia
Centre for Natural Resources Survey. National Coordinating Agency for Survey and
Mapping. Cibinong, Bogor.
Email:
nita.maulia@gmail.com
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|361
Introduction
Shoreline changes can bring negative effects such as; loss of life and property,
security of harbors, change of the coastal socioeconomic environment, and
access to coastal resources. Furthermore, it will also bring politically issues
especially related to the regional boundaries between regions and countries
(Boak and Turner, 2005). Demak Regency has suffered many losses due to the
shoreline change. The main factors controlled shoreline changes in Demak are
abrasion and sedimentation that occurs intensively along the Demak coastal
area and also landuse changes. The impact has taken at least 200 families to
be relocated, 300 ha fishponds area sink (www.suaramerdeka.com, 2009), and
many coastal community lost their livelihoods due to the high rate of abrasion in
Demak.
Methods
Research phase was divided into 5 phase; preparation and data acquisition,
shoreline extraction, shoreline change analysis, fieldwork, and post fieldwork.
Preparation and data acquisition are including literature study, Data acquisition,
and Fieldwork preparation.
362|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
using some parameter; analysis input, object separability, fishponds separation
from sea, shoreline continuity, line feature processing, and time efficiency.
These criteria were described, analyzed, and then scored to determine the best
method among the other. The score and criteria for each parameter were
describes in Table 1, Table 2, Table 3, Table 4, Table 5, and Table 6, and Table
7. The best method will be used to extract the multitemporal shoreline.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|363
Table 6 Time efficiency
Criteria Score Information
Efficient 3 Few steps needed in less an hour
Efficient enough 2 Several steps needed in couple hours
Less efficient 1 Many steps needed in many hours
Shoreline change analysis was including determine the baseline, transect, and
transect's range, calculate the shoreline change rate using statistical
approaches, and recent shoreline prediction. Statistical method that used to cast
this analysis was Shoreline Change Envelope (SCE), Net Shoreline Movement
(NSM), Weighted Linear Regression Rate (VVLR), Linear Regression Rate
(LRR), Least Median of Squares (LMS), and End Point Rate (EPR). For the
recent shoreline prediction the method will also be compared quantitatively by
comparing the prediction method with the extracted shoreline.
Study Area
This research was conducted in Demak coastal area which located at South
Latitude 0641'56" - 0657'10" and East Longitude 11027'32" - 11036'36".
Demak coastal area covers 4 districts with 13 waterfront villages. They are
Sayung (Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, and Surodadi); Karang Tengah
(Tambakbulusan); Bonang (Morodemak, Purworejo, and Betahwalang); and
Wedung (VVedung, Berahan Kulon, Berahan Wetan, Kedungmutih, and
Babalan). Demak coastal area has typical condition that formed by the coastal
dynamic process. There were some abrasion spots, growing deltas,
aquaculture, and there also some deposits of coastal erosion that the local
usually call it "tanah timbul" (longshore bar) that appear seasonally. This typical
364|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
condition can be the challenges in shoreline extraction for each method
capabilities.
Shoreline Extraction
Maximum likelihood classification
Supervised maximum likelihood classification was applied to extract shoreline.
Danoedoro (2003) classification scheme (Appendix 1) was used to classify the
image. The input bands used for the classification were band 2, band 3, and
band 4. Gaussian spectral samples that run using region of interest (ROls) were
used in this process by taking 100 pixels for each class. Separability index
from ROls that was taken before shows the good class separability with the
value range of 1.7 2.0. Table 8 was present separability index of the ROls.
Those ROls will be used to execute the classification process.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|365
determination process. Since the final result of this process is line feature, the
isolated pixels and classification class discontinuity problems may take more
time to be solved in shoreline extraction process.
Turbid water 1
Turbid water 2
Metal surfaces
Wet surface 2
High density
Dry bare soil
broadleaves
broadleaves
Low density
Deep water
woody
woody
Turbid water 1 - 1.82 1.99 1.99 1.97 2.00 1.99 2.00 2.00 1.99
Turbid water 2 1.82 - 1.98 1.99 1.99 2.00 1.99 2.00 2.00 2.00
Deep water 1.99 1.98 - 1.99 1.98 2.00 1.99 2.00 2.00 2.00
Net surface 1 1.99 1.99 1.99 - 1.99 2.00 1.98 1.99 2.00 1.99
Wet surface 2 1.97 1.99 1.98 1.99 - 2.00 1.97 1.99 2.00 1.99
Dry bare soil 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 - 1.98 1.73 1.97 1.99
Metal surfaces 1.99 1.99 1.99 1.98 1.97 1.98 - 1.92 1.99 1.99
Clay roof tiles 2.00 2.00 2.00 1.99 1.99 1.73 1.92 - 1.71 1.96
Low density woo dy 2,00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.97 1.99 1.71 - 1.77
broad leaves
High density woody 1.99 2.00 2.00 1.99 1.99 1.99 1.99 1.96 1.77 -
broadleaves
Density Slice
Density slice which also known as digital number threshold is another powerful
pixel based method that used by the researcher to determine the shoreline. TM
band 5 (mid-infra red) was chosen as the input for density slicing process. Some
arbitrary range was used to determine the land and water. The first trial value
range of 0 - 35 was used to determined the water bodies. There is some
contradiction in density slicing, even the range was set carefully the range can
not accommodate the land and water separation. Table 9 present the summary
of classification of result each range related to the characters of Demak coastal
area. This condition will make the shoreline difficult to be determined. Figure 3
shows the density slice classification result in various range.
366|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 9 The summary of density classification results in arbitrary range
Ranges Shoreline Boundary Fishponds Boundary Longshore Bar
0 35 Not clear, there are unclassified Not clear, there are Clear
water pixel unclassified water pixel
0 37 Not clear, there are still unclassified Not clear, some of fishponds Clear
water pixel are classified as water
0 40 Clear, but in certain area are invalid Not clear, some of fishponds Not clear
are classified as water
There are some parameters that need to be set for segmentation process;
similarity and area. Similarity is threshold value that will be used to indicate the
membership of pixel to be included in certain class while the area is threshold
value that will be used as minimal amount of pixel group. Since there is no
default value, similarity and area value were done arbitrarily by doing some try
and error until good segmentation result obtained. Trial process was conducted
using some arbitrary value of similarity and area, and the best parameter was
similarity of 7 and area of 1000 which shows that the water and land can be well
separated. Figure 4 shows the segmentation result with the threshold
parameters similarity 7 and area 1000 while the summaries of the result
discussion were present in Table 10.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|367
Methods Comparison
Based on the analysis input, RGS is the most excellent method since it included
used 6 bands of Landsat (band 1, 2, 3, 4, and 7) as inputs and also the other
parameters such as pixel neighborhood. RGS also has good object separability
among the other. It can really separate the water and land so that the object
boundary can be clearly seen. In sea water and fishpond separation, RGS also
shows good performance so that the sea water and fishponds can be separated.
RGS has also successfully produced the continuous shoreline with the good
separation of each class. The sea water and land were continuously separated
so that the shoreline determination can be easily done. Transforming process
from the classification result to the polyline features is more easily performed in
density slice classification result and also RGS. Density slice was also good at
time efficiency since it was the simplest classification steps. Scoring parameters
that have been discussed before were applied in each method so that it can be
compared each other. The Result shows that RGS was the best method than
followed by the maximum likelihood and density slice. Table 11 shows the
matrix of methods comparison for shoreline extraction.
368|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Figure 3. Arbitrary Figure. 3 Arbitrary Density Slice Result; Density slice ranges for water 0 35 (A);
Density slice ranges for water 0 37 (B); and Density slice ranges for water 0 40
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|369
Table 11 Matrix of Methods Comparison for Shoreline Extraction
Object Based
Pixel Based Method
Methods Method
Criteria Maximum Density Slice Region Growing
likelihood Segmentation
Analysis input 2 1 3
Object separability 2 2 3
Fishponds separation 2 1 3
from sea
Shoreline continuity 2 1 3
Line feature processing 2 3 3
Time efficiency 2 3 2
Total Score 12 11 17
Criteria Quite good Quite good Good
Shorelines
RGS was applied into other images to extract the shoreline. Each image has the
different pixel value even for the same object, therefore the parameters value
that used in 2002 image may not be used in the other images. Parameters
values for each image are; similarity of 9 and area of 2000 for 1972 image;
similarity of 9 and area of 2000 for 1982 image; and similarity of 11 and area of
2000 for 1972 image. The extracted shorelines that resulted from the process
were corrected using visual interpretation. There were some places that have a
bit changes but the validation can not be accommodate by the interview.
Therefore the shorelines were corrected by adjusting the shoreline visually. The
resulted shorelines were displayed in Figure 5.
370|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Shoreline Analysis
Shoreline Change
Shoreline change analysis including shoreline length changes and land area
changes both in coverage and type. The length change shows both increase
(positive value) and decreasing (negative value). Beside changes the length,
shoreline change also bring alteration in the wide of land area. Overlay
technique was used to know the changed land area coverage and the type of
change. The negative growth only happens in 1982 and the other is positive.
These can not be used as indication that there were no abrasions occurs in
1992 & 2002. This may cause by the delta growth rate was higher that the
abrasion rate in general. Land area changes can be divided into 15 type of
change based on the change trend through years. The change code and
change type were shows the transformation of the area according to the time
series, 1972-1982-1992-2002. The biggest change during the period was Water-
Land-Water-Water which is including the area of approximately 6.07 km2. Table
12 shows the shoreline length from 1972 2002 and it changes while Table 13
describes the changes type and its area coverage. The shoreline map that
shows the type of change can be seen in Appendix 1.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|371
Table 14 Changes type and its area coverage during 1972 - 2002
Change Code Change Type Area (m2) Area (km2)
L Land (constant) 227237513.3 227.2375133
L-L-L-W Land-Land-Land-Water 3918385.168 3.918385168
L-L-W-L Land-Land-Water-Land 14871.219 0.014871219
L-L-W-W Land-Land-Water-Water 1485108.617 1.485108617
L-W-L-L Land-Water-Land-Land 1382257.943 1.382257943
L-W-L-W Land-Water-Land-Water 246857.574 0.246857574
L-W-W-L Land-Water-Water-Land 1082497.951 1.082497951
W Water (constant) 213872195.2 213.8721952
W-L-L-L Water-Land-Land-Land 1137441.706 1.137441706
W-L-L-W Water-Land-Land-Water 641748.746 0.641748746
W-L-W-L Water-Land-Water-Land 120622.494 0.120622494
The SCE calculation shows that the farthest distance between shorelines is
2190.99 m, which mean that it was the farthest shoreline movement during
1972-2002 either accreting or retreating. Based on the NSM calculation result,
farthest accrete shoreline distance was 2186.42 m while the farthest retreat
distance was -2190.9 m. Both the accretion and abrasion shows the significant
change distance between the oldest and the youngest shoreline.
372|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 15 The oldest and youngest shoreline distance calculation result (m)
Farthest Accrete Farthest Retreat
Method Average Distance
Distance Distance
NSM 2186.42 -2190.9 255.0098753
Generally, the rate change average is in positive point which means that the
land is more to be accreting than retreating. The rate average of LMS, 1.47
m/year, is the smallest point among the other method, while the biggest point
owned by the EPR in 16.41 m/year. HighestRate present the farthest accreting
rate and the lowest rate present the farthest retreat rate among transects. EPR
has the highest value of highest rate and LMS has the lowest value of the lowest
rate. Retreat average shows the average of retreat event and so does the
accrete average shows the average of accrete event.
Beside calculate the change rate per year, WLR and LRR calculation were also
resulted supplemental statistics that is helpful in assessing the robustness of the
computed regression rates. The LSE and WSE calculation shows that the WLR
(21.09571 m) has less error than LRR (197.9309 m). LCI and WCI calculation
result shows that the LRR shows the better result than WLR. The R-squared
statistic calculation shows nearly similar value between WR2 and LR2 with only
0.1 differences in value. Based on the calculation can be considered that the
shoreline in Demak was not growing linearly neither linearly. Table 17 present
the supplemental statistics calculation result.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|373
Method
WLR LRR
Name Value Name Value
with Confidence Interval
R-Square WR2 0.47182 LR2 0.48048
Shoreline Prediction
Recent Shoreline Prediction (2008)
Assessing the future shoreline will give the illustration of the changes, the
impacts, damages, and losses that may occur so that the management direction
can be arranged. Shoreline prediction was conducted using DSAS which
assumed that the shoreline growth is linear. Some statistically methods were
used; EPR, LRR, LMS, and WLR method. To measure the capability of the
prediction method, the recent shoreline prediction was conducted.
The changes rates that calculated before were used as the basic of shoreline
prediction. Based on the rates calculation, each transect were produce new
point that consider as the future shoreline position. These points were
generalized to the line feature of the shoreline. The future shoreline positions
based on some methods calculation were presented in Figure 6. There are
some missed predictions spots occur when the calculation generalized,
374|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
especially in Delta Wulan and abrasion area. Generally, the missed prediction
spots between each method were nearly similar, but in some part of the delta
and abrasion area the predicted shorelines are different. LMS shoreline in south
part of the delta was more extend to the sea if compared with another method,
while the EPR formed a new land that was not exist in the original shoreline. In
case of abrasion area, each prediction method shows different result.
Quantitatively comparison was also conducted to figure out the best prediction
method. Transects and baselines were generate to cast the distance of the
original shoreline and predicted shoreline. Distance between original and
predicted shorelines in each transect were calculated to generate the value that
will be used as the comparison input. Minimum, maximum, average, and
standard deviation were used as the comparison input. These values were
presented in Table 18. Negative values that were presented in Min Deviation
row present the deviation direction that closely to the land or can be said as the
underestimate shoreline position. Max Deviation row present the deviation
direction that closely to the sea water or can be said as the overestimate
shoreline position. The farthest overestimate shoreline position is about 1069.41
m and the closest is about 756.86 m. The farthest underestimate shoreline
position is about 1509.03 m and the closest is about 1013.28 m. LMS has both
the farthest overestimate and underestimate shoreline position which indicate
this method has the highest error between the other. LRR and EPR almost have
the similar result in maximum and minimum deviation but very different in
deviation average. The lowest deviation average and standard deviation owned
by WLR which indicate that the method is excellent.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|375
Figure 6. A. Some missed shoreline predictions spots; B. Different prediction result in Delta; and C.
Different prediction result in abrasion area
376|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Figure 7. Deviation between original and WLR shoreline
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|377
event needs early anticipation to prevent the losses. The other part of deltas will
be extended. This indicate that the sediment material from the upper land still
occur intensively. This also needs to be anticipated by the planning manager.
The prediction also shows that in some part of abrasion area there will be some
accreting land. Although there still abrasion event occur, but it not in huge
capacity.
The study area has some major spots that experienced both abrasion and
accretion intensively. Intensive abrasion is occurring in Sriwulan, Bedono, and
Babalan village while the accretion mostly appears in Wulan Delta. The
378|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
shoreline change also brings the significant negative impact to the coastal
community livelihood. Factors can be work individually or collaborated.
Shoreline change rate was calculated using EPR, LRR, LMS and WLR method,
and each method has different rate result. The EPR shows that average rate is
about 16.41 m/year, LMS = 1.47 m/year, LRR = 5.17 m/year, and WLR = 4.33
m/year. The result of 2008 WLR shoreline prediction was quite good with the
average deviation about 19.22 m. The 2032 shoreline prediction expected to
have the quite similar average deviation as 2008 WLR shoreline prediction.
Recommendations
Indonesia has been identified as areas with very high rates of erosion and
sediment production. Rapid changes of the shoreline need to be deeply
investigated and seriously managed immediately. For those reasons shoreline
change mapping is become very important to be conducted.
The shoreline change, especially abrasion, in Demak coastal area was very
anxious. Although there is some management effort, it was considered as not
the best solution to overcome the problem so that the management evaluation
still needed. Community environmental awareness also needs to be increased
in order to support the management program and to overcome the abrasion
problems.
To enhance the prediction result and the accuracy, new research should be
including factors that related to the shoreline change as input of the prediction
process. These factors can include natural and anthropogenic factors.
Reference
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|379
Perolehan dan Analisis Citra Hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial.
page. 71-90. Gadjah Mada University; Yogyakarta.
ENVI 4.5. (2007). ENVI User's Guide.
Frazier, P. S. and Page, K. J. (2000). Water body detection and delineation with
Landsat TM data. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing,
66(12); 147 167.
Manumono, D. (2008). Perubahan Perilaku Masyarakat Kawasan Pesisir Akibat
Penurunan Pendapatan Sebagai Dampak Abrasi dan Rob di Kabupaten
Demak. National Seminar of Agricultural and Rural Development
Dynamics: Challenge and Opportunity for Farmer Welfare. 19th October
2009, Bogor, Indonesia.
Marfai, M. A., Almohammad, H., Dey, S., Susanto, B., and King, L. (2008).
Coastal dynamic and shoreline mapping:multi-sources spatial data
analysis in Semarang Indonesia. Environ Monit Assess, 142; 297 - 308.
Musyafak. (2009). Menyelamatkan demak dari abrasi.12 May 2009.
http://www.suaramerdeka.com/
smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetakandidberitacet
ak=63183 , accessed 2 August 2009 at 06:15 PM.
Thieler, E. R., Himmelstoss, E. A., Zichichi, J. L., and Miller, T. L. (2006). The
digital shoreline analysis system (v.3.x): Enhanced software computing
shoreline change from feature- and datum-based shoreline. Shoreline
Change Conference II: A Workshop on Managing Shoreline Change. 3rd
5th May 2006.
Thieler, E. R., Himmelstoss, E. A., Zichichi, J. L., and Ergul, Ayhan. (2009).
Digital Shoreline Analysis System (DSAS) version 4.0 An ArcGIS
extension for calculating shoreline change: U.S. Geological Survey Open-
File Report 2008 - 1278.
Yanli, T. (2003). The Application of GIS and RS for Coastline Change Detection
and Risk Assessment to Enhanced Sea Level Rise. M.Sc. Thesis.
International Institute for Geo-information Science and Earth Observation,
Enschede, Netherlands.
380|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Penentuan Kecukupan
dan Prediksi Luasan Ruang Terbuka Hijau sebagai Rosot CO2 di
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah
Abstract. Based on the amount of CO2 emissions in 2010, overall the Kudus District has
been unable to absorb all CO2 emissions. The value of CO2 emissions in 2010 amounted
to 1.744,704 Gg/year. The green space should be provided in the amount of 29.948,106
ha (66,46%) whereas the vast of green space in the field is 18.077,31 hectares or 39,86%.
The addition of green space needs in 2010 is 11.870,79 ha. Estimation of emissions in
2016 is amount of 1.794,016 Gg, so broad the green space required 30.794,545 ha. The
addition of green space in 2016 is 12.717,235 ha by actual circumstances in the field
using the image data 2009. The prediction of value area obtained from one fixed
variable, it is CO2 emissions from rice fields amount 14,5568 Gg. Then the unfixed
variables are CO2 emissions from livestock, population and energy consumption.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|381
Pendahuluan
Latar Belakang
Peningkatan perekonomian di berbagai wilayah berkembang, seperti Kabupaten
Kudus akan mengubah pola penggunaan lahan dan berbagai sarana dan
prasarana fisik sebagai penunjang aktifitas penduduk kota. Perubahan fisik
yang dilakukan di sisi lain pembangunan menimbulkan dampak negatif seperti
berkurangnya jumlah tutupan lahan oleh vegetasi khususnya di daerah
perkotaan yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan, sehingga
terjadi ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Keadaan ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di daerah
perkotaan. Potensi perkembangan industri pada tahun 2008 adalah 10.542 unit
usaha. Wilayah Kabupaten Kudus terletak pada jalur transportasi yang sangat
strategis, antara Jakarta-Semarang-Surabaya dan Jepara-Kudus-Solo, serta
daerah Segitiga Emas yang menghubungkan Jepara-Semarang-Surabaya,
sehingga mempunyai prospek yang baik di bidang industri dan perdagangan.
Dampak perkembangan perekonomian seperti ini akan berpengaruh langsung
terhadap penurunan kualitas lingkungan Kabupaten Kudus.
382|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
mengetahui kandungan emisi CO2 serta distribusi dan kecukupan luasan ruang
terbuka hijau di Kabupaten Kudus.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus dan pihak terkait lainnya dalam
proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan, pengembangan,
perencanaan dan pembangunan ruang terbuka hijau dalam pengembangan
ruang terbuka hijau serta memberikan gambaran mengenai distribusi ruang
terbuka hijau pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Kudus.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan selama 9 bulan dimulai pada tanggal 20 Juni 2010 sampai
dengan 20 Februari 2011. Pengambilan data GCP di Kabupaten Kudus,
Provinsi Jawa Tengah. Pengolahan data dilakukan selama dua bulan di
Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan DKSHE, FAHUTAN, IPB.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|383
Tahapan Penelitian
Inventarisasi dan pengumpulan data
2. Studi pustaka
3. Wawancara
a) Energi
C(TJ/tahun)=a(103 ton/tahun)xb(TJ/103 ton)
E(tC/tahun)=C(TJ/tahun)xd(tC/TJ)
G(GgC/tahun)=E(tC/tahun)xf
H(GgCO2/tahun)=G(GgC/tahun)x(44/12)
Keterangan:
a = Konsumsi bahan bakar berdasarkan jenis bahan bakar (103 ton/tahun)
b = Nilai kalori bersih / faktor konversi berdasarkan jenis bahan bakar (TJ/103 ton)
C = Jumlah konsumsi bahan bakar berdasarkan jenis bahan bakar (TJ/tahun)
d = Faktor emisi karbon berdasarkan jenis bahan bakar (t C/TJ)
E = Kandungan karbon berdasarkan jenis bahan bakar (t C/tahun)
f = Fraksi CO2, fraksi CO2 untuk bahan bakar minyak adalah 0,99 sedangkan untuk
bahan bakar gas adalah 0,995
G = Emisi karbon aktual berdasarkan jenis bahan bakar (Gg C/tahun)
H = Total emisi CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar minyak dan gas (Gg CO2/tahun)
b) Ternak
C(ton/tahun)=a(ekor)xb(kg/ekor/tahun)
E(ton/tahun)=a(ekor)xd(kg/ekor/tahun)
F(GgCH4/tahun)=C(ton/tahun)+E(ton/tahun)
384|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Keterangan:
C = Emisi gas metan dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak (ton/tahun)
a = Populasi ternak berdasarkan jenis ternak (ekor)
b = Faktor emisi CH4 dari hasil fermentasi berdasarkan jenis ternak (kg/ekor/tahun)
E = Emisi gas metan dari proses pengelolaan pupuk berdasarkan jenis ternak
(ton/tahun)
d = Faktor emisi CH4 dari pengelolaan pupuk berdasarkan jenis ternak
(kg/ekor/tahun)
F = Total emisi gas metan berdasarkan jenis ternak (Gg/tahun)
c) Sawah
D(GgCH4/tahun)=a(m2)xbxc(g/m2)xd
Keterangan :
D = Total emisi gas metan dari areal persawahan (Gg/tahun)
a = Luas areal persawahan (m2)
b = Nilai ukur faktor emisi CH4
c = Faktor emisi (18 g/m2)
d = Jumlah masa panen per tahun
d) Penduduk
KKP(t)=(JPT(t).KPt)
Keterangan :
KKP(t)= Karbon dioksida yang dihasilkan penduduk pada tahun ke t (ton CO2/tahun)
JPT(t) = Jumlah penduduk terdaftar pada tahun ke t (jiwa)
KPt =Jumlah karbon dioksida yang dihasilkan manusia yaitu 0,96 Kg CO2/jiwa/hari
(0,3456 ton CO2/jiwa/tahun)
Penentuan luas ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi sebagai penyerap CO2
L(ha)=w(tonCO2/tahun)+x(tonCO2/tahun)+y(tonCO2/tahun)+z(tonCO2/tahun)
K (ton/tahun/ha)
Keterangan:
L = Kebutuhan luasan ruang terbuka hijau (ha)
w = Total emisi CO2 dari energi (ton CO2/tahun)
x = Total emisi CO2 dari ternak (ton CO2/tahun)
y = Total emisi CO2 dari areal persawahan (ton CO2/tahun)
z = Total emisi CO2 dari manusia(ton CO2/tahun)
K = Nilai serapan CO2 oleh hutan (pohon) sebesar 58,2576 CO2 (ton/tahun/ha),
menurut (Inverson 1993, diacu dalam Tinambunan 2006)
Penentuan Penambahan luasan ruang terbuka hijau
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|385
L(ha)=A(ha)B(ha)
Keterangan :
L = Penambahan luasan ruang terbuka hijau (ha)
A = Kebutuhan ruang terbuka hijau (ha)
B = Luas ruang terbuka hijau sekarang (ha)
Pendugaan jumlah konsumsi bahan bakar, populasi ternak, luasan areal sawah
dan jumlah penduduk
Penentuan pendugaan menggunakan rumus umum trend dengan persamaan
x
eksponensial Y = a (1+b) , kecuali untuk penentuan luasan areal persawahan
menggunakan hasil interpretasi penutupan lahan wilayah Kabupaten Kudus
pada tahun 2009 berdasarkan klasifikasi Landsat 7 ETM dengan penyiaman
tanggal 14 Juni 2009. Nilai luasan sawah dianggap tetap, karena data luasan
berdasarkan hasil klasifikasi pada satu citra.
Pengolahan Citra Landsat ETM yang diolah dengan menggunakan software ERDAS
Imagine.
Kegiatan pengolahan citra Landsat ETM ini adalah sebagai berikut :
3. Enhancment)
5. Survey lapangan
7. Perhitungan akurasi
386|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Statistik Kabupaten Kudus dan Jawa Tengah tahun 2011 berupa LPG, minyak
tanah, premim, pertamax, dan solar. Data IFO (Industrial Fuel Oil) merupakan
solar yang digunakan oleh industri yang diperoleh dari beberapa perusahaan
yang berlokasi di Kabupaten Kudus yaitu PT. Djarum, PR. Sukun, Pura Group).
Hasil Perhitungan kandungan CO2 aktual yang terdapat di Kabupaten Kudus
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan emisi CO2 aktual dari konsumsi energi pada tahun 2010
Jumlah
Jenis Kandungan
konsumsi Emisi karbon Emisi CO2 aktual
No. bahan karbon
bahan bakar aktual (Gg C) (Gg CO2 )
bakar (t C)
(TJ)
Batu bara 11.027,38 288.917,35 286,02 1048,77
Bensin 2.802,58 52.968,77 52,43 192,27
Solar 1.772,75 35.809,58 35,45 129,98
LPG 625,34 10.756,01 10,70 39,24
M. tanah 733,59 14.305,09 14,16 29,25
Pelumas 130,92 2.618,45 2,59 9,50
IFO 52,60 1.062,57 1,58 5,81
Total kandungan emisi CO2 1454,82
Besarnya jumlah konsumsi bahan bakar yang digunakan dapat menunjukkan
kandungan emisi CO2 di Kabupaten Kudus. Berdasarkan hasil perhitungan,
bahan bakar minyak yang paling banyak menghasilkan emisi CO2 yaitu jenis
bensin sebesar 192,27 Gg CO2. Emisi CO2 yang dihasilkan batubara, solar,
LPG, minyak tanah IFO dan pelumas berturut-turut sebesar 1.048,77 Gg CO2,
129,98 Gg CO2, 39,24 Gg CO2, 29,25 Gg CO2, 9,50 Gg CO2, 5,81 Gg CO2.
Total emisi CO2 di Kabupaten Kudus merupakan penjumlahan semua emisi CO2
dari setiap bahan bakar fosil, sehingga nilai emisi total sebesar 1.454,82 Gg
CO2.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|387
Berdasarkan hasil perhitungan, sapi menjadi penyumbang emisi CH4 terbesar
yaitu 321,42 t CH4/tahun dari aktivitas pencernaan dan unggas menghasilkan
emisi CH4 terbesar yaitu 554, 27 t CH4/tahun dari pengelolaan kotoran.
Kandungan CO2 yang dihasilkan akan berbeda dari setiap jenis ternak, karena
besarnya jumlah emisi CO2 tergantung dari jumlah ternak tersebut. Berdasarkan
hasil perhitungan, penghasil emisi CO2 dari yang terbesar berturut-turut yaitu
unggas, sapi potong, kambing, domba, kerbau, kuda dengan nilai 1,52 Gg CO2,
0,92 Gg CO2, 0,57 Gg CO2, 0,47 Gg CO2, 0,28 Gg CO2 dan 0,009 Gg CO2.
Tabel 2 Total emisi CO2 yang berasal dari ternak pada tahun 2008
Emisi dari Total
Jumlah Emisi dari Kandungan
Jenis pengelolaan emisi dari
No ternak fermentasi CO2
ternak pupuk (t ternak
(ekor) (tCH4/thn) (Gg)
CH4/thn) (Gg CH4)
1. Sapi 7.305 321,42 14,61 0,34 0,92
potong
2. Kerbau 1.794 98,67 5,38 0,10 0,28
3. Kuda 170 3,06 0,38 0,00 0,00
4. Kambing 40.219 201,09 9,25 0,21 0,57
5. Domba 20.622 164,97 7,63 0,17 0,47
6. Unggas 3.530.390 - 554,27 0,55 1,52
Total kandungan emisi CO2 dari ternak 3,79
388|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Penutupan Lahan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|389
Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota
paling sedikit 30% dari luas kota untuk menjamin keseimbangan ekosistem
kota. Penutupan lahan ruang terbuka hijau, lahan terbangun, pertanian dan
penggunaan lain dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5 Penutupan lahan ruang terbuka hijau, areal terbangun, pertanian dan penggunaan lain
390|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan emisi CO2
Dari perhitungan didapat total emisi CO2 yaitu sebesar 1.744,704 Gg CO2/tahun.
Serapan CO2 berguna untuk mengetahui kemampuan ruang terbuka hijau
dalam menyerap CO2 yang terdapat di Kabupaten Kudus. Pendekatan yang
dilakukan untuk penghitungan serapan CO2 dilakukan dengan cara menentukan
luas penutupan lahan daerah-daerah yang bervegetasi tinggi atau ruang
terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau yang dimiliki oleh Kabupaten Kudus
adalah sebesar 18.077,31 ha sehingga emisi CO2 yang dapat diserap oleh
ruang terbuka hijau adalah sebesar 1.053.140,69 ton CO2/ha atau 1.053,14 Gg
CO2/ha. Jumlah emisi CO2 yang telah dihitung, serapannya diasumsikan
dengan nilai serapan CO2 oleh ruang terbuka hijau (vegetasi pohon) yaitu
sekitar 58,2576 ton/tahun/ha. Berdasarkan jumlah emisi CO2 pada tahun 2010,
secara keseluruhan Kabupaten Kudus belum mampu menyerap emisi CO2 lebih
besar dari minimal kebutuhan luas terbuka hijau yang harus disediakan yaitu
sebesar 29.948,106 ha dari pada jumlah luas ruang terbuka hijau di lapangan
atau yaitu 18.077,31 ha atau 39,86% dari luas wilayah Kabupaten Kudus. Hal ini
menunjukkan bahwa ketersediaan ruang terbuka hijau di Kabupaten Kudus
belum termasuk dalam kondisi yang cukup dalam kemampuan menyerap emisi
CO2.
Tabel 6 Kebutuhan luasan ruang terbuka hijau pada masing-masing kecamatan di Kabupaten
Kudus
Luas Luas Ruang Total Emisi
Kebutuhan
No. Kecamatan Kecamatan terbuka CO2 Selisih (ha)
RTH (ha)
(ha) hijau (ha) (Gg/thn)
1 Bae 2.482,02 997,83 95,47 1.638,80 -640,97
2 Dawe 9.126,99 7.220,70 351,07 6.026,29 1.194,40
3 Gebog 6.181,56 4.019,22 237,77 4.081,51 -62,29
4 Jati 3.136,05 635,31 120,63 2.070,64 -1.435,33
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|391
5 Jekulo 8.393,49 2.828,16 322,86 5.541,98 -2.713,82
6 Kaliwungu 3.334,95 547,74 128,28 2.201,97 -1.654,23
7 Kota 1.113,57 223,74 42,83 735,25 -511,51
8 Mejobo 3.901,77 744,57 150,08 2.576,23 -1.831,66
9 Undaan 7.686,81 860,04 295,68 5.075,38 -4.215,34
Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kudus terhadap kawasan
Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan data penggunaan lahan yang tercantum dalam RTRW Kabupaten
Kudus yang kemudian diolah lebih lanjut, luas lahan untuk ruang terbuka hijau
meliputi hutan lindung, hutan produksi, taman kota, alun-alun kota, ruang
terbuka hijau, jalur hijau, lapangan olahraga, pemakaman, ruang terbuka
perumahan dan daerah aliran sungai adalah sebesar 3,882,23 ha atau 9,13%
dari luas wilayah Kabupaten Kudus. Perencanaan penggunaan lahan tersebut
tidak sesuai dengan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada
wilayah kota paling sedikit 30% dari luas kota. Berdasarkan hal tersebut
Kabupaten Kudus tidak memenuhi standar kecukupan luasan ruang terbuka
hijau. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan emisi CO2 di Kabupaten
Kudus adalah sekitar 29.248,11 ha. Kandungan emisi CO2 di Kabupaten Kudus
yang tinggi, mengharuskan pemerintah memberi perhatian yang lebih terhadap
lingkungan khususnya mengenai keberadaan ruang terbuka hijau.
392|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
beberapa variabel tetap yaitu emisi CO2 dari areal persawahan sebesar 14,5568
Gg CO2, sedangkan variabel peubahnya yaitu emisi CO2 dari peternakan,
penduduk dan konsumsi energi. Persamaan eksponensial untuk tiga variabel
peubah tersebut masing-masing yaitu:
Y1 = 3,345 (1 - 0,02)x
Y2 = 690346,652 (1 + 0,0128)x
Y3 = 1424,671 (1+0,004
Keterangan:
Y1 = Total emisi CO2 dari peternakan
Y2 = Total emisi CO2 dari penduduk
Y3 = Total emisi CO2 dari konsumsi energi
x = Selisih tahun
Penentuan kebutuhan ruang terbuka hijau pada tahun-tahun yang akan datang
sangat dibutuhkan karena dapat dijadikan masukan dalam penyusunan rencana
tata ruang wilayah sebuah wilayah administrasi yang mendukung dan menjaga
kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|393
Penentuan luasan RTH di Kabupaten Kudus adalah berdasarkan kualitas
luasan RTH. Kualitas tersebut adalah kualitas penyerapan emisi CO2, sehingga
upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan penanaman jenis-jenis tanaman
RTH yang berkemampuan tinggi dalam menyerap CO2 dan keberadaannya
tidak terpusat pada satu lokasi. Pemilihan lokasi apabila dilihat dari kondisi luas
wilayah per kecamatan yang cukup kecil dibandingkan dengan kepadatan
bangunan, maka tidak memungkinkan adanya cadangan ruang terbuka sebagai
pengembangan ruang terbuka hijau untuk memenuhi kekurangan luasan RTH
pada semua kecamatan. Berdasarkan besaran persentase luasan minimal
ruang terbuka hijau, maka perlu dilakukan pengembangan dengan
mengoptimalkan dari wilayah yang didominasi semak dan belukar.
3. Nilai emisi CO2 pada tahun 2016 sebesar 1.794,016 Gg CO2, sehingga
luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan adalah 30.794,545 ha.
Penambahan kebutuhan luasan ruang terbuka hijau pada hijau pada
tahun 2016 sebesar adalah 12.717,235 ha dari asumsi luasan
keadaaan sebenarnya di lapang menggunakan data citra 2009.
394|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Saran
Perlu adanya penambahan luasan ruang terbuka hijau di Kabupaten Kudus,
sehingga mampu menyerap emisi CO2. Distribusi penambahan luasan ruang
terbuka hijau pada masing-masing kecamatan dapat dilakukan baik pada tanah
milik maupun tanah publik. Penambahan luasan ruang terbuka hjau ini dapat
diintegrasikan dalam berbagai bentuk seperti pembuatan jalur hijau, pekarangan
perumahan, taman kota, daerah sekitar mata air dan resapan air, areal
pemakaman, taman di lingkungan industri dan areal perkebunan.
Daftar Pustaka
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|395
Kajian Spasiotemporal Dampak ENSO terhadap Karakteristik
Indeks Vegetasi dengan Citra TerraMODIS: Studi Kasus Pulau
Kalimantan dan Pulau Jawa
Abstrak. Nilai indeks vegetasi telah diketahui secara luas dan banyak digunakan untuk
berbagai kajian ilmiah, terutama dalam hal deteksi dan monitoring vegetasi. Meskipun
demikian, besaran nilai indeks vegetasi tersebut dapat dipengaruhi oleh iklim suatu
daerah. Lokasi Indonesia yang unik, terletak diantara dua benua dan dua samudera dan
topografi yang bervariasi, telah menciptakan suatu pola iklim yang unik pula. Iklim di
indonesia, selain dipengaruhi oleh monsoon juga dipengaruhi oleh terjadinya El Nino/La
Nina Southern Oscilation (ENSO). Dalam makalah ini akan dibahas tentang hubungan
antara ENSO dan nilai indeks vegetasi terkait dengan adanya kejadian La Nina (2007
2008) dan El Nino (2009 2010) pada dua daerah dengan karakteristik iklim yang
berbeda, yaitu Kalimantan dan Jawa. Nilai indeks vegetasi diturunkan dari citra Terra
Modis yang diperoleh dari operasi algoritma dengan menggunakan band inframerah
dekat dan band inframerah (Nilai NDVI). Nilai NDVI yang digunakan adalah nilai NDVI
bulanan yang diperoleh selama kurun waktu terjadinya ENSO (2007 2010). Untuk
mengetahui korelasi antara NDVI dengan ENSO, digunakan Southern Oscilation Index
(SOI) sebagai data tambahan untuk mempertajam analisis. Data pendukung lain seperti
data hujan dan penggunaan lahan juga digunakan dalam analisis. Berdasarkan analisis
yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ada korelasi antara periode ENSO dengan nilai
NDVI. Selain itu juga terungkap bahwa pengaruh ENSO terhadap NDVI berbeda-beda
antara Kalimantan dan Jawa yang memiliki perbedaan iklim dan bahkan dalam satu
pulau yang mempunyai iklim sama.
Abstract. Vegetation index values have been widely known and widely used for various
scientific studies, especially in detection and monitoring of vegetation. Nevertheless,
the vegetation index values can be influenced by the climate of a region. Indonesia's
unique location, situated between two continents and two oceans and a varied
topography, has created a unique climate patterns. The Indonesian climate, is not only
influenced by the monsoon but also influenced by the occurrence of El Nino / La Nina
Southern Oscilation (ENSO). This paper will discuss the relationship between ENSO and
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|396
vegetation index values that associated with the presence of La Nina events (2007 -
2008) and El Nino events (2009 - 2010) in two areas which has different climate
characteristics; Kalimantan and Java. Vegetation index values derived from Terra Modis
image obtained from the algorithm operation of Near Infrared and Infrared bands (NDVI
values). NDVI value used is the monthly NDVI values that obtained during the period of
the ENSO (2007-2010). To determine the correlation between NDVI with ENSO, Southern
Oscillation Index (SOI) was used as additional data to enhance the analysis. Other
supporting data such as rainfall and land use data are also used in the analysis. Based on
the analysis conducted, its results that there is a correlation between ENSO period with
NDVI values. It also revealed that the influence of ENSO on the NDVI varies between
Kalimantan and Java which have different climates, and even in the island which has a
similar climate.
Latar Belakang
Manfaat dari Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) secara ilmiah
telah diketahui secara luas oleh banyak peneliti diseluruh dunia. NDVI
digunakan secara luas diantaranya untuk identfikasi hutan, monitoring vegetasi,
estimasi produksi padi, dan deteksi kekeringan. Selain itu, NDVI juga memiliki
beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan Indek Vegetasi yang lain,
diantaranya adalah topographical efect dapat tereduksi serta mempunyai
kemampuan yang bagus untuk mengidentifikasi kekeringan. Akan tetapi nilai
NDVI ini sangat rentan terhadap perubahan iklim terutama ENSO, sehingga hal
ini juga dapat mempengaruhi analisis yang dihasilkan dari data tersebut.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|397
daerah dengan pola hujan yang berbeda, responnya terhadap El Nino/La Nina
juga berbeda-beda (As-syakur, 2010).
Pengaruh ENSO terhadap nilai NDVI telah banyak dijabarkan dalam berbagai
penelitian, diantaranya yang dikemukakan oleh Mardio1, yang menyatakan
bahwa ada korelasi negatif yang tinggi antara nilai NDVI tahunan dengan curah
hujan dan kandungan air tanah tahunan yang menyebabkan menurunnya nilai
NDVI pada tahun-tahun basah. Song et al (2008) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa NDVI menunjukkan korelasi positif dengan anomali SOI
pada kurun waktu musiman. Selain itu, kepekaan terhadap ENSO juga dapat
diamati dengan jelas pola geografisnya yang dapat menjelaskan hubungan
antara adanya anomali dengan hujan ENSO. Pernyataan tersebut juga
didukung oleh sebuah penelitian tentang hubungan ENSO dengan NDVI di
Arizona, dimana dijelaskan bahwa El Nino menghasilkan nilai rata-rata NDVI
yang lebih tinggi pada saat musim semi, sedangkan La Nina menghasilkan nilai
rata-rata NDVI yang lebih rendah pada saat musim semi. Selain itu juga
diungkapkan tentang kemungkinan peningkatan nilai NDVI karena adanya badai
seperti monsoon musim panas (www.rangeview.arizona.edu).
Dengan keunikan kondisi iklim di Indonesia, dimana tiap tempat memiliki respon
yang berbeda terhadap periode El Nino/La Nina, respon nilai NDVI terhadap
ENSO juga akan berbeda pula. Berdasarkan penjabaran tentang pentingnya
nilai NDVI dan adanya keterkaitan nilai tersebut dengan periode ENSO di
berbagai daerah, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ENSO
terhadap nilai NDVI di Indonesia, terutama di Pulau Kalimantan dan Jawa. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak ENSO terhadap
nilai NDVI, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa yang memiliki
karakteristik iklim dan penutup lahan yang berbeda.
Dataset Penelitian
Southern Oscilation Index (SOI)
Southern Oscilation Index (SOI) dihitung berdasarkan fluktuasi/perbedaan
tekanan udara bulanan antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI negatif yang
berkelanjutan diindikasikan sebagai periode El Nino sedangkan nilai SOI positif
yang berkelanjutan diindikasikan sebagai periode La Nina. Nilai SOI negatif
biasanya disertai oleh pemanasan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik
tropis bagian tengah dan timur, penurunan kekuatan angin pasifik, dan
398|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
penurunan curah hujan, sedangkan pada periode La Nina perairan di pusat dan
timur Samudera Pasifik tropis menjadi lebih dingin, angin pasifik menjadi lebih
kuat, serta terjadi peningkatan curah hujan (www.bom.gov.au).
Nilai SOI yang digunakan dalam paper ini adalah nilai SOI yang disusun oleh
Australian Bureau of Meteorology. Ada beberapa macam algoritma yang
digunakan dalam perhitungan SOI, dalam hal ini algoritma perhitungan yang
digunakan oleh Australian Bureau of Meteorology adalah sebagai berikut :
[PdiffPdiffav]
SOI=10
SD(Pdiff)
Dimana :
Pdiff = (ratarata MSLP Tahiti pada bulan tertentu) (ratarata MSLP Darwin pada bulan
tersebut),
Pdiffav = ratarata jangka panjang dari Pdiff untuk bulan yang bersangkutan,
SD (Pdiff) deviasi = jangka panjang standar Pdiff untuk bulan yang bersangkutan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|399
0.0 adalah obyek bukan vegetasi dan 0.1 0.7 merupakan nilai rentang
vegetasi, dan 0.7 1.0 menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi.
Data citra NDVI Modis yang akan dianalisis disesuaikan dengan tiga kondisi
iklim yang telah teridentifikasi melalui nilai SOI, yaitu pada saat kondisi normal,
pada saat kejadian El Nino, dan pada saat kejadian La Nina. Data yang
digunakan adalah Data NDVI Modis bulanan dengan resolusi spasial 250 km
yang meliputi Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa. Data NDVI bulanan yang akan
dianalisis adalah data bulan Maret 2009, bulan Oktober 2009, dan Bulan
Desember 2010. Data citra tersebut nantinya akan dianalisis baik dari
histogramnya maupun sebaran spasial dari nilai NDVI tersebut.
Data Penutup lahan Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa diperlukan untuk
mempertajam analisis yang dilakukan. Data penutup lahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data penutup lahan skala 1 : 250.000 tahun 2009
seluruh Indonesia yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dengan
perubahan.
Metode Penelitian
Analisis ENSO dari data SOI
Rentang waktu kejadian ENSO yang akan dianalisis adalah tahun 2007 2010.
Pemilihan rentang waktu ini berdasarkan rentang siklus tahunan kejadian El
Nino dan La Nina yang terjadi di Indonesia. Kejadian El Nino tahun 2007 telah
diprediksi oleh LAPAN dan BMKG sebagi El Nino Lemah (LAPAN, 2006 dan
BMKG, 2010) dan pada akhir tahun 2009 hingga awal tahun 2010 BMKG
memprediksi kejadian El Nino dengan kekuatan lemah hingga Moderate Kuat
400|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
(www.bi.go.id). Sementara itu kejadian La Nina kuat diprediksi terjadi dari
pertengahan 2010 hingga pertengahan 2011 (BMKG, 2010).
Identifikasi periode terjadinya ENSO juga dapat dilihat dari Nilai Southern
Oscilation Index (SOI). Data SOI tersebut akan digunakan untuk mendukung
analisis kejadian El Nino dan La Nina yang terprediksi dan sudah terjadi. SOI
yang dianalisis diambil dari tahun 2007 hingga 2010. Data tabuler SOI disajikan
dalam bentuk blog diagram agar lebih mudah untuk analisis periode El Nino dan
La Nina pada periode waktu tersebut. Dari diagram tersebut akan diidentifikasi
tiga kondisi iklim, yaitu iklim normal, dimana nilai SOI sebesar 0 atau mendekati
0; El Nino puncak, dimana nilai SOI negatif tertinggi diambil dari suatu periode
El Nino; dan La Nina puncak, dimana nilai SOI positif tertinggi diambil dari suatu
periode La Nina. Selanjutnya tiga kondisi Iklim tersebut akan digunakan sebagai
dasar analisis citra untuk mengetahui pengaruh kondisi iklim pada NDVI.
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
2007 -7,3 -2,7 -1,4 -3 -2,7 5 -4,3 2,7 1,5 5,4 9,8 14,14
2008 14,1 21,3 12,2 4,5 -4,3 5 2,2 9,1 14,1 13,4 17,1 13,3
2009 9,4 14,8 0,2 8,6 -5,1 -2,3 -1,6 -5 3,9 -14,7 -6,7 -7
2010 -10,1 -14,5 -10,6 15,2 10 1,8 20,5 18,8 25 18,3 16,4 27,1
Analisis spasial dilakukan dengan melihat persebaran dari nilai NDVI pada citra
Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa pada tiga kondisi iklim yang berbeda secara
terpisah. Hasil analisis spasial ini akan menunjukkan persebaran daerah
anomali nilai NDVI yang terjadi pada saat puncak periode ENSO dalam kurun
waktu 2007 2010. Daerah-daerah anomali yang terdeteksi kemudiaan akan
dianalisis secara lebih lanjut dengan menggunakan data hujan.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|401
Selain analisis spasial juga dilakukan analisis histogram dari masing-masing
kondisi iklim yang berbeda. Histogram yang diperoleh dari citra NDVI akan
ditampilkan secara bersamaan sehingga dapat mempermudah analisis. Analisis
histogram yang dilakukan terutama meliputi posisi puncak histogram pada
ketiga kondisi iklim yang berbeda serta persebaran nilai dan jumlah piksel
dalam bidang kartesian.
Data hujan yang digunakan dapat diamati pada Gambar 1, dimana pada
gambar tersebut menunjukkan persebaran hujan di dunia pada bulan Maret
2009, Oktober 2009, dan Desember 2010. Gambar 2. menunjukkan anomali
hujan yang diperoleh dari selisih antara bulan normal dan bulan puncak periode
ENSO di wilayah Indonesia. Selain itu data Penutup lahan juga disajikan pada
Gambar 3. dan 4.
( A)
402|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
(B)
Gambar 1. A. Sebaran Hujan Bulanan Dunia (mm/dd); B. Data anomali hujan pada bulan Oktober
2009 dan Desember 2010
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|403
14.7. Periode La Nina berlangsung lebih lama yaitu pada akhir tahun 2007
hingga awal tahun 2009 kemudian muncul lagi pada pertengahan tahun 2010
dengan skala yang lebih kuat dari tahun sebelumnya dengan nilai puncak
sebesar 27.1.
Dari diagram tersebut dapat teridentifikasi tiga kondisi iklim, yaitu saat kondisi
cuaca normal dengan asumsi bahwa nilai SOI yang mendekati 0 pada bulan
Maret 2009 adalah kondisi normal, puncak periode El Nino (kondisi ekstrim
dalam periode tersebut adalah bulan Oktober 2009 dengan nilai SOI = - 14,7),
dan puncak periode La Nina (kondisi ekstrim dalam periode tersebut adalah
bulan Desember 2010 dengan nilai SOI = 27,1). Citra Modis yang memuat nilai
NDVI rata-rata bulanan pada tiga kondisi iklim tersebut kemudian digunakan
untuk mewakili analisis dampak ENSO terhadap Nilai NDVI.
Hasil analisis spasial dari citra NDVI Modis pada pulau Kalimantan dan Pulau
Jawa menunjukkan adanya perbedaan persebaran spasial. Pada Pulau
Kalimantan yang memiliki tutupan vegetasi cukup banyak, secara umum nilai
NDVI tinggi tersebar merata di seluruh Pulau. Pada bulan Maret yang
diidentifikasikan sebagai kondisi iklim normal, persebaran nilai NDVI tinggi
terkonsentrasi di daerah selatan bawah pulau, dimana penggunaan lahan di
404|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
daerah tersebut adalah hutan primer maupun sekunder. Pada Bulan Oktober,
nilai NDVI tinggi terkonsentrasi di daerah leher bagian selatan tengah Pulau
Kalimantan. Nilai NDVI di daerah ini meningkat baik dari segi intensitasnya
maupun jumlah pikselnya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa El Nino
mempunyai korelasi positif terhadap nilai NDVI. Naiknya nilai NDVI ini bisa
diakibatkan oleh berkurangnya curah hujan pada daerah tersebut sehingga
intensitas cahaya matahari yang diterima oleh daun untuk melakukan
fotosintesis akan meningkat. Hal inilah yang mungkin memengaruhi naiknya
nilai NDVI pada wilayah tersebut. Sebaliknya, Pada bulan Desember 2010
dimana puncak periode La Nina terjadi, nilai NDVI pada Pulau Kalimantan justru
cenderung menurun. Bisa dilihat pada citra NDVI yang disajikan pada Gambar
4, bahwa luasan dan jumlah nilai NDVI tinggi (warna cokelat) berkurang dan
banyak digantikan oleh nilai NDVI yang lebih rendah (warna kuning). Hal ini
mengindikasikan bahwa La Nina memiliki korelasi yang negatif terhadap nilai
NDVI. Banyaknya curah hujan dan kandungan uap air yang ada di atmosfer
yang menyertai periode La Nina memiliki pengaruh terhadap turunnya nilai
NDVI pada Pulau Kalimantan. Meskipun demikian, hubungan ini hanya bisa
sedikit teramati pada Pulau Kalimantan karena lokasi Pulau Kalimantan yang
dilewati garis khatulistiwa memungkinkan dampak ENSO terjadi di pulau
tersebut relatif kecil.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|405
Gambar 4. Sebaran Nilai NDVI di Pulau Kalimantan
Berbeda dengan Pulau Kalimantan yang masih memiliki tutupan vegetasi cukup
banyak, indeks vegetasi di Pulau Jawa didominasi oleh kisaran nilai rendah
hingga sedang. Pada kondisi normal, Sebaran nilai NDVI tertinggi berada pada
kedua ujung Pulau Jawa dimana pada wilayahter sebut tutupan lahannya
adalah hutan. Pada bagian utara dan tengah Pulau Jawa nilai NDVInya
cenderung rendah. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya lahan
pertanian yang masih baru diairi, atau karena masih adanya pengaruh La Nina
pada kondisi normal, mengingat bahwa kondisi normal tersebut diambil dalam
suatu periode La Nina. Pada bulan Oktober, dimana indeks SOI menunjukkan
terjadinya puncak periode El Nino, nilai indeks vegetasi yang menunjukkan nilai
kerapatan tinggi dan nilai kerapatan rendah meningkat intensitasnya.
Persebaran spasial untuk nilai NDVI tinggi terutama terdapat di Barat dan Timur
Jawa pada bagian tengah ke arah selatan, sedangkan nilai NDVI rendah
meningkat intensitasnya di sepanjang utara Jawa. Jika dilihat dari penutup
lahannya, daerah yang memiliki peningkatan nilai NDVI (disimbolkan dengan
warna cokelat) terutama adalah daerah hutan lahan kering sekunder dan hutan
lahan kering, sedang daerah yang memiliki penurunan nilai NDVI (disimbolkan
dengan warna biru dan ungu) terutama adalah lahan terbangun serta lahan
pertanian. Adanya peningkatan intensitas nilai NDVI tinggi pada daerah hutan
tersebut mungkin dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang berkurang karena
adanya El Nino. Data curah hujan yang diperoleh dari citra TRMM juga
406|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
menunjukkan bahwa wilayah jawa, terutama bagian timur memiliki curah hujan
yang relatif lebih kecil. Meskipun demikian, terjadinya intensitas penurunan nilai
NDVI rendah kurang relevan jika dihubungkan dengan adanya periode El Nino.
Nilai NDVI rendah pada lahan pertanian tersebut mungkin berhubungan dengan
pola tanam/musim tanam pada lahan tersebut sehingga dapat nilai NDVI dapat
terpengaruh, sedangkan pada lahan terbangun pengaruh tersebut masih perlu
penelitian yang lebih mendalam. Pola persebaran nilai NDVI pada puncak
periode La Nina pada Desember 2010 pada nilai NDVI tidak jauh berbeda
dengan kondisi normal. Meskipun demikian masih bisa dilihat bahwa pada
daerah hutan di kedua ujung Pulau Jawa nilai NDVInya mengalami penurunan,
hal tersebut disebabkan oleh curah hujan yang relatif tinggi di seluruh Pulau
Jawa.
A.
B.
C.
Gambar 5. Sebaran Nilai NDVI di Pulau Jawa
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|407
Selain berbeda dalam sebaran spasial dan lokasi anomali, perbedaan trend nilai
NDVI pada histogram juga berbeda antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Pada histogram NDVI Pulau Kalimantan (Gambar 6) dapat dilihat bahwa
kecenderungan bentuk kurva histogram pada masing-masing iklim hampir
sama, hanya saja kurva histogram pada bulan Desember 2010 dimana terjadi
puncak La Nina, lebih lebar amplitudonya dan dan puncaknya lebih rendah
daripada kondisi normal dan puncak El Nino. Hal ini disebabkan oleh adanya
korelasi negatif antara nilai NDVI dan curah hujan pada bulan basah
1
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mardio . Pada periode La Nina biasanya
iklim akan lebih basah daripada kondisi normal, sehingga curah hujan juga akan
cenderung meningkat yang akhirnya akan menimbulkan penurunan nilai NDVI
pada citra. Kedua puncak histogram pada kondisi iklim normal hampir
berdekatan. Hal ini mungkin disebabkan karena periode El Nino yang terjadi
pada kurun waktu 2007 2010 mempunyai skala lemah hingga moderate
sehingga nilai ekstrim puncak dari periode El Nino tersebut kurang dapat
mewakili karakteristik El Nino yang sebenarnya.
Berbeda dengan histogram yang dihasilkan dari nilai NDVI Pulau Kalimantan,
histogram nilai NDVI pada Pulau Jawa lebih banyak menunjukkan variasi, baik
dari karakteristik kurva histogram, tinggi puncak histogram, maupun lebar
amplitudo dari kurva histogram pada masing-masing kondisi iklim yang berbeda.
Jika pada histogram NDVI Pulau Kalimantan puncak tertinggi adalah pada saat
puncak El Nino dan puncak terendah pada saat kondisi normal, maka pada
408|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
histogram NDVI Pulau Jawa puncak tertinggi adalah pada saat kondisi iklim
normal sedangkan puncak terendah adalah pada saat El Nino. Meskipun pada
saat El Nino kondisi puncak histogram lebih rendah dari pada La Nina, namun
jumlah piksel dengan nilai NDVI sedang hinga tinggi lebih banyak daripada saat
periode La Nina. Kondisi yang sangat berbeda ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya curah hujan aktual yang turun pada bulan-bulan
tersebut serta jenis penutup lahannya.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|409
kedua Pulau tersebut. Pulau Kalimantan hubungan tersebut kurang dapat
diamati karena pengaruh ENSO pada iklim di daerah yang dilalui garis
khatulistiwa relatif lebih kecil daripada di daerah yang jauh dari daerah
khatulistiwa.
410|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Daftar Pustaka
Anonim, Dampak El-Nino Terhadap Produksi Pertanian.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres /A819872C-69E8-403B-8B94-
DB735DDCD488/ 18275/BOKSDampakElNino
TerhadapProduksiPertanian.pdf , diakses tanggal 11 Juni 2011 pukul
21.45 WIB
Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall
Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface
Temperature. Int. J. Climatol. 23. 14351452.
As-syakur, A.R., 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap
Curah Hujan Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Jurnal Bumi
Lestari, 7(2), pp. 123-129
As-syakur, A. R. 2010. El Nino dan La Nina serta Dampaknya di Indonesia.
http://mbojo.wordpress.com/ 2010/03/18/el-nino-dan-la-nina-serta-
dampaknya-di-indonesia/
Australian Bureau of Meteorology. 2011.
http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml, diakses tanggal 6
Juni 2011 pukul 09.36 WIB
Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika. 2010. http://iklim.bmg.go.id/
ekstrim/update160810.ppt diakses tanggal 6 Juni 2011 pukul 08.54 WIB
Hamada, J., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T.
Sribimawati. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over
Indonesia and their link to ENSO. Jurnal Meteor. Soc. Japan, 80. 285-310
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2006. Early warning Bulletin on
Natural Hazards. No. 9. Oktober 2006.
http://www.lapanrs.com/SMBA/pdf/WFP-
LAPAN%20Early%20Warning%20
Bulletin%2029Oct07%20%28final%29.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2011
pukul 10.11 WIB
Mardio, P. _____. Pengaruh Uap Air Atmosfer Terhadap Kualitas Data Index
Vegetasi. Majalah LAPAN No.71, pp. 9 12.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|411
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/187194912.pdf, diakses tanggal 11
Juni 2011 pukul 20.21 WIB
Remote Sensing Data for Range Management. 2005.
http://rangeview.arizona.edu/presen tations/data_6-19-01.pdf , diakses
tanggal 11 Juni 2011 pukul 20.45 WIB
Song, K., Khan, S., Hafeez, M., dan Dongmei, L. 2008. ENSO Impact on the
Vegatation in Murray-Darling Basin: a Satellite Monitoring from 1998
2007 Based on SPOT/Vegetation NDVI Times series Data. The
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B7. Beijing 2008. pp. 1637
1644
412|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
The Analysis of Shoreline Changes in Sayung Demak and Its
Impact for Fishpond Ownership
Email:
chatarinamuryani@ymail.com
Abstract. This research was conducted due to the rapid process of abrasion around
Sayung coastal plain allegedly caused the land use and shorelines changes in the area.
This research aimed to ascertain (a) the changes of shorelines and land use (year 2000
2010), (b) the impacts of shorelines changes towards fishpond ownership. Materials used
in the research were RBI Map of Sayung Coast (year 2000; scale: 1: 25.000) and IKONOS
image (year 2010). The steps of the research included (1) cutting of aerial photographs,
maps and images of the selected area; radiometric and geometric correction, (2)
digitization of shorelines and boundaries of land use, (3) field surveys to determine new
boundaries which apply the GPS, (4) maps improvement based on the field survey, (5)
maps overlay to analyze the changes in shorelines and in land use. Furthermore, the
results of the research indicated (a) changes in shorelines location, the greatest
occurred in Purwosari (2.9 km backward), followed by Sriwulan (1.68 km backward). The
shoreline in Surodadi was relatively fixed; (b) changes in land use especially fishpond
(573.87 ha lost) and engulfing two villages; they were Senik and Tambaksari. Changes of
shoreline eliminated the ownership of land especially fishpond and society work.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|413
Introduction
Indonesia is an archipelago country with about 17,480 islands and more than
95,181 kilometers of shoreline (the longest fourth in the world). As the largest
archipelagic country with three-fourths of the area as sea, the marine sector is
able to contribute 140 billion dollars per year. However, as much as 20 percent
of the shoreline in Indonesia was reported be decreased by a variety of issues
including environmental change and coastal erosion. (ANTARANEWS.Com, 20
September 2010). Uncontrolled coastal erosion can accelerate environmental
degradation in coastal areas such as ponds, rice fields and residential areas.
Mangrove forest is a coastal green belt that can protect the coastal from
abrasion. The coastal protection through the root system and dense of
mangrove vegetation as an anchor that can be stuck and reduce waves speed
and reduce the sea currents speed so that the coast spared from abrasion.
(Suprayogo, et al. 2003). In fact, mangrove forests also protect the coastal from
the tsunami. The research results showed that the thickness of the mangrove of
200 m with a density of 30 vegetation/100 m2 with diameter of 15 cm can
reduce about 50% of the tsunami wave energy (Fumihiko Harada, 2003 in
Diposaptono, 2005).
Shoreline, defined as the line of contact between land and a water surface and,
one of the most unique features on the earths surface, has a dynamic nature.
Shoreline mapping and shoreline change detection are critical for safe
navigation, coastal resource management, coastal environmental protection,
and sustainable coastal development and planning. Changes in the shape of
shoreline may fundamentally affect the environment of the coastal zone. These
may be caused by natural processes and/or human activities (Sesli at.all.,
2006).
414|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
A very surprising phenomenon occurred in the coastal of Sayung Sub Districts
of Demak Regency Sayung: many hectars of fishpond in Sriwulan Village could
not be used anymore because it was always inundated by sea water. This
indicated that coastal erosion had occurred resulting in shoreline retreat and
change of land use. The purpose of this research were (1) to know the shoreline
changes at Sayung Sub District, Demak Regency, (2) to know the impact of
shoreline changes in fishpond ownership and social economic of population.
Methodology
Sayung coastal plain at Demak Regency was chosen because in this area many
hectares of fishpond was inundated and two villages were lost during the last
ten years. The shoreline changes estimation had affected the socio-economic of
the population.
The result of RBI map and IKONOS images interpretation were (1) Shoreline of
Sayung Coastal Plain at Demak Regency Map year 2000, (2) Land Use of
Sayung Coastal Plain at Demak Regency Map year 2000 (3) Shoreline of
Sayung Coastal Plain at Demak Regency Map year 2010 (4) Land Use of
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|415
Sayung Coastal Plain at Demak Regency Map year 2010. Determining shoreline
and land use changes year 2000 to year 2010 was conducted by overlapping
each map. Management and data analysis was done by using Geographic
Information Systems (GIS).
Bird Foot Deltas: the delta which has a squiggly shoreline like the
shape of feet birds with the mud material. This delta is formed by the
strong influence of fluvial processes with many branching river.
Tidal flat: a marine landform that influenced by tidal activity with mud
material. Tidal flat has flat morpholofy and covered by mangroves,
generally by Rhizophora as a dominant species. On the banks of the
river often found also Nipa Fructicans.
416|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Alluvial Plains : a flat topography with alluvium material derived from
the deposition during a flood and water logging, but now floods and
inundation had been inactive any whereShoreline Changes
Shoreline Changes
Waves are the primary agent of erosion in the coastal area. The energy in a
wave is related to meteorological factors such as wind speed and duration and
is also determined by topographic and hydrographic factors such as distance
which the wind blow, and depth of water in the area where the waves are
generated. (Rongxingli et al., 2001).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|417
418|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
The Impact of Shoreline Changes to Fishpond Ownership
Coastal changes attracted more consideration since they were important
environmental indicators that directly impact on the coastal economic
development and land management (Welch et al. 1992; Stokkom et al. 1993).
Change in shoreline position derived the alteration and replacement of
established natural habitats and shoreline retreat might destroy cultural
resources, facilities, and other infrastructure where they exist
(http://science.nature.nps.gov/im)
Jialins research (2009) concluded that the land use changes directly affect the
economic value of ecosystem functions. From 1987 to 2000, the total economic
value of the ecological functions in coastal plain of south Hangzhou Bay bank
obviously declined. The value of material product grew greatly and service value
declined a lot. Consequently, the sharp increase of the value of material
products in the ecosystems affected on sacrificing a part of ecological functions.
Based on the overlaying maps between Land Use of Sayung Coastal Plain at
Demak Regency Map year 2000 and Land Use of Sayung Coastal Plain at
Demak Regency Map year 2010, it was obtained Shoreline Changes Maps of
Sayung Coastal Plain at Demak Regency year 2000 year 2010. The map
showed that the changes in shoreline changes at Sayung Sub caused land use
change and removing the fishpond area of 573.87 hectares, turned into a sea
area of 515.20 hectares and mangroves area of 58.67 hectares. Therefore,
because the livelihoods of population in Sayung coastal plains was managing
fishpond, then because many fishponds turned into sea, people converted other
lands such tegals, rice fields and yard into the fishpond, and adding the fishpond
area during year 2000 - year 2010. In year 2000 the wide of fishpond in the
study area was 1763.26 hectares, while in year 2010 the fishpond area became
2759.50 hectares.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|419
The results of the interview with population at Sriwulan Village concluded that
many populations were confused about their lost lands. The Government of
Demak Regency seemed less concerned for the lost of populations land
ownership and the efforts of preventing the rapid abrasion of the sea had not
optimal yet. Planting mangrove by population was only done in the fishpond
embankment, not in the block area. Thus, mangrove vegetation on study area
could not be functioned to protect the coast.
420|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Conclusion and Suggestion
Conclusion
1. The shorelines of Sayung Sub District at Demak Regency had
changed, retreated to the land. The retreat of shoreline in study area
was quite varied, the greatest was in Purwosari, in which the shoreline
retreated for about 2.9 miles, followed by Sriwulan Village, in which the
shoreline retreated for about 1.68 kilometers. The village that the
shoreline relatively fixed was Surodadi Village.
Suggestion
The writer suggests the Government of Demak Regency to take definite steps in
the prevention of abrasion in the study area.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|421
The writer also suggests The Community Empowerment to make an effort on
the protection of the coastal area, for example by planting mangrove forest.
Reference
Li Jialin, Zhang Dianfa, Yang Xiaoping and Tong Yiqing. 2009. Effects of Land
Use Changes on Values of Ecosystem Functions on Coastal Plain of
South Hangzhou Bay Bank, China African Journal of Agricultural Research
: Vol. 4 (5), pp. 542-547, May 2009
Tawfeeq , J. Rafeed . 2011, Shoreline Change Detection of Qadisiya Reservoir ,
International Journal of Geographical Information System Applications and
Remote Sensing , Vol. 2, No. 1, May 2011
RongXing Li, 2001, Spatial Modelling and Analysis for Shoereline Change
Detection and Coastal Erosion Monitoring, Marine Geodesy 24 : 1-12
Sesli . Faik Ahmet , Fevzi Karsli and Nihat Akyol . 2006 Monitoring Coastal Land
Use Changes Using Digital Photogrammetry: Case Study of Black Sea
Coast of Trabzon . XXIII FIG Congress Munich, Germany, October 8-13,
2006
Suprayogo . 2003 . Sumberdaya Hutan Mangrove dan Pengelolaanya. Materi
Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir . Pemerintah Kabupaten
Lamongan dan BAPEDAL Propinsi Jawa TImur.
Tarigan, Salam M . 2007 . Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane, Propinsi Banten. Makara Sains : Vol 11 No 1 April 2007
-------------, ANTARANEWS.Com, 20 September 2011
-------------, Coastal Shoreline Change http://science.nature.nps.gov/im
422|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Estimasi Curah Hujan Periode 8 Harian/Dasarian Menggunakan
Data Penginderaan Jauh TRMM: Studi Kasus Wilayah Indramayu
Abstract. Danger of flood as well as droughts significantly affect crop production (rice)
in Indramayu. Rainfall observations are needed to determine how much the primary
water source could fulfill the water necessity of crop production. TRMM is a remote
sensing satellite that suitable for observing rainfall in the tropics region. Therefore,
research is conducted to get rainfall estimation model in Indramayu using TRMM, so that
it can then be used to calculate the level of flood / drought lowland rice fields. TRMM
data used to support the monitoring activities are the data period of 8 daily/10 daily.
The method that was used is a statistical analysis of time series and regression analysis
which are correlated with analisys result of TRMM rainfall and rainfall values contained
in 19 monitoring stations in Indramayu. Analyses were performed based on the polygon
pixel (3 x 3). The results showed that the rainfall estimation model in Indramayu region
is Y = 0.584 X + 2.56, where Y is the rainfall estimation and X is the value of TRMM
rainfall. This model has a fairly accurate value of the correlation between TRMM rainfall
and rainfall in 19 monitoring stations with a correlation value (r) of 87.2%, or equivalent
to the coefficient of determination (R2) = 0.753.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|423
Pendahuluan
Indramayu merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Barat yang selama ini dikenal dengan lumbung padi Jawa Barat, disebabkan
oleh luasnya lahan sawah yang ada. Data dari Dinas Pertanian Indramayu
tahun 2001 menyatakan bahwa lahan pertanian di Indramayu tahun 2000
mencapai seluas 204.011 ha yang terdiri dari lahan sawah seluas 118.513 ha
dan lahan kering seluas 85.498 ha.
424|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
terjadi pada awan-awan yang mempunyai suhu rendah (Handoko, 1994).
Menurut Parwati (2008) dalam Kidder and Vonder Haar (1995) menyatakan ada
dua cara untuk verifikasi hasil estimasi curah hujan dari data satelit, yaitu (i)
membandingkan dengan curah hujan dari stasiun pengamatan, (ii)
membandingkan dengan hasil estimasi curah hujan dari radar. Kondisi
keterbatasan jumlah stasiun pengamatan di lapangan memberikan nilai tambah
bagi radar untuk memberikan informasi curah hujan di lokasi yang tidak ada
stasiun curah hujan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai swasembada pangan
nasional adalah dengan melakukan pemantauan terhadap kondisi lahan sawah
dan tanaman padi. Sejak tahun 2002, LAPAN telah melakukan kegiatan
pemantauan kondisi tanaman padi dengan memanfaatkan data penginderaan
jauh. Data satelit yang digunakan untuk mendukung pemantauan tersebut
adalah data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measurement Mission).
Satelit TRMM merupakan misi bersama antara National Aeronautics and Space
Administration (NASA) dari Amerika Serikat dan Japan Aerospace Exploration
Agency (JAXA). TRMM diluncurkan pada bulan November 1997 dan sampai
saat ini terus beroperasi dalam orbit rendah meliputi daerah tropis antara sekitar
40 LU untuk 40 LS. Sensor curah hujan utama yang dibawa meliputi Sensor
PR (Precipitation Radar) dan sensor TMI (TRMM Microwave Imager). Selain itu,
TRMM membawa Sensor VIRS (Visible and Infrared Radiometer), CERES
(Clouds and Earth's Radiant Energy System), dan sensor LIS (Lightning
Imaging System). 13,8 GHz presipitasi Radar (PR) dan TRMM Microwave
Imager (TMI). Instrumen CERES gagal setelah hanya beberapa bulan operasi,
tapi instrumen lain yang terus beroperasi memberikan informasi rinci curah
hujan di daerah tropik (http://rain.atmos.colostate.edu/ CRDC/datasets/TRMM_
overview.html).
Data TRMM juga mempunyai keunggulan, antara lain tersedia secara near real-
time setiap tiga jam sekali, konsisten, daerah cakupan yang luas yaitu wilayah
tropik, resolusi spasial yang cukup tinggi (0.25 x 0.25), dan dapat diakses
secara gratis. Meskipun demikian, keterbatasan dari aplikasi data TRMM adalah
periode waktu dari data yang relatif masih singkat serta masih diperlukan
banyak validasi terutama untuk pemanfaatan curah hujan lokal. Menurut
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|425
Roswintiarti (2009) menyatakan bahwa data TRMM sangat berpotensi untuk
digunakan sebagai salah satu alternatif dalam memantau dan memprediksi
curah hujan di Indonesia, dimana pola fluktuasi curah hujan dari TRMM dan dari
stasiun meteorologi di Kabupaten Indramayu menggunakan data curah hujan
bulanan selama tahun 1998 2004 relatif sama, dengan koefisien korelasinya
(r) sebesar 0.807.
Pengukuran dari TRMM digunakan untuk mencari tahu di mana itu hujan, dan
bagaimana hujannya. Tidak semua awan menyebabkan hujan, dan ketika hujan
tidak jatuh, ia jatuh melalui berbagai ketinggian di atmosfer, kadang-kadang
tidak mencapai tanah sama sekali (http://kids.earth.nasa.gov/trmm/). Hal ini
menyebabkan nilai curah hujan dari TRMM lebih tinggi (over estimate) dari
curah hujan aktualnya. Oleh karena itu perlu dilakukan validasi dengan curah
hujan stasiun pengamat iklim atau lapangan.
Kegunaan stasiun iklim adalah : (a) untuk mengetahui kondisi cuaca dan iklim
secara real time untuk berbagai keperluan/tujuan, (b) pengkayaan data
(berdasarkan waktu dan lokasi) untuk keperluan analisis dan interpretasi iklim
yang membutuhkan data time series dari banyak lokasi, (c) untuk mendukung
peramalan/pendugaan iklim. Oleh sebab itu, kerapatan stasiun sangat besar
pengaruhnya terhadap akurasi analisis dan interpretasi iklim. Untuk setiap
pembangunan stasiun iklim harus diintegrasikan dalam satu sistem dengan
stasiun lainnya, tanpa harus mempertimbangkan sistem kepemilikan (Las,
Irianto & Surmaini, 2000).
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis curah hujan dari data TRMM dan
curah hujan dari 19 stasiun pengamat lapangan di wilayah Indramayu untuk
memperoleh model estimasi curah hujan 8 harian/dasarian untuk mendukung
pemantauan tanaman pangan.
Metodologi
Data yang digunakan :
426|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Data curah hujan harian dari 19 Stasiun pengamat yang ada di wilayah
Indramayu Tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. Lokasi stasiun
pengamat curah hujan yang ada di Indramayu adalah di Kecamatan
Sukadana, Bangkir, Cikedung, Tugu, Cidempet, Ujungaris, Bulak,
Sumurwatu, Losarang, Lohbener, Indramayu, Sumdimapir Lor,
Juntinyuat, Sudikampiran, Jatibarang, Kedokan Bunder, Krangkeng,
Kertasmaya, Bondan. Sumber: dari Dinas Pertanian Kabupaten
Indramayu.
Download data TRMM setiap 3 jam, dengan format .bin dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2009.
Mengolah nilai curah hujan dari data TRMM yang diperoleh tiap tiga
jam dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009.
Melakukan akumulasi data curah hujan 8 harian dari data TRMM tahun
2007 sampai dengan tahun 2009.
Pembahasan
Analisa Curah hujan 8 harian/dasarian dari TRMM
Curah hujan 8 harian/dasarian TRMM diperoleh dengan mengakumulasi curah
hujan harian dari akumulasi curah hujan setiap 3 jam per hari. Curah hujan 8
harian/dasarian dilakukan dengan mengolah data satelit TRMM selama 3 (tiga)
tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. Gambar 1a merupakan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|427
contoh curah hujan spasial 8 harian dari TRMM di Propinsi Jawa Barat
termasuk Banten dan DKI pada waktu musim hujan periode 025 atau dari
tanggal 25 Januari 2007 hingga 1 Februari 2007 yang mempunyai nilai berkisar
antara 0 dan 300 mm/8 harian. Data TRMM ini mempunyai resolusi spasial
0.25 atau 27 km setiap pikselnya, sehingga kelihatan kasar ukuran pikselnya.
Untuk memperkecil resolusi dilakukan interpolasi menjadi 1 km, sehingga 1
piksel TRMM mempunyai resolusi 1 km dan ukuran pikselnya kelihatan halus
yang nilai curah hujannya tetap tidak berubah berkisar antara 0 dan 300 mm/8
harian ditunjukkan pada Gambar 1b.
(a) Curah hujan spasial dengan resolusi 27 (b) Curah hujan spasial setelah dilakukan
km interpolasi 1 km
Gambar 1. Curah hujan spasial 8 harian dari data TRMM pada musim hujan periode 025 (25
Januari 1 Februari 2007)
Gambar 2a. merupakan contoh curah hujan spasial 8 harian dari TRMM pada
waktu musim kemarau periode 145 atau dari tanggal 25 Mei hingga 1 Juni 2007
dengan nilai curah hujannya berkisar antara 0 dan 150 mm/8 harian.
Sedangkan setelah dilakukan interpolasi menjadi 1 km yang ditunjukkan pada
Gambar 2b nilai curah hujannya tetap berkisar antara 0 dan 150 mm/8 harian,
akan tetapi ukuran pikselnya kelihatan jauh lebih halus. Warna putih yang
terdapat di Gambar 2 karena adanya data TRMM yang rusak.
428|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
(a) Curah hujan spasial dengan resolusi (b) Curah hujan spasial setelah dilakukan
27 km interpolasi 1 km
Gambar 2. Curah hujan spasial 8 harian dari data TRMM pada musim kemarau periode 145 (25 Mei
1 Juni 2007)
Analisi curah hujan periode 8 harian selama 3 tahun (2007 2009) dilakukan di
wilayah Kabupaten Indramayu. Pemilihan lokasi ditentukan di Kabupaten
Indramayu karena di wilayah tersebut mempunyai stasiun pengamatan curah
hujan lapangan yang relatif banyak ada 19 stasiun pengamat. Daerah kajian
analisis ditunjukkan pada Gambar 3.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|429
Penentuan ekstraksi curah hujan dari TRMM
Dalam menentukan ekstraksi curah hujan dari TRMM di wilayah Indramayu
dibangun berdasarkan poligon 3 x 3 atau 1 x 1, dimana poligon ini dibuat di
setiap titik koordinat di 19 Stasiun pengamat curah hujan. Koordinat dari 19
stasiun pengamat yang ada di wilayah Indramayu ditunjukkan pada tabel 1.
Sedangkan poligon 3 x 3 dan 1 x 1 secara spasial ditunjukkan pada Gambar 4.
Penentuan eksraksi curah hujan dari TRMM pertama diambil berdasarkan
poligon 3 x 3, jika nilai koefisien variansinya besar (> 10 %) maka ekstraksi
curah hujannya menggunakan nilai pada poligon 1 x 1. Untuk kepentingan
analisis model estimasi curah hujan ini diekstrak untuk seluruh nilai curah hujan
dari TRMM di setiap stasiun selama 3 tahun (tahun 2007 tahun 2009).
430|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Poligon 1 x 1
Gambar 4. Poligon pixel 1 x 1 dan poligon pixel 3 x 3 ke 19 Stasiun pengamat di wilayah Indramayu
Analisis korelasi antara curah hujan TRMM dengan curah hujan aktual di
lapangan
Hasil ekstraksi seluruh nilai curah hujan dari TRMM dan curah hujan lapangan
di setiap stasiun pengamat ditunjukkan oleh grafik nilai curah hujan 8 harian
antara TRMM dan Stasiun Pengamat pada Gambar 5a sampai dengan Gambar
5e. Curah hujan aktual di lapangan diperoleh dari data statistik Dinas Pengairan
wilayah Indramayu secara harian. Gambar 5a merupakan hasil interpolasi curah
hujan 8 harian berdasarkan poligon 3 x 3 dari data deret waktu TRMM dan
curah hujan di stasiun pengamat Bulak, Losarang, Cikedung, dan Sumurwatu
selama 3 tahun ( 2007 2009).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|431
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Bulak Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
350 TRMM
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pangamat Losarang Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
350 TRMM
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Cikedung Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Sumurwatu Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Gambar 5. a. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat (Bulak, Losarang,
Cikedung, Sumurwatu) selama Tahun 2007 2009.
432|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Staiun Pengamat Tugu Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat IndramayuTahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian TRMM vs Stasiun Pengamat Cidempet Tahun 207 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian TRMM vs Stasiun Pengamat Bangkir Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Gambar 5b. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat (Tugu, Indramayu,
Cidempet, bangkir) selama Tahun 2007 2009.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|433
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Pengamat Stasiun Lohbener Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Pengamat Stasiun Sudikampiran Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Jatibarang Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Sukadana Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Gambar 5c. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat (Lohbener,
Sudikampiran, Jatibarang, Sukadana) selama Tahun 2007 2009.
434|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM dan Stasiun Pengamat Kertasemaya Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Dondan Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Ujungaris Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Sudimampir Lor Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Gambar 5d. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat (Kertasemaya,
Dondan, Ujungaris, Sudimampir Lor) selama Tahun 2007 2009.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|435
Curah Hujan 8 Harian TRMM vs Stasiun Pengamat Juntinyuat Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Krangkeng Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat Kedokan Bunder Tahun 2007 - 2009
450
Stasiun Pengamat
400
TRMM
350
300
250
200
150
100
50
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136
Gambar 5e. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat (Juntinyuat,
Krangkeng, Kedokan Bunder) selama Tahun 2007 2009.
436|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
stasiun pengamat Juntinyuat, Krangkeng, Kedokan Bunder selama 3 tahun (
2007 2009).
90
82,2
78,5 77,3 78,1
80 75,2 76,1
74,9 73,7
65,8 65,1
62,9 62,1
61
60
54,7
50
40
30
20
10
0
u
am ris
ed ang t
g
gu
or
Lo lak
t
ng
Lo kir
tib n
ng
r
a
u
a
pe
ne
de
ay
an
ay
ra
da
un
an
at
yu
rL
a
Tu
g
ra
ke
u
em
w
Su hbe
pi
un
m
am
d
ar
on
ng
ed
an
B
in
sa
pi
ur
ka
m
se
B
nt
id
ik
ju
B
dr
m
ka
Su
ta
an
C
Ju
U
Ja
r
In
Su
di
K
er
ok
K
di
Su
Gambar 6. Tingkat akurasi curah hujan TRMM di setiap stasiun pengamat wilayah Indramayu
Secara umum, Gambar 5(a) 3(e) ditunjukkan bahwa nilai curah hujan dari
TRMM dan curah hujan di setiap stasiun pengamat memiliki pola yang hampir
sama, namun nilai curah hujan dari TRMM lebih tinggi (over estimate) dari curah
hujan di setiap stasiun pengamat. Oleh karena itu, untuk mendukung kegiatan
pemantaun tanaman pangan, terutama kondisi lahan sawah di wilayah
Indramayu sebaiknya menggunakan nilai estimasi/penduga curah hujan 8
harian dari TRMM yang tervalidasi. Dari pengolahan secara statistik dengan
program Minitab, dan membuang nilai curah hujan yang mempunyai nilai
variansi lebih besar dari 2,00 diperoleh nilai estimasi/pendugaan curah hujan
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|437
menggunakan data TRMM sebagai berikut; Y = 0,592 X + 2,58 ; dimana Y
adalah nilai estimasi curah hujan 8 harian dengan menggunakan data TRMM
dan X adalah curah hujan 8 harian dari TRMM. Model ini memiliki nilai korelasi
2
sebesar r =87,2% atau memiliki koeffisien deterministik sebesar (R ) = 76,1%
ditunjukkan pada Gambar 7
Gambar 7. Model estimasi curah hujan 8 harian menggunakan data TRMM di wilayah Indramayu.
Dengan menggunakan model estimasi curah hujan 8 harian di atas, maka curah
hujan yang digunakan untuk kegiatan pemantauan tingkat rawan
banjir/kekeringan lahan sawah ataupun kegiatan penelitian lainnya yang
berkaitan dengan nilai curah hujan dapat mendekati nilai curah hujan yang
sebenarnya. Gambar 8a merupakan contoh curah hujan spasial 8 harian dari
TRMM dengan resolusi 1 km di setiap stasiun pada musim hujan periode 025
(25 Januari 1 Februari 2007) sesudah dilakukan validasi dengan model di
atas, nilai curah hujannya menurun mendekati pengukuran lapangan berkisar
antara 0 200 mm/8 harian.
438|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Setelah dilakukan interpolasi dan dilakukan (b) perbesaran di wilayah Kabupaten
validasi Model Indramayu
Gambar 8. Curah hujan spasial pada musim hujan periode 025 resolusi 1 km setelah dilakukan
validasi Model estimasi (a), (b) perbesaran di wilayah Indramayu.
Sedangkan untuk contoh curah hujan spasial pada musim kemarau diambil
perode 145 (25 Mei 1 Juni 2007), setelah dilakukan validasi dengan model di
atas ditunjukkan adanya penurunan nilai curah hujan menjadi 0 50 mm/8
harian, yang sebelumnya (0 150mm/8harian) ditunjukkan pada Gambar 9(a)
dan 9(b) merupakan perbesarannya..
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|439
Kesimpulan
a) Berdasarkan analisa curah hujan dari data TRMM diperoleh model
estimasi curah hujan 8 harian Y = 0,592 X + 2,58 ; dimana Y adalah
nilai estimasi curah hujan 8 harian dengan menggunakan data TRMM
dan X adalah curah hujan 8 harian dari TRMM.
Daftar Pustaka
Las, Irianto & Surmaini. 2000 Pengantar Agroklimat dan Beberapa
Pendekatannya Balitbang Pertanian, Jakarta.
Nurhidayat E., 2010, Pengaruh Iklim terhadap Produktifitas tanaman Padi
Sawah, Jakarta, http://encum-nurhidayat.blogspot.com/2010/12/pengaruh-
iklim-terhadap-produktifitas.html
Parwati, 2008, Penentuan Nilai Ambang Batas untuk Potensi Rawan Banjir Dari
Data MTSAT dan Qmorph (Studi Kasus: Banjir Bengawan Solo), Jurnal
Penginderaan Jah Vol. 5, LAPAN , Jakarta.
Roswintiarti R., Sofan P., Zubaidah A., 2009. Pemanfaatan Data TRMM dalam
Mendukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia. Berita
Inderaja. Bidang Penyajian Data. Pusat Data
Suciantini, 2006, Hubungan SOI (Southern Oscillation Index) Dengan Awal
Musim Di Indramayu, Balitklimat Litbang Departemen Pertanian, Jakarta.
-----------, TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission),
http://kids.earth.nasa.gov/ trmm/ Updated: January 22, 2003
----------, Overview TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission),
http://rain.atmos. colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_overview.html
Sumber Data TRMM, ftp://trmmopen.gsfc.nasa.gov/pub/merged/mergeIRMicro/
440|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Generalisasi Nilai Koefisien C untuk Koreksi Terrain pada Citra
Landsat
E-mail:
tatikkartika@yahoo.com
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|441
Pendahuluan
Data citra Landsat mempunyai resolusi spasial 30 meter dengan cakupan data
sekitar 185 km x 185 km. Sebelum dianalisis lebih lanjut dan dapat dioverlay
dengan data citra atau dengan data spasial lainnya, diperlukan pra-pengolahan
data citra seperti koreksi geometrik dan radiometrik. Untuk tujuan tertentu,
seperti klasifikasi dijital, dibutuhkan tambahan proses koreksi terrain yaitu suatu
proses untuk mengurangi/menghilangkan perbedaan nilai pada data satelit yang
disebabkan oleh effek dari perbedaan terrain di permukaan bumi, sehingga
metode ini sangat efektif digunakan di daerah yang bergunung-gunung.
Ketepatan dalam metode koreksi citra inderaja sangat menentukan hasil pada
proses klasifikasi penutup lahan. Koreksi terrain ditambahkan untuk
memudahkan proses klasifikasi secara digital terutama di wilayah yang
bergunung-gunung. Sebagai ilustrasi, posisi matahari akan memberikan efek
bayangan terhadap liputan lahan yang berada di balik bukit/gunung. Karena
efek tersebut, maka klasifikasi digital akan mengkelaskannya menjadi kelas lain,
sehingga interpretasi menjadi salah. Apabila citra dikoreksi terrain terlebih
dahulu, maka efek bayangan tersebut akan diminimalisir sehingga nilai yang
diberikan objek adalah nilai reflektasi yang sudah dikoreksi.
442|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
RH = RT ( Cos (sz) + c ) / ( Cos(i) + c) (1)
Dimana,
RH : Radian terkoreksi
R T : Radian belum terkoreksi
sz : Sudut zenith matahari
i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan arah matahari
c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan gradien dari
persamaan regresi LT = m Cos(i) + b
Dengan menggunakan persamaan Cosinus segitiga bola dalam beberapa
referensi (anonym (2008), Wikipedia), maka besar Cos(i) dapat dihitung
(Trisakti, 2010), sehingga diperoleh persamaan untuk koreksi terrain seperti
ditunjukkan oleh persamaan (2).
RH = RT (Cos(sz) +c) / (Cos(sz) Cos(ps) + Sin(sz) Sin(ps) Cos(pa sa)+c ............................ (2)
Di mana:
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|443
tersebut bisa ditentukan dan dapat berlaku secara general, sehingga nilai c
tersebut berlaku untuk seluruh scene data Landsat di Indonesia.
Tabel 1. Interval nilai koefisien c yang diperbolehkan untuk setiap band pada program INCAS
Band Interval
Band 1 0<c28
Band 2 0<c6
Band 3 0<c6
Band 4 0<c1,5
Band 5 0<c1,5
Band 7 0<c2
Metodologi
Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah:
Data citra satelit Landsat TM.ETM+ full band (band 1-5 dan band 7)
Metode
Penghitungan koefisien c setiap scene sample data
444|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
misalnya area berterrain yang terdapat bayangan karena adanya perbedaan
topografi yang tajam.
Uji kualitas secara visual adalah dengan membandingkan data citra sebelum
dan sesudah koreksi terrain, dan dianalisa apakah di daerah yang berterrain
hasilnya sudah tampak bernuansa datar dan warna kelas yang sama
ditunjukkan oleh warna yang relatif sama.
Pembuatan citra slope dan aspek yang diperoleh dari data DEM, dengan
contoh pada Gambar 1.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|445
Penghitungan sudut normal piksel i diperoleh dari Cos(i) = Cos(sz) Cos(ps)
+ Sin(sz) Sin(ps) Cos(pa sa) dengan memasukkan nilai-nilai slope dan
aspek yang diperoleh dari DEM yang bersesuaian dan sudut zenith serta
azimut matahari yang diperoleh dari header masing-masing data. Hasil
proses ini adalah citra yang berisi informasi Cos (i) yang mempunyai kisaran
0 -1 seperti tampak pada Gambar 2.
150
y = 64.29x + 34.83
R = 0.157
Nilai reflektansi
100
50
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Cos(i)
Citra RGB 542 dan lokasi sampel wilayah hutan Korelasi antara Cos(i) dan refelektansi pada
(poligon putih) wilayah sampel untuk band 5
Gambar 3. Pengambilan sampel dan korelasi untuk menghitung koefisien c
446|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Nilai c diperoleh dengan membandingkan antara titik potong garis regresi
sampling dengan gradiennya dan dihitung untuk setiap band (Gambar 3.)
Proses koreksi terrain dan uji hasil secara kualitas dan kuantitas
Koreksi terrain dilakukan melalui persamaan (2) dan akan menghasilkan citra
yang bernuansa datar pada wilayah yang berterrain. Uji kualitas dan kuantitas
dilakukan berdasarkan uji visual dan scattering plot setiap band juga deviasi
standarnya. Hasil koreksi terrain dari data sampel yang diambil diperlihatkan
pada Gambar 4.
113067_290999 113067_290999
114064_200999 114064_200999
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|447
11006m_080999 11006m_080999
Gambar 4. Gambar 4. Citra sebelum dan sesudah koreksi terrain
448|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Series1
Series2
Series3
Series4
Series5
Series6
Series7
Gambar 5. Nilai koefisien c untuk setiap band pada setiap sample data
Gambar 5 menunjukkan variasi nilai c untuk setiap band pada sample data yang
diambil. Terlihat bahwa untuk band 1, variasi nilai koefisien c sangat beragam.
Hal ini disebabkan band tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer.
Band 2 sampai dengan Band 7 variasi koefisien c lebih teratur dan stabil,
sehingga dimungkinkan untuk digeneralisasi dengan mengambil rata-ratanya.
Untuk pengujian nilai koefisien generalisasi ini diterapkan pada sampel data,
dan menguji hasilnya secara kualitatif (visual) yaitu dengan mengamati wilayah
yang berterrain dan warna dan rona dari penutup lahannya.
Dibandingkan dengan standar nilai c pada program INCAS, maka nilai c pada
Table 3 telah menunjukkan nilai yang lebih spesifik dan dapat berlaku general,
walaupun masih ada permasalahan mengenai rendahnya nilai c pada band 1.
Untuk band 1 ini perlu kajian lebih lanjut menggunakan data yang benar-benar
bersih dari awan atau haze.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|449
Kesimpulan
Nilai koefisien c hasil generalisai memberikan hasil yang cukup baik, hal ini
dibuktikan dengan hasil yang diterapkan pada sampel data yang diambil
Perlu pengujian pada data sample yang lebih banyak, untuk membuktikan
bahwa generalisasi koefisien c bisa diterima. Walaupun pada beberapa
nilai c pada beberapa band (seperti band 1) masih memerlukan kajian
lebih lanjut.
Daftar Pustaka
450|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tsunami vulnerability assessment A case study of Kuta Village,
Bali, Indonesia
1* 2 1
Eddy , David King and James Moloney
1
School of Earth and Environmental Sciences, James Cook University, Australia; Email:
eddy.eddy@my.jcu.edu.au
2
Centre for Disaster Studies, School of Earth and Environmental Sciences, James Cook
University, Australia
Abstract. Tsunami impact cannot be eliminated, but it can be effectively analyzed and
possibly reduced by creating a vulnerability map that provides information to coastal
communities facing future tsunamis. The overall aim of this paper is to assess tsunami
vulnerability using Geographic Information System (GIS) technology in Kuta coastal area
based on the physical factors, namely ground elevation, distance from the shoreline and
slope. The result of this paper is a tsunami vulnerability map based on the physical
factors consisting of five zones. The result of this paper shows that around 72% of the
Kuta Village areas is vulnerable to future tsunamis, and only 28% of the areas are safe
from tsunami waves. Moreover, ten types of land use in Kuta Village are vulnerable to
future tsunamis, and only lake that is safe from tsunami waves. The result of this paper
will be useful for local government to create regulations for construction of new
buildings in the coastal area, for disaster planners and emergency managers to mitigate
tsunami impact in the future, and for coastal communities in the study area to be
aware, prepare, know and learn the early signs of the coming tsunamis in the future.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|451
Introduction
The occurrence of tsunami events in many regions of the world are significant
and cause great impacts for life, infrastructure, property, economy, business,
and environment (Clague et al., 2003, Papathoma et al., 2003). Highly
destructive tsunamis were recorded at a number of locations in Indonesia, such
as in Flores, in December 1992 (Tsuji et al., 1995), in Aceh, in December 2004
(Levy and Gopalakrishnan, 2005), and in South Java (Cilacap and
Pangandaran), in July 2006 (Reese et al., 2007) and affected almost every
sector of the economy. For example, agriculture, fisheries, tourism,
transportation, and health (Levy and Gopalakrishnan, 2005).
Based on these facts, land use, such as buildings and coastal infrastructure,
and coastal communities in coastal area are vulnerable to tsunami hazard.
Assessing vulnerability requires the combination of vulnerability factors that will
resulted in various vulnerability maps (Wood and Good, 2004). Furthermore,
assessing tsunami vulnerability can help local government, disaster planners,
emergency managers, and public policy or decision makers understand the
impact, study the effect of mitigation techniques and incorporate the results into
preparedness programs and urban development plans so they can face the risk
of tsunami hazard in the future.
Bali and surrounding regions have long been affected by tsunami. According to
tsunami catalogues, there were 13 events that recorded for 192 years (see
nd
Table 1). The worst tsunami runup was occurred on 2 June 1994 in West Bali
that reached 4.4 m height. Moreover, the future tsunami impact in there will be
greater than in the past because of the development in coastal area
(Papathoma et al., 2003). Therefore, it is important to assess vulnerability of
tsunami inundation and the impacts in the future.
452|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Tsunamigenic Source Tsunami Parameters
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|453
Background
In this paper, vulnerability assessment is defined as the evaluation of the
exposure of the physical factors or processes, which increase the susceptibility
of coastal communities to the impact of tsunami hazards. Vulnerability
assessment is important because the tsunami impact is different from one place
to another. Moreover, it depends on how close the coastal communities are to
the tsunami source (Cutter et al., 2000).
There are several studies about tsunami vulnerability assessment that have
been done using GIS technology. For example, Wood and Good (2004)
assessed the vulnerability of an Oregon port and harbor community in the USA
to earthquake and tsunami hazard by integrating natural, socioeconomic and
hazard information. They organized four themes of GIS layers for assessing
community vulnerability: (i) study portrayal layers, (ii) hazard potential, (iii)
community assets, and (iv) community vulnerability. The study portrayal layers
that have been used, included digital orthophotoquads, elevation models, raster
graphs and bathymetry. Hazard potential layers show the subduction zone
hazard susceptibility on relative ordinal scales and are created by using maps
from reviewed articles or digital data. The third set of GIS layers represent the
important assets of the port and harbor community, such as subsidence,
landslides, population, essential facilities, etc. The fourth set of GIS layers focus
on the aggregate of hazards, assets, and vulnerability of the study area in order
to identify the areas of multiple hazards or community assets.
In Crete, Greece, GIS has been used to assess a new vulnerability assessment
approach for tsunami hazard, which is the Papathoma Tsunami Vulnerability
454|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Assessment Model or PTVAM. It integrates multiple factors that contribute to
tsunami vulnerability, such as the built environment (such as building
surroundings, building material age and moveable objects), sociological data
(such as population density and number of people per building), economic data
(such as land use for business, residential and services), and environmental or
physical data (such as land cover, physical or manmade barriers and natural
environment). The result is vulnerability maps that combine all parameters for
different endusers: disaster planners, local authorities and insurance
companies in the study area (Papathoma et al., 2003).
Based on these studies, the authors selected, analyzed and combined the
physical factors that will affect the tsunami vulnerability assessment in coastal
area. The detailed of the chosen variables will be explained later in methodology
chapter.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|455
Study Area
Kuta Village that located in Bali is famous with it coastal areas that have white
sands and good panorama. It attracts both local and international visitors. The
location of the study area is shown at Figure 1. Kuta Village is located in the
southwest of Bali, bordered on the east by the Pemogan village, on the west by
the Indian Ocean, on the north by the Legian and Pemecutan Kelod villages and
on the south by the Tuban village. This village belong to the Kuta SubDistrict.
Kuta Village is the administrative and economic centers for the province, and
also provides a large amount of income to the country from its tourism sector.
However, Bali is located on the boundary of the Eurasian and IndoAustralian
Plates, which move occasionally. This movement can generate submarine
earthquakes that are one of the factors that can generate a tsunami. Therefore,
Kuta Village is vulnerable to the tsunami hazard. Based on this reason, the
study has been undertaken to analyze and assess the tsunami vulnerability
based on physical factors in Kuta Village.
Methodology
Tsunami vulnerability assessment is important to identify coastal areas, coastal
communities and coastal infrastructure that are vulnerable to tsunami waves in
the future. The result is vulnerability maps that will be useful for local
government, disaster planners and emergency managers for hazard
preparedness and mitigation.
In this paper, the total vulnerability as modified from Cutter, et al. (1997) and
Greiving, et al. (2006) can be calculated as follows:
Where: Tv = total vulnerability; Pv1/2/3 = 1st/2nd/3rd physical factor.
456|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Figure 1. Location of the study area.
Because the vulnerability tsunami and devastation is not consistent within the
study area, several factors were identified and then information of each factor
was collected to produce the primary database. Therefore, it was possible to
determine and display the spatial vulnerability within the study area.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|457
1. Ground elevation.
The ground elevation will affect the runup height of the tsunami. The higher the
height of tsunami waves in coastal areas, the further the distance of inundation
into the mainland (Nugroho, 2006, Agung, 2006). The classification for ground
elevation is based on Agung (2006).
The distance from the shoreline will affect the damage and the casualties if a
tsunami event occurs. The further the distance from the shoreline, the less will
be the runup height and inundation area of tsunami waves (Nugroho, 2006,
Agung, 2006). The classification for distance from the shoreline is used from
Bretschneider and Wybros formula (1976) in Bernard, et al. (1994):
Where: Xmax = Maximum distance of tsunami inundation into mainland.
Yo = Tsunami height in shore.
3. Slope.
The slope will affect the distances of inundation. The steeper the slope, the less
the inundation area of tsunami waves (Nugroho, 2006). The classification for
slope is based on van Zuidam (1985) in Bocco, et al. (2001).
458|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Table 2. Classification, scoring and weighting for physical vulnerability factor.
Physical Factors Class Score Weight Total
Ground elevation (Agung, 2006)
<1m Very high vulnerability 5 40 200
12m High vulnerability 4 40 160
23m Medium vulnerability 3 40 120
34m Low vulnerability 2 40 80
>4m Very low vulnerability 1 40 40
Distance from the shoreline (Bernard et
al., 1994)
< 600 m Very high vulnerability 5 40 200
600 800 m High vulnerability 4 40 160
800 1000 m Medium vulnerability 3 40 120
1000 1200 m Low vulnerability 2 40 80
> 1200 m Very low vulnerability 1 40 40
Slope (Bocco et al., 2001)
< 2% High vulnerability 3 20 60
2 6% Medium vulnerability 2 20 40
> 6% Low vulnerability 1 20 20
Table 2 shows that ground elevation and distance from the shoreline factors
were weighted equally (40%) and bigger than slope factor (20%). It is because
both factors will affect much in coastal area if a tsunami occurs there. Tsunami
waves can inundate into mainland for several hundred meters (related with
distance from the shoreline factor) and swamp most of coastal infrastructure that
located in flat or lowlying coastal areas (related with ground elevation factor)
(Levy and Gopalakrishnan, 2005, Reese et al., 2007).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|459
one new map layer. In this paper, this method is used for combining the physical
vulnerability factors for Kuta Village. According to Nugroho (2006), the class
range can be calculated as follows:
Overlay with the land use map
For the result, the total vulnerability map are being overlaid with the land use
map, so it can be analyzed and calculated the area and type of land use that is
located within each vulnerability area.
The land use map was created by using the extraction from urban planning map
of each village. This map displays the basic information of land use in the study
area, such as agroforestry, bareland, building, grassfield, lake, mangrove, open
space, ricefield, river, road and sand.
Moreover, the physical vulnerability maps are combined by using the overlay
method to obtain the total vulnerability map of Kuta Village. Then, this map is
being overlaid with the land use map. Therefore, this map can be used for local
government, disaster planners and emergency managers to create mitigation for
the future tsunamis.
Result
The total vulnerability map is the combination of physical vulnerability maps. The
red areas in the Figure 2 represent areas that influenced very highly by physical
factors. These areas have very high vulnerability of tsunamis than other areas.
The orange areas represent the areas with high vulnerability of tsunamis. The
yellow areas represent the areas with medium vulnerability of tsunamis. The
light green areas represent the areas with low vulnerability of tsunamis. On the
460|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
other hand, the dark green areas represent the safest area and it represents the
areas with very low vulnerability of tsunamis. These areas are influenced very
low by physical factors.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|461
Table 3. The administrative areas those are vulnerable to tsunami.
Vulnerable areas (m2)
Village Type Very high High Medium Low Very low
vulnerability vulnerability vulnerability vulnerability vulnerability
Kuta Urban 1,135,100 1,380,025 1,013,550 2,000,375 2,105,200
Based on Table 3, around 72% of the Kuta Village areas (5,529,050 m2) are
vulnerable to future tsunamis, and only around 28% of the total areas
(2,105,200 m2) are very safe and not vulnerable to tsunami waves.
Figure 3 shows the land use classification for Kuta Village. The results are 11
classes mapping the urban morphology, namely agroforestry, bareland, building,
grassfield, lake, mangrove, open space, ricefield, river, road and sand.
462|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
For the analysis, the land use map are being overlaid with the total vulnerability
map, so it is possible to locate and calculate which and how much the area of
each land use type that are vulnerable to future tsunamis.
Figure 4 shows ten types of land uses that are vulnerable to tsunamis in Kuta
Village, namely agroforestry, bareland, building, grassfield, mangrove, open
space, ricefield, river, road and sand. It is only lake that is not vulnerable to
future tsunamis.
Figure 4. The land uses of Kuta Village those are vulnerable to future tsunamis.
Furthermore, Table 4 shows the detailed calculation of which and how much the
land use types in Kuta Village that are vulnerable to future tsunamis within each
2
vulnerability zone. Around 47% of the agroforestry (56,257.06 m ), around 75%
2
of the bareland (46,383.67 m ), around 97% of the buildings (7,838 units),
2
around 62% of the grassfield (8,594 m ), around 6% of the mangroves
(53,092.46 m2), around 84% of the open space (3,243,410.46 m2), around 79%
2 2
of the ricefields (201,124.92 m ), around 42% of the river (33,146.03 m ),
around 84% of the roads (52,903.42 m), and all 100% of the sand (227,151.28
2
m ) in Kuta Village are vulnerable to future tsunamis.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|463
Table 4. The land uses of Kuta Village those are vulnerable to future tsunamis.
Vulnerable Area
Land use
type Very high High Medium Low No
vulnerability vulnerability vulnerability vulnerability vulnerability
Agroforestry - - - 56,257.06 m2 63,260.13 m2
Bareland 20,056.01 m2 3,065.27 m2 - 23,262.39 m2 15,709.27 m2
Building 910 units 2,545 units 2,303 units 2,080 units 228 units
2
Grassfield - - - 8,594.00 m 5,289.69 m2
Lake - - - - 346,191.62 m2
2
Mangrove - - - 53,092.46 m 817,190.10 m2
Open space 606,339.02 872,540.14 612,818.35 1,151,712.95 m2 614,905.93 m2
m2 m2 m2
Ricefield - - - 201,124.92 m2 54,033.55 m2
2
River - - - 33,146.03 m 46,289.05 m2
Road 5,464.76 m 15,123.67 m 13,611.46 m 18,703.53 m 10,233.14 m
Sand 227,151.28 - - - -
m2
Discussions
The goal of this paper was to assess, locate and map the vulnerability of Kuta
Village to the tsunami hazard by using physical factors. Question may be asked
why such physical factors should be undertaken. The answer is that the
vulnerability to tsunami damage and impact is not consistent within the study
area. It is always dynamic. Therefore, several physical factors were used,
identified and analyzed, and then this information was used to create the
primary database for GIS analysis (Papathoma et al., 2003). All factors were
selected and chosen based on tsunami impact surveys, especially the 2004
Indian Ocean tsunami (Levy and Gopalakrishnan, 2005) and the 2006 South
Coast of Java tsunami (Reese et al., 2007).
464|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
The vulnerability of Kuta Village is determined by their location close to the
Indian Ocean and the active plate margin areas. Moreover, most areas in this
village are below 5 m elevation and less than 6% slope. This means that most
areas in KutaVillage are very flat. For this reason, tsunami waves can reach and
inundate inland easily. Furthermore, coastal infrastructure, such as hotels,
restaurants and shops are located near the shoreline. For example, the 2004
Indian Ocean tsunami that occurred in Aceh inundated 2 km inland and
swamped coastal infrastructure, such as ports and power plants located in low
lying areas (Levy and Gopalakrishnan, 2005). The 2006 South Coast of Java
tsunami, had a runup of more than 7 m in some flat areas and inundated
several hundred meters inland (Reese et al., 2007). Tsunamis are more
dangerous if they occur in the lowlying flat areas, such as Kuta Village because
they can inundate from several hundred meters to several kilometers inland and
swamp the coastal infrastructure located near the shoreline.
Coastal areas are a favorite location for settlement and business. The coastal
areas attractiveness continues to grow along with associated housing, coastal
facilities and accommodation development. As a result, more local people and
tourists, and coastal infrastructure will be threatened by the tsunami hazard.
Therefore, to manage and control new building construction in coastal areas,
there should be cooperation between the planning agency and the local
government related to the city spatial planning. For example, local government
can create economic disincentive, such as higher taxation, to discourage people
or investors from creating new developments in vulnerable coastal areas.
Moreover, this map also can be used to inform local government agencies,
hazard task force, local residents, investors, and visitors about preparedness
and response for tsunami events. This action has been implemented in some
countries, such as the USA, as part of a national program in planning for
tsunami-resilient communities (Jonientz-Trisler et al., 2005).
In this paper, the use of better elevation data will eventually increase the
accuracy of the DEM (Digital Elevation Model) data which is important for
creating ground elevation and slope layers. This condition can potentially
discourage the application of tsunami hazard assessments in other coastal
areas in Indonesia, because the detailed topographical map with high resolution
of elevation is generally not available at village or subdistrict level, probably
due to the cost of surveys. Villages or subdistricts that do not have any
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|465
topographic maps, can use and derive the DEM data from the SRTM (Shuttle
Radar Topography Mission) (Jarvis et al., 2008) and ASTER GDEM (LPDAAC,
2010) images. These data are free and can be downloaded through the internet.
However, the spatial resolution for these images is quite large. The spatial
resolution for SRTM is 90 m and for ASTER is 30 m. The analysis for the ground
elevation can be done, but it will not be as accurate as using detailed
topographical maps because of the spatial resolution from the images. These
images will be suitable for ground elevation analysis at the district or province
area (larger area).
The physical factors that are used in this paper are based on the available
factors that can be found in each village and generally are the basic factors of
any vulnerability study. For detailed vulnerability assessments, several factors
can be added to develop the assessment. The more factors that are used, the
466|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
more detailed the assessment that can be developed. However, detailed
assessments require longer time, greater budget and more analysis to be done.
For example, there are three physical factors that have been used in this paper,
namely distance from the shoreline, ground elevation and slope. Several factors
can be added, such as land cover, topography, geological structures, physical
sea defences, coastal type and tsunami wave direction (Papathoma et al., 2003,
Nugroho, 2006, Chen et al., 2003). This is important in creating an analysis
model that can be replicated by provincial governments at the local level.
Conclusions
Kuta Village that located in Bali is vulnerable to tsunami hazard because it is
located in very active plate margin at Indian Ocean. Based on the historical
data, it showed there were 13 tsunami events within 192 years and 12 of them
were caused by submarine earthquakes. Therefore, it is important to assess the
vulnerability of tsunami hazard and the impact in the future for this village. This
assessment can help local government, disaster planners and emergency
managers to understand the impact, create the mitigation techniques and
incorporate the results into preparedness programs and urban development
plans so they can face the risk of tsunami hazard in the future.
The physical factors that have been used in this paper are ground elevation,
distance from the shoreline and slope. These physical factors can be added
more to develop the assessment. The more factors that are used, the more
detailed the assessment that can be developed. However, detailed assessments
require longer time, greater budget and more analysis to be done.
All factors were combined using plus analysis in GIS software. The result of
vulnerability assessment is the total vulnerability map based on the combination
of physical vulnerability maps and consists of five classes, namely very high
vulnerability, high vulnerability, medium vulnerability, low vulnerability and very
low vulnerability.
This paper has demonstrated that GIS can be used in disaster management for
creating tsunami vulnerability map by analyzing and modifying data from the
available data. The results address and answer the objective that defined earlier
in the introduction chapter. The results from this paper will be useful for local
government to create regulations that related with construction new buildings in
the coastal area, for disaster planners and emergency managers to create
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|467
tsunami mitigation in the future, and for coastal communities in the study area to
aware, prepare, know and learn the early signs of the coming tsunamis in the
future.
Based on above facts and condition, it is essential to Kuta Village in Bali to have
a tsunami preparedness and mitigation programs. It is recommended that the
local government in there should integrate tsunami information in all aspects of
coastal development planning, regulation, investment, community life,
education, and economic activities. Moreover, they should consider the tsunami
vulnerability map to support the spatial planning and integrated coastal
management for the future regulations related with the construction new
buildings in coastal areas, especially in Kuta Village.
Acknowledgements
This project would not have been possible without the financial support of the
Australian Government through the Australian Development Scholarship and the
James Cook University through the School of Earth and Environmental
Sciences. The data required for this project was substantial and would not have
been possible without the unlimited access provided by the Badung Regency
and Denpasar City Planning Boards, the Bali Provincial Public Works Agency,
the Bali Provincial Central Agency for Statistic, the Bali Provincial Tourism
Agency and the National Coordinating Agency for Survey and Mapping to their
databases.
468|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
References
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|469
JARVIS, A., REUTER, H. I., NELSON, A. & GUEVARA, E. (2008) Hole-filled
seamless SRTM data V4, International Centre for Tropical Agriculture
(CIAT).
JONIENTZ-TRISLER, C., SIMMONS, R. S., YANAGI, B. S., CRAWFORD, G.
L., DARIENZO, M., EISNER, R. K., PETTY, E. & PRIEST, G. R. (2005)
Planning for tsunami-resilient communities. Natural Hazards, 35, 121-139.
LEVY, J. K. & GOPALAKRISHNAN, C. (2005) Promoting disaster-resilient
communities: The great SumatraAndaman earthquake of 26 December
2004 and the resulting Indian Ocean tsunami. Water Resources
Development, 21, 543-559.
LPDAAC (2010) Aster GDEM, Land Processes Distributed Active Archieve
Center, U.S. Geological Survey (USGS), Earth Resources Observation
and Science (EROS) Center.
NUGROHO, A. (2006) Spatial analysis of tsunami vulnerable area in Jembrana
Regency, Bali. Semarang, Diponegoro University.
PAPATHOMA, M. & DOMINEY-HOWES, D. (2003) Tsunami vulnerability
assessment and its implications for coastal hazard analysis and disaster
management planning, Gulf of Corinth, Greece. Natural Hazards and Earth
System Sciences, 3, 733-747.
PAPATHOMA, M., DOMINEY-HOWES, D., ZONG, Y. & SMITH, D. (2003)
Assessing tsunami vulnerability, an example from Herakleio, Crete. Natural
Hazards and Earth System Sciences, 3, 377-389.
REESE, S., COUSINS, W. J., POWER, W. L., PALMER, N. G., TEJAKUSUMA,
I. G. & NUGRAHADI, S. (2007) Tsunami vulnerability of buildings and
people in South Java - field observations after the July 2006 Java
Tsunami. Natural Hazards and Earth System Sciences, 7, 573-589.
TSUJI, Y., MATSUTOMI, H., IMAMURA, F., TAKEO, M., KAWATA, Y.,
MATSUYAMA, M., TAKAHASHI, T., NUNARJO & HARJADI, P. (1995)
Damage to coastal villages due to the 1992 Flores Island earthquake
tsunami. Pageoph, 144, 481-524.
WOOD, N. J. & GOOD, J. W. (2004) Vulnerability of port and harbor
communities to earthquake and tsunami hazards: The use of GIS in
community hazard planning. Coastal Management, 32, 243-269.
470|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Spatial Planning of the State Border Areas
Sri Handoyo
National Research Geomatics, BAKOSURTANAL, Cibinong and Pakuan University,
Bogor.
Mail:
shandoyo@yahoo.com
Abstract. Indonesia has three land borders state, i.e. with Malaysia, Papua New Guinea,
and Timor-Leste, and those have different natural characteristics and territorial
developments.It has been understood and an urgent program that the border areas have
to be built and developed, for security and prosperity reasons, especially for the people
in the border areas. Therefore, spatial planning is a starting infrastructure to establish.
This paper describes the objectives of any supporting and obstacle factors that might
occur for the establishment, either in spatial or non-spatial forms. Besides, it also
describes any possible problems of border line, and also any possible joint project of
both countries to adapt and accommodate. The study is carried out through a
qualitative and comparative analysis based on some land-border cases in Indonesia.
It is concluded that there are considerations to be taken into account seriously to obtain
an optimum result of the spatial planning of the border areas. Among others are the
supporting factors of the availability of the complete basic geospatial information, and
also the obstacle factors of the border line. That problems have to be entirely solved
before hand.
Keywords: spatial planning, border areas, state boundary, supporting factors, obstacle
factors, spatial, non-spatial.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011.|471
Introduction
In accordance with Article 1 Paragraph (2) Presidential Regulation No. 12 of
2010 concerning Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP or National
Agency for Border Management) [11], the border areas is part of the territory of
which lie on the side of the border in Indonesia along with other countries. In the
case of state land border, then the border areas in question is located in the
district. Indonesia has a border area consisting of land borders with countries
namely Malaysia, Papua New Guinea (PNG), and Timor-Leste, and sea borders
with 10 countries, namely India, Malaysia, Singapore, Thailand, Vietnam,
Philippines, Republic of Palau, Australia, Timor-Leste, and PNG. Limit of the
sovereignty of Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI or Unitary Republic
of Indonesia) and its jurisdiction is in Figure 1.
Figure 1. Map of NKRI (Source: Bakosurtanal, 2006)
The land border areas spread over 4 (four) provinces, namely West Kalimantan,
East Kalimantan, Papua, and Nusa Tenggara Timur (NTT). Each area of the
472|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
border has conditions that differ from each other. Border areas in Kalimantan
that bordering with Malaysia have its people more prosperous. Border areas in
Papua relatively have equal society with people of PNG, while in the NTT border
areas the Indonesian side is still relatively better in terms of infrastructure and
the level of welfare.
The number of boundary pillars in the border area of Papua is still very limited,
i.e. only 52 markers. The border posts in the border area of Papua are in the
district of Muara Tami, Jayapura city, and in the district of Sota, Merauke. The
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|473
condition in the border city of Jayapura is still not optimally utilized as the
borders in Sanggau and Nunukan, because the facility was not yet complete
neither CIQS available. In general, cross border activity is still a traditional
border crossers as is done by close relatives or relatives of Papua into PNG and
vice versa, while the economic activities like trade in commodities between the
two countries through the border in Jayapura are still very limited trade in goods
for daily day and household tools that are available in Jayapura [1].
The border crossings in NTT are in some districts within the three regencies, but
the post is relatively complete and is often used as cross-border access in the
eastern district of Tasifeto, Belu regency. The existing facilities such as CIQS, is
quite complete. The cross-border activity that often happens is crossing the
traditional boundaries through the entrance that had once been used as a
normal way as Timor-Leste remains one of the province of Indonesia, like the
one on the border between TTU (NTT) and Oekussi (Timor- Leste). To facilitate
the citizens in Oekussi visiting Timor-Leste, the Government of Timor-Leste
proposed a permit for its residents to use the road infrastructure from Oekussi to
the main areas of Timor-Leste [1].
474|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
No. CHARACTERISTICS MALAYSIA TIMOR-LESTE PNG
Indonesia and
Australia, 1964.
2 Length of the 2.004 kilometers 268,8 kilometers 815 kilometers
border lines
3 Status In progress In progress In progress
4 Situation in the Better than in the The Indonesian The Indonesian side
border areas Indonesian side side is better is better
5 Problems 10 points of the 3 unresolved and 1 There is no specific
outstanding border unsurveyed border lineproblem
problems segments
a) Management of the state border has not been optimal and less
integrated.
Haryanto (2011) also stated that the border should be built, because the border
is the front page of the NKRI and also a physical limit of the geographical
landscape of the country's sovereignty. Development of border areas should be
preceded by the preparation of the border area plan which has three basic
aspects of the security and defence, welfare, and environmental conservation, in
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|475
addition to referring to national policy. There are some fundamental reasons that
the border should be built, namely:
b) Areas that are relatively isolated and the level of development lags
behind.
476|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
a) Acceleration of territorial dispute settlement.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|477
Meanwhile, the government also urged the acceleration of the completion of the
Spatial Plan (RTR) of Border Area to address the problems that often occur due
to violations in the border area with other regions. In addition, the importance of
solving the border areas RTR is to complement the spatial and related
regulations that will be used as a macro reference in the implementation of
infrastructure development in that particular region (Source: Joko Kirmanto,
http://www.bisnis.com/infra structure / property / 2386-spatial-border-area-to be
addressed? date = 2010-12-17 accessed on June 28, 2011).
Meanwhile, the explanation of Article 8 Paragraph (1) letter d of the Act states
that cooperation between countries is the spatial arrangement of space
cooperation in the border area [19].
478|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
the rules of mapping the areas as stipulated in the Government Regulation
No.10/2000. Technically, this functional is also intended to obtain the ease of
doing impressions review (overview) of the map in visual sight at all. That way it
can appear visually that covers the entire region as an area border districts
being laid out its space.
Figure 2. Index of 1:250,000 scale topographical maps of border areas in Kalimantan, Papua, and
in NTT (compiled from the source of www.bakosurtanal.go.id accessed on August 26, 2011).
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|479
Figure 3. Index of 1:50,000 scale topographical maps of border areas in Kalimantan and Papua
(processed from the source of www.bakosurtanal.go.id accessed on August 26, 2011).
Figure 4. Index of 1:25,000 scale topographical maps of border areas in NTT province (compiled
from the source of www.bakosurtanal.go.id accessed on August 26, 2011).
Thus the basic geospatial information (IGD) [3] with the appropriate scale has
been available for the three border areas mentioned above, and that is the scale
480|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
of 1:50,000 for the border areas with Malaysia and PNG, and the scale of
1:25.000 with Timor-Leste. Both types of scales are in accordance with the
coverage area of the border districts in each region.
Figure 5. ndex Map of 45 NL 1:25,000 scale of 2010 in the NTT province (processed from
BAKOSURTANAL PPBW Yearly Report, 2010).
The parameters of the 1:25,000 scale georeferenced base map are as follows:
In addition, this base map sheet has a format (shape and size) and a standard
layout. Figure 6 below is an illustrative example of the base map at scale of
1:25,000.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|481
Figure 6. Sample illustrations of the 1:25,000 scale map of the areas (adapted from
BAKOSURTANAL PPBW Yearly Report, 2010).
482|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
c) Specific Regions.
d) In this case the collected and processed IGT are needed for analysis
and resulting in the allotment of space protected areas, aquaculture,
and regions.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|483
B2700-B3100, S. Semantipal, S. Sinapad, and P. Sebatik. The four problems of
border with Timor-Leste is the Noel Besi, Manusasi, Memo, and Subina-Oben
(see Figure 7 and 8). While in PNG there are no technical issues associated
with the boundary line except that the cooperation should be continued and
completed as the agreed [4].
SABAH
D.400
C500 C600 S.
Tg.Datu
B2700
SARAWAK
KALTI
Batu
KALBAR
Figure 7. Illustration of the location of ten OBP (processed from PPBW BAKOSURTANAL, 2006).
484|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Figure 8. Illustration of the location of three un-resolved and an unsurveyed segments (adapted from
PPBW BAKOSURTANAL, 2008).
Basically, this diagram of the mapping study phase shows the stages of the
reference (benchmark) work, a variety of important substantive considerations
that must be taken into account, data processing and/or information, and
working procedures, with the final product in the form of Map of Spatial Plan of
the State Border between Indonesia and the neighbors.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|485
Figure 9. Diagram of the mapping stages.
Recommendations
1. Based on the technical aspects of the geospatial visualization, the
spatial mapping of the border areas between Indonesia and
neighboring countries are ready to be carried out by IGD and IGT
preparations to meet the criteria of required mapping.
2. Immediately remove the barriers by solving all the problems along the
border lines that form the border outstanding problems with Malaysia,
unresolved and unsurveyed segments with Timor-Leste, as well as
other cases.
486|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
3. Give priority to the substantive considerations when preparing spatial
plans of the border areas.
Acknowledgements
The author is very grateful to Mrs. Ir. Tri Patmasari, M.Si as the Head of the
Boundary Mapping Center, and Mrs. Dr. Dewayany, M.Sc as the Head of the
Geomatic Research Institute, BAKOSURTANAL, for the instigation for
productive research.
References
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|487
Laporan Akhir Pembuatan Peta Wilayah di Perbatasan RI-RDTL Skala
1:25.000, Program Pengembangan Wilayah Perbatasan, Pusat Pemetaan
Batas Wilayah, BAKOSURTANAL, Cibinong, TA 2010.
Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2005 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006-
2020. Lembaran Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005
Nomor 099 Seri E Nomor 058.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang
Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan. Kabinet Indonesia Bersatu II. Jakarta, 28
Januari 2010.
Sutisna, S. and Handoyo, S.: Delineation and Demarcation Surveys of the Land
Border in Timor: Indonesian Perspective. Paper presented at The
International Symposium on Land and River Boundaries Demarcation and
Maintenance in Support of Borderland Development. Bangkok, Thailand,
November (2006).
TSC-BDR RI-RDTL: Interim Report on the Land Border Delineation between
Republic of Indonesia and Democratic Republic of Timor-Leste. Vol. 1, 2,
and 3. Jakarta, Indonesia, June (2004).
TSC-BDR RI-RDTL: The 15th Meeting of Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste. Yogyakarta, Indonesia, October
(2004).
TSC-BDR RI-RDTL: The 19th Meeting of Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the
488|GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011
Democratic Republic of Timor-Leste. Surabaya, Indonesia, December
(2005).
TSC-BDR RI-RDTL: The 21st Meeting of Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste. Bandung, Indonesia, July (2008).
TSC-BDR RI-RDTL: The 22nd Meeting of Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation between the Democratic Republic of Timor-
Leste and the Republic of Indonesia. Dili, Timor-Leste, May (2009).
TSC-BDR RI-RDTL: The 23rd Meeting of Technical Sub-Committee on Border
Demarcation and Regulation between the Republic of Indonesia and the
Democratic Republic of Timor-Leste. Bogor, Indonesia, August (2010).
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725.
Widiati, A.: Kebijakan Dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Antar
Negara Di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia, Vol.9, No.3, Desember 2007, Hlm. 110-119.
Yani, Y.M.: Pengamanan Wilayah Perbatasan Darat Guna Mendukung
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Roundtable Discussion
Meningkatkan Pengamanan Wilayah Perbatasan Darat Guna Mendukung
Pembangunan Nasional Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI,
LEMHANNAS RI, Jakarta, 11 November 2008.
GeomatikaSARNasional(GeoSARNas)2011|489