Damage to rice plants by rats is the greatest agricultural problem in Indonesia
(Geddes1992), where the ricefield rat (Rattus argentiventer) has been ranked as
the most important nonweed pest since 1986 (Anonymous
2000; Murakami et al. 1990; Partoatmodjo1980). At least 5–15% of the global
rice crop is lost annually to rodents (Singleton and Petch 1994). In Southeast
Asia, the impact of rodents is highest in Indonesia, where approximately 17% of
riceproduction losses are attributable to the ricefield rat (Geddes 1992). From
1982 to early 2000, an average of 20% of the rice crop was lost annually to this
species (Anonymous 2000). Current approaches for controlling this pest include
poisoning (Buckle et al. 1985; Lam 1983; Prakash 1988; Singleton 1997) and
habitat manipulation (Singleton 1997). To be most effective,
these approaches require an understanding of movements, ranging behavior,
and habitat use of this species in an agricultural context. Movements of R.
argentiventer were first studied in relation to transmission of the tickborne
disease scrub typhus (Leptotrombidium— Harrison 1958). As the importance
of R. argentiventer as a pest became recognized, knowledge of movements of
the species in rice fields has been improved, to develop effective control
measures (Singleton and Petch 1994). Several studies that used recapture of
marked individuals (Sumangil 1965; Temme 1973; Van der Goot 1951) or
outdoor enclosures (O. Murakami et al., in litt.) have estimated distances
traveled, but few studies have examined movements, ranging behavior, or
habitat use. The aim of our study was to gain a better understanding of ranging
behavior and habitat use of reproductively active rats in irrigated lowland rice
fields in West Java. We tested the null hypotheses that home-range size would
not differ between breeding and nonbreeding seasons, and that habitat use
would not differ between males and females or between rainy and dry seasons.
Kerusakan pada tanaman padi oleh tikus adalah masalah pertanian terbesar di
Indonesia (Geddes1992), dimana tikus sawah (Rattus argentiventer) telah menempati
peringkat sebagai hama yang tidak penting sejak tahun 1986 (Anonim
2000; Murakami dkk. 1990; Partoatmodjo1980). Setidaknya 5-15% dari panen padi
global hilang setiap tahun untuk hewan pengerat (Singleton dan Petch 1994). Di
tenggara Asia, dampak hewan pengerat tertinggi di Indonesia, di mana kira-kira 17%
kehilangan produksi beras disebabkan oleh tikus sawah (Geddes 1992). Dari tahun
1982 sampai awal 2000, rata-rata 20% tanaman padi hilang setiap tahun pada spesies
ini (Anonymous 2000). Pendekatan saat ini untuk mengendalikan hama ini meliputi
keracunan (Buckle et al 1985; Lam 1983; Prakash 1988; Singleton 1997) dan
manipulasi habitat (Singleton 1997). Paling efektif, Pendekatan ini membutuhkan
pemahaman tentang gerakan, perilaku, dan penggunaan habitat spesies ini dalam
konteks pertanian. Pergerakan R. argentiventer pertama kali dipelajari dalam
kaitannya dengan transmisi penyakit tipir penyakit tipus (Leptotrombidium-Harrison
1958). Seperti pentingnya R. argentiventer sebagai hama diketahui, pengetahuan
tentang pergerakan spesies di sawah telah diperbaiki, untuk mengembangkan
pengendalian yang efektif (Singleton dan Petch 1994). Beberapa studi yang
menggunakan pengangkatan kembali individu yang ditandai (Sumangil 1965; Temme
1973; Van der Goot 1951) atau selungkup luar ruangan (O. Murakami dkk., Dalam
litt.) Memperkirakan jarak tempuh, namun hanya sedikit penelitian yang meneliti
pergerakan, perilaku, atau penggunaan habitat Tujuan penelitian kami adalah untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perilaku dan habitat tikus uji
reproduksi aktif di sawah irigasi di Jawa Barat. Kami menguji hipotesis nol bahwa
ukuran home-range tidak akan berbeda antara musim pembiakan dan musim tidak
subur, dan bahwa penggunaan habitat tidak akan berbeda antara laki-laki dan
perempuan atau antara musim hujan dan musim kemarau.