TOPIK 1: Asmatikus
Literature Review Jurnal 1
Penulis Jurnal Ester Tri Rahayu, Adika Zhulhi Arjana, Juwariyah, Rahma
Yuantari, Rozan Muhammad Irfan
Judul Jurnal Gambaran Leukosit Pro Inflamasi pada Status Asmaticus di RSUD
Kebumen
Halaman Jurnal 8-12
Teori Asma selama ini dianggap sebagai penyakit akibat hipersensitifitas
tipe I semata. Padahal studi lanjut menunjukkan bahwa asma juga
merupakan penyakit yang berhubungan dengan inflamasi dan
koagulasi. Adanya aktivitas inflamasi yang ditemukan pada asma
menjadi pintu gerbang untuk studi ini. Meskipun telah didukung
oleh fakta ditemukannya sel pro inflamasi pada biopsi jaringan
saluran nafas namun gambaran aktivitas kedua sel tersebut belum
diketahui. Masih diperlukan studi untuk memberikan gambaran
jelas kondisi sel eosinofil dan neutrofil pada darah. (Ester Tri
Rahayu, 2018)
Eosinofil ini merupakan sel imun yang sifatnya asam yang terdapat
dalam darah dalam jumlah sedikit dan eosinofil ini juga berperan
dalam proses inflamasi. Sedangkan neutrofil adalah sel darah putih
yang merupakan proses perkembangan dari metamielosit dan
berperan dalam kekebalan tubuh dengan proses fagositosis.
Neutrofil ini memiliki 2 jenis bentuk yaitu band dan segment. (Ester
Tri Rahayu, 2018)
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa kondisi asma ini
masalahnya tidak hanya terdapat di saluran nafas saja tapi juga
terdapat di vaskular yang mencakup segala yang terkait dalam
sistem pembuluh darah yang ikut terlibat dalam patogenesisnya.
(Ester Tri Rahayu, 2018)
Metode Penelitian Analisis data menggunakan uji ANOVA
Subyek :
Yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 91 subyek. Subyek
kesemuanya berasal dari pasien rawat inap RSUD Kebumen.
Mayoritas dari subyek penelitian ini adalah wanita. Terdapat 31
subyek (34,07%) pria dan 60 subyek wanita (65,93%). Sesuai
dengan penelitian lain yang menunjukkan adanya kecenderungan
subyek wanita yang mengalami eksaserbasi akut asma. Rata-rata
usia subyek pada penelitian ini merupakan usia dewasa muda. (Ester
Tri Rahayu, 2018)
Bahan dan Cara :
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data rekam medis
mencakup data pemeriksaan fisik oleh dokter dan data laboratorium
yang terdapat pada rekam medis di RSUD Kebumen. (Ester Tri
Rahayu, 2018)
Cara kerja :
Derajat serangan asma dikelompokkan menjadi ringan sedang,
berat, dan mengancam jiwa. Pasien dengan derajat ringan sedang
memiliki gejala berup bisa bicara 1 kalimat, dengan posisi duduk
lebih nyaman, denyut nadi 100-120 x/menit, saturasi oksigen 90-
95%, nilai pulmonary expiration flow (PEF) >50% dari yang
diprediksi. Derajat berat memiliki gejala berupa masih bisa bicara
dalam kata, duduk cenderung membungkuk ke depan, laju nafas
>30 kali/menit, menggunakan otot bantu nafas tambahan, denyut
nadi > 120 x/menit, saturasi oksigen <90%. Dan derajat
mengancam jiwa adalah apabila pasien mengalami gelisah, bingung,
ataupun tidak terdengar suara nafas dalam auskultas. (Ester Tri
Rahayu, 2018)
Hasil Penelitian Hasil penelitian analisiss dengan ji rerata ANOVA dan uji Kruskal-
Wallis menunjukkan bahwa Karakter status eosinofil pada subyek
cukup seragam pada berbagai derajat serangan yang menunjukkan
nilai p > 0,05artinya tidak ada perbedaan yang bermakna persentase
eosinofil pada berbagai derajat serangan. Temuan ini juga tampak
pada persentase netrofil, dengan nilai signifikansi 0,79
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna. Pengelompokan juga
dilakukan untuk status netrofilia. Hasil penelitian ini menunjukkan
karakter yang berbeda dibandingkan eosinofilia. Mayoritas subyek
pada berbagai derajat serangan menunjukkan kondisi netrofilia.
Proporsi terbesar ada pada derajat serangan 3 yakni sebesar 75%.
Akan tetapi setelah dilakukan analisis menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang bermakna (P=0,79). (Ester Tri Rahayu, 2018)
TOPIK 2: Asmatikus
Literature Review Jurnal2
Penulis Jurnal Nurma Afiani
Judul Jurnal Aplikasi terapi ‘Guided Imagery’ Untuk Pasien Asma Dengan Status
Asmatikus Pada Unit Gawat Darurat
Halaman Jurnal 45-51
Teori Stress merupakan salah satu faktor penyebab asma. Karena ketidak
seimbangan emosional yang dapat menimbulkan stress seseorang,
dengan begitu dapat menurunnya daya tahan tubuh seseorang.
(Afiani, 2013)
Status asmatikus merupakan keadaan darurat yang mana jika tidak
diatasi dapat menyebabkan kegagalan pernafasan. Pada kondisi ini
pasien tidak dapat berespon pada obat asma pada umumnya.
Sehingga dibutuhkan terapi psikologis seperti “Guided Imagery”.
(Afiani, 2013)
Terapi “Guided Imagery” ini merupakan terapi komplementer sesuai
yang dirancang khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Sehingga dapat mengurangi nyeri dan kecemasan. Pada terapi ini
mengajak kita utuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan
seperti membayangkan kita ada dipantai, makan makanan kesukaan
kita, atau sedang duduk-duduk bersama orang yang kita kasihi.
Sehingga dapat merangsang produksi hormone endorphin yang
berguna untuk mengurangi stress. (Afiani, 2013)
Metode Penelitian dengan desain randomized controlled clinical trial
Subjek :
Penderita asma ekstrinsik dewasa dengan status asmatikus. (Afiani,
2013)
Bahan dan Cara : -
Cara Kerja: -
Hasil Penelitian Dari penelitian diatas dapat diketahui bahwa terapi “Guided Imagery”
dapat pengaruh positif terhadap salah satu parameter fungsi paru
yakni kapasitas ekspirasi paksa paru (Force Expiratory Volume/
FEV). (Afiani, 2013)
TOPIK 3: Asmatikus
Literature Review Jurnal3
Penulis Jurnal Abdallah R Dalabih, MD, Steven A Bondi, MD, JD, Zena L Harris,
MD, Benjamin R Saville, PhD, Wenli Wang, dan Donald H Arnold,
MD, MPH
Judul Jurnal Infus aminofilin untuk status asmatikus dalam pengaturan unit
perawatan kritis pediatrik secara independen dikaitkan dengan
peningkatan lama tinggal dan waktu untuk perbaikan gejala
Halaman Jurnal 57-61
Teori Asma merupakan penyakit kronis yang paling umum pada anak-anak.
Dalam perawatan kritis, pengobatan asma di arahkan pada bantuan
cepat dari peradangan dan aliran darah obstruksi. Obat yang
digunakan untuk mengobati asma adalah Methylxanthines termasuk
aminofilin intarvena.(Abdallah R Dalabih, 2014)
Manfaat dari terapi aminofilin dihipotesiskan hasil dari beberapa
mekanisme. Efek saluran pernafasan langsung melalui penghambatan
non-selektif phosphodiesterase, antagonisme reseptor adenosin,
modulasi rilis kalsium intraseluler melalui agonis reseptor ryanodine
serta stimulasi pelepasan katekolamin endogen. Hal ini lebih lanjut
diyakini bahwa methylxanthines memiliki efek imunomodulator
signifikan. (Abdallah R Dalabih, 2014)
Dalam sebuah penilitian ditemukan bahwa keseimbangan manfaat
risiko aminofilin pada pasien yang memerlukan perawatan kritis
dalam pengobatan pasien dengan asma akut berat. Pengobatan
aminofilin dengan FLOS dan perbaikan gejala pada pasien dengan
asma akut berat dikelola di unit perawatan kritis anak. (Abdallah R
Dalabih, 2014)
Metode Penelitian menggunakan FLOS
Subyek :
Di antara subyek yang menerima aminofilin (n = 49) kita juga
berusaha untuk menilai apakah ada hubungan dosis-respons antara
pengobatan aminofilin dan hasil yang menarik. Untuk subkelompok
ini yang menerima aminofilin (n = 49), kami mempekerjakan regresi
Cox untuk model FLOS dan waktu untuk perbaikan gejala secara
terpisah sebagai fungsi dari tingkat serum teofilin (≥10 mcg / ml vs
<10 mcg / ml). (Abdallah R Dalabih, 2014)
Bahan dan Cara:
Menguji respon dosis untuk aminofilin sebagai variabel kontinu
menggunakan nilai tingkat serum teofilin mutlak (di mcg / ml). Bagi
mereka subyek yang menerima aminofilin (n = 49), menggunakan
Cox proportional hazards model yang kita meneliti hubungan antara
tingkat teofilin nilai-nilai sebagai mutlak dan variabel hasil FLOS dan
waktu untuk gejala lega. (Abdallah R Dalabih, 2014)
Cara Kerja :
Keputusan untuk memulai aminofilin didasarkan pada penilaian
dokter dan preferensi. Memulai pengobatan aminofilin oleh dosis
muatan 6mg / kg lebih dari 30 menit diikuti dengan dosis
pemeliharaan 1-1.2mg / kg / jam. tingkat obat diperoleh setiap 6 jam
selama infus aminofilin. Tingkat teofilin terapi lebih besar dari atau
sama dengan 10 mcg / ml. Subyek dengan satu atau lebih tingkat
terapeutik dikategorikan sebagai “terapi” terlepas dari jumlah tingkat
diperoleh. Ketika mengevaluasi subyek dengan tingkat terapeutik
menggunakan tingkat obat sebagai variabel kontinu, mencatat tingkat
tertinggi. (Abdallah R Dalabih, 2014)
Hasil Penelitian Hasil penelitian menggunakan FLOS. Di antara subyek yang
menerima aminofilin, FLOS secara signifikan lebih lama pada
mereka dengan kadar serum terapi (HR 0,457; 95% CI [0,234,
0,895]; p = 0,023). Waktu untuk perbaikan gejala ( yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai RDS ≤7 “ringan”) lebih panjang pada
subyek yang Waktu untuk perbaikan gejala ( yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai RDS ≤7 “ringan”) lebih panjang pada
subyek yang Waktu untuk perbaikan gejala ( yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai RDS ≤7 “ringan”) lebih panjang pada
subyek yang menerima aminofilin dibandingkan dengan mereka yang
tidak (HR 0,359; 95% CI [0,223, 0,578]; p <0,001). Waktu untuk
gejala lega juga secara signifikan lebih lama pada mereka dengan
kadar serum terapi (HR 0.403; 95% CI [0,204, 0,793]; p = 0,008).
Akhirnya, ketika memeriksa hubungan antara tingkat obat FLOS dan
sebagai variabel kontinu, menemukan kecenderungan lagi FLOS
dengan tingkat yang lebih tinggi obat (rasio hazard 0,9490, 95% CI
[0,899, 1,003]; P = 0,06). Sebuah model yang sama untuk waktu
untuk gejala lega dengan tingkat obat sebagai variabel kontinu tidak
menunjukkan bukti hubungan (rasio hazard 0,966, 95% CI
[0.892,1.046]; p = 0,395).(Abdallah R Dalabih, 2014)
Topik 4 : Asmatikus
Literatur Review Jurnal 4
Penulis Jurnal Diah Handayani,1 Nirwan Arief,1 Boedi Swidarmoko,1 Pudjo
Astowo,1 Muhammad Sopiyudin Dahlan
Judul Jurnal Sistem Skor Acute Physiology And Chronic Health Evaluation
(Apache) II Sebagai Prediksi Mortalitas Pasien Rawat Instalasi
Perawatan Intensif
Halaman Jurnal 36 – 45
Teori Sebagian besar pasien adalah jenis laki-laki (67,7%) sama dengan
penelitian skor APACHE III terhadap pasien IPI RS Persahabatan.
Pada penelitian ini jumlah kasus pascabedah yang memiliki umur
lebih rendah cukup banyak sehingga rerata umur lebih rendah dari
data penelitian lain yang memisahkan ruang IPI nonbedah dan bedah.
Penelitian ini menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,000) antara
mortalitas pada kasus pascabedah toraks (7,2%) dan nonbedah, (50%)
hasil yang sama didapatkan pada penelitian Wiweka dkk.12
(mortalitas kasus pascabedah toraks 8,3% dan nonbedah 33,3%) yang
menunjukan risiko pasien nonbedah mati empat kali dibandingkan
kasus pascabedah toraks. Skor APACHE II dan rerata umur antara
kedua kelompok kasus juga menunjukkan perbedaan bermakna
sehingga menunjukkan derajat penyakit saat masuk pasien nonbedah
lebih berat dengan rerata umur yang lebih tua. Tingkat mortalitas
pasien pneumonia di IPI memang tinggi tetapi penelitian ini
mortalitasnya jauh lebih tinggi, mungkin disebabkan pasien
pneumonia yang menjalani perawatan di IPI RS Persahabatan datang
dalam keadaan cenderung sepsis dan rerata skor APACHE II pasien
pneumonia pada penelitian ini 26,05 yang menunjukkan derajat
penyakit berat dengan gagal multiorgan (multiple organ failure).
Berbagai faktor berhubungan dengan mortalitas di antaranya umur,
jenis kuman, komorbid, gagal multiorgan yang cenderung terjadinya
sepsis, pemakaian ventilasi mekanis, derajat penyakit (APS, SAPS II,
APACHE II), dan terapi yang tidak adekuat. Penelitian menunjukkan
penggunaan ventilasi mekanis non invasif memberikan hasil lebih
baik dibandingkan ventilasi mekanis invasif pada pasien PPOK
sehingga seringkali pasien PPOK tidak mendapatkan bantuan
ventilasi mekanis invasif sedangkan fasilitas ventilasi mekanis
noninvasif di IPI RS Persahabatan terbatas. Diagnosis asma hanya 7
pasien (6,3%) tetapi mortalitasnya mencapai 71,4% sangat tinggi
dibandingkan penelitian Afessa dkk.14 menunjukkan mortalitas
pasien status asmatikus sebesar 12%, yang berhubungan dengan
tingginya PaCO2 dan skor APACHE II. (Diah Handayani, 2006)
Metode Pengambilan data retrospektif dilakukan melihat catatan rekam medik
pasien yang dirawat IPI RS Persahabatan sejak Juli 2003 sampai Juni
2006 sedangkan data prospektif dilakukan secara consecutive
sampling sejak Agustus – November 2006
Subjek :
Populasi pasien rawat IPI RS Persahabatan dengan diagnosis
penyakit paru, gangguan respirasi, dan penyakit rongga toraks
lainnya serta pascabedah toraks. Kriteria inklusi adalah umur > 16
tahun, penyakit dasar paru, dan gangguan res pirasi, serta penyakit
rongga toraks lainnya, pasien pascabedah toraks, dan bersedia
mengikuti penelitian ini untuk data prospektif. Kriteria eksklusi
meliputi pascabedah jantung dan pembuluh darah, luka bakar, infark
miokard akut, dan data rekam medik tidak lengkap atau hilang untuk
data retrospektif (Diah Handayani, 2006)
Bahan dan cara :
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data rekam medis
mencakup data pemeriksaan fisik oleh dokter dan data consecutive
sampling yang terdapat pada rekam medis di RS Persahabatan (Diah
Handayani, 2006)
Cara kerja :
Analisis dilakukan secara bertahap, meliputi Analisis deskriptif,
analisis bivariat, penentuan tingkat diskriminasi sistem skor
APACHE II, menentukan cut off point, sensitivitas dan spesifi sitas,
dan menentukan tingkat kalibrasi skor APACHE II (Diah Handayani,
2006)
Hasil Penelitian Hasil penelitian analisis Rerata skor APACHE II tertinggi pada
pasien pneumonia dengan skor 26,05 diikuti suspek flu burung dan
asma akut dengan rerata skor APACHE II 24 sedangkan pasien
dengan diagnosis tuberkulosis (TB) dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) eksaserbasi memiliki rerata skor APACHE II 21.
Rerata skor APACHE II pada kelompok kasus pascabedah tertinggi
adalah 9,5 pada jenis tindakan segmentektomi selanjutnya debulking
dan sternotomi. Berdasarkan outcome atau hasil akhir pasien keluar
rumah sakit menunjukkan jumlah pasien yang meninggal sebanyak
64 (27,2%) dan yang bertahan hidup sebanyak 171 (72,8%).
Berdasarkan diagnosis masuk IPI data keseluruhan menunjukkan
rerata skor APACHE II pada kasus pascabedah toraks lebih rendah
daripada kasus nonbedah(Diah Handayani, 2006)
Topik 5: Asmatikus
Literatur Review Jurnal 5
Penulis Jurnal Won Ho Chang
Judul Jurnal Early administration of venovenous extracorporeal life support for
status asthmaticus during anaesthetic induction: case report and
literature review
Halaman Jurnal 18 – 21
Teori Asma akut ditandai dengan spasme otot bronkus, edema dinding
bronkus, dan peningkatan sekresi mukosa. Tujuan terapi serangan
akut adalah untuk membalikkan aliran udara terhambat.
Bronkospasme adalah bentuk erbated parah memperparah asma akut.
Menghirup Thane halo- sebagai agen anestesi berguna untuk efek ing
bronchodilat-. Tapi, itu memiliki efek samping seperti meningkatkan
kepekaan miokard dan tekanan cairan serebrospinal. Oleh karena itu,
tidak umum digunakan. Meskipun thera- pai, serangan asma berat
dapat menyebabkan morbiditas dan mortality selama anestesi. Untuk
kerusakan otak hipoksia dan kematian selama anestesi, peristiwa
pernafasan menyumbang 28% dari klaim di Amerika Serikat.
Extracorpor- mendukung kehidupan Bit segera bisa mengembalikan
oksigenasi gas, mengatasi asidosis pernafasan, dan menghindari
kerusakan hemodinamik. baik CO 2 penghapusan, oksigenasi, dan
koreksi yang cepat dari asidosis pernafasan atas serangan asma
refrakter parah tidak menanggapi terapi konvensional dapat dicapai
dengan menggunakan bantuan hidup extracorporeal. (Chang, 2017)
Metode Laporan kasus
Subjek :
seorang pria berusia 40 tahun (Chang, 2017)
Bahan dan cara : -
Cara kerja : analisis dan anamnesa seorang pria berusia 40 tahun di
ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Seoul (Chang, 2017)
Hasil Penelitian Sebanyak kegagalan pernafasan kasus pendukung kehidupan
extracorporeal 1.257 orang dewasa dilaporkan kepada Organisasi
Dukungan Extracorporeal Hidup (Elso) registry internasional antara
Januari 1986 dan September 2006. Asma adalah indikasi utama
dalam 24 pasien. Mereka diperlakukan oleh dukungan kehidupan
extracorporeal. Meskipun mendukung kehidupan extracorporeal
venoarterial (VA ECLS) dilakukan hanya satu karena kebanyakan
kasus yang hemodinamik stabil, mekanik, kardiovaskular, dan
komplikasi perdarahan dikembangkan di 19 (79,2%) pasien.
administrasi awal VV ECLS bisa memperbaiki hipoksemia dan sis
acidopernapasan cepat dan stabilitas hemodinamik dapat dicapai
segera. Resolusi tiba-tiba serangan asma berat bisa terjadi setelah
beberapa hari terapi farmakologis pada beberapa studi observasional.
(Chang, 2017)
Topik : 6
Literatur Review Jurnal 6
PenulisJurnal Phumeetham, MD; Thomas J. Bahk, MD; Shamel Abd-Allah, MD;
Suwannee Phumeetham, MD, Mudit Mathur, MD, FAAP, FCC
JudulJurnal Pengaruh Dosis Tinggi berkelanjutan Albuterol Nebulisasi
padaVariabel Klinis pada Anak Dengan Status Asmatikus
HalamanJurnal 41-46
Teori Asma merupakan penyakit kronis dengan beberapa resiko besar
termasuk ijin tidak masuk sekolah, adanya penurunan kualitas hidup,
harus rawat inap, dan juga bisa berakibat kematian. Meskipun
kualitas perawatan untuk pasien asma yang rawat jalan terus
meningkat, tapi tingkat keparahan eksaserbasi akut dan kematian
terkait dengan status asmatikus tetap tidak berubah. Akibatnya dokter
dan perawat secara kritis terus memantau pasien asmatikus yang
dirawat di PICU untuk melakukan terapi intensif. Untuk itu agonis
reseptor β-adrenergik dan kortikosteroid adalah terapi utama untuk
status asthmaticus. (Phumeetham, Thomas J. Bahk, Shamel Abd-
Allah, & Suwannee Phumeetham, 2015)
Dan albuterol adalah obat golongan β-adrenergik yang digunakan
untuk terapi nebulasi pada anak-anak dan umumnya telah digunakan
untuk mengobati eksaserbasi asma di rumah sakit Amerika Serikat.
(Phumeetham, Thomas J. Bahk, Shamel Abd-Allah, & Suwannee
Phumeetham, 2015)
Metode Penelitian menggunakan desain analisis retrospektif dari catatan
medis rawat inap dan prospektif dikumpulkan PICU Database terapi
pernapasan komputerisasi.
Subyek : anak dengan status asmatikus untuk 25 tempat tidur PICU
multidisiplin. (Phumeetham, Thomas J. Bahk, Shamel Abd-Allah, &
Suwannee Phumeetham, 2015)
Bahan dan Cara :
Data yang dikumpulkan merupakan database terkomputerisasi
protektif dikelola oleh PICU terapis pernapasan dan meninjau catatan
pasien termasuk lembar aliran keperawatan, catatan dokter, dan
perintah dokter. (Phumeetham, Thomas J. Bahk, Shamel Abd-Allah,
& Suwannee Phumeetham, 2015)
Cara Kerja :
Semua pasien kami saring dengan diagnosis status asmatikus dan
mempelajari orang-orang yang menerima albuterol terus menerus
sebagai bagian dari terapi PICU mereka secara lebih rinci. Untuk
menganalisis penduduk yang relatif homogen, kami kecualikan
pasien dengan riwayat yang diketahui adanya keterbelakangan mental
dengan cerebral palsy, kelainan jantung. (Phumeetham, Thomas J.
Bahk, Shamel Abd-Allah, & Suwannee Phumeetham, 2015)
Hasil Penelitian Sebanyak empat puluh dua pasien (22 laki-lakidan 20 perempuan)
denganstatus asthmaticus yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yang diterima di PICUkami menerima albuterol
berkelanjutan selama periode 2 tahun yang dipelajari. Empat puluh
satu pasien dirawat khusus untuk albuterol nebulization terus
menerus, dansatupasien yang sudahdiintubasisaatmasukditerima
albuterol terusmenerussetelahekstubasi. Hanyasatudari 41 pasien
(2,4%) diperlukan intubasi untuk kegagalan pernafasan setelah
nebulisasi albuterol terus menerus dimulai, meskipun tujuh pasien
(16,7%) menerima BIS (bilevel positive airway pressure).
Secarakeseluruhan, 23 pasienmenerimadosis albuterol awal 75 mg /
hrdan 19 menerima 150 mg / hr. Mean PICU lama menginap (LOS)
daripasiennonintubatedadalah 2,3 ± 1,7 hari.
Kebanyakan gejala yang merugikan yang bisa berasal albuterol terus
menerus selama perawatan tidak tegas tercatat dalam catatan
keperawatan. Tidak ada aritmia jantung besar terjadi, dan hanya satu
pasien yang dikembangkan kontraksi ventrikel prematur (PVC) yang
diselesaikan setelah penghentian pengobatan albuterol. (Phumeetham,
Thomas J. Bahk, Shamel Abd-Allah, & Suwannee Phumeetham,
2015)