PEMANENAN SAGU
Oleh
Franklin D. Paiki, S.Hut.,MP
PENDAHULUAN
Secara umum, panen dapat diartikan sebagai kegiatan
pemungutan hasil tanaman/usahatani
Dalam praktek sehari-hari, panen sering juga
digunakan dalam kegiatan budidaya ikan atau
berbagai jenis obyek usahatani lainnya seperti jamur,
udang, atau alga/gulma laut.
Secara kultural, panen dalam masyarakat agraris
sering menjadi alasan untuk mengadakan festival dan
perayaan lain.
Dalam kaitannya dengan budidaya tanaman sagu,
panen sagu merupakan pemungutan hasil tanaman
sagu berupa pati sagu yang diperoeh dari ekstraksi
empulur/batang sagu.
Panen dapat dilakukan dengan menggunakan mesin
maupun secara manual/tradisional atau kombinasi
dari keduanya
Panen tanpa menggunakan mesin merupakan
pekerjaan yang sangat membutuhkan banyak tenaga
kerja dan waktu
PENTING!!!
Pemanenan merupakan kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari rangkaian proses budidaya karena
hasil penen sangat ditentukan oleh proses yang terjadi
sebelumnya.
Artinya, kualitas dan kuantitas hasil panen sangat
ditentukan oleh proses budidaya secara umum
termasuk di dalamnya faktor genetik dan lingkungan
(F = G + L)
Hal utama yang perlu diperhatikan pada
Pemanenan
Ada 2 hal, yaitu:
Menentukan Waktu Panen yang Tepat
Melakukan Penanganan Panen yang
baik dan benar
Menentukan waktu panen yang tepat
Merupakan kegiatan menentukan “kematangan” yang tepat dan
saat panen yang sesuai.
Dapat dilakuakan berbagai cara, yaitu :
1. Cara visual/penampakan : misal dengan melihat warna kulit,
bentuk buah, ukuran, perubahan bagian tanaman seprti daun
mengering dll.
2. Cara Fisik : misal dengan perabaan, buah lunak, umbi keras, buah
mudah dipetik, dll.
3. Cara Komputasi : misal menghitung umur tanaman sejak tanam
atau umur buah dari mulai bunga mekar.
4. Cara Kimia : misal melakukan pengukuran/analisi kandungan zat
atau senyawa yang ada dalam komoditas, seperti : kadar gula, kadar
tepung, kadar asam, aroma, dll.
Melakukan Penanganan Panen yang
baik dan benar
Merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk
menekan yaitu menekan kerusakan/kerugian yang
dapat terjadi
Dalam suatu usaha pertanian (bisnis) cara-cara panen
yang dipilih perlu diperhitungkan, disesuaikan dengan
kecepatan atau waktu yang diperlukan (sesingkat
mungkin) dan dengan biaya yang rendah.
Pokok Bahasan Utama
Ciri-ciri sagu siap panen
Proses Produksi Sagu
Estimasi produksi/hasil sagu
CIRI-CIRI UMUM TANAMAN SAGU
SIAP PANEN
Secara umum panen dapat dilakukan mulai umur 6-7
tahun, tetapi sampai saat ini para petani sagu belum
dapat menentukan dengan pasti umur sagu yang tepat
untuk dipanen dengan hasil yang optimum.
Pada umumnya petani sagu kurang perhatian terhadap
pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen.
Namun demikian para petani sagu didaerah sentral sagu
yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau
ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu
tersebut siap panen.
Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari
perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk, dan batang.
Umumnya tanaman sagu siap panen KETIKA menjelang
pembentukan kuncup bunga (kuncup bunga sudah muncul
tetapi belum mekar).
Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai
jarak yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir
juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukuranya kecil.
Tinggi pohon 10-15 m, diameter 60-70 cm, tebal kulit luar 10 cm,
dan tebal batang yang mengandung sagu 50-60 cm.
Perubahan lain adalah puncak/bagian atas batang bebas pelapah
menjadi agak menggelembung.
Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun
menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang
masih muda.
Cara penentuan pohon sagu yang siap
panen di Maluku
Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase di mana
sebagian duri pada pelepah daun telah lenyap.
Kematangannya belum sempurna dan kandungan acinya
masih rendah, tetapi dalam keadaaan terpaksa pohon ini
dapat dipanen.
Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya
pelepah daun, duri yang terdapat pada pelepah daun
hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian pangkal
pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang
terbentuk ukurannya semakin pendek dan kecil. Pada
tingkat ini sagu jenis Metroxylon rumphii Martius sudah
siap dipanen, karena kandungan acinya sangat tinggi.
Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase di
mana semua pelepah daun telah menguning dan kuncup
bunga mulai muncul. Kandungan acinya telah padat mulai
dari pangkal batang sampai ujung batang merupakan fase
yang tepat untuk panen sagu Ihur (Metroxylon sylvester
Martius).
Tingkat Siri buah, merupakan tingkat kematangan
terakhir, di mana kuncup bunga sagu telah mekar dan
bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya mulai
terbentuk. Fase ini merupakan saat yang paling tepat
untuk memanen sagu.
Ciri-ciri pohon yang sagu yang siap
dipanen menurut masyarakat Papua
Pelepah daun menjadi lebih pendek.
Kuncup bunga mulai tampak dan pucuk pohon
mendatar bila dibandingkan dengan pohon sagu yang
lebih muda.
Batang sagu dilubangi kira-kira 1 m di atas tanah,
kemudian diambil empulurnya dan dikunyah serta
diperas. Apabila air perasannya keruh berarti
kandungan acinya sudah cukup dan pohon siap
dipanen.
Proses Produksi Sagu
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil
pati yang sangat potensial di masa yang akan datang.
Tanaman sagu atau Metroxylon sagu Rottboell termasuk family
Palmae genus Metroxylon
Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti
empulur dan xylon berarti xylem, sedangkan sagu adalah pati.
Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada
batangnya.
Spesies yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang
tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi
duri (Flach, 1997).
Tanaman sagu memerlukan waktu 11 tahun dalam
siklus hidupnya (dari biji sampai membentuk biji)
yang terdiri dari empat fase pertumbuhan yaitu:
fase awal pertumbuhan atau gerombol (russet)
diperlukan waktu 3,75 tahun,
fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun,
fase infolorensia (pembungaan) diperlukan waktu satu
tahun,dan
fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu
tahun.
Pati sagu terakumulasi dalam empulur batang sagu
dari dasar sampai pucuk.
Pati sagu merupakan hasil proses ekstraksi empelur batang
(Metroxylon spp).
Faktor genetik dan proses ekstraksi (penggunaan alat, cara
penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan) sangat
mempengaruhi sifat dan kualitas pati (Flach, 1997).
Tahapan proses pembuatan tepung sagu secara umum meliputi:
penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokan
atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan
pengemasan.
Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, pembuatan tepung sagu
yang dilakukan di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini
dapat dikelompokkan atas cara tradisional, semi-mekanis dan mekanis.
a. Pembuatan Tepung Sagu secara Tradisional
Pada umumnya cara ini banyak dijumpai di Maluku, Papua,
Sulawesi dan Kalimantan. Pengambilan tepung sagu secara
tradisional umumnya diusahakan oleh penduduk setempat, dan
digunakan sebagai bahan makanan pokok sehari-hari.
Penebangan pohon sagu dilakukan secara gotong-royong dengan
menggunakan peralatan sederhana, seperti parang atau kampak.
Selanjutnya, batang sagu dibersihkan dan dipotong-potong
sepanjang 1- 2 meter; kemudian potongan-potongan ini dibelah dua.
Empulur batang yang mengandung tepung dihancurkan dengan alat
yang disebut nanni; dan pekerjaan menghancurkan empulur sagu
ini disebut menokok.
Penokokan empulur dikerjakan sedemikian rupa sehingga empulur
cukup hancur dan pati mudah dipisahkan dari serat-serat empulur.
Empulur yang telah ditokok akan berwarna kecoklatan bila
disimpan di udara terbuka dalam waktu lebih dari sehari.
Oleh karena itu, empulur yang ditokok dalam satu hari harus diatur
sedemikian rupa agar pemisahan tepung dapat diselesaikan pada
hari yang sama.
Penokokan dapat dilanjutkan pada hari berikutnya sampai seluruh
batang habis ditokok. Dengan cara tradisional ini, penokokan satu
pohon sagu dapat diselesaikan dalam waktu 1 – 3 minggu.
Empulur hasil tokokan kemudian dipisahkan untuk
dilarutkan dan disaring tepungnya di tempat tersendiri.
Pelarutan tepung sagu dilakukan dengan cara peremasan
dengan tangan, dan dibantu dengan penyiraman air.
Di beberapa daerah, air yang digunakan berasal dari rawa-
rawa yang ada di lokasi tersebut.
Di Maluku, tempat pelarutan tepung sagu disebut sahani,
yang terbuat dari pelepah sagu dan pada ujungnya diberi
sabut kelapa sebagai penyaring.
Tepung sagu yang terlarut kemudian dialirkan dengan
menggunakan kulit batang sagu yang telah diambil
empulurnya. Tepung sagu ini kemudian diendapkan, dan
dipisahkan dari airnya.
Tepung yang diperoleh dari cara tradisional ini masih
basah, dan biasanya dikemas dalam anyaman daun sagu
yang disebut tumang; di Luwu Sulawesi Selatan disebut
balabba dan di Kendari disebut basung.
Sagu yang sudah dikemas ini kemudian disimpan dalam
jangka waktu tertentu sebagai persediaan pangan rumah
tangga; dan sebagian lainnya dijual.
Karena sagu yang sudah dikemas ini masih basah, maka
penyimpanan hanya dapat dilakukan selama beberapa hari.
Biasanya, cendawan atau mikroba lainnya akan tumbuh,
dan mengakibatkan tepung sagu berbau asam setelah
beberapa hari penyimpanan.
b. Pembuatan Tepung Sagu secara Semi-Mekanis
Pembuatan tepung sagu secara semi-mekanis pada
prinsipnya sama dengan cara tradisional.
Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat atau mesin
pada sebagian proses pembuatan sagu dengan cara semi-
mekanis ini. Misalnya, pada proses penghancuran empulur
digunakan mesin pemarut; pada proses pelarutan tepung
sagu digunakan alat berupa bak atau tangki yang
dilengkapi dengan pengaduk mekanik; dan pada proses
pemisahan tepung sagu digunakan saringan yang
digerakkan dengan motor diesel.
Cara semi-mekanis ini banyak digunakan oleh penghasil
sagu di daerah Luwu Sulawesi Selatan, dan daerah Riau,
khususnya di daerah Selat Panjang.
Secara umum, cara semi-mekanis ini diawali dengan
memotong-motong pohon sagu yang telah ditebang,
dengan ukuran 0,5-1 meter.
Potongan-potongan ini kemudian dikupas kulitnya,
dibelah-belah, dan diparut.
Selanjutnya, hasil parutan ditampung dalam bak kayu yang
dilengkapi dengan pengaduk yang berputar secara
mekanis.
Pengadukan biasanya dilakukan dalam dua tahap, dengan
tujuan agar seluruh tepung terlepas dari serat-seratnya.
Selanjutnya campuran yang terdiri dari serat-serat, tepung
dan air dialirkan ke saringan silinder berputar yang terdiri
dari beberapa tingkat.
Hasil penyaringan berupa bubur ditampung dalam bak-
bak kayu untuk proses pengendapan tepung.
Endapan tepung ini kemudian dicuci kembali dalam bak
atau tangki yang dilengkapi pengaduk, dan diendapkan
lebih lanjut.
Tepung sagu basah yang diperoleh kemudian dijemur dan
digiling dengan alat penggiling (grinder).
Selanjutnya, tepung yang sudah digiling dimasukkan ke
dalam karung-karung goni, dan siap untuk dipasarkan.
c. Pembuatan Tepung Sagu secara Mekanis
Pada pembuatan tepung sagu secara mekanis ini, urut-urutan
prosesnya sama dengan cara semi-mekanis.
Akan tetapi, pembuatan tepung sagu dengan cara mekanis ini
dilakukan melalui suatu sistem yang kontinyu, dan biasanya dalam
bentuk sebuah pabrik pengolahan.
Untuk mempercepat prosesnya pada pabrik-pabrik yang sudah
modern, seperti di Sarawak Malaysia, proses pengendapan tepung
dilakukan dengan menggunakan alat centrifuge atau spinner; dan
pengeringannya dilakukan dengan menggunakan alat pengering
buatan.
Produk tepung sagu yang dihasilkan dari pabrik-pabrik pengolahan
ini adalah berupa tepung kering, sehingga memiliki daya simpan
yang lebih lama.
Tahapan umum Pembuatan
Tepung Sagu
Menurut Louhenapessy (1997), langkah-langkah pokok
dalam kegiatan pengolahan batang sagu sebagai berikut:
a. Proses penebangan dan pembuangan kulit batang sagu
b. Proses penghancuran empelur batang sagu
c. Proses ekstraksi
d. Proses pengendapan
e. Proses pengeringan dan pengemasan
Skema Proses Produksi Sagu (Adeni et al., 2010
a. Proses Penebangan dan
Pembuangan Kulit Batang Sagu
Pohon sagu ditebang dan batang sagu dibersihkan
dari bekas-bekas pelepah mulai dari pangkal tebangan
sampai dengan 1 m dari daun terbawah,
Batang dibagi-bagi biasanya setiap 2-3 m dan dibelah
menjadi dua.
b. Proses Penghansuran Empulur
Batang Sagu
Batang sagu yang
telah dibersihkan dan
dipotong kemudian
diparut untuk
mendapatkan
remahan batang sagu.
Proses ini dikenal
dengan istilah
penokokan
c. Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan satu atau beberapa
zat yang dapat larut dari suatu kumpulan / kesatuannya yang
tidak bisa larut dengan bantuan bahan pelarut.
Terdapat beberapa faktor yang akan mempengaruhi
terjadinya ekstraksi, diantaranya adalah ukuran partikel yang
akan diekstrak, temperatur udara, jenis bahan pelarut dan
teknik yang digunakan.
Remahan batang sagu kemudian diberi air untuk
mengeluarkan larutan pati sagu, kemudian disaring untuk
membebaskan pati sagu dari ampas dan bahan lain selain
pati.
d. Proses Pengendapan
Hasil ekstraksi berupa larutan pati kemudian
diendapkan dalam bak penampungan.
Pada industri moderen, dilakukan proses
pengendapan, larutan pati hasil ekstraksi akan melalui
tahap sentrifugasi sehingga terjadi pemisahan antara
padatan yang berupa pati dan air.
Air dari padatan pati yang telah mengendap kemudian
dibuang sehingga diperoleh padatan pati.
Pati tersebut dimasukkan dalam wadah yang disebut
TUMANG
e. Proses Pengeringan
Padatan hasil proses pengendapan kemudian
dikeringkan menggunakan alat pengering ataupun
sinar matahari.
Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh perusahaan,
sedangkan masyarakat lokal papua umumnya
langsung melakukan pengemasan tanpa melakukan
pengeringan.
ESTIMASI PRODUKSI
SAGU
Estimasi produksi diperlukan untuk menduga atau
memperkirakan berapa produksi sagu berupa berat tepung
basah sagu per pohon maupun per satuan luas.
Secara sederhana, produksi sagu per pohon dapat
diperkirakan berdasarkan pengalaman atau dengan
pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga dapat
diperoleh data berapa berat tepung sagu yang dihasilkan
dari sebuah batang sagu
Misalnya batang sagu dengan diameter 60 cm dipotong
dengan ukuran panjang 1 m, kemudian ditokok, diekstrak
sehingga diperoleh pati basah.
Pati sagu selanjutnya ditimbang, hasil penimbangan
selanjutnya dijadikan faktor pengali terhadap panjang
batang sagu.
Secara teknis, pengambilan sampel sebaiknya
dilakukan unutk satu batang sagu secara utuh. Tetapi
dengan cara pemanenan secara tradisional yang
membutuhkan waktu cukup lama untuk
menyelesaikan penokokan, tampaknya akan
mempengaruhi berat pati sehingga pendugaan ini
kurang akurat.
Estimasi Produksi per Satuan Luas
Untuk menduga produksi sagu dari suatu luasan
tertentu, faktor yang perlu diketahui adalah:
1. Berapa rata-rata jumlah rumpun per hektar
2. Berapa rata-rata jumlah tegakan per rumpun
3. Berapa rata-rata jumlah tegakan siap panen per
rumpun atau per hektar
4. Berapa produksi rata-rata per tegakan/pohon
Secara sederhana, untuk menduga/memperkirakan
produksi pati sagu basah dalam satu hektar dapat
digunakan formulasi:
Estimasi Produksi pati per hektar =
Rata-rata berat pati basah per pohon (kg) x rata-
rata jumlah tegakan per hektar
Estimasi Produksi Sagu Menggunakan
Model Penduga Berat Tepung Sagu
Pengukuran berat tepung sagu merupakan hal yang perlu
dilakukan dalam kegiatan pengelolaan pohon sagu untuk
mengetahui besar potensi yang dihasilkan oleh sebuah batang
sagu.
Pengukuran berat tepung sagu umumnya memakan waktu yang
cukup lama, karena harus menunggu semua pati/empulur
batang selesai diolah menjadi tepung sagu Sehingga untuk
menentukan potensi tepung sagu secara langsung dari suatu
tegakan sagu akan memakan waktu yang sangat lama.
Selain itu pengukuran berat tepung sagu yang terlalu banyak dan
lama kemungkinan memberikan kesalahan pengukuran yang
cukup besar.
Dengan pertimbangan tersebut, maka untuk
mendapat berat tepung sagu secara tidak langsung
bisa menggunakan suatu model penduga berat tepung
sagu.
Model ini disusun untuk menentukan berat tepung
sagu berdasarkan peubah-peubah yang dapat diukur
secara langsung dengan waktu cepat.
Model penduga ini dapat berbentuk linear maupun
non linear antara produksi tepung basah tepung sagu
dengan peubah bebasnya misalnya diameter setingg
dada pohon sagu (Dbh) dan atau tinggi bebas pelepah
pohon sagu (Tbp).
Berat tepung sagu pada fase produksi masak tebang memilki
hubungan yang nyata dengan volume batang sagu-nya.
Volume batang sagu dapat diduga secara langsung dengan
menggunakan peubah diameter setinggi dada dan tinggi bebas
pelepah dari pohon sagu, menggunakan rumus volome:
Volume = л r2 t , atau Volume = ¼ л d2 t
Untuk penentuan berat tepung sagu, dapat menggunakan
peubah diameter setinggi dada dan tinggi bebas pelepah
pohon sagu.
Selanjutnya berat tepung sagu dapat ditentukan secara tidak
langsung berdasarkan diameter setinggi dada dan tinggi bebas
pelepah batang sagu.
Dengan adanya model penduga berat maka pengukuran berat
tepung sagu secara langsung tidak diperlukan.
Untuk menyusun model penduga berat tepung sagu,
perlu dilakukan pengukuran secara langsung terhadap
pohon contoh.
Pohon model dipilih secara purposive dengan
memperhatikan jenis, sebaran diameter, sebaran tinggi
bebas pelepah, sebaran tempat tumbuh, serta pohon
contoh yang dipilih adalah pohon pada fase produksi
tepung masak tebang yang pertumbuhannya baik dan
sehat.
Diameter dan tinggi bebas pelepah dapat diukur
langsung, sedangkan untuk berat tepung sagu diukur
dengan cara menimbang tepung sagu yang telah
diekstrak dari batangnya.
Model-model penduga volume pohon
menurut Spurr (1952)
Model Penduga Volume Pohon Terbaik untuk
Sagu Duri di Sorong Selatan adalah Model
Schumacher-Hall (Yumte, 2008)
Ws : Berat basah pati
Dbh : Diameter setinggi dada
Tbp : Tinggi pohon bebas pelepah
Informasi Produksi Sagu Duri di
Sorong Selatan
Menurut Harsanto (1985) diameter batang sagu berkisar
antara 35–50 cm, satu pohon sagu bisa menghasilkan
150–300 kg tepung sagu basah.
Namun dari hasil penelitian Yumte (2008) diketahui
bahwa diameter pohon sagu di Kabupaten Sorong Selatan
dalam fase produksi tepung sagu (masak tebang) adalah
berkisar antara 29–64 cm, dengan tinggi bebas pelepah
antara 7–21 m dengan produksi tepung sagu berkisar
antara 87–368 kg.
Hal ini menunjukkan bahwa potensi tepung sagu per
hektar di Kabupaten Sorong Selatan sangat besar
Terima kasih