Ketakutan

Cerita Pendek

Ketakutan

Aravayana - detikHot
Sabtu, 21 Apr 2018 10:19 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama/detikcom
Jakarta - Tak ada alasan yang bisa diberikan. Ya, tak ada.

"Kau harus ingat, ada dua pihak yang kamu kecewakan. Kamu meninggalkan dua hal, Tik. Kau semakin berjarak dengan cintamu padaku, dan kau makin berjarak dari keluargamu."

Cuma itu. Cuma itu, dan ia tahu itu bukan sesuatu yang berarti apalagi untuk menahannya pergi. Kata siapa Leiden tak jauh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia makin takut. Takut akan bayangan kehilangan yang sudah menjelmakan diri, dan menghantuinya sejak delapan bulan lewat.

Delapan bulan itu sebenarnya terlalu singkat dibanding enam tahun. Itu sesuatu yang tenang dan lembut, tapi pasti juga penuh letupan-letupan gairah. Itu juga perdebatan-perdebatan kecil yang manis dan sarat dengan pencarian identitas. Itu adalah jejeran puisi-puisi jam satu malam seorang laki-laki yang beranjak dewasa.

Ia seperti orang terdampar di sana. Di tengah harum dupa persembahan, dan tarian topeng yang dinikmatinya di lantai dua Art Centre sepanjang malam. Tanpa kawan dan tiada berteman. Paling banyak yang bisa diperolehnya di situ kalau bukan bule-bule yang lalu lalang membawa bau khas ketiaknya, pastilah ibu-ibu yang saban hari tak pernah bosan mengusung keranjang bunga di kepala. Ia terdampar di tengah hentak Legong yang mengolok-olok kesepiannya.

Ia tak punya siapa-siapa. Sangat mudah sesuatu yang baru memasuki hidupmu jika kau tak punya sesuatu. Dan, ia menerima semua keadaan seperti sesuatu yang terbiasa saja. Dan, keterbiasaan itu menjalin sesuatu.

"Aku tak punya banyak alasan untuk mau memikirkanmu." Itu terlontar setelah beberapa bulan.

"Aku kerap bingung dengan keadaan." Itu dua bulan berikutnya.

Satu hari. Semua yang mereka miliki, semua yang tak mereka miliki. Semua yang melekati, dan semua yang tak melekati. Semua seperti pindah ke Paris. Anehnya, masih ada seruak gending jawa yang mendayu-dayu.

"Kau lapar?"

"Kau haus?"

"Kadang-kadang."

"Aku ingin menciummu."

"Ciumlah. Maka kau akan tahu bagaimana rasanya."

Semuanya meledak. Semuanya menghentak. Semuanya menari. Stupa dan arca tak bertangan. Dua buah topi dagadu hitam, dan nada-nada miring si pengamen berteman mie rebus lesehan Malioboro. Semuanya seperti teh manis, dan aroma pegunungan pada pendakian pertama.

"Aku menyesal ini tidak sedari dulu."

"Kau ingin bilang apa?"

"Itu pertanyaan tak perlu"

"Tapi aku ingin kepastian."

"Aku mengucap sesuatu hari ini. Kepastiannya sedang kubangun."

"Kamu selalu sembunyi di balik kata-kata samarmu. Mungkin betul kamu belum berani jadi laki-laki."

"Apa kamu suka yang blak-blakan, Tuan Puteri? Kamu itu tidak cocok untuk sesuatu yang langsung. Kamu itu perlu dibelai-belai dulu. Nggak usah tersinggung, rata-rata perempuan memang begitu."

"Aku tidak setuju kalau jenis kelamin jadi ukuran."

"Tapi sesuatu tentang itu punya kontribusi to?"

"Maksudmu pasti laki-laki cenderung logis, perempuan suka melankolis terbawa perasaan. Padahal yang kutahu, laki-laki selalu egois, menabrak sesuatu pasti ia lari."

"Ada standar juga di sana. Konteks sebuah hubungan bagi dia apa, itu harus jelas dulu."

"Tapi sebuah hubungan harusnya dua arah."

"Betul. Tapi, jika ada ruang bersama pasti ada juga ruang pribadi.

"Maksudnya?"

"Anggap saja sebuah lingkaran. Lingkaran terbentuk oleh titik-titik. Biarpun itu lingkaran, eksistensi titik tetap ada."

"Jadi?"

"Harusnya ada komitmen."

Komitmen itulah yang mengharuskan Wati meneleponnya.

Sejak setahun lalu ia jadi pengacara new comer. Tampaknya semua tak berjalan mulus.

"Orang baru mestinya bisa cari jalan dari bawah dulu. Banyak kasus masyarakat yang bisa kau urus, di situlah jalanmu masuk."

"Artinya kamu menyuruh aku tak jujur. Berdiri di atas kasus masyarakat dengan kepentinganku, itu sangat jahat."

"Jangan berlebihan."

"Ufffhh....! Itu sangat rumit."

"Hidup tidak rumit, yang rumit menginterpretasikannya."

"Lombok sudah mulai hujan?"

"Tak sederas di Malang tentu."

Wati meneleponnya lagi. Sekarang lebih berat.

"Aku ingin pergi. Tawarannya cukup bagus."

"Jakarta, yaaah!"

Ia takut. Takut kehilangan. Makhluk manis itu gampang goyang oleh keadaan. Kota Malang agak save baginya, ada ibu bapak di sana. Tapi, Jakarta?

"Sebenarnya lebih mudah kalau kamu bisa menawarkan yang lain."

Arif merasa sangat lemah. Ia tak bisa memberi janji apa-apa. Semuanya terus-menerus masih berupa spekulasi-spekulasi tak tentu. Bagaimana ia bisa memberi jaminan? Apa setiap laki-laki seumurnya merasakan hal yang sama? Lepas kuliah dengan keharusan mencari jaminan hidup. Perasaan rendah diri di hadapan keperkasaan perempuan. Spekulasi-spekulasi. Dan, gambaran wajah Wati yang minta ketegasannya.

Kenapa orang harus merasa takut? Betulkah semua sudah diatur? Kenapa harus takut? Apakah selalu harus ada jaminan? Haruskah semua diberi titel kepastian?

Ia jadi bulan-bulanan perasaannya sendiri. Pertanyaan demi pertanyaan datang menjejal, tak pernah berhenti.

"Aku takut kamu hilang." Ia berkata jujur akhirnya.

"Itu naif."

"Tapi, aku serius."

"Aku tahu."

"Kamu egois." Suara Wati agak serak.

"Aku tahu."

"Kamu sering bicara tentang kemandirian perempuan. Kamu bilang perempuan harusnya bisa apa saja. Perempuan tak harus berhenti di dapur itu juga kata kamu."

Arif tersodok. Arif cuma bisa diam. Dan, tampaknya perlu waktu.

"Aku menunggu kata-katamu."

"Pergilah kalau kamu pikir kamu harus pergi." Itu jawaban dua hari berikutnya.

"Aku belum yakin mau pergi."

"Kamu aneh. Kamu membuat saya gugup setiap bangun pagi kalau-kalau kamu akan pergi."

"Mungkin aku akan pergi. Aku perlu memikirkannya lagi." Dan, telepon pun terputus.

Suatu hari saat matahari bersinar terang di Mataram-Lombok. Waktu yang sama di kediaman Keluarga Artoredjo, Malang.

"Kenapa kamu membiarkanku pergi?"

"Karena aku siap kehilangan."

"Kamu kira aku sudah siap?"

Arif terhenyak. Kepalanya sempat kosong. Tapi, ia terus.

"Non... kehilangan itu punya semua orang. Hidup ini dijalin dari kehilangan-kehilangan."

"Kehilangan seperti apa?"

"Kehilangan yang sebenarnya bukan kehilangan. Bagaimana dinamakan kehilangan? Memiliki pun masih pada taraf absurd."

"Kau mau bilang apa lagi?"

"Semuanya ketidakpastian. Semuanya judi."

"Artinya selama ini kita berjudi? Waktu-waktu yang lewat itu judi?"

"Pakai otakmu, Tuan Puteri."

"Gunakan perasaanmu juga."

"Aku mencoba objektif."

"Objektif bukan melulu produk akal. Kamu kan punya perasaan juga."

"Wah...ini pasti teori baru."

"Jangan alihkan topik."

"Tapi, mungkin kau benar. Kita toh manusia."

"Mungkin lagi... heh."

"Selalu saja yang ideal berbenturan dengan realitas. Kamu jadi.... pergi?"

"Alasannya mungkin aku tak cocok di sana."

"Artinya kamu tak pergi?"

"Kamu bodoh."

"Tapi kamu takut kehilangan aku, kan?"

"Kampret."

"Kampret?"

"Kampret jelek. Dan, aku sayang kamu."

"Tapi, yang tadi mesti dibahas lagi."

"Dengan teori baru?"

"Ya... teori baru."

"Tapi, aku tak butuh teori, aku butuh tawaran."

Lombok, 2017

Aravayana lahir di Bima, 1975. Menulis cerpen, esai, dan puisi. Aktif di Sanggar Fitra, sebuah komunitas kekerabatan budaya yang beralamat di Mataram, Lombok

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads