Dosa (Kristen)
Dosa, dari sudut pandang teologi Kristen, adalah pelanggaran cinta kasih terhadap Tuhan atau sesama yang dapat mengakibatkan terputusnya hubungan antara manusia dengan Allah. Utamanya, dosa disebabkan karena manusia mencintai dirinya sendiri atau hal-hal lain sedemikian rupa sehingga menjauhkan diri dari cinta terhadap Allah.
Dosa juga di pandang sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, baik itu melalui pikiran, perkataan, perbuatan manusia.
Menurut Kitab Suci
Dosa adalah ketidaktaatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan yang diungkapkan melalui pemberontakan dan pelanggaran manusia.[1] Menurut Alkitab semua manusia telah jatuh ke dalam dosa karena Adam dan Hawa telah jatuh ke dalam dosa. Kepada Israel ditunjuk jalan keluar dari dosa, yakni mempersembahkan korban, a.l. korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus diberitakan sebagai Penebus (Juruselamat) umat manusia dari segala dosa.[2]
Dosa menurut rasul Paulus adalah (dalam arti keinginan daging) keadaan perseteruan terhadap Allah karena tidak takluk kepada hukum Allah (Roma 8:7). Dosa menurut rasul Yohanes adalah pelanggaran terhadap hukum Allah (1 Yohanes 3:4).
Pandangan Gereja Katolik Roma
Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendefinisikan bahwa dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang baik. Dosa tidaklah hanya sebatas perbuatan; KGK mengutip kata-kata seorang Bapa Gereja dan Pujangga Gereja, Santo Agustinus, bahwa dosa adalah "perkataan, perbuatan, atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi".[3] Dosa merupakan suatu penghinaan terhadap Allah, pemberontakan terhadap kasih Allah kepada manusia, dan membalikkan hati manusia dari Allah. Sama seperti dosa asal, dosa adalah satu bentuk keangkuhan dan ketidaktaatan kepada Allah; bertentangan dengan ketaatan Yesus yang melaksanakan keselamatan. Sehingga Santo Agustinus, mengatakan bahwa dosa adalah "cinta diri yang meningkat sampai menjadi penghinaan Allah".[3] Dalam KGK tertulis bahwa akar dosa terletak di dalam hati manusia, dalam kehendak bebasnya (Matius 15:19-20). Namun dalam hati manusia juga ada kasih, sumber segala perbuatan baik dan suci, yang terluka karena dosa.[3]
Penggolongan dosa
Dalam KGK disebutkan bahwa ada beragam cara penggolongan dosa:[3]
- menurut objeknya,
- menurut kebajikan yang bertentangan dengannya (Lihat: Tujuh dosa pokok)
- menurut perintah yang dilanggarnya (Lihat: Doktrin Katolik mengenai Sepuluh Perintah Allah)
- dosa yang dilakukan langsung terhadap Allah, terhadap orang lain, atau terhadap diri sendiri
- dosa rohani atau jasmani
- dosa dalam pikiran, perkataan, perbuatan, atau karena kelalaian
Bobot dosa
Dalam 1 Yohanes 5:16-17 dinyatakan bahwa ada "dosa berat" (mortal sin) yang mendatangkan maut dan ada "dosa ringan" (venial sin) yang tidak mendatangkan maut.
Dosa berat
Dosa berat melawan kasih secara langsung dan menghancurkan kasih di dalam hati manusia sehingga Tuhan tidak dapat bertahta di dalam hati manusia. Sementara dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, tetapi melukai dan memperlemah kasih dalam hati manusia.[3] Karena kerusakan yang dihasilkan oleh dosa berat, sehingga membutuhkan satu usaha baru melalui kerahiman Allah dan suatu pertobatan hati yang secara normal hanya diperoleh dalam Sakramen Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa).[3]
Suatu dosa dikategorikan sebagai dosa berat jika memenuhi tiga kriteria sekaligus:[3]
- Terkait materi berat sebagai objek: pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah Allah[3]
- Dilakukan dengan penuh kesadaran, mengetahui kenyataan bahwa hal tersebut adalah dosa
- Dilakukan dengan persetujuan yang telah dipertimbangkan secukupnya, sehingga menjadi keputusan kehendak secara pribadi
Ketidaktahuan karena kesalahan dan ketegaran hati tidak mengurangi bobot dosa, tetapi malah meningkatkannya (Markus 3:5-6, Lukas 16:19-31). Seseorang yang berada dalam keadaan dosa berat tidak dapat menyambut Komuni Kudus dalam Perayaan Ekaristi sebelum mendapat pengampunan melalui Sakramen Rekonsiliasi; pelanggaran terhadap hal ini memperberat bobot dosanya (sakrilegi).[4]
Dosa ringan
KGK 1862 menyatakan bahwa seseorang dikatakan melakukan dosa ringan jika, dalam hal yang kurang serius, ia tidak memelihara standar yang ditetapkan dalam hukum moral; atau jika ia jmelanggar hukum moral terkait suatu materi berat, tetapi tanpa pengetahuan penuh atau tanpa persetujuan sepenuhnya. Kemudian dalam KGK 1863 dinyatakan bahwa dosa ringan melemahkan kasih; di dalamnya ada suatu kecondongan tidak teratur terhadap barang-barang ciptaan; dosa ringan juga menghalangi kemajuan jiwa dalam menjalankan kebajikan-kebajikan dan mempraktikkan moralitas yang baik. Dosa ringan yang dilakukan dengan sengaja, dan tidak bertobat karenanya, mempersiapkan seseorang sedikit demi sedikit untuk melakukan dosa berat. Namun dosa ringan tidaklah memutuskan persahabatan dengan Allah, dan dapat diperbaiki secara manusiawi dengan bantuan rahmat-Nya.[3]
Seseorang yang melakukan dosa ringan, dan telah memperoleh pengampunan, tidaklah terbebaskan dari hukuman (siksa dosa) sementara akibat dari dosa ringan yang diperbuatnya. Ia tetap harus menjalani pemurnian atau penyucian, jika tidak dilakukan sepenuhnya di kehidupannya yang sekarang maka dijalaninya kemudian (purgatorium).[5] (Lihat: Indulgensi)
Selagi seseorang berziarah dalam daging, ia tidak bisa tidak memiliki -setidaknya- beberapa dosa ringan. Tetapi jangan meremehkan dosa-dosa yang kita sebut "ringan" itu. Jika kamu menganggapnya ringan, saat menimbang dosa-dosa itu, gemetarlah saat kamu menghitungnya. Sejumlah benda kecil membentuk satu timbunan besar, sejumlah tetesan air mengisi sebuah sungai, sejumlah butiran membentuk satu tumpukan. Lalu apa harapan kita? Di atas segalanya, pengakuan.
Dosa partisipasi
KGK menyataan bahwa dosa adalah suatu tindakan pribadi, tetapi setiap manusia bertanggung jawab juga atas dosa orang lain kalau turut berpartisipasi atau berperan di dalamnya. Dengan kata lain bahwa seseorang dikatakan berdosa jika melakukan 'pembiaran' atas terjadinya dosa pada orang lain dengan melakukan salah satu hal berikut:[3]
- Mengambil bagian dalam dosa yang dilakukan orang lain secara langsung dan sukarela
- Memerintahkan, menasihatkan, memuji, atau membenarkan dosa yang dilakukan orang lain
- Menutup-nutupi atau tidak menghalangi dosa yang dilakukan orang lain, sekalipun tidak berkewajiban untuk melakukannya
- Melindungi orang lain yang secara nyata adalah seorang penjahat
Kronologi berkembangnya dosa
Pada awalnya berupa godaan, tetapi kelalaian atau pembiaran terhadap godaan mengakibatkan terjadinya dosa ringan yang kemudian dapat menjadi dosa berat. Secara kronologis, proses berkembangnya dosa dapat dijelaskan dalam tahapan berikut:[6]
- Godaan dosa datang dalam pikiran dan dibiarkan
- Menikmati godaan dalam pikiran, yang berarti menunggu untuk berbuah menjadi keinginan berdosa (Yakobus 1:15)
- Godaan sampai di hati sehingga timbul keinginan untuk berbuat dosa, atau dengan kata lain sudah "berbuat dosa" (Matius 5:28)
- Keputusan untuk berbuat dosa, belum sampai perbuatan namun sudah ada keputusan sebagai hasil dari keinginan
- Perbuatan dosa dilakukan sebagai akibat nyata dari keputusan yang dibuat sebelumnya
- Pengulangan perbuatan dosa yang sama sehingga menjadi keterikatan dan kebiasaan jahat
- Timbul dosa yang lain akibat kebiasaan berbuat dosa yang sama, karena Tuhan sudah tidak bertahta dalam hati (Keluaran 9:12, Roma 1:28)
- Kejahatan sudah berakar dalam jiwa dan timbul kebencian kepada Tuhan, sehingga dengan sadar dan segenap hati menghujat Roh Kudus—yang adalah dosa yang tidak terampuni (Markus 3:29)
Akibat Dosa
Dosa menghancurkan relasi manusia dengan Tuhan sebagai efek vertikal, dan hubungan manusia dengan sesama sebagai efek horisontal; dengan kata lain bahwa tidak ada dosa yang bersifat pribadi. Semua dosa mempunyai dimensi sosial, contohnya dosa manusia pertama menghasilkan dosa asal yang mengakibatkan semua manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa (konkupisensi). Sakramen Pembaptisan menghapuskan dosa asal, tetapi tidak menghapuskan kelemahan kodrat manusia dan kecenderungan kepada dosa.[4][6]
Setiap dosa menciptakan kecondongan kepada dosa; pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama akan mengakibatkan kebiasaan buruk. Sehingga mengakibatkan terbentuknya kecenderungan yang salah, menggelapkan hati nurani, dan menghambat keputusan konkret mengenai apa yang baik dan yang buruk. Dosa cenderung terulang lagi dan diperkuat, tetapi tidak menghancurkan seluruh perasaan moral.[3] Dua orang Bapa Gereja ternama, St Yohanes Kasianus dan St Gregorius Agung, menggolongkan kebiasaan buruk menurut kebajikan yang merupakan lawannya; dinamakan tujuh dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya.[3] Di antara ketujuh dosa pokok tersebut, dosa kecongkakan (Latin: Superbia) seringkali disebut sebagai induk dari dosa-dosa lainnya - karena oleh penolakan akan kodrat manusiawi yang terbatas lah orang menyimpang dari keadaan asalinya yang sempurna.[7]
Manusia tidak dapat melawan semua kecenderungan tersebut tanpa berkat dari Tuhan yang memampukan manusia untuk "berkata tidak" terhadap dosa. Karena dosa pertama dari Adam adalah dosa kesombongan—sehingga kadang disebut 'ibu dosa' dan adalah dosa pokok yang pertama—maka kerendahan hati adalah penawar utama untuk menerima berkat dari Tuhan secara berlimpah.[6] Akibat dari dosa adalah kematian kekal yaitu perpisahan dengan Allah selama-lamanya. Seseorang yang meninggal dalam keadaan dosa berat karena pilihan bebasnya sendiri, mengabaikan kesempatan semasa hidupnya di dunia untuk bertobat, berisiko masuk dalam penderitaan neraka, yang berarti keterpisahan abadi dari Allah.[4]
Lihat pula
Referensi
- ^ Dr. Theol. Dieter Becker [terj.]. 1996. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompedium Singkat". Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm. 101
- ^ (Indonesia) Dosa, WRF. Browning., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008 (Cet. 3)
- ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - Sin". Holy See.
- ^ a b c Holy See. "Kompendium Katekismus Gereja Katolik" (PDF). Konferensi Waligereja Indonesia dan Penerbit Kanisius.
- ^ (Latin) "Enchiridion Indulgentiarum" (edisi ke-16 iulii 1999 - Quarta editio). Libreria Editrice Vaticana. 1999.
- ^ a b c Stefanus Tay. "Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa (Bagian 1) ?". katolisitas.org.
- ^ Lima, Jadi S. (2021). Tujuh Dosa Maut. Surabaya: Momentum. hlm. 2. ISBN 978-602-393-141-5.