Depresi pascapersalinan
artikel ini tidak memiliki pranala ke artikel lain. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Depresi pasca persalinan atau postpartum depression adalah gangguan kondisi psikologis ibu yang terjadi hingga beberapa bulan setelah proses melahirkan. Berbeda dengan baby blues syndrome yang hanya terjadi beberapa minggu setelah melahirkan dan dialami oleh 70-80% ibu muda, sedangkan depresi pasca melahirkan dialami sekitar 10-20% wanita[1]. Tidak ada batasan jelas kapan baby blues syndrome berubah menjadi depresi pasca persalinan. Kasus ini di Indonesia mencapai 2 juta kasus setiap tahun. Depresi di masa kehamilan akan menambah risiko mengalami depresi pasca persalinan.
Depresi pasca persalinan dan baby blues adalah dua hal yang berbeda, meskipun memiliki gejala yang sama. Baby blues adalah depresi yang dialami oleh perempuan dalam rentang waktu yang singkat, mulai dari hari ke-2 hingga 2 minggu setelah melahirkan. Apabila depresi tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama hingga berbulan-bulan, dapat dikatakan perempuan tersebut mengalami depresi pasca melahirkan atau depresi pasca persalinan.[2]
Apabila depresi pasca persalinan tidak segera disembuhkan, gangguan tersebut akan berpengaruh kepada ibu dan bayi yang baru dilahirkan. Kesulitan-kesulitan yang timbul ketika ibu mengalami depresi pasca persalinan, seperti: sulit dalam menjalin hubungan dengan bayi, anak akan mengalami masalah dalam proses belajar dan perilaku, anak akan mengalami masalah dalam proses makan dan tidur, anak akan berisiko tinggi mengalami obesitas dan gangguan perkembangan hingga dapat mengganggu dalam proses perkembangan keterampilan anak.[3]
Jenis Depresi Pasca Persalinan
[sunting | sunting sumber]- Baby Blues
Hampir 70% dari ibu yang baru melahirkan akan mengalami baby blues. Biasanya ibu akan mengalami perubahan suasana hati yang cepat. Ibu akan merasa lebih gelisah, bersedih, cemas, dan kesepian. Baby blues biasa terjadi hingga dua minggu pasca melahirkan. Depresi jenis ini diperlukan perawatan dengan berkomunikasi dengan pasangan maupun sesama ibu yang mengalami hal serupa.[4]
- Postpartum Depression (PPD)
Postpartum depression atau depresi pasca persalinan tidak hanya dialami pada saat melahirkan anak pertama, namun juga dapat terjadi pada setiap melahirkan. Depresi pasca persalinan terjadi beberapa bulan dan seringkali ibu tidak melakukan aktivitas sehari-hari.[4]
- Psikosis Postpartum
Psikosis postpartum terjadi di awal-awal pasca melahirkan yakni tiga bulan awal. Gejalanya dapat berupa mengalami halusinasi pendengaran, delusi, insomnia, maupun gelisah. Apabila gejala-gejala tersebut berkelanjutan dengan rentang waktu yang cukup lama, Maka ibu perlu untuk dirawat di rumah sakit atau mendapat penanganan lebih serius agar tidak membahayakan dirinya maupun orang lain.[4]
Gejala Depresi Pasca Persalinan
[sunting | sunting sumber]Depresi pasca persalinan dapat mengganggu seorang ibu untuk merawat bayi dan mengerjakan aktivitas sehari-hari. Gejala dari depresi pasca persalinan biasanya timbul pada minggu-minggu pertama pasca melahirkan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan depresi berawal dari kehamilan hingga satu tahun setelah melahirkan.[2]
Berikut adalah gejala-gejala yang dialami ketika depresi pasca persalinan:[5]
- Benar-benar menghindari teman dan keluarga
- Tidak bisa merawat diri sendiri maupun bayi
- Susah bonding dengan bayi Anda
- Takut dan cemas tidak bisa menjadi ibu yang baik
- Mood swing parah, cemas berlebihan, serangan panik
- Terlalu sedikit atau terlalu banyak tidur
- Tidak tertarik untuk menjalani hari
- Berpikir untuk menyakiti diri sendiri dan/atau bayi Anda
- Berpikir untuk bunuh diri atau mencoba bunuh diri
Apabila gejala-gejala depresi pasca persalinan tidak segera ditangani dengan cepat, maka akan membahayakan ibu maupun bayinya.[2]
Psikosis Depresi Pasca Persalinan
[sunting | sunting sumber]Depresi pasca persalinan yang tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi psikosis pasca persalinan yang lebih berbahaya. Psikosis pasca persalinan adalah gangguan mental yang harus ditangani segera.
Gejala psikosis depresi pasca persalinan sebagai berikut[2]:
- Merasa bingung dan tersesat
- Memiliki pemikiran obsesif tentang bayi
- Mengalami halusinasi dan delusi
- Mengalami gangguan tidur
- Seringkali kesal terhadap suatu hal
- Merasa paranoid
- Berusaha untuk menyakiti diri sendiri
Faktor Risiko Depresi Pasca Persalinan
[sunting | sunting sumber]Depresi pasca persalinan dapat dipicu tidak hanya karena pertama Kali melahirkan, tetapi juga beberapa faktor di bawah ini[4]:
- Memiliki riwayat gangguan depresi
- Kehamilan yang tidak terencana
- Kesulitan dalam menyusui dan memberikan ASI
- Bayi memiliki kebutuhan khusus
- Memiliki permasalahan dengan pasangan
- Memiliki permasalahan finansial
Perawatan Depresi Pasca Persalinan
[sunting | sunting sumber]Seringkali ibu akan mengalami rasa sepi, kesulitan, menakutkan hingga tidak mendapatkan dukungan setelah melahirkan. Maka dari itu, beberapa perawatan depresi pasca persalinan perlu dilakukan dengan baik agar mendapatkan hasil yang lebih efektif[6]:
Membantu diri sendiri. Hal pertama yang harus dilakukan ketika ibu mengalami perasaan yang berubah atau merasakan perbedaan dalam sisi emotional, Maka ibu harus membicarakannya kepada pasangan, keluarga Dan teman tentang perasaan yang sedang dialami. Ini akan memberikan bantuan bagi ibu ketika mengalami hari-hari yang berat. Terbuka akan apa yang dirasakan Dan dibutuhkan oleh diri sendiri, akan meminimalisir gejala depresi. Ibu dapat menyediakan waktu luang sendiri, melakukan hal-hal yang disukai, dapat berolahraga secara teratur Dan makan-makanan yang sehat sebagai bentuk dari release terhadap stress yang dialami selama melahirkan[6].
Terapi bicara. Ketika ibu mengurung diri Dan tidak ingin berbicara dengan siapapun, Maka terapi bicara akan sangat membantu dalam proses penyembuhan. Ibu dapat mengikuti kursus terapi seperti terapi perilaku atau cognitive behavior therapy (CBT)[6].
Antidepresan. Obat antidepresan adalah obat yang direkomendasikan oleh dokter ketika seseorang mengalami depresi. Akan tetapi, antidepresan tidak dapat dikonsumsi dengan dosis yang tinggi. Antidepresan dapat menjadi pilihan ketika depresi menjadi lebih parah atau obat lain tidak membantu. Dokter dapat meresepkan obat antidepresan dengan Kadar tertentu bagi ibu yang sedang menyusui[6]. Beberapa antidepresan yang umum digunakan untuk depresi pasca persalinan yaitu Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) seperti sertraline (Zoloft®) dan fluoxetine (Prozac®), Inhibitor reuptake serotonin dan norepinefrin (SNRI) seperti duloxetine (Cymbalta®) dan desvenlafaxine (Pristiq®), Bupropion (Wellbutrin® atau Zyban®) dan Antidepresan trisiklik (TCA) seperti amitriptyline (Elavil®) atau imipramine (Tofranil®).[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Mulyani, Cici; Dekawaty, Ayu; Suzanna, Suzanna (2022-12-04). "Faktor-Faktor Penyebab Depresi Pasca Persalinan". Jurnal Keperawatan Silampari (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 635–649. doi:10.31539/jks.v5i2.3462. ISSN 2581-1975.
- ^ a b c d "Postpartum depression - Symptoms and causes". Mayo Clinic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-03-23.
- ^ a b "Postpartum Depression: Causes, Symptoms & Treatment". Cleveland Clinic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-03-23.
- ^ a b c d Makarim, Fadhli Rizal. "Depresi Postpartum". halodoc. Diakses tanggal 23 Maret 2024.
- ^ "The Basics of Postpartum Depression". WebMD (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-26.
- ^ a b c d "Overview - Postnatal depression". NHS. 4 Agustus 2022. Diakses tanggal 23 Maret 2024.