Lompat ke isi

Hidajat Martaatmadja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hidajat Martaatmadja
Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi & Pariwisata Indonesia
Masa jabatan
13 November 1963 – 24 Februari 1966
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Djatikoesoemo
Pengganti
Utoyo Utomo
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1915-05-26)26 Mei 1915
Cianjur, Jawa Barat
Meninggal24 Oktober 2005(2005-10-24) (umur 89)
Jakarta
KebangsaanIndonesia
PekerjaanTentara
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1934—1941, 1945—1963
Pangkat Letnan Jenderal TNI
SatuanInfanteri
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letjen TNI (Purn.) Hidajat Martaatmadja atau Hidayat Martaatmaja (dalam Ejaan Yang Disempurnakan) (27 November 1915 – 24 Oktober 2005) adalah Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata pada Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Ia dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 26 Mei 1915.

Hidajat Martaatmadja mengikuti karier militer sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, dengan bergabung dalam KNIL hingga masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatannya dalam Konfrensi Meja Bundar, Hidayat menduduki beberapa jabatan penting di pemerintahan.

Karier pada masa KNIL

[sunting | sunting sumber]

Hidayat bergabung dengan KNIL melalui Akademi Militer Kerajaan di Breda pada tahun 1943, untuk dididik menjadi officier atau perwira tentara KNIL, bersama Didi Kartasasmita dan menyelesaikan pendidikan dengan dilantik sebagai letnan dua KNIL. Selain Didi Kartasasmita dan Hidayat, orang Indonesia yang menjadi perwira KNIL saat itu adalah Mayor Oerip Soemohardjo (yang pada awal revolusi kemerdekaan sebagai letnan jenderal menjabat Kepala Staf Tentara), Mayor Suryo Santoso (yang memihak kepada tentara NICA-Belanda), Soedibio (yang sebagai mayor jenderal TNI mengepalai POPDA atau Panitia Oeroesan Pengembalian Djepang dan APWI) dan Suryadi Suryadarma (yang kelak jadi Kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia atau TNI-AU pertama).

Sebelum pecah perang dengan Jepang pada tahun 1941 Hidayat yang sudah letnan satu keluar dari KNIL dengan Alasan formal karena sakit yang sebenarnya karena Hidayat tak tahan melihat praktik-praktik diskriminasi Belanda terhadap inlander alias pribumi.

Bergabung dengan Tentara Nasional

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir September 1945 Didi Kartasasmita bertemu dengan Menteri Penerangan Amir Syarifudin untuk menjelaskan mengapa eks perwira KNIL bersikap menunggu untuk bergabung dengan tentara nasional atau TKR saat itu (yang menjadi cikal bakan TNI). Hal ini disebabkan karena sebagai tentara KNIL, mereka diwajibkan bersumpah setia dengan Ratu Belanda.

Sebagai upaya mengajak perwira dan bekas tentara KNIL bergabung dengan Republik, Didi dibantu oleh rekannya Soedibio dan Samidjo pergi ke Bandung serta Yogya menemui eks perwira KNIL, agar mereka menandatangani surat pernyataan setuju masuk tentara nasional. Dari 20 orang, 14 menandatanganinya. Didi kemudian bertemu dengan Letnan Satu KNIL Hidayat di Bandung, yang lalu mencari kontak dengan orang-orang Akademi Militer Bandung yang lebih muda usianya dan belum diambil sumpahnya sebagai officier. Kecuali satu orang, seluruh kelompok Bandung, bersama Abdul Haris Nasution dan T.B. Simatupang, menandatangani surat keterangan yang dibawa oleh Didi Kartasasmita dan Hidayat Martaatmaja.

Setelah terbentuk tentara nasional pada tahun 1945, Hidayat Martaatmaja diangkat sebagai kepala staf, dibawah Didi Kartasasmita yang mengepalai Komandemen I untuk wilayah Jawa Barat di Purwakarta. Kemudian Hidayat diangkat menjadi Wakil Panglima Divisi Siliwangi di Tasikmalaya. Setelah aksi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 tentara Siliwangi di Jawa Barat bergerilya melawan Belanda dan hijrah ke Yogyakarta karena perjanjian Renville. Berbeda dengan Kolonel AH Nasution, yang tinggal di satu tempat saja, Hidayat bergerak mobile bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti gerak pasukan.

Hidayat Martaatmaja kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (AP) I dan sewaktu Perdana Menter Amir Syarifudin berunding di Jakarta menjelang Perjanjian Renville, Hidayat ikut dalam delegasi Indonesia sebagai penasihat militer.

Peranan dalam PDRI

[sunting | sunting sumber]

Kolonel Hidayat Martaatmaja dipindahkan ke Sumatra menjadi Panglima Komando Teritorium Sumatra, dimana Panglima Komando Teritorium Jawa dijabat oleh Kolonel A.H Nasution dengan ajudan Kapten Islam Salim, putera Haji Agus Salim.

Dalam kegiatannya sebagai panglima, ia selalu menginspeksi atas kondisi unit-unit tentara, dimana mengingat situasi waktu itu, dia harus berjalan kaki hingga daerah-daerah yang masih dikuasai Pemerintah Indonesia yang saat itu sulit untuk dijangkau kendaraan, bahkan hingga di Kotaraja (Banda Aceh), Aceh.

Ketika pecah aksi militer Belanda ke-2 atau Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948, Hidayat berada di Sumatra Tengah. Akibat Agresi tersebut, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim serta para menteri kabinet di Yogyakarta sudah ditawan oleh militer Belanda, diasingkan ke Rantauprapat dan Bangka. Namun presiden Soekarno sempat mengirimkan telegram untuk mendirikan pemerintahan darurat di Sumatra kepada Syafruddin Prawiranegara, untuk mendirikan pemerintahan darurat dan serta Mr. A.A. Maramis di India untuk mendirikan pemerintahan pelarian apabila pemerintahan darurat gagal didirikan.

Telegram yang dikirim dari Yogya oleh kabinet tak pernah sampai kepada Syafrudin Prawiranegara, menteri yang saat itu bertugas di Bukittinggi. Namun, Syafrudin mengambil langkah untuk membentuk sebuah pemerintah darurat yang juga didukung serta bahkan didesak oleh Kolonel Hidayat, dengan alasan politis menjaga kelangsungan Republik Indonesia. Sejak itu dibentuklah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang diketuai oleh Syafrudin untuk melanjutkan kelangsungan Republik Indonesia dalam revolusi perjuangan melawan Belanda.

Masa Kedaulatan Republik Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Setelah pengakuan kedaulatan, melalui Konfrensi Meja Bundar, tanggal 27 Desember 1949 Kolonel Hidayat memimpin misi pembelian barang dan senjata di luar negeri. Dia sempat dituduh oleh Kolonel Suhud melakukan korupsi yang sama sekali tidak benar adanya. Karena Kolonel A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tidak berbuat apa-apa, maka Kolonel Hidayat memilih keluar dari TNI dan pindah ke daerah pegunungan Cipanas, sampai kemudian direhabilitasi nama baiknya oleh Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Djuanda Kartawidjaja.

Hidayat lalu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan. Dia pernah dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditanya apakah mau menjadi KSAD menggantikan A.H. Nasution ditengah tengah krisis antara Presiden Soekarno dengan Militer saat itu. Namun Hidayat menolak dengan alasannya menjaga semangat persatuan di kalangan Militer dan menghindari perpecahan. Akhirnya Presiden Soekarno mengangkat Hidayat sebagai Menteri Perhubungan Darat dan Pariwisata.

Ia mengakhiri karier dinas militer dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata pada Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I.Selanjutnya dia menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Kanada dan Australia.

Masa Pensiun dan Kehidupan Pribadinya

[sunting | sunting sumber]

Keluar dari jabatan pemerintah, Hidayat bekerja di bidang bisnis. Ia punya hubungan dengan Cygma Insurance serta dengan perusahaan Jerman Eisenbau Ferrostahl yang berperan dalam proyek Krakatau Steel di Banten.

Hidayat menikah Ratu Aminah, yang 10 tahun lebih tua usianya dan menikah tahun 1941. Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 Hidayat, bersama Didi Kartasasmita mengambil jalan non kooperatif atau tidak bekerjasama dengan Jepang selain karena mereka bekas KNIL, sehingga hidup mereka cukup susah sehingga Hidayat pernah menjadi sopir mobil angkutan. Bahkan pada zaman Republik, Hidayat tidak punya rumah, sehingga mendapat bantuan rumah berkat pertolongan seorang pengusaha pada masa itu, Markam. Istrinya kemudian aktif di bidang politik dan menjadi ketua umum Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia).

Setelah Ratu Aminah meninggal dunia, Hidayat menikah lagi dengan seorang janda bertenis Sunda bernama Annie Suhaeni. Ibu Annie berasal dari keluarga Natakusuma yang merupakan temannya satu sekolah di HBS Bandung zaman Belanda. Beliau merupakan cucu Prof Snouck Hurgronje, ilmuwan dan advise voor Inlandsche Zaken Pemerintah Hindia Belanda, pakar dalam masalah Aceh dan agama Islam, yang menikah dengan gadis Sunda.[1]

Meninggal

[sunting | sunting sumber]

Hidajat Martaatmadja meninggal dunia, karena penyakit tua dan alzheimer. Ia dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta.[2] Sebelum meninggal, mantan Presiden Soeharto pun menanyakan kabar tentang Hidayat Martaatmaja melalui pengusaha Bob Hasan, ketika ditanyakan oleh menantunya, Letnan Jenderal purnawirawan Rais Abin, Soeharto menjawab bawa ia adalah seniornya satu-satunya yang masih hidup. Ketika Hidayat dikebumikan di Kalibata. Soeharto bermaksud mau menghadiri, tapi terhalang karena kesehatannya terganggu.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Hidayat: Father, Friend, and a Gentlemen. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2016. hlm. 127. ISBN 978-602-433-061-3. 
  2. ^ Mengenang Jenderal Hidayat Martaatmadja Diarsipkan 2009-08-13 di Wayback Machine., diakses pada 22 Agustus 2009

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]