Lompat ke isi

Perbandingan Nazisme dengan Stalinisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejumlah penulis telah melakukan perbandingan antara Nazisme dan Stalinisme, yang mana mereka telah mempertimbangkan persamaan dan perbedaan dari kedua ideologi dan sistem politik ini, hubungan apa yang ada di antara kedua rezim, dan mengapa keduanya menjadi terkenal pada masa yang sama. Selama abad ke-20, perbandingan antara Nazisme dan Stalinisme dibuat dalam membicarakan topik totalitarianisme, ideologi, dan kultus individu. Kedua rezim ini terlihat kontras dengan Dunia Barat yang liberal, dengan penekanan pada kesamaan antara kedua paham ini.[1]

Ilmuwan politik Zbigniew Brzezinski, Hannah Arendt, dan Carl Friedrich dan sejarawan Robert Conquest adalah pendukung terkemuka penerapan konsep totaliter untuk memperbandingkan Nazisme dan Stalinisme.[2][3] Di sisi lain, ada mazhab revisionis termasuk Michael Geyer dan Sheila Fitzpatrick yang menyoroti perbedaan antara Nazisme dan Stalinisme.[4]

Hannah Arendt

[sunting | sunting sumber]

Asal totaliterisme

[sunting | sunting sumber]

Salah satu ilmuwan pertama yang mempublikasikan studi perbandingan antara Jerman Nazi dan Uni Soviet di bawah pemerintahan Stalin adalah Hannah Arendt. Dalam karyanya yang diterbitkan pada tahun 1951, The Origins of Totalitarianism, Hannah Arendt mengedepankan gagasan totalitarianisme sebagai sejenis gerakan politik dan bentuk pemerintahan yang berbeda, yang "pada dasarnya berbeda dari bentuk-bentuk penindasan politik lain yang kita kenal seperti despotisme, tirani, dan kediktatoran."[5]

Selain itu, Arendt membedakan gerakan totalitarianisme (seperti sebuah partai politik dengan tujuan totaliter) dan sebuah pemerintahan totaliter. Tidak semua gerakan totaliter berhasil menciptakan pemerintahan totaliter jika mereka berhasil merebut kekuasaan. Menurut sudut pandang Arendt, meskipun banyak gerakan totaliter ada di Eropa pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an, hanya pemerintahan Stalin dan Hitler yang berhasil mewujudkan tujuan totaliter mereka.[6]

Arendt merunut asal usul gerakan totaliter ke abad ke-19, dengan fokus utama pada antisemitisme dan imperialisme. Dia menekankan hubungan antara kebangkitan negara-bangsa Eropa dan pertumbuhan antisemitisme, yang disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang Yahudi mewakili "elemen non-nasional antar-Eropa dalam dunia negara-negara yang sedang tumbuh atau ada." Banyak teori persekongkolan muncul, dan orang-orang Yahudi dituduh menjadi bagian dari berbagai siasat internasional untuk menghancurkan negara-negara Eropa. Partai-partai kecil antisemitik dibentuk sebagai tanggapan atas ancaman Yahudi yang dirasakan ini, dan, menurut Arendt, ini adalah organisasi politik pertama di Eropa yang mengklaim mewakili kepentingan seluruh bangsa sebagai lawan kepentingan kelas atau kelompok sosial lainnya. Gerakan totaliter kemudian akan menyalin atau mewarisi klaim ini untuk berbicara mewakili seluruh bangsa, dengan implikasi bahwa setiap bentuk kritik terhadap mereka merupakan pengkhianatan.

Imperialisme Eropa abad ke-19 juga membuka jalan menuju ke totaliterisme, dengan melegitimasi konsep ekspansi tanpa akhir. Setelah Eropa terlibat dalam ekspansi imperialis di benua lain, beberapa gerakan politik mulai berkembang yang bertujuan untuk meniru metode imperialisme di benua Eropa itu sendiri. Arendt merujuk secara khusus pada "gerakan-pan" dari pan-Germanisme dan pan-Slavisme yang menjanjikan imperium kontinental kepada negara-negara yang memiliki sedikit harapan ekspansi ke luar benua. Menurut Arendt, "Nazisme dan Bolshevisme, masing-masing, lebih banyak berutang kepada Pan-Germanisme dan Pan-Slavisme daripada kepada ideologi atau gerakan politik lainnya."

Pengerahan, propaganda dan indoktrinasi

[sunting | sunting sumber]

Arendt berpendapat bahwa baik gerakan Nazi maupun Bolshevik "merekrut anggota mereka dari orang-orang yang tampaknya acuh tak acuh yang telah dipasrahkan oleh semua pihak," dan yang "memiliki alasan untuk sama-sama memusuhi semua pihak." Untuk alasan ini, gerakan totaliter tidak perlu menggunakan debat atau pembujukan, dan tidak perlu membantah argumen pihak-pihak lain. Target tujuan mereka tidak harus dibujuk untuk membenci pihak lain atau sistem demokrasi, karena terdiri dari orang-orang yang sudah membenci politik arus utama. Akibatnya, gerakan totaliter bebas menggunakan kekerasan dan teror terhadap lawan-lawan mereka tanpa takut, bahwa hal ini dapat mengasingkan pendukung mereka sendiri. Alih-alih berdebat melawan lawan-lawan mereka, mereka mengambil pandangan deterministik tentang perilaku manusia dan menyajikan ide-ide yang berlawanan sebagai "berasal dari sumber-sumber alam, sosial, atau psikologis yang dalam di luar kendali individu dan karenanya di luar kekuatan akal." Kaum Nazi khususnya, selama tahun-tahun sebelum mereka naik ke kekuasaan, terlibat dalam "pembunuhan fungsionaris sosialis kecil atau anggota berpengaruh dari partai-partai lawan" baik sebagai sarana untuk mengintimidasi lawan dan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada pendukung mereka bahwa mereka adalah partai aksi, "berbeda dari 'pembicara tak berguna' dari pihak lain."

Pemerintah totaliter menggunakan propaganda secara luas, dan sering kali ditandai dengan memiliki perbedaan yang menyolok antara apa yang mereka katakan kepada pendukung mereka sendiri dan propaganda yang mereka hasilkan untuk orang lain. Arendt membedakan kedua kategori ini sebagai "indoktrinasi" dan "propaganda". Indoktrinasi terdiri dari pesan yang dipromosikan oleh pemerintah totaliter secara internal, kepada anggota partai yang berkuasa dan segmen populasi yang mendukung pemerintah. Propaganda terdiri dari pesan yang dipromosikan oleh pemerintah totaliter untuk dunia luar, dan juga di antara bagian-bagian masyarakatnya sendiri yang mungkin tidak mendukung pemerintah. Jadi, "kebutuhan akan propaganda selalu didikte oleh dunia luar," sementara peluang untuk indoktrinasi bergantung kepada "isolasi dan keamanan pemerintah totaliter dari campur tangan pihak luar."

Jenis indoktrinasi yang digunakan oleh Uni Soviet dan Nazi memiliki ciri khas klaim kebenaran "ilmiah", dan menarik bagi "hukum alam objektif." Kedua gerakan ini mengambil pandangan deterministik masyarakat manusia dan mengklaim bahwa ideologi mereka didasarkan pada penemuan ilmiah tentang ras (dalam kasus Nazi) atau kekuatan yang mengatur sejarah manusia (dalam kasus Uni Soviet). Arendt berpendapat mengenal ini dengan cara pandang mirip dengan periklanan modern, di mana perusahaan-perusahaan mengklaim bahwa penelitian ilmiah menunjukkan produk mereka lebih unggul, tetapi lebih umum Arendt berpendapat bahwa ini adalah versi ekstrem dari "obsesi terhadap sains yang telah menjadi ciri Dunia Barat sejak kebangkitan matematika dan fisika pada abad keenam belas." Dengan menggunakan sains pseudo sebagai pembenaran utama kelakuan mereka, Nazisme dan Stalinisme dibedakan dari rezim-rezim despotis historis lainnya, yang alih-alih merujuk ke agama atau kadang-kadang bahkan tidak melakukan pembenaran sama sekali. Menurut Arendt, pemerintahan-pemerintahan otoriter tidak hanya menggunakan rujukan kepada hukum-hukum yang konon bersifat sains ini melulu untuk memanipulasi orang lain. Namun justru sebaliknya, para pemimpin totaliter seperti Hitler dan Stalin benar-benar percaya bahwa mereka bertindak sesuai dengan hukum alam yang tidak berubah, sedemikian rupa sehingga mereka bersedia mengorbankan kepentingan diri rezim mereka sendiri demi memberlakukan hukum yang mereka yakini memang seharusnya berlaku. Sebagai contoh, kaum Nazi memperlakukan penduduk di wilayah pendudukannya dengan kekejaman yang sangat ekstrem dan berencana untuk mendepopulasi Eropa Timur demi memberi tempat bagi kaum kolonis dari "ras tuan" Jerman, meskipun ini fakta bahwa tindakan ini secara aktif merusak upaya perang mereka. Stalin berulang kali membersihkan Partai Komunis dari orang-orang yang menyimpang bahkan sedikit saja dari kebijakan partai, bahkan ketika hal ini melemahkan partai atau pemerintah Soviet, karena ia percaya bahwa mereka mewakili kepentingan "kelas yang sekarat" dan kematian mereka secara historis tidak bisa dihindari.

Arendt juga mengidentifikasi pentingnya pemimpin yang sangat kuat dalam gerakan totaliter. Seperti di bidang lainnya, ia membedakan antara pemimpin totaliter (seperti Hitler dan Stalin) dan diktator non-totaliter atau pemimpin otokratis. Pemimpin totaliter tidak naik ke tampuk kekuasaan dengan secara pribadi menggunakan kekerasan atau melalui keterampilan organisasi khusus, melainkan dengan mengendalikan penunjukan orang-orang penting di dalam partai, sehingga semua anggota partai terkemuka lainnya berutang budi telah mendapatkan posisi mereka kepadanya. Dengan kesetiaan kepada pemimpin menjadi kriteria utama untuk promosi, maka anggota partai yang ambisius bersaing satu sama lain dalam upaya untuk mengungkapkan kesetiaan mereka, dan kultus individu berkembang di sekitar pemimpin. Bahkan ketika pemimpin tidak kompeten dan anggota lingkaran dalamnya menyadari kekurangannya, mereka tetap berkomitmen kepadanya karena takut bahwa tanpa dia seluruh struktur kekuasaan akan runtuh.

"Musuh-musuh"

[sunting | sunting sumber]

Sesudahnya berkuasa, menurut Arendt, gerakan-gerakan totaliter menghadapi dilema besar: mereka membangun dukungan mereka berdasarkan kemarahan terhadap status quo dan janji-janji yang mustahil atau tidak jujur, tetapi sekarang mereka telah menjadi status quo baru dan diharapkan untuk menepati janji-janji mereka. Mereka menyelesaikan masalah ini dengan berjuang secara konstan melawan musuh eksternal dan internal, nyata atau imajiner, sehingga membuat mereka bisa berkata, bahwa dalam beberapa hal, mereka belum bisa mendapatkan kekuasaan untuk menetapi janji-janji mereka. Menurut Arendt, pemerintah totaliter harus senantiasa memerangi musuh-musuh mereka untuk bertahan hidup. Hal ini bisa menjelaskan kelakuannya yang tampaknya irasional, misalnya Hitler tetap melanjutkan tuntutan wilayahnya, walau ia sudah mendapatkan semua yang ia minta pada Perjanjian München, atau ketika Stalin melaksanakan Pembersihan Besar-Besarannya, meskipun ia tidak mendapatkan oposisi internal yang signifikan.

Kamp konsentrasi

[sunting | sunting sumber]

Arendt juga menekankan penggunaan kamp konsentrasi yang luas oleh pemerintahn-pemerintahan totaliter. Ia berargumentasi bahwa hal ini merupakan manifestasi terpenting dari kebutuhan untuk menemukan musuh yang bisa diperangi, dan dengan ini "lebih pokok untuk pelestarian kekuasaan rezim daripada lembaga-lembaga lainnya." Meskipun kerja paksa diterapkan kepada para penghuni kamp konsentrasi, Arendt berpendapat bahwa maksud utama keberadaannya bukan keuntungan material untuk rezim yang berkuasa ini: "Fungsi ekonomi permanen daripada kamp-kamp konsentrasi ini adalah untuk membiayai aparat pengaman mereka sendiri; jadi dari sudut pandang ekonomi kamp-kamp konsentrasi hanya eksis untuk keberadaan mereka sendiri saja. Terutama kaum Nazi sampai membawa prinsip ini ke "anti-kegunaan terbuka", dengan menghabiskan banyak sekali uang, sumber, dan tenaga kerja - pada saat perang - untuk tujuan membangun dan mengerjakan tenaga kerja di kamp pemusnahan dan mentransportasikan orang-orang ke sana. Hal ini membedakan kamp-kamp konsentrasi rezim totaliter dari perlembagaan manusia yang lebih tua dan memiliki kemiripan dengannya, seperti perbudakan. Akhirnya, Arendt mengutarakan bahwa kamp-kamp konsentrasi di bawah baik Hitler dan Stalin termasuk sejumlah besar tahanan, yang tidak memiliki kesalahan terhadap apa pun - bahkan dalam arti harafiah kata ini, termasuk standar rezim-rezim ini sendiri. Jadi maksudnya, kebanyakan tahanan sebenarnya tidak berbuat aksi apa pun melawan rezim yang bersangkutan.

Masa depan sistem totaliter

[sunting | sunting sumber]

Sepanjang analisisnya, Arendt menekankan modernitas dan kebaruan struktur pemerintahan yang didirikan oleh Stalin dan Hitler, dengan beralasan bahwa mereka mewakili "sebuah bentuk pemerintahan yang sama sekali baru", yang kemungkinan akan terwujud kembali dalam berbagai bentuk lain di masa depan. Ia juga memngingatkan kita terhadap keyakinan bahwa gerakan totaliter di masa depan akan selalu berbagi dasar-dasar ideologis dengan Nazisme atau Stalinisme, menulis bahwa "semua ideologi mengandung elemen totaliter."

Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski

[sunting | sunting sumber]
Zbigniew Brzezinski.

Sistem-sistem totaliter dan otokrasi

[sunting | sunting sumber]

Paradigma totaliter dalam studi perbandingan antara Nazi Jerman dan Uni Soviet dikembangkan lebih lanjut oleh Carl Friedrich and Zbigniew Brzezinski, yang menulis secara panjang lebar mengenai topik ini, baik sendirian atau bekerja sama. Mirip dengan pendapat Hannah Arendt, mereka menyatakan bahwa "kediktatoran totaliter adalah sebuah fenomena baru; sebelumnya tidak ada yang benar-benar mirip seperti ini." Friedrich dan Brzezinski menggolongkan kediktatoran totaliter sebagai sejenis otokrasi, tetapi mereka juga menyatakan bahwa ini berbeda dalam beberapa aspek dari kebanyakan otokrasi historis lainnya. ecara khusus, hal ini dibedakan dengan ketergantungannya kepada teknologi modern dan legitimasi massa. Tidak seperti Arendt, Friedrich dan Brzezinski menerapkan konsep kedidaktoran totaliter tidak hanya terhadap rezim-rezim Hitler dan Stalin, tetapi juga terhadap Uni Soviet selama negara ini eksis, Italia di bawah rezim Benito Mussolini, dan Republik Rakyat Tiongkok di bawah Mao Zedong.

Carl Friedrich mencatat bahwa "kemungkinan menyamakan kediktatoran Stalin di Uni Soviet dan Hitler di Jerman" telah menjadi topik yang sangat kontroversial dan menjadi bahan perdebatan hampir sejak awal kedua kediktatoran tersebut. Berbagai aspek lain dari kedua rezim ini juga telah menjadi bahan perdebatan ilmiah yang sengit, seperti apakah ideologi Nazi dan Stalinis benar-benar diyakini dan diikuti oleh pemerintah masing-masing, atau apakah ideologi itu hanya pembenaran yang nyaman untuk pemerintahan diktator. Friedrich sendiri berpendapat mendukung pandangan sebelumnya.

Friedrich dan Brzezinski berpendapat bahwa Nazisme dan Stalinisme tidak hanya mirip satu sama lainnya, tetapi juga mewakili kelanjutan atau kembalinya tradisi monarki absolut Eropa pada tahap tertentu. Dalam monarki absolut dari abad ke-17 dan ke-18, raja akhirnya memegang semua kekuasaan untuk mengambil keputusan, dan dianggap hanya bertanggung jawab kepada Tuhan.

Dalam paham Stalinisme dan Nazisme, pemimpin juga memegang semua kekuasaan nyata, dan dianggap bertanggung jawab hanya untuk berbagai entitas tidak berwujud seperti "rakyat", "massa" atau "Volk." Dengan demikian fitur umum dari otokrasi - baik monarki atau totaliter - adalah konsentrasi kekuasaan di tangan seorang pemimpin yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh mekanisme hukum apa pun, dan siapa yang dianggap sebagai perwujudan dari kehendak suatu entitas abstrak. Dengan demikian fitur umum dari otokrasi - baik monarki atau totaliter - adalah konsentrasi kekuasaan di tangan seorang pemimpin yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh mekanisme hukum apa pun, dan siapa yang dianggap sebagai perwujudan dari kehendak entitas abstrak. Friedrich dan Brzezinski juga mengidentifikasi fitur-fitur lain yang umum untuk semua otokrasi, seperti "osilasi antara kontrol yang ketat dan longgar." Hal ini sebagian tergantung pada karakter pribadi dari para pemimpin yang berbeda, tetapi Friedrich dan Brzezinski percaya bahwa ada juga siklus politik yang mendasarinya, di mana meningkatnya ketidakpuasan mengarah pada peningkatan represi hingga titik di mana oposisi dihilangkan, kemudian pengawasan dilonggarkan hingga waktu berikutnya ketidakpuasan rakyat mulai tumbuh.

Maka, dengan menempatkan Stalinisme dan Nazisme dalam tradisi sejarah pemerintahan otokratis yang lebih luas, Friedrich dan Brzezinski berpendapat bahwa "kediktatoran totaliter, dalam arti tertentu, adalah adaptasi otokrasi pada masyarakat industri abad ke-20." Namun, pada saat yang sama , mereka bersikeras bahwa kediktatoran totaliter adalah "tipe baru otokrasi" dan berpendapat bahwa rezim totaliter abad ke-20 (seperti Hitler dan Stalin) memiliki lebih banyak kesamaan satu sama lain daripada dengan bentuk pemerintahan lainnya, termasuk sejarah otokrasi di masa lalu. Totaliterisme hanya dapat ada setelah penciptaan teknologi modern, karena teknologi seperti itu sangat penting untuk propaganda, untuk pengawasan populasi, dan untuk operasi polisi rahasia. Lebih jauh lagi, ketika berbicara tentang perbedaan dan persamaan antara rezim fasis dan komunis, Friedrich dan Brzezinski bersikeras bahwa dua jenis pemerintahan totaliter "pada dasarnya sama" tetapi "tidak sepenuhnya sama" - mereka lebih mirip satu sama lain daripada bentuk-bentuk lain dari pemerintah, tetapi mereka tidak sama. Di antara perbedaan-perbedaan utama di antara mereka, Friedrich dan Brzezinski mengidentifikasi secara khusus fakta bahwa komunis mencari "revolusi dunia kaum proletar," sementara kaum fasis ingin "membangun dominasi imperium suatu bangsa atau ras tertentu."

Lima pilar sistem totaliterisme

[sunting | sunting sumber]

Dalam kaitannya dengan kemiripan antara Nazisme dan Stalinisme, Friedrich mencantumkan lima aspek utama yang mereka miliki bersama:

Pertama, ideologi resmi yang seharusnya diikuti oleh semua anggota masyarakat, setidaknya secara pasif, dan yang berjanji untuk menjadi pedoman yang sempurna menuju sebuah tujuan akhir tertentu. Kedua, satu partai politik, yang terdiri dari pendukung ideologi resmi yang paling antusias, mewakili kelompok elit di dalam masyarakat (tidak lebih dari 10 persen dari penduduk), dan diorganisasi menurut garis-garis yang diatur secara ketat. Ketiga, "monopoli kendali yang hampir sepenuhnya terkondisikan secara teknologi atas semua alat pertempuran bersenjata yang efektif" di tangan partai atau perwakilannya. Keempat, monopoli serupa yang dilakukan partai atas media massa dan segala bentuk teknologi komunikasi. Kelima, “sistem pengendalian polisi terorisme” yang tidak hanya digunakan untuk mempertahankan rezim dari musuh yang sebenarnya, tetapi juga untuk menganiaya berbagai kelompok masyarakat yang hanya dicurigai sebagai musuh atau yang berpotensi menjadi musuh di masa depan.[7]

Dua pilar pertama dari pemerintahan totaliter mana pun, menurut Friedrich dan Brzezinski, adalah sang diktator dan Partai. Sang diktator, apakah dia itu Stalin, Hitler atau Mussolini, memegang kekuasaan tertinggi. Friedrich dan Brzezinski secara eksplisit menolak klaim bahwa Partai, atau lembaga lainnya, dapat memberikan penyeimbang yang signifikan terhadap kekuatan diktator dalam Nazisme atau Stalinisme.[8] Diktator membutuhkan Partai untuk dapat memerintah, jadi dia mungkin berhati-hati untuk tidak membuat keputusan yang secara langsung bertentangan dengan keinginan anggota Partai terkemuka lainnya, tetapi otoritas tertinggi ada pada dia dan bukan pada mereka. Seperti Arendt, Friedrich dan Brzezinski juga mengidentifikasi kultus individu di sekitar pemimpin sebagai elemen penting dari kediktatoran totaliter, dan merujuk pada kultus kepribadian Stalin secara khusus.[9] Mereka juga memperhatikan fakta bahwa Hitler dan Stalin diharapkan memberikan arahan ideologis bagi pemerintah mereka dan bukan hanya kepemimpinan praktis. Friedrich dan Brzezinski menulis bahwa "tidak seperti diktator militer di masa lalu, tetapi seperti beberapa jenis kepala suku primitif tertentu, diktator totaliter adalah penguasa sekaligus imam agung."[9] Artinya, ia tidak hanya memerintah, tetapi juga memberikan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pemerintahannya. Ini sebagian karena cara munculnya pemerintahan totaliter. Mereka muncul ketika gerakan ideologis militan merebut kekuasaan, jadi pemimpin pertama dari pemerintahan totaliter biasanya adalah sang ideolog yang membangun gerakan yang merebut kekuasaan, dan para pemimpin berikutnya mencoba untuk menirunya.[10]

Diktator dan anak buahnya

[sunting | sunting sumber]

Diktator totaliter membutuhkan para letnan yang setia untuk melaksanakan perintah-perintahnya dengan setia dan dengan tingkat efisiensi yang wajar. Friedrich dan Brzezinski mengidentifikasi kesamaan antara orang-orang pada para pengiring Hitler dan Stalin, dengan beralasan bahwa kedua diktator menggunakan orang yang mirip untuk melakukan tugas serupa. Jadi, misalnya, Martin Bormann dan Georgy Malenkov keduanya adalah juru administrasi dan birokrat yang cakap, sedangkan Heinrich Himmler dan Lavrentiy Beria adalah kepala polisi rahasia kejam yang bertanggung jawab untuk menekan setiap potensi tantangan terhadap kekuasaan diktator.[11] Baik Hitler dan Stalin memupuk rivalitas dan ketidakpercayaan di antara para letnan mereka untuk memastikan bahwa tidak satupun dari mereka akan menjadi cukup kuat untuk menantang diktator itu sendiri.[12] Inilah penyebab kelemahan penting pada rezim totaliter: masalah suksesi. Friedrich menunjukkan bahwa baik Nazi maupun pemerintah Stalinis tidak pernah menetapkan garis suksesi resmi atau mekanisme apa pun untuk memutuskan siapa yang akan menggantikan diktator setelah kematiannya. Diktator, sebagai "bapak rakyat" yang dihormati, dianggap tak tergantikan. Tidak akan pernah ada ahli waris yang terlihat, karena ahli waris seperti itu akan menjadi ancaman bagi kekuasaan diktator saat dia masih hidup. Dengan demikian kematian sang diktator yang tak terelakkan akan selalu meninggalkan kekosongan kekuasaan besar dan menyebabkan krisis politik.[7] Dalam kasus rezim Nazi, karena Hitler meninggal hanya beberapa hari sebelum kekalahan terakhir Jerman dalam perang, ini tidak pernah menjadi masalah besar. Dalam kasus Uni Soviet, kematian Stalin menyebabkan perebutan kekuasaan yang berkepanjangan.

Partai totaliter

[sunting | sunting sumber]

Friedrich dan Brzezinski juga melihat beberapa kemiripan khas antara partai politik Nazi dan Stalinis. Baik Partai Nazi maupun Partai Komunis Uni Soviet di bawah Stalin memiliki persyaratan keanggotaan yang sangat ketat dan tidak menerima anggota hanya berdasarkan kesepakatan dengan ideologi dan tujuan Partai. Sebaliknya, mereka secara ketat menguji calon anggota, dengan cara yang mirip dengan klub eksklusif, dan sering terlibat dalam pembersihan keanggotaan secara politis, membersihkan sejumlah besar orang dari barisan mereka (dan terkadang menangkap dan membantu I (mengeksekusi) mereka yang dikeluarkan, seperti dalam Pembersihan Besar atau Malam Pisau Panjang).[13] Dengan demikian, partai totaliter menumbuhkan gagasan bahwa menjadi anggota adalah hak istimewa yang perlu diperoleh, dan kepatuhan total kepada pemimpin diperlukan untuk mempertahankan hak istimewa ini. Meskipun Nazisme dan Stalinisme mengharuskan anggota partai untuk menunjukkan kesetiaan total dalam praktik, mereka berbeda dalam cara mereka menanganinya dalam teori. Nazisme secara terbuka menyatakan ideal hierarki kepatuhan mutlak kepada Führer sebagai salah satu prinsip ideologis utamanya (Führerprinzip). Stalinisme, sementara itu, menyangkal bahwa ia melakukan hal serupa, dan sebaliknya mengklaim untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, dengan Kongres Partai (yang terdiri dari delegasi terpilih) dianggap sebagai otoritas tertinggi.[14] Namun, pemilihan Stalinis biasanya hanya menampilkan satu kandidat, dan Kongres Partai sangat jarang bertemu dan menyetujui keputusan Stalin. Jadi, terlepas dari perbedaan dalam klaim ideologis yang mendasarinya, partai-partai Nazi dan Stalinis dalam praktiknya diorganisir dengan cara yang sama, dengan hierarki yang kaku dan kepemimpinan terpusat.[15] Setiap partai totaliter dan diktator didukung oleh ideologi totaliter tertentu. Friedrich dan Brzezinski berpendapat, sesuai dengan pendapat Arendt, bahwa para pemimpin Nazi dan Stalinis benar-benar percaya pada ideologi mereka masing-masing dan tidak hanya menggunakannya sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Beberapa kebijakan besar, seperti kolektivikasi pertanian Stalinis atau Solusi Akhir Nazi, tidak dapat dijelaskan dengan apa pun selain komitmen yang tulus untuk mencapai tujuan ideologis, bahkan dengan biaya yang besar.[16] Ideologi berbeda dan tujuan mereka berbeda, tetapi kesamaan yang mereka miliki adalah komitmen utopis untuk membentuk kembali dunia, dan tekad untuk bertarung dengan cara apa pun yang diperlukan melawan musuh yang nyata atau yang dibayangkan. Musuh stereotip ini dapat digambarkan sebagai "Yahudi kaya yang gemuk atau Bolshevik Yahudi" untuk Nazi, atau "Kaum Wallstreet Amerika Serikat yang suka perang dan menggunakan bom atom" untuk Soviet.[17]

Ideologi dan simbolisme

[sunting | sunting sumber]

Menurut Friedrich dan Brzezinski, perbedaan terpenting antara ideologi Nazi dan Stalinis terletak di derajat kesemestaannya (universalisme) yang terlibat. Stalinisme, dan ideologi komunis pada umumnya, bersifat semesta dalam daya tariknya dan ditujukan kepada semua "Pekerja dunia." Nazisme, di sisi lain, dan ideologi fasis pada umumnya, hanya dapat menunjuk dirinya sendiri pada satu ras atau bangsa tertentu - "ras utama" yang ditakdirkan untuk mendominasi yang lainnya. Oleh karena itu, "dalam komunisme keadilan sosial tampaknya menjadi nilai tertinggi, kecuali masyarakat tanpa kelas yang merupakan kondisi esensialnya; dalam fasisme, nilai tertinggi adalah dominasi, akhirnya dominasi dunia, dan ras bangsa yang kuat dan murni adalah kondisi esensialnya, seperti yang terlihat di ideologinya. "[18] Ini berarti bahwa gerakan fasis atau Nazi dari berbagai negara akan menjadi musuh alami, bukan sekutu alami, karena mereka masing-masing berusaha untuk memperluas kekuasaan bangsanya sendiri dengan mengorbankan orang lain.[19] Friedrich dan Brzezinski melihat ini sebagai kelemahan yang melekat dalam ideologi fasis dan Nazi, sedangkan universalisme komunis adalah sumber kekuatan ideologis untuk Stalinisme.

Friedrich dan Brzezinski juga memperhatikan simbol-simbol yang digunakan oleh kaum Nazi dan Stalinis untuk mewakili diri mereka sendiri. Uni Soviet mengambil simbol palu dan arit, simbol yang baru dibuat, "diciptakan oleh para pemimpin gerakan dan menunjuk ke masa depan." Sementara itu, Nazi Jerman menggunakan swastika, "simbol ritual yang tidak pasti asal usulnya, cukup umum dalam masyarakat primitif." [20] Jadi, yang satu mencoba memproyeksikan dirinya sebagai orang yang berorientasi pada masa depan yang benar-benar baru, sementara yang lain tertarik pada mitos heroik masa lalu.[17]

Propaganda dan teror

[sunting | sunting sumber]
Wochenspruch der NSDAP 8 June 1941: "Namun sosialisme sejati, adalah doktrin, adalah doktrin kinerja yang paling ketat."

Kediktatoran totaliter mempertahankan kekuasaan mereka melalui penggunaan propaganda dan teror, yang diyakini oleh Friedrich dan Brzezinski terkait erat satu sama lainnya.

Teror dapat ditegakkan dengan penangkapan dan eksekusi orang yang tidak setuju, tetapi juga dapat mengambil bentuk yang lebih halus, seperti ancaman kehilangan pekerjaan, stigma sosial, dan pencemaran nama baik. "Teror" dapat merujuk pada metode yang tersebar luas yang digunakan untuk mengintimidasi orang agar tunduk sebagai masalah kehidupan sehari-hari. Menurut Friedrich dan Brzezinski, teror paling efektif tidak terlihat oleh orang-orang yang terkena dampaknya. Mereka hanya mengembangkan kebiasaan bertindak secara konformis dan tidak meragukan otoritas, tanpa perlu menyadari bahwa inilah yang mereka lakukan.[21] Jadi, teror menciptakan masyarakat yang didominasi oleh konsensus nyata, di mana sebagian besar penduduknya tampaknya mendukung pemerintah. Propaganda kemudian digunakan untuk mempertahankan tampilan konsensus populer ini.[22]

Propaganda totaliter adalah salah satu ciri yang membedakan rezim totaliter sebagai bentuk pemerintahan modern dan memisahkan mereka dari otokrasi yang lebih tua, karena pemerintahan totaliter memegang kendali penuh atas semua alat komunikasi (tidak hanya komunikasi publik seperti media massa, tetapi juga komunikasi pribadi. seperti surat dan panggilan telepon, yang diawasi secara ketat).[22] Metode propaganda seperti ini baik di Uni Soviet Stalinis atau di Jerman Nazi sangat mirip satu sama lainnya. Baik Joseph Goebbels dan juru propaganda Uni Soviet berusaha untuk menjelekkan musuh mereka dan menampilkan gambar orang-orang bersatu yang berdiri di belakang pemimpinnya untuk menghadapi ancaman asing. Dalam kedua kasus tersebut tidak ada upaya untuk menyampaikan nuansa ideologis yang kompleks kepada massa, tetapi pesan yang disampaikan justru tentang perjuangan sederhana antara yang baik dan yang jahat. Baik rezim Nazi mau pun Stalinis menghasilkan dua perangkat propaganda yang sangat berbeda - satu untuk konsumsi dalam negeri dan satu lagi untuk simpatisan potensial di negara lain. Dan kedua rezim terkadang secara radikal mengubah isi propaganda mereka saat mereka berdamai dengan mantan musuh atau terlibat perang dengan mantan sekutunya.[23]

Secara paradoksal, kontrol penuh pemerintahan totaliter akan jalur-jalur komunikasi membuat pemerintah ini tidak mendapatkan informasi yang baik. Karena tidak ada orang yang bisa mengungkapkan kritik, maka sang diktator tidak punya cara untuk mengetahui sejauh mana sebenarnya mendapat dukungan di antara penduduknya secara umum. Dengan semua kebijakan pemerintah ini, yang selalu dinyatakan berhasil dalam propaganda, para pejabat tidak dapat menentukan apa yang benar-benar berhasil dan apa yang tidak.[24] Baik paham Stalinisme maupun Nazisme sama-sama mengalami masalah ini, terutama selama perang di antara mereka. Ketika perang berbalik melawan Jerman, ada pertentangan yang tumbuh terhadap pemerintahan Hitler, termasuk di dalam jajaran militer, tetapi Hitler tidak pernah menyadari hal ini sampai sudah terlambat seperti dengan Kudeta 20 Juli. Pada tahun 1948, pada hari-hari awal Blokade Berlin, kepemimpinan Uni Soviet tampaknya percaya bahwa penduduk Berlin Barat bersimpati terhadap Komunisme Uni Soviet dan bahwa mereka akan meminta untuk bergabung dengan zona Soviet.[25] Jika diberi waktu yang cukup, kesenjangan antara opini publik yang sebenarnya dan apa yang diyakini oleh pemerintah totaliter tentang opini publik dapat tumbuh begitu lebar sehingga pemerintah bahkan tidak dapat lagi menghasilkan propaganda yang efektif, karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya dipikirkan oleh rakyat dan begitu pula yang dilakukannya, tidak tahu harus berkata apa kepada mereka. Friedrich dan Brzezinski menyebut ini sebagai "ritualisasi propaganda": rezim totaliter terus menghasilkan propaganda sebagai ritual politik, dengan sedikit dampak nyata pada opini publik.[26]

Penahanan, eksekusi dan kamp-kamp konsentrasi

[sunting | sunting sumber]

Penerapan totaliter atas penangkapan massal, eksekusi, dan kamp-kamp konsentrasi, juga dicatat oleh Arendt, dianalisis secara panjang lebar oleh Friedrich dan Brzezinski. Mereka berpendapat bahwa "teror totaliter mempertahankan, dalam bentuk yang dilembagakan, perang saudara yang awalnya menghasilkan gerakan totaliter dan dengan cara itu rezim dapat melanjutkan programnya, pertama disintegrasi sosial dan kemudian rekonstruksi sosial."[27] Baik paham Stalinisme maupun Nazisme melihat diri mereka sendiri sedang terlibat dalam sebuah perjuangan hidup atau mati melawan musuh yang tidak pernah kenal lelah. Namun menyatakan bahwa perjuangan telah dimenangkan berarti menyatakan bahwa sebagian besar ciri totaliter pemerintah tidak lagi diperlukan. Pasukan polisi rahasia, misalnya, tidak memiliki alasan untuk eksis jika tidak ada pengkhianat berbahaya yang perlu ditemukan. Jadi perjuangan, atau "perang saudara" melawan musuh internal, harus dilembagakan dan harus terus berlanjut tanpa batas. Di Uni Soviet Stalinis, aparat penindas akhirnya berbalik melawan anggota Partai Komunis itu sendiri dalam Pembersihan Besar-besaran dan pengadilan gadungan yang menyertainya.[28] Nazisme, sebaliknya, memiliki umur yang jauh lebih pendek dalam kekuasaan, dan teror Nazi umumnya mempertahankan fokus luar, dengan pemusnahan orang Yahudi selalu menjadi prioritas utama. Nazi tidak berpaling ke dalam untuk membersihkan partainya sendiri kecuali dengan cara yang terbatas pada dua kesempatan (Malam Pisau Panjang dan akibat dari Komplot 20 Juli).[29]

Puncak teror totaliter dicapai dengan kamp konsentrasi Nazi. Ini berkisar dari kamp kerja paksa hingga kamp pemusnahan, dan mereka dijelaskan oleh Friedrich dan Brzezinski sebagai bertujuan untuk "menghilangkan semua musuh rezim yang sebenarnya, potensial, dan dibayangkan."[30] Karena bidang studi Holocaust masih dalam tahap awal. Pada saat penulisan, mereka tidak menjelaskan kondisi secara rinci, tetapi merujuk pada kamp yang melibatkan "kekejaman ekstrim".[31] Mereka juga membandingkan kamp-kamp ini dengan sistem Gulag Soviet, dan menyoroti penggunaan kamp konsentrasi sebagai metode hukuman dan eksekusi oleh rezim Nazi dan Stalinis. Namun, tidak seperti Hannah Arendt, yang berpendapat bahwa kamp Gulag tidak memiliki tujuan ekonomi, Friedrich dan Brzezinski berpendapat bahwa mereka menyediakan sumber penting tenaga kerja murah untuk ekonomi Stalinis.[32]

Moshe Lewin dan Ian Kershaw

[sunting | sunting sumber]

Jerman dan Rusia

[sunting | sunting sumber]

Studi perbandingan Nazisme dan Stalinisme seterusnya dilakukan oleh kelompok ilmuwan lainnya, seperti Moshe Lewin dan Ian Kershaw bersama dengan orang yang bekerja sama dengan mereka. Menulis setelah runtuhnya Uni Soviet, Lewin dan Kershaw mengambil perspektif sejarah yang lebih panjang dan menganggap Nazisme dan Stalinisme bukan sebagai contoh jenis masyarakat baru (seperti yang dilakukan Arendt, Friedrich dan Brzezinski), tetapi lebih sebagai "anomali" historis - penyimpangan yang tidak biasa dari jalur khas pembangunan yang diharapkan dapat diikuti oleh sebagian besar masyarakat industri. [69] Oleh karena itu, tugas untuk membandingkan Nazisme dan Stalinisme, bagi mereka, adalah tugas untuk menjelaskan mengapa Jerman dan Rusia (bersama dengan negara lain) menyimpang dari norma sejarah. Pada awalnya, Lewin dan Kershaw mengidentifikasi kesamaan antara situasi sejarah di Jerman dan Rusia sebelum Perang Dunia Pertama dan selama perang itu. Kedua negara diperintah oleh monarki otoriter, yang berada di bawah tekanan untuk membuat kelonggaran atas tuntutan rakyat. Kedua negara memiliki "birokrasi yang kuat dan tradisi militer yang kuat". Keduanya memiliki "kelas pemilik tanah yang kuat", sementara juga sedang dalam proses industrialisasi dan modernisasi yang pesat. Dan kedua negara memiliki kebijakan luar negeri ekspansionis dengan minat khusus di Eropa Tengah dan Timur.[33] Lewin and Kershaw tidak mengeklaim bahwa faktor-faktor ini membuat Stalinisme dan Nazisme menjadi tak terelakkan, melainkan mereka menolong menjelaskan bagaimana rezim Stalinis dan Nazi mengembangkan ciri-ciri khas yang mirip satu sama lainnya.

Persamaan dan perbedaan sistem

[sunting | sunting sumber]

Ian Kershaw mengakui bahwa Stalinisme dan Nazisme bisa diperbandingkan satu sama lainnya dalam "sifat dan tingkat ketidakmanusiawian mereka", tetapi berkomentar bahwa kedua rezim itu berbeda dalam sejumlah aspek[34] Lewin dan Kershaw mempertanyakan kegunaan pengelompokan rezim Stalinis dan Nazi di bawah kategori "totaliter", mengatakan bahwa tetap menjadi pertanyaan terbuka apakah kesamaan di antara mereka lebih besar atau lebih kecil daripada perbedaannya.[35][36] Secara khusus, mereka mengkritik apa yang mereka lihat sebagai upaya bermotivasi ideologis untuk menentukan rezim mana yang membunuh lebih banyak orang, dengan berkata bahwa para apologis atau pembela dari setiap rezim berusaha untuk membela pihak mereka dengan mengklaim bahwa pihak yang lain bertanggung jawab atas lebih banyak kematian.[37]

Kultus individu

[sunting | sunting sumber]

Lewin dan Kershaw menempatkan kultus individu di pusat perbandingan Nazisme dan Stalinisme mereka, mereka menulis bahwa kedua rezim ini "mewakili genre baru sistem politik yang berpusat pada konstruksi buatan dari kultus kepemimpinan - 'mitos heroik' dari 'pemimpin yang agung', bukan lagi seorang raja atau kaisar tetapi 'orang rakyat'."[38] Berkenaan dengan Stalinisme, mereka menekankan sifat birokratisnya, dan" penggabungan yang paling modern dengan ciri-ciri paling arkais" dengan menggabungkan teknologi modern dan metode administrasi dan propaganda terbaru dengan praktik kuno pemerintahan sewenang-wenang oleh satu orang.[39] Mereka membandingkannya dengan tradisi militer Prusia di Jerman, yang disebut "absolutisme birokrasi" pada abad kedelapan belas, dan yang memainkan peran penting dalam organisasi negara Nazi pada abad kedua puluh.[40]

Kershaw setuju dengan Mommsen bahwa ada perbedaan mendasar antara paham Nazisme dan Stalinisme mengenai pentingnya sang pemimpin. Stalinisme memiliki pemimpin absolut, tetapi orang ini tidak hakiki. Ia bisa diganti orang lain. Nazisme, di sisi lain, adalah "gerakan kepemimpinan karismatik klasik", yang sepenuhnya ditentukan oleh pemimpinnya. Stalinisme memiliki ideologi yang berdiri sendiri dari Stalin. Tetapi bagi Nazisme, "Hitler adalah ortodoksi ideologis" - cita-cita Nazi menurut definisi adalah apa pun yang dikatakan Hitler. Dalam Stalinisme, aparat birokrasi adalah dasar sistem, sedangkan dalam Nazisme, pemimpin adalah dasarnya.[40]

Moshe Lewin juga berfokus pada perbandingan antara kultus individu Hitler dan Stalin, dan peran mereka masing-masing di Nazi Jerman dan Uni Soviet. Dia merujuk mereka sebagai "mitos Hitler" dan "mitos Stalin", dan berpendapat bahwa keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam dua rezim mereka. Fungsi "mitos Hitler" adalah untuk melegitimasi pemerintahan Nazi. Fungsi dari "mitos Stalin" adalah untuk melegitimasi bukan pemerintahan Soviet itu sendiri, tetapi kepemimpinan Stalin di dalam Partai. Kultus individu Stalin ada justru karena Stalin tahu bahwa ia dapat digantikan, dan takut ia akan digantikan, dan karena itu perlu meningkatkan otoritasnya sebanyak mungkin. Sementara "mitos Hitler" penting bagi Nazi Jerman, "mitos Stalin" hanya penting bagi Stalin, bukan bagi negara Uni Soviet sendiri.[41]

Ketidakstabilan intrinsik dari sistem totaliter

[sunting | sunting sumber]

Stalin dan Hitler

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Geyer & Fitzpatrick 2009, hlm. 16.
  2. ^ Geyer & Fitzpatrick 2009, hlm. 4-9.
  3. ^ Conquest, Robert (1999). Reflections on a Ravaged CenturyPerlu mendaftar (gratis). hlm. 74. ISBN 0-393-04818-7. 
  4. ^ Geyer & Fitzpatrick 2009, hlm. 21.
  5. ^ Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (second edition), New York: Meridian Books, 1958, hlm. 460
  6. ^ Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (second edition), New York: Meridian Books, 1958, hlm. 310
  7. ^ a b Carl J. Friedrich (editor) et al., Totalitarianism [proceedings of a conference held at the American Academy of Arts and Sciences, March 1953], New York: Grosset and Dunlap, 1964, p. 53
  8. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 31
  9. ^ a b Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 33
  10. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 34
  11. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 35
  12. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 37
  13. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 45
  14. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 48
  15. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 58
  16. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 86
  17. ^ a b Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 90
  18. ^ Carl J. Friedrich dan Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy , Cambridge: Harvard University Press, 1965, hal. 95
  19. ^ Carl J. Friedrich dan Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, hal. 96
  20. ^ Carl J. Friedrich dan Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy , Cambridge : Harvard University Press, 1965, hal. 89-90
  21. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, hal. 129
  22. ^ a b Carl J. Friedrich dan Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy , Cambridge: Harvard University Press , 1965, hal. 130
  23. ^ Carl J. Friedrich dan Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy , Cambridge: Harvard University Press, 1965, hal. 133-134
  24. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 135
  25. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 136-137
  26. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 140
  27. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 183
  28. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 187, p. 190
  29. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 185
  30. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 197
  31. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 198
  32. ^ Carl J. Friedrich and Zbigniew K. Brzezinski, Totalitarian Dictatorship and Autocracy, Cambridge: Harvard University Press, 1965, p. 199
  33. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 4
  34. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 88-89
  35. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 3
  36. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 3-5
  37. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 8
  38. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 9
  39. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 10
  40. ^ a b Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 11
  41. ^ Ian Kershaw and Moshe Lewin (ed.), Stalinism and Nazism: dictatorships in comparison, Cambridge University Press, 1997, ISBN 978-0-521-56521-9, p. 116

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]