GBPP PPGT 2013-2018
GBPP PPGT 2013-2018
BAB I
PENDAHULUAN
Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) sebagai wujud dari gereja, bukanlah berasal dari
dunia, melainkan diutus oleh ALLAH ke dalam dunia untuk menghadirkan tanda-tanda
kerajaan-Nya yaitu damai sejahtera bagi umat manusia. Keberadaannya di dunia merupakan
suatu rencana Agung dari Yesus Kristus Sang Kepala Gereja untuk menyampaikan kabar baik
kepada „orang-orang miskin‟, „pembebasan bagi orang-orang tawanan‟, „penglihatan bagi
orang-orang buta‟, pembebasan bagi orang-orang tertindas‟, dan untuk „memberitakan tahun
rahmat Tuhan sudah datang‟ (Luk. 4 : 19).
Untuk menjalankan tugas dan panggilan itu, dibutuhkan komitmen untuk bertindak dan
berbuat, dimana setiap anggota persekutuan menyatakan esensi yang paling dasar dari
perbuatan, yaitu kasih. Dalam bingkai kebersama-samaan dalam perarakan tema SMS 23,
Kongres XIII PPGT menyongsong era baru PPGT dalam rajutan tema : “Mengasihi dengan
perbuatan dan dalam Kebenaran, dengan sub tema : “Membangun Persekutuan, Merawat
Kemajemukan, Memelihara Lingkungan.
Relevansi Tema dan Sub Tema dengan konteks kekinian PPGT menjadi semakin penting
ditengah semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi PPGT. PPGT sepenuhnya
meyakini bahwa hanya untuk tetap survive ditengah kompleksitas perubahan zaman, maka
PPGT pertama-tama harus berubah (be transformed), yaitu kesediaan untuk terus menerus
dibaharui oleh Tuhan, Sang Pemilik Persekutuan. PPGT tetap berkomitmen untuk berada di
jalur semboyan reformasi : eklesia reformata semper reformanda, gereja yang dibarui haruslah
terus menerus membarui dirinya. Pembaruan berjalan bersama dengan pertumbuhan gereja.
Tidak ada pertumbuhan gereja tanpa perubahan. Jadi PPGT harus berubah karena itulah
kehendak Tuhan, agar kita mengalami perubahan dan pembaruan.
Salah satu tanda pembaruan adalah kasih, dalam hal ini setiap warga PPGT sampai pada
perwujudan kasih yang benar. Demikianlah, maka runutan tema Kongres XII Samarinda ke
Tema Kongres XIII Seriti berada dalam satu garis lurus yang saling equivalen. Pemuda yang
dibarui menampakkan tanda-tanda yang berbeda dengan dunia, yaitu mengasih dengan
model yang berbeda (tampil beda), dimana warga PPGT mengasihi dengan perbuatan yang
benar. Demikian juga perbuatan kasih dalam kebenaran akan mengantar setiap anggota untuk
terus berubah dan membarui dirinya, termasuk organisasinya.
Bila kita jujur mengevaluasi baik diri pribadi (sebagai anggota PPGT) maupun persekutuan
(sebagai organisasi), kita sadar bahwa kita masih pada tataran gereja yang ”masih sedang
berdoa”. Artinya gereja (PPGT) kita masih sedang melipat tangan, menutup mata dan banyak
bicara kepada Tuhan. Kalaupun gereja (PPGT) selesai berdoa, membuka mata dan mau
bertindak, maka umumnya kita hanya akan bertindak untuk mengurus ibadah, membangun
gedung (fisik), bersidang, lalu berdoa lagi. Urusan kesehatan, ekonomi, budaya, politik, HAM,
pendidikan, kemiskinan, pengangguran, lingkungan hidup dan lain-lain dianggap bukan
urusan gereja.
I.1. Pengertian
Garis-garis besar program pengembangan (GBPP) adalah dokumen organisasi yang
menjabarkan sasaran, strategi kebijakan umum dan arah program-program organisasi selama
kurun waktu satu periode kepengurusan PPGT. Penyusunan GBPP berakar pada konteks
kecenderungan lingkungan eksternal dan analisa aspek-aspek internal yang dipandu oleh
landasan visi dan misi PPGT dibawah sorotan tema dan sub tema KONGRES. Pada dasarnya
GBPP terdiri dari dua bagian pokok, yaitu a) Garis-garis Besar Program dan b) Garis Besar
Pengembangan & Kebijakan Umum Organisasi. Garis Besar Program Organisasi memuat
klasifikasi program yang akan dilaksanakan selama satu periode kepengurusan. Oleh
karenanya merupakan rangkuman hasil-hasil pemikiran yang berkaitan dengan arah, sasaran,
serta pola dan sarana implementasi program. Klasifikasi program ini sendiri merupakan
penjabaran dari kerangka dasar kebijakan organisasi. Kebijakan organisasi merupakan upaya
reflektif terhadap terang tema dan sub tema dalam memandu dinamika organisasi. Dengan
demikian secara praktis Garis Besar Program Pengembangan berfungsi sebagai tuntunan
umum dalam menjalankan langkah-langkah strategis organisasi.
I.2. Tujuan
GBPP ini disusun untuk mencapai tujuan yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Sebagai kerangka umum analisis organisasi dalam memahami dan menerjamahkan konsep
visi dan misi organisasi yang idealis-filosofis kedalam dinamika praksisnya
b. Sebagai pedoman strategis selama masa satu periode bakti bagi segenap perangkat
organisasi dalam merencanakan, melaksnakan dan mengendalikan seluruh aktifitas gerak
organisasi. Menyangkut penetapan posisi strategis organisasi,
c. Pengorganisasian wacana, penjabaran program, penentuan struktur, serta keseluruhan
perilaku dan penampakan organisasi
d. Sebagai landasan analisis yang sistematisdan berorientasi ke masa depan dalam rangka
pengembangan program-program dan kebijakan organisasi
e. Sebagai pedoman penilaian kualitatif dan dasar evaluasi pelaksanaan program dan
kebijakan organisasi
I.3. Sistematika
GBPP ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ANALISIS KONTEKS KEKINIAN
BAB III VISI DAN MISI
BAB IV POKOK-POKOK PANGGILAN PPGT
BAB V PENGORGANISASIAN PROGRAM
BAB VI PENUTUP
BAB II
ANALISIS KONTEKS KEKINIAN
Setiap organisasi dapat dikatakan hidup pada jalur yang benar, apabila ia setia dalam
menjalankan visi dan misi organisasi secara konsisten, sinambung dan dinamis serta relevan
dengan keutuhan lingkungan dan jamannya. Dalam kerangka pemahaman tersebut organisasi
harus memiliki kemampuan untuk tanggap dan adaptif terhadap perubahanperubahan yang
terjadi dalam lingkungan strategisnya. Untuk itu organisasi harus melakukan analisis dan
identifikasi secara tepat mengenai kebutuhan serta problematika pada diri dan tantangan
lingkungannya. Dengan demikian organisasi akan mampu bergerak secara proaktif dalam
menjalankan visi dan misinya. Bagian ini memberikananalisis dan pemetaan situasi saat ini dan
kecenderungan dimasa akan datang bagi Pengurus PPGT
Dibutuhkan keberanian untuk berubah dari rutinitas program yang sudah menjadi warisan
turun temurun. Kebaktian PPGT, Porseni/Pesparawi, Praya dan LKP adalah kegiatan-kegiatan
PPGT yang masih menjadi program primadona baik di semua tingkatan, tanpa ada
keberanian untuk mengevaluasi apakah kegiatan ini masih relevan dalam membentuk kader
siap utus khususnya di tengah-tengah dunia yang makin kompetitif ini.
Seharusnya kegiatan PPGT makin variatif, makin fungsional dan makin up to date.
Seharusnya setiap jemaat atau setidaknya klasis mempunyai program unggulan, sehingga
setiap klasis semestinya memliki kekhasan sendiri-sendiri. Selain pembinaan spritulitas kita
begitu merindukan PPGT yang memprogramkan Cell Group Seminat, English Bible Study,
Kelompok Study Kritis, Kelompok Tani PPGT, Koperasi PPGT, Sentra Keterampilan, Forum
Dialog Lintas Agama (PPGT yang berinisiatif), Kelompok-kelompok PPGT Peduli : misalnya
HIV/AIDS, Pemanasan Global, Politik, Budaya, HAM, dll).
Untuk mewujudnyatakan hal-hal tersebut, perlu dikenali secara jelas setiap potensi,
peluang dan tantangan yang tengah dihadapi PPGT. Berikut ini adalah garis besar hasil
identifikasi potensi (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi lingkungan (peluang dan
tantangan).
No Kekuatan Kelemahan
No Kekuatan Kelemahan
1 Jumlah anggota yang besar dan Database jemaat-jemaat belum
menyebar tergarap secara optimal
2 SDM warga PPGT yang terus mengalami Moralitas, spiritualitas dan etos kerja
Peningkatan belum berkembang secara optimal
3 Mempunyai banyak potensi SDM, Masih banyak (semakin banyak???)
khususnya mahasiswa sebagai aset masa potensi yang tidak digarap, tidak aktif
depan atau enggan ber-PPGT
4 Tersedianya Pusat-pusat pembinaan Selama ini pusat-pusat pembinaan
seperti Balla Tamalanrea di Makassar, tersebut belum berfungsi maksimal
Wisma Rama dan optimal- Komersial
Gedung Tongkonan di Jakarta dan
Surabaya, Gedung Pemuda di Rantepao,
Gedung Pelayanan di Makale dan Palopo,
dll
5 Semakin banyak Pendeta muda dan Belum semua pendeta muda dan
kader PPGT yang menjadi pejabat kader PPGT yang duduk distruktur
struktural di berbagai lingkup berjuang untuk generasi muda.
No Peluang Tantangan
1 Hampir semua pusat-pusat Kabupaten Tidak semua anggota siap
sudah terjangkau dengan akses informasi dan menghadapi kemudahan akses
teknologi informasi tersebut
2 Ketersediaan tenaga pembina pada hampir Belum tersedia data yang akurat
semua bidang tentang spesialisasi dan spesifikasi
dari SDM tenaga pembina
3 Pluralitas masyarakat setempat yang Di sejumlah tempat masih ada
merupakan lingkungan strategis untuk hambatan dalam menjalankan
No Peluang Tantangan
hidup bersesama ibadah sesuai dengan agama
masing-masing
4 Semakin terbukanya iklim demokrasi Mengemukanya kekerasan dalam
yang membuka kesempatan bagi setiap berbagai bentuk akibat kebebasan
warga PPGT untuk berpendapat dan yang kebablasan antara lain
berperan serta dalam pembangunan anarkisme dan premanisme
5 Otonomi daerah memberi peluang bagi Suburnya primordialisme, sukuisme,
pengembangan potensi daerah secara fanatisme, dan dikhotomi
maksimal penduduk asli pendatang
6 Kemajuan teknologi informasi dan Berubahnya nilai-nilai yang
komunikasi yang memudahkan interaksi menimbulkan krisis identitas,
antarmanusia maraknya penyahgunaan
Napza, dan makin beragamnya
dampak negatif media
7 Globalisasi menawarkan banyak pilihan, Tampilnya pesaing-pesaing yang
kebebasan berekspresi, dan peluang lebih Hebat
berkompetisi
8 Berkembangnya budaya global Krisis identitas, krisis budaya dan
sejenisnya
BAB III
VISI DAN MISI PPGT
Sidang Majelis Sinode (SMS) Gereja Toraja ke-23 yang sebelumnya lebih dikenal
sebagai Sidang Sinode Am (SSA) Gereja Toraja adalah saat untuk evaluasi, refleksi untuk
kemudian merumuskan aksi dalam hubungan dengan hakekat Gereja Toraja – sebagaimana
pada umumnya hakekat gereja itu sendiri – sebagai Gereja Tuhan di dunia ini. Gereja Toraja
adalah hasil dan kelanjutan dari pelaksanaan hakekat gereja pada umumnya yaitu misi. Dan
kehadirannya dalam konteks tertentu adalah wujud kehadiran gereja Tuhan yang esa. Cikal
bakalnya di mulai dengan kehadiran beberapa guru beragama Kristen (anggota Indische Kerk-
Gereja Protestan Indonesia) pada sekolah Landschap yang dibuka oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1908 di Toraja dapat dianggap sebagai awal masuknya berita Injil ke
daerah Toraja. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa.
Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada
tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Landschap di Makale oleh
Hulpprediker F. Kelling dari Bontain. Pemberitaan Injil dilakukan secara “sengaja” dan intensif
oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Negeri Belanda dengan datangnya Penginjil
A.A. van der Loosdrecht ke Toraja pada tanggal 10 November 1913. Dia mati dibunuh (oleh
kelompok yang tidak setuju karena pemerintah kolonial Belanda mengurangi masa/waktu
berlangsungnya perjudian) pada tanggal 26 Juli 1917 di Bori= dan menjadi syahid pertama
Injil di Toraja. Darahnya telah menjadi benih gereja: Gereja Toraja. GZB adalah sebuah badan
zending yang didirikan oleh anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang
menganut paham gereformeerd, berlatar belakang pietis, dalam arti sangat mementingkan
kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja
tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB ini
masih banyak memengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.
Para pembawa Injil datang melanjutkan pengutusan Yesus. “Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus engkau” (Yoh 22:21), dan melakukan
seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri yakni memberitakan Injil Kerajaan Allah (preaching),
mengajar (teaching) serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (healing) (Mat. 9:35).
Mereka datang memberitakan penyelamatan Allah di dalam diri Yesus Kristus, mereka
mendidik masyarakat untuk keluar dari kebodohan dan keterbelakangan dengan membuka
sekolah-sekolah, dan menyembuhkan masyarakat dengan mendirikan pelayanan kesehatan.
Mereka mengharapkan orang Toraja menjadi manusia yang beriman, terdidik, dan sehat.
Sebuah pemahaman dan pelaksanaan misi yang menyeluruh (holistic).
Dengan hal itu orang Toraja telah diberkati oleh Tuhan sehingga mencapai sebuah
kemajuan yang luar biasa hanya dalam waktu kurang lebih 50 tahun, yang menurut beberapa
catatan sejarah hanya bisa dicapai suku-suku lain dalam waktu 100 tahun ke atas. Artinya,
kedatangan kekristenan yang dibawa oleh para zending yang kemudian dilanjutkan oleh
Gereja Toraja yang mandiri telah melahirkan sebuah perubahan yang sangat mendasar dalam
sejarah orang Toraja dan masyarakat Toraja. Sejarahwan malah mencatat bahwa modernisasi
di Toraja dimulai dengan kehadiran pendidikan yang di bawa oleh Gereja. Gereja Toraja
telah menjadi salah satu agen modernisasi dan perubahan sosial yang sangat menentukan di
Toraja lewat koinonia (persekutuan), diakonia (pelayanan), marturia (kesaksian), liturgy
(ibadah yang hidup), didache (pengajaran), pastoral (penggembalaan), oikomenia
(penatalayanan) (oikomenia mencakup sarana dan prasarana, manajemen organisasi,
keuangan) yang dibangunnya. Gereja Toraja telah menjadi kekuatan pemicu yang sangat
mendasar dalam diri orang Toraja, masyarakat Toraja, yang pada gilirannya pengaruh
perubahan pada skala regional dan nasional. Satu hal yang tidak bisa disangkali adalah bahwa
kekristenan yang datang di Toraja yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja Toraja telah
memberikan identitas baru bagi orang Toraja sebagai “pembeda” dengan masyarakat
sekitarnya. Toraja menjadi identik dengan Kristen. Dengan demikian, sadar atau tidak, orang
Toraja akan menjadi saksi Kristus, entah saksi baik maupun buruk.
Apa yang telah dilakukan oleh para pengijil itu telah melahirkan Gereja Toraja. Salah
satu Gereja Tuhan ini kemudian semakin matang dan mulai bisa mengurus dirinya. Batu tapal
berdirinya Gereja Toraja terjadi pada tanggal 25-28 Maret 1947. Pada saat itu diadakan
persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I
ini memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan
berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama GEREJA TORAJA. Waktu berjalan
terus, dan Tuhan melibatkan Gereja Toraja dalam karya penyelamatanNya di dunia ini.
Dalam upaya menghadirkan dirinya sebagaimana diinginkan Tuhan daripadanya, lewat
pergumulan yang panjang dan di bawah bimbingan Roh Kudus Gereja Toraja telah mencapai
Tri Kemandirian Gereja yakni kemandirian Teologi, Daya, dan Dana. Dengan ketiga modal ini
Gereja Toraja terus berjuang menjalani panggilannya dalam realisme yang berpengharapan.
Kini kita memasuki Sidang Sinode Am (sekarang Sidang Majelis Sinode) yang ke-23 yang
dihadiri oleh 84 Klasis, 960 Jemaat, 278 cabang kebaktian, dan 55 tempat kebaktian yang
tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri. Sidang sinode ke kali ini adalah sidang
sinode yang terakhir sebelum kita merayakan 100 tahun Injil “menjangkau” orang Toraja jika
kita bertolak dari datangnya Penginjil A.A. van der Loosdrecht ke Toraja pada tanggal 10
November 1913.
Gereja Toraja adalah Gereja Tuhan di dunia ini yang berupaya untuk hadir secara
bermanfaat (efektif) dan dapat diterima (akseptabel) tanpa kehilangan identitasnya. Kita telah
melakukan tiga kali konsultasi tentang hakekat kita sebagai gereja dalam bentuk konsultasi
misi. Konsultasi yang pertama 2-4 Maret 1972, konsultasi yang kedua 14-19 Maret 1994, dan
konsultasi yang ketiga 20-25 Mei 2005. Perenungan dari konsultasi ke konsultasi
menampakkan bahwa perubahan yang sangat mendasar di dalam diri warga Gereja Toraja
dan masyarakat kita – yang juga salah satu penyebabnya adalah kehadiran Gereja Toraja itu
sendiri – yang menuntut perubahan yang mendasar pula dari Gereja Toraja agar ia tetap bisa
hadir secara efektif dan akseptabel, tanpa kehilangan identitasnya. Artinya, perubahan yang
begitu cepat dan mendasar menuntut strategi dari Gereja Toraja untuk tetap hadir secara
efektif (tetap bisa menjadi garam dan terang) dan akseptabel (diterima kehadirannya dalam
“dunia” meski ia bukan dari “dunia”) tanpa kehilangan identitasnya (bahwa betapapun sosok
atau strategi kehadiran itu berubah demi efektivitas serta akseptabilitas, sosok kehadiran yang
baru itu tidak mengkhianati identitas (hakekat) kristiani kita yang paling mendasar. Apa
idenititas atau hakekat yang paling mendasar itu?
Dari konsultasi pertama telah dicanangkan bahwa hakekat gereja yang tidak pernah
berubah adalah misinya; atau misi adalah hakekat gereja. Kemudian Gereja Toraja memahami
misinya ke dalam dan ke luar, atau yang biasa disebut sebagai funsgi penggembalaan dan
fungsi pemberitaan. Pembinaan Warga Jemaat adalah misi ke dalam dan Pemberitaan Injil
kepada yang belum mengenal dan menerima Yesus Kristus adalah misi keluar. Tentu saja
keduanya dimaksudkan untuk menjadikan identitas Gereja yang tidak pernah berubah, yakni
untuk menjadi berkat bagi sebanyak mungkin orang, atau menjadi garam dan terang, atau
yang kemudian menjadi visi Gereja Toraja: Damai Sejahtera Bagi Semua. Misi ke dalam
ditangani oleh BPWG (dahulu LPK) dan misi keluar ditangani oleh LPI. Meskipun ditangani
oleh dua lembaga yang berbeda, Gereja Toraja memahami kedua hal tersebut tidaklah bisa
dipisahkan satu dengan yang lain, bahwa PWG (PWJ), selain diarahkan untuk kedekatan atau
keintiman setiap warganya dengan Tuhan, juga diberdayakan untuk menjadi saksi-saksi yang
hidup dari Gereja Tuhan, baik dalam kata-kata maupun perbuatan mereka.
Konsultasi misi yang kedua dengan tetap berpegang pada hakekat gereja yaitu misi
menekankan kesadaran konteks yang terus berubah, yang dengan demikian menuntut strategi
kehadiran yang baru agar kehadiran Gereja Toraja tetap efektif, akseptabel tanpa kehilangan
identitas. Konteks yang mendapat penekanan adalah kebudayaan, modernitas, dan relasi
dengan Islam. Konsultasi misi yang ketiga semakin menunjukkan betapa perubahan di sekitar
kita terjadi begitu cepat, mendasar, dan semakin luas, yang sekali membutuhkan perubahan
yang mendasar dari Gereja Toraja jika Gereja Toraja masih tetap ingin kehadirannya efektif
dan akseptabel. Hasil Konsultasi Misi Gereja Toraja yang ke-3 tahun 2005 itu, yang kemudian
hasilnya disahkan pada SSA ke-22 di Jakarta semakin memperjelas bahwa Misi itu adalah
Hakekat Gereja. Dikatakan bahwa, ketika kita berbicara tentang misi atau “misi” atau PI,
maka sesungguhnya kita berbicara tentang hakikat gereja. Artinya, hakikat gereja adalah
misinya. Jadi eksistensi gereja yang tak pernah berubah adalah misinya Lalu untuk apa misi
dan hakikat yang demikian itu? Untuk menjadi alat suatu tujuan, yakni melaksanakan Misi
Allah (Missio Dei) dan melanjutkan Misi Kristus (Missio Christi) di dunia: “Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus engkau” (Yoh 22:21). Lalu apa inti Misi
Allah dan Misi Kristus itu? Supaya dunia percaya, agar tidak binasa (Yoh. 3:16). Jadi nasib atau
ketidakbinasaan dunia ini harus menjadi kepedulian utama gereja, dan karena itu, gereja harus
selalu menyadari dirinya sebagai alat, bukan tujuan. Untuk mewujudkan Misi Allah dan
melanjutkan Misi Kristus (Misi Penyelamatan) itulah, gereja ditugaskan untuk bersekutu,
bersaksi, dan melayani. Ada tugas ke dalam dan ada tugas ke luar. Jadi Tri Panggilan Gereja
itu merupakan fungsi gereja dalam hubungan dengan misinya. Ketiganya memang dapat
dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Gereja harus menjadi persekutuan (Koinonia) yang
bersaksi (Marturia) dan melayani (Diakonia). Karena itu, (1) persekutuan yang harus dibina
adalah persekutuan yang bersaksi dan melayani; (2) kesaksian yang harus dilaksanakan adalah
kesaksian oleh persekutuan dan dibarengi (dijiwai) oleh pelayanan; (3) pelayanan adalah
pelayanan di dalam dan oleh persekutuan dan pelayanan yang merupakan kesaksian.
Dalam Sidang Sinode XV tanggal 6-14 Mei 1978 Struktur KUGT mengakomodasi
keberadaan kaum awam dan OIG sebagai anggota KUGT. Struktur lengkap KUGT waktu itu
adalah Ketua, Sekretaris, Bendahara, Wakil Ketua: dijabat oleh Ketua Wil. I-IV dan Komisi-
komisi, yang terdiri dari Komisi Pengakuan GT, Tata GT, RAPB, dan Verifikasi. Dari kesadaran
integralistik pentingnya pelayanan kategorial ini direkrut secara resmi, PPGT adalah pelayanan
kategorial yang sangat strategis. Secara historis-ekklesiologis, persekutuan pemuda Gereja
Toraja sejatinya lahir sejak baptisan I tahun 1913 di Toraja, namun secara organisatoris dan
kelembagaan, PPGT dinyatakan berdiri pada tanggal 11 Desember 1962. Mengkilas sejarah,
ketika seksi Pemuda dalam KUGT ditunjuk sebagai Wakil Pemuda dalam kegiatan eksternal
PPGT. Cikal bakal PPGT dimulai dari terbentuknya organisasi lokal pemuda pada masa
pergolakan tahun 1950an. Tahun 1953 berdiri Persatuan Pemuda Toraja di Makassar dan
tahun 1954 berdiri Gerakan Pemuda Gereja Toraja yang waktu itu merupakan gerakan lokal
pemuda gereja dengan pusat kegiatan di Gereja Maros, Makassar.
Dikaitkan dengan eksistensi PPGT dalam struktur KUGT, mulai dari Sidang Sinode V
tanggal 25 Februari - 5 Maret 1955 di Rantepao, kepengurusan pemuda menjadi salah satu
seksi dalam KUGT dengan nama Seksi Pemuda/Kebudayaan, bersama-sama dengan 8 seksi
lainnya yaitu Seksi Kegerejaan, Keuangan, Usaha Pembangunan, Kesehatan, Lektur, Theologia,
Perhubungan, dan Verifikasi/Visitator. Nama seksi Pemuda/Kebudayaan bertahan sampai
Sinode V yang dilaksanakan 26-30 April 1959 di Makale. Dalam Sinode ini Seksi Pemuda
berdiri sendiri tidak lagi digabungkan dengan Kebudayaan. Nama Seksi Pemuda ini masih
bertahan sampai Sinode X tahun 1965 di Makassar. Dalam Sinode X ini Seksi Pemuda berubah
menjadi Seksi Pembinaan Kader dan pada tahun yang sama, tepatnya 21-29 Desember 1965
perwakilan pemuda dari berbagai tempat berkumpul di Rantepao mengadakan Kongres I dan
memutuskan penggunaan nama Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT).
Kongres XII PPGT di Samarinda tanggal 10 – 13 September 2008 menegaskan
komitmen bersama untuk melakukan pembaruan PPGT menuju terwujudnya paradigma baru
PPGT. Paradigma baru ini mewujud dalam 10 pokok panggilan PPGT sebagai Kader Siap Utus
dimana ujung tombak pelaksanaannya adalah jemaat sebab di jemaatlah PPGT berada.
Pengurus jemaat bertanggungjawab menyusun program kerja beradasarkan 12 pokok
panggilan PPGT tersebut. Tugas pengurus PPGT Klasis adalah fungsi koordinatif untuk
memastikan setiap jemaat di klasisnya berjalan menurut tuntutan paradigm baru tersebut. Dua
belas pokok panggilan tersebut adalah:
1. Pembaruan Diri dan Organisasi
2. PPGT untuk Semua
3. Pemberdayaan SDM
4. Pembudayaan Etos Kristiani
5. Pengembangan Peran Kebangsaan
6. Pengembangan Peran Ekumenis
7. Pengembangan Peran Pluralisme
8. Gender dan Feminisme
9. Pelayanan Sosial
10. Pembangunan Kesehatan Masyarakat
11. Pengentasan Kemiskinan
12. Pemeliharaan Lingkungan Hidup
Menempatkan pembaharuan diri pada posisi pertama dari 12 pokok panggilan PPGT, adalah
penegasan dan integrasi diri PPGT terhadap jiwa dari tanggapan teologis Gereja Toraja secara
meyeluruh terhadap perubahan yang sangat cepat dan mendasar disekeliling kita. SSA Gereja
Toraja ke-22 di Jakarta dicanangkan sebagai sidang sinode pembaruan dengan tema:
“Berubahlah oleh pembaruan budimu” (Roma 12:12a) dengan sub tema: “Mewujudkan
Pembaruan Yang Membawa Damai Sejahtera”. Untuk melaksanakan pembaruan yang
membawa damai sejahtera bagi semua maka SSA ke-22 tahun 2006 telah mencanangkan 10
Pokok-Pokok Tugas Panggilan Gereja Toraja (PTP-GT) sebagai berikut:
Tema ini adalah tema payung Gereja Toraja dalam perjalanan hidup bergereja selama
lima tahun. Dengan demikian tema ini juga adalah pengayom tematis bagi seluruh komponen
gerejawi termasuk Persekutuan Pemuda Gereja Toraja sebagai bagian integral Gereja Toraja.
Dalam perjalanan panjang perjuangan bersama warga Gereja Toraja di berbagai ranah dan
lini, realitas yang kita hadapi belum cukup menjawab idealitas yang sedang kita perjuangkan.
Ketika perjalanan dari Palopo (SSA k2-21) ke Jakarta (SSA ke-22) memandatkan semangat
pembaruan, dan SSA ke-22 di Jakarta mengutus warga Gereja Toraja untuk bersekutu, bersaksi
dan melayani dalam koridor PTP-GT diatas; kita menghadapi kenyataan bahwa kompleksitas
pergumulan dalam kehidupan bergereja, bemasyarakat dan berbangsa menyulitkan kita untuk
mengukur pencapaian dimaksud. Namun penghayatan teologis yang semakin menguat
adalah, misi Allah tidak berubah tetapi gereja-lah yang harus berubah dibawah terang
kehendak Allah. Pembaruan berbasis kesadaran yang sungguh-sungguh mendasar atas
kelemahan dan keterbatasan bahkan pelanggaran kita, yang mengantar kepada sebuah
“metanoia”, pembaruan budi yang lahir dari proses batiniah dan mengantar kepada
penampilan (performa) lahiriah yang membawa damai sejahtera.
Menyongsong Sidang sinode ke-23, semakin kuat tantangan untuk membahasakan
pembaruan budi tersebut dengan lebih kongkrit, senyata tantangan yang semakin riil dihadapi
oleh warga Gereja Toraja dalam kesehariannya. Sehari-hari kita semakin berhadapan dengan
sikap mementingkan diri, beria-ria diatas penderitaan orang lain, individualisme dan
menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi. Sehari-hari kita berhadapan dengan
bahasa “kebenaran” yang diputar-balik untuk melayani kepentingan pribadi maupun
kelompok; kebenaran yang berstandar ganda yang tidak berkeadilan bahkan dapat diperjual-
belikan. Dalam retorika, kasih makin sering dikumandangkan tapi dalam praktik dicampakkan.
Sikap yang oleh Rasul Yohanes ditengking dengan ucapan “pembohong dan menipu diri”.
Inilah yang dipandang perlu untuk diteriakkan sekeras-kerasnya, marilah kita mengasihi, bukan
dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran! (I
Yoh.3:18). “Little children, let us love, not in words or speech, but in truth and action.”-
NRSV.
Inti tema adalah “spiritualitas”. Tema ini mengangkat salah satu penekanan SSA ke-22
yakni “spiritualitas” yang kemudian mengemuka dalam program tahunan BPMS Gereja Toraja
yakni “Pekan Spiritualitas”. Selain itu, tema ini diangkat dalam rangka perenungan satu abad
Injil Masuk Toraja (100 tahun IMT). Satu abad IMT adalah anugerah Tuhan sebagai
momentum evaluasi dan refleksi spiritualitas Gereja Toraja memasuki abad baru kehadirannya
di dunia ini. Sejauhmana spiritualitas yang dibangunnya sesuai dengan hakekatnya sebagai
Gereja Tuhan di dunia ini. Untuk maksud tersebut, maka spiritualitas Yesus menjadi teladan
penilaian kita.
Mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran adalah Spiritualitas Yesus. Dengan
memilih tema ini terkandung maksud agar kehidupan gereja menjadikan Spiritualitas Yesus
sebagai teladan. Gereja yang dimaksud disini adalah warga jemaat temasuk para pelayan yang
pengembangan spiritualitas dan pertumbuhan imannya mesti “meniru spiritualitas Yesus”.
Karena tema ini dipandang sudah bersifat operasional maka dianggap sub tema tidak perlu
lagi.
2. Spiritualitas Yesus
a. Spiritualitas Utuh
Spiritualitas merupakan kesatuan relasional antara spiritualitas yang akrab
atau intim dengan Tuhan dan spiritualitas kenabian. Keintimannya, kedekatannya,
keakraban Yesus dengan BapaNya melahirkan sikap hidup yang peduli dan kritis
dengan kehidupan manusia dan ciptaan lainnya. Jika kita memperhatikan seluruh
kehidupan Yesus, maka memang sangat jelas bahwa di dalam diriNya relasi
intimitas dengan Bapa dan sikap/tindakan profetis (kenabian) merupakan satu
kesatuan. Keintimannya/kedekatannya dengan Allah menghadirkan sikap hidup
yang peduli dan kritis dalam relasi dengan manusia dan seluruh ciptaan ( profetis).
Kedekatan dengan Tuhan melahirkan “hati yang berkobar-kobar” (menggetarkan)
untuk lebih dekat dengan Tuhan lagi (intim) yang kemudian berpuncak pada “hati
yang berkobar-kobar” untuk pergi menjadi saksi-saksi yang hidup, baik di dalam
persekutuan maupun dunia pada umumnya (Lihat Lukas 24:32).
Di dalam kehidupan Yesus, selain sibuk berkotbah, mengajar,
menyembuhkan, menantang pimpinan agama & negara (spiritualitas kenabian),
Yesus menunjukkan spiritualitas intimitas-Nya dengan BapaNya dengan rajin
berkontemplasi untuk mengalami dan menikmati kedekatanNya dengan BapaNya.
Ia berdoa tanpa henti, bergumul sendirian sebelum ambil keputusan. Para murid
sering melihat Yesus berdoa – kadang-kadang tidak jauh dari mereka (Mat 26:36;
Luk 22:41; 11:1). Menyempatkan diri untuk menyendiri dan berdoa. ”Bangun pagi
waktu masih gelap” (Mrk 1: 35), berdoa secara tetap (Luk 5:16), berdoa sepanjang
malam (Luk 6:12), dan menutup pintu saat berdoa (Mat 6: 5-6). Hingga umur 30-
anYesus belajar, merenung, berdoa. Ketika dibaptis,Yesus berdoa (Luk 3: 21-22).
Selama 40 hari dipadang gurun tempat bergumul, Ia digoda dengan harta (roti),
dengan sensasi (terjun dari Kenisah), dan dengan kuasa (sembah sujud). (Mrk 1: 12-
13). Di dalam diri Yesus bertumbuh bersama “Semakin dikasihi Allah dan manusia”:
” Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya,
dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.”(Luk 2: 52).
Jadi kalau kita memperhatikan dengan seksama seluruh kehidupan dan
pengajaran Yesus, maka nampak dengan jelas bahwa Yesus datang untuk
memperkenalkan sebuah spiritualitas yang baru, sebuah gaya hidup yang baru, di
mana ada dua dimensi yang saling terkait. Dimensi yang pertama, adalah ketaatan
yang total kepada Allah (intimitas dengan Allah). Dan dimensi yang kedua, adalah
kepedulian yang eksistensial kepada sesama dan seluruh ciptaan. Keduanya tak
terpisahkan. Ketaatan Yesus yang total kepada Allah (intimitas dengan Allah) itulah
yang membuat Ia secara eksistensial dan total pula menaruh kepedulian kepada
umat manusia dan seluruh ciptaan. Dan sebaliknya, kepedulianNya yang total
terhadap umat manusia dan seluruh ciptaan (sikap profetis) adalah bukti yang
paling absah dan paling nyata dari ketaatan-Nya kepada Allah. Spiritualitas Yesus
menunjuk pada kehidupan yang terarah kepada Allah (keintiman, kedekatan
dengan Allah) yang menjadi semangat pokok menjalani dan memaknai seluruh
aspek kehidupan: hubungan dengan sesama, dunia/alam semesta, bahkan dengan
diri sendiri.
Kedua relasi ini merupakan satu kesatuan yang mewujud di dalam
perbuatan Kasih. Seluruh perbuatan dan perkataan-Nya merupakan kesatuan kasih
(identitas etis) dan kebenaran (identitas teologis). Keterarahan kepada Allah
melahirkan Spiritualitas Yesus yang visioner dan transformatif (band. Lukas 4:17-
20). Yesus dengan sangat jelas mengartikulasikan visi pelayanannya sebagai
bangunan dari tiga elemen yang saling terkait (1) kehendak dan mandat dari Allah
(2) kesadaran akan talenta dan kapasitas yang Allah berikan, dan (3) konteks dan
kebutuhan zaman yang Allah tunjukkan. Bahwa Roh Tuhan yang ada pada Yesus
mengurapi Dia untuk menyampaikan Kabar Baik bagi orang miskin, pembebasan
bagi yang tertawan dan tertindas, penglihatan bagi orang buta, dan
memproklamirkan kedatangan tahun rahmat Tuhan.
Tema, “Mengasihi dalam Perbuatan dan dalam Kebenaran” merupakan
ajakan untuk menjadikan spiritualitas Yesus sebagai gaya hidup kita (spiritualitas
kita) membangun spiritualitas diri, gereja dan masyarakat di mana kita di
tempatkan oleh Tuhan.
Para ahli Perjanjian Baru sependapat bahwa Yohanes, penulis kitab ini yang disebut
sebagai seorang penatua adalah Rasul Yohanes, murid yang dalam beberapa penjelasan Injil
adalah murid yang “paling dikasihi” oleh Yesus. Para ahli juga sependapat bahwa penulis surat
I Yohanes adalah juga penulis Injil dan Wahyu Yohanes. Hal itu berbeda dengan surat II dan
III Yohanes, yang beberapa ahli meragukannya sebagai yang ditulis oleh Rasul Yohanes.
Meskipun begitu, dari segi isi dan penyajiannya umumnya diterima bahwa keduanya berasal
dari Rasul Yohanes juga. Perlu diketahui bahwa baik Injil Yohanes, surat-surat maupun Wahyu
Yohanes berbicara tentang tindakan Allah yang terarah ke dunia ini. Firman, yaitu Allah
sendiri telah menjadi manusia (Yoh 1:14). Allah mengasihi dunia (Yoh 3:16). Langit baru dan
bumi baru terjadi karena Yerusalem yang surgawi turun ke bumi (Wahyu 21).
Yohanes adalah sosok murid yang mengalami dan merasakan langsung apa arti
“dikasihi” dan “mengasihi” itu di dalam Kristus itu. Ia juga mengalami dan merasakan
langsung apa yang dimaksudkan dengan “kebenaran” itu jika Yesus berbicara tentang
“kebenaran”. Pengalamannya hidup bersama dengan Yesus telah mengajarkan kepadanya
bahwa kasih dan kebenaran tidak bisa dipisahkan, bahkan dalam seluruh kehidupan Yesus,
kasih dan kebenaran identik dengan perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain pula,
perkataan dan perbuatan yang benar adalah perkataan dan perbuatan yang berlandaskan
kasih dan kebenaran. Karena itu, dia dengan gamblang mengeritik kehidupan jemaat atau
pribadi-pribadi tertentu yang dengan gampang menyebutkan “kasih” dan “kebenaran” tetapi
sesungguhnya kehidupan mereka jauh dari “kasih” dan “kebenaran” sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Yesus. Sebaliknya ia juga dengan gamblang memuji jemaat dan pribadi-
pribadi yang dalam kehidupannya nyata perbuatan-perbuatan yang menunjukkan penyatuan
kasih dan kebenaran itu. Dia menyapa Gayus dengan “kasih dan kebenaran”, “Dari penatua
kepada Gayus yang kekasih, yang kukasihi dalam kebenaran” (III Yoh. 1:1). Dari perspektif ini
pulalah Yohanes menilai kehidupan jemaat-jemaat dan pribadi-pribadi yang dengannya ia
menulis surat penggembalaan, baik pada tataran teologis maupun etis.
Jika kita memperhatikan keseluruhan Surat Yohanes yang pertama, nampak bahwa
surat ini dialamatkan kepada suatu jemaat atau gereja tertentu, yang menurut istilah
penulisnya sedang dilanda nabi-nabi palsu. Karena itu, I Yoh. 4:1 menandaskan, “Saudara-
saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah
mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke
seluruh dunia.” Siapa nabi-nabi palsu itu? Ternyata mereka tidak datang dari luar, tetapi justru
muncul dari dalam tubuh gereja sendiri. Bukan itu saja. Nabi-nabi palsu itu juga beroperasi
dalam gereja. Nampaknya orang-orang ini memang tetap dalam gereja, tidak keluar dari
keanggotaan gereja. Tetapi mereka membuat suatu kelompok tersendiri. Membuat
persekutuan di dalam persekutuan. Membuat gereja di dalam gereja, dan karena itu amat
membahayakan keutuhan dan kesatuan jemaat. Kata Yohanes, “Memang mereka berasal dari
antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka
sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita” (ayat
19). Mereka membentuk persekutuan sendiri.
Dari ayat-ayat selanjutnya kita mendapat kesan bahwa ciri khas dari kelompok ini
adalah: bahwa mereka itu merasa mendapat pengurapan khusus oleh Roh Kudus. Roh Kudus
ini, menurut keyakinan mereka mengaruniakan “gnosis” atau “pengetahuan” yang khusus dan
istimewa tentang Allah. Pengetahuan khusus inilah yang membuat mereka merasa lebih
berhikmat, lebih beriman, dan lebih suci daripada anggota-anggota gereja yang lain. Sikap
itulah yang kemudian dikecam oleh Yohanes melalui ayat yang sangat terkenal: “Jika kita
berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada
di dalam kita” (I Yoh. 1:8). Selain itu Yohanes juga memberikan julukan kepada mereka
sebagai “anti Kristus”: “Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang
telah kamu dengar, seorang anti Kristus akan datang. Sekarang telah bangkit banyak anti
Kristus” (I Yoh. 2:18).
Mengapa mereka diberikan julukan seperti ? Menurut ayat 22: oleh karena mereka
menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus. Apa artinya “menyangkal bahwa Yesus adalah
Kristus”? Kelihatannya aneh! Bukankah mereka justru amat menghormati Kristus? Ya, tetapi
Kristus yang mereka percayai dan hormati itu adalah Kristus yang surgawi, yang rohani, yang
mulia. Tidak kepada Yesus yang duniawi, yang jasmani, yang papa, yang menderita, yang
tersalib, yang oleh Rasul Paulus dipahami sebagai idenitias kristiani ketika ia mengatakan,
“Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab
olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6:14). Yang mereka
percayai dan hormati adalah Mesias yang menang, bukan Hamba Allah yang menderita, yang
tersalib. Yang mereka percayai dan hormati adalah Kristus, Sang Anak Allah, bukan Yesus, si
Anak Manusia. Pendeknya, Kristus yang mereka percayai dan hormati itu adalah Kristus yang
rohani. Saking rohaninya, atau saking abstraknya sehingga Kristus tidak ubahnya telah menjadi
sekedar sebagai sebuah ide, semacam konsep, suatu prinsip-prinsip kebenaran yang abstrak.
Bukan lagi sebagai sebuah pribadi yang hidup dan kongkret. Bukan lagi Allah yang telah
menjadi manusia dan “tinggal di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan
kebenaran” (Yoh. 3:14).
Jadi rupanya bagi sang penatua penulis surat I Yohanes ini, menjadikan Kristus sekedar
sebagai sebuah ide, konsep atau prinsip kebenaran universal adalah sikap seorang anti Kristus.
Anti Kristus karena Yesus Kristus itu bukan ide, bukan konsep, bukan prinsip, tetapi Allah,
Allah yang hidup. Dan yang terpenting: Allah yang menjadi manusia, Allah yang menjadi
daging, dan “memberikan teladan hidup untuk kita ikuti jejak-jejak-Nya” (I Petrus 2:21). Iman
kepada Yesus Kristus yang tersalib adalah iman yang membumi, iman yang menemukan
identitasnya di dunia ini. Rupanya menurut Yohanes, pendapat mereka itu merupakan
kesalahan teologis yang amat mendasar, yang bertolak belakang dari seluruh kebenaran Injil.
Mengapa? Sebab Injil justru berarti Allah yang abstrak menjadikan Diri-Nya kongkret, menjadi
manusia, masuk ke dalam sejarah. Mereka sebaliknya. Mereka menjadikan yang kongkret
menjadi abstrak. Injil yang sejati adalah ketika yang rohani itu menjadi jasmani, ketika Allah
yang rohani itu menjasmanikan diri, mengambil bentuk manusia, menjadi daging,
men”dunia”. Mereka sebaliknya. Mereka menjadikan yang jasmani itu rohani. Kesalahan
teologis yang fatal inilah yang kemudian mendorong Yohanes untuk berbicara tentang
mengasihi Allah dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Mengapa? Sebab kesalahan teologis
juga telah melahirkan kesalahan etis yang gawat. Kasih, yang menjadi identitas etis orang
percaya, juga mereka rohanikan. Mereka jadikan ide, konsep, prinsip. Kasih menjadi kata-kata
saja yang begitu mudah diungkapkan tetapi tidak nampak dalam kehidupan. Karena itu, kata
Yohanes, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah,
tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”. Ayat ini memperbandingkan dua cara untuk
mengasihi, yang satu dengan perkataan (logos), yang satu lagi dengan tindakan (ergon).
Perbandingan antara logos dengan ergon lazim dalam tulisan-tulisan Yunani. Kedua cara itu
masing-masing dilengkapi dengan satu istilah lagi. “Perkataan” ("logos") merupakan wujud
suatu pikiran. “Lidah” merujuk ke tindakan bertutur. Keduanya mewakili yang abstrak
ketimbang yang konkrit. Dan karena kasih Kristus adalah konkrit, maka kata “perkataan” dan
“lidah” mewakili yang semu ketimbang yang sejati. Kemudian, perbuatan ("ergon") dilengkapi
dengan kebenaran ("aletheia"). Perbuatan jelas konkrit, tetapi aletheia itu biasanya abstrak,
jadi merujuk ke suatu kesesuaian antara apa yang benar dengan kenyataan atau perbuatan.
“Aletheia” memiliki beberapa arti.
1) Apa yang sesuai dengan kenyataan, lawan dari penampakan atau ilusi. Dalam 2 Yoh
1:1, "benar-benar" menerjemahkan "dalam aletheia". Kata „emet dalam PL biasanya
diterjemahkan “aletheia”. Kata „emet sendiri dalam PL sering diterjemahkan
“kesetiaan” Allah atau “kebenaran” (Lihat kata “kesetiaan” dan “kebenaran” dalam
Mazmur 43:3; 45:5; 51:8). Sebenarnya, Plato pun mencari dasar untuk kehidupan
(perbuatan) yang baik, sama seperti ilmu pengetahuan Barat. Hanya, dicari dalam
rumusan/ide, bukan Pribadi.
2) Apa yang sesuai dengan kenyataan, lawan dari bohong. Unsur etis mulai muncul di
sini, yaitu bahwa orang berkomunikasi (dalam perkataan atau tindakan) sesuai dengan
apa yang sebenarnya. Dalam 1 Yoh 2:21 aletheia berarti pemahaman tentang Kristus
yang sesuai dengan kenyataan Kristus, ketimbang pemahaman dalam ajaran palsu.
3) Jika kenyataan yang dimaksud adalah perbuatan orang, maka kita tiba pada satu tema
yang kuat dalam PL dan PB, yaitu kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Hal
itu bisa menyangkut pengakuan tentang diri sendiri, seperti dalam 1 Yoh 1:6, 8; 2:4, di
mana pengakuan tertentu dipalsukan oleh perbuatan. Perkataan itu juga termasuk
perkataan yang menyiratkan janji. Kenyataan dari suatu janji adalah pewujudannya
dalam perbuatan.
4) Dengan demikian kita tiba pada artian aletheia sebagai sifat orang yang bertindak
(berbicara) menurut aletheia, yaitu ketulusan, kesetiaan, kejujuran. 'Emet dalam bahasa
Ibrani sering memiliki artian demikian, merujuk ke kesetiaan Allah. Dalam kaitannya
dengan kata ergon, mungkin pengertian yang ketiga di atas yang paling
mempertahankan perlawanan antara abstrak dengan konkrit. Yohanes memiliki
concern supaya perbuatan dan perkataan pembaca klop, baik dalam pemahaman
tentang dirinya, maupun pada ayat ini dalam relasi dengan sesama. Mengaku
mengasihi orang menyiratkan janji yang harus dinyatakan dalam perbuatan. Namun,
dalam ayat berikut Yohanes langsung memperluas cakupan aletheia itu. Bahwa kita
"berasal dari aletheia" jelas tidak merujuk pada sifat dalam diri kita. Frase itu merujuk
ke frase "berasal dari Allah" dalam ayat 10, yang secara negatif dikaitkan dengan kasih.
Berasal dari Allah dan berasal dari aletheia merupakan pengulangan yang mencakup
pembahasan tentang kasih dalam ayat-ayat11-18.
5) Aletheia dalam ayat 19 adalah sifat Allah, yaitu sebagaimana dalam pengertian yang
pertama versi PL yakni kesetiaan. Aletheia pribadi dalam kesesuaian antara perkataan
kasih dan perbuatan kasih menunjukkan bahwa kita berasal dari aletheia, yaitu Allah
sebagai Yang Riil.
Jadi sebuah peringatan bahwa “kasih” dan “kebenaran” dalam iman Kristen itu itu
adalah relasi, bukan konsep-konsep abstrak. Tetapi relasi kasih itu tidaklah bermakna relasi
kasih pada dirinya sendiri melainkan sebuah relasi kasih yang dimotivasi oleh sebuah prinsip
kebenaran menurut Injil (landasan teologis), yakni tindakan Allah: “Bukan kita yang telah
mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anak-Nya
sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah
sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi” (I Yoh. 4:10,11). Jadi
dapat dikatakan bahwa “perbuatan” (gaya hidup, cara hidup) adalah cara menghayati
kebenaran dan kasih. Spiritualitas adalah trilogi mengasihi-perbuatan-kebenaran. Jika Yesus
mengatakan bahwa Dialah kebenaran, maka Dia adalah perwujudan relasi yang telah
dipulihkan antara Allah dan manusia, antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia
dengan seluruh ciptaan. Kebenaran adalah relasi yang benar. Itulah spiritualitas Yesus. Itulah
gaya hidup Yesus, yang oleh Rasul Petrus disebut sebagai jejak-jejak hidup yang harus kita
ikuti ikuti: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk
kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (I Petrus
2:21).
Trilogi Mengasihi–Perbuatan–Kebenaran. Ketiganya memang tak dapat dipisahkan.
Dengan meletakkan perbuatan di tengah-tengahnya, Yohanes sesungguhnya mengingatkan
identitas kekristenan, baik teologis maupun etis. Bahwa kasih sebagai identitas etis kristiani
adalah sesuatu yang mesti “dijadikan”, bukan sesuatu yang sudah jadi. “Kasih” baru ada ketika
kita “mengasihi”. Kasih mensyaratkan adanya pihak lain, pihak asing: “Sebab aku sangat
bersukacita, ketika beberapa saudara datang dan memberi kesaksian tentang hidupmu dalam
kebenaran, sebab memang engkau hidup dalam kebenaran. Bagiku tidak ada sukacita yang
lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran. Saudaraku
yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu
untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing. Mereka telah memberi
kesaksian di hadapan jemaat tentang kasihmu. Baik benar perbuatanmu, jikalau engkau
menolong mereka dalam perjalanan mereka, dengan suatu cara yang berkenan kepada Allah”
(III Yoh. 1:3-6). Dengan kata lain, kasih yang adalah identitas etis kita justru kita temukan di
dalam diri orang lain ketika kehidupan kita telah mampu membawa damai sejahtera bagi
orang lain itu. Dan gaya hidup seperti itu dilandasi oleh sebuah kebenaran kristiani yang telah
diteladankan oleh Kristus sendiri pula, yakni di dalam relasi yang benar dengan Allah dan
sesama (identitas teologis, kebenaran). Trilogi ini merupakan spiritualitas kristiani, spiritualitas
yang telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Mengasihi–Perbuatan–Kebenaran = Spiritualitas
Kristiani.
Dari paparan diatas, maka mengangkat Tema “Mengasihi dengan Perbuatan dan
dalam Kebenaran” (I Yoh. 3:18), merupakan sebuah panggilan untuk:
1) Membangun sebuah spiritualitas kristiani dengan menjadikan spiritualitas Yesus sebagai
teladan di dalam menjalani kehidupan orang percaya dalam rangkan mewujudkan
Gereja Toraja yang membawa damai sejahtera bagi semua.
2) Mengembangkan sebuah spiritualitas di mana gaya hidup itu (perbuatan) merupakan
gaya hidup hasil pembatinan pandangan hidup (dhi. kebenaran) kristen, sehingga
hasilnya adalah sebuah gaya hidup (dhi. mengasihi) berdasarkan padangan hidup
kristiani (kebenaran kristiani) yang keluar dari hati sebagai hasil pembatinan
pandangan hidup kristiani (kebenaran kristiani), sehingga kita tidak mengasihi hanya
dengan akal budi tetapi dengan segenap hati dan jiwa (Matius 22:37-40). Pembatinan
dalam hal ini dimaknai sebagai perjalanan pendalaman sebuah penghayatan nilai dan
keyakinan kedalam lubuk hati, sanubari, batin, budi, nous, sehingga hasilnya melamur
keseluruhan keberadaan kita; rasa, karsa, kata dan karya kita.
3) Menjemaatkan cara “menikmati” Injil sebagaimana dijelaskan dari hasil Konsultasi Misi
ke-3 Gereja Toraja. Bahwa seluruh “kewajiban-kewajiban” agama kita akan terasa
sebagai beban jika kita tidak “menikmatinya”, tidak keluar dari hati sebagai hasil
pembatinan dalam kerangka teologis: mengapa kita melakukan itu. Hanya dengan
begitu, seluruh kehidupan dan pelayanan kita menjadi sesuatu yang bermakna. Ada
spirit kehidupan, tidak dingin dan hambar, dinikmati.
4) Menegaskan identitas kita sebagai gereja, baik identitas teologis maupun etis. Itu
berarti sebuah panggilan untuk hadir sesuai dengan identitas eklesiologis yang
diberikan kepada kita oleh Tuhan sendiri.
5) Memacu semangat bagaimana seharusnya kehadiran kita supaya dapat diterima
(akseptabel) dan bermanfaat (efektif) tanpa mengkhianati identitas kita sebagai gereja
“Masalah” adalah kesenjangan antara “yang ada” (realitas) dengan yang diharapkan
(idealitas). Masalah Gereja Toraja adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan
daripadanya sebagai Gereja dengan realitas kehidupan Gereja Toraja sekarang ini. Jika kita
bertolak dari dua arah hakekat Gereja Toraja yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lain (misi ke dalam dan ke luar), evaluasi kehadiran kita terletak pada dua arah ini dan
bagaimana keduanya berjalan seimbang. Rumusan eklesiologis Gereja Toraja dalam PGT pasal
VI menekankan dalam bahwa umat Allah diutus ke dalam dunia untuk dunia, berada didalam
dunia, tetapi bukan dari dunia. Setiap kegiatan gereja merupakan tanda kehidupan baru itu,
baik bila jemaat berkumpul, maupun bila menyebar untuk melayani dan bersaksi ditengah-
tengah dunia. Jemaat adalah arak-arakan yang dinamis dan terbuka serta mengundang semua
orang melalui kesaksian hidup, pelayanan dan pemberitaannya untuk ikut dalam arak-arakan
ini menuju kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Didalamnya ada pengakuan iman
bahwa arak-arakan ini senantiasa dibina dan dipelihara oleh Roh Kudus dan Firman Allah
didalam seluruh kehidupan dan segala kegiatannya ditengah-tengah dunia
Jika kita memperhatikan pencapaian 10 PTP-GT yang dihasilkan dalam SSA ke 22,
menunjukkan perubahan yang sangat mendasar pada tataran yang seharusnya, yang
diharapkan (idealitas), di mana porsi misi ke luar yang sebelumnya kurang mendapat
perhatian telah mendapat perhatian yang sangat besar (3,4,5,7,8,9). Dari ke 10 PTP-GT ini
kita tertantang untuk mengevaluasi dan berefleksi untuk kemudian menentukan aksi kita
selanjutnya. Disamping berbagai pencapaian yang menggembirakan dan patut kita syukuri,
kita terus berhadapan dengan keragaman permasalahan yang dalam refleksi ini akan
dipetakan kedalam dua arah pembenahan, yakni secara internal (misi ke dalam) dan secara
keluar (misi ke luar).
1. Internal
2. Eksternal
III.4. Penyesuaian Tematik PTP Gereja Toraja 2011-2018 dalam Derap Implementasi 12 Pokok
Panggilan PPGT
Bertolak dari Visi Gereja Toraja, “Damai Sejahtera bagi Semua” dan Tema SSA XXIII
“Mengasihi dengan Perbuatan dan dalam Kebenaran” (I Yohanes 3:18) serta
mempertimbangkan konteks pergumulan pelayanan Gereja Toraja dan tantangan yang
menyertainya, dan setelah menggumuli dengan seksama tantangan internal maupun ekternal
Gereja Toraja, maka dalam tuntunan hikmat Tuhan SMS ke 23 di Tallunglipu menetapkan
pokok-pokok tugas panggilan Gereja Toraja dalam Keputusan nomor 13 sebagai berikut:
a. Tantangan bagi sikap dan komitmen diakonal gereja menjadi semakin riil. Kita
mengaminkan bahwa Kristus masuk ke dalam dunia ini, antara lain, untuk mencari dan
menyantuni orang miskin, melepaskan orang yang terbelenggu dan mengentaskan
orang-orang yang tidak berdaya kepada keadaan yang lebih baik. Atas dasar itu,
gereja pada hakekatnya terpanggil untuk berperan sebagai mitra Kristus dalam upaya
penanggulangan akar kemiskinan dan pengentasan orang-orang lemah dari berbagai
ketidakberdayaan. Peran inilah yang lazim dikenal sebagai Tugas Panggilan Gereja
yang ketiga, yaitu “pelayanan” atau “diakonia”. Pelaksanaan tugas panggilan ini harus
dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa dalam setiap berkat yang kita peroleh tertitip
bagian orang-orang miskin, dan dalam setiap potensi yang kita miliki terselip bagian
yang harus dialokasikan untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan orang-orang
yang tidak berdaya.
b. Pembaharuan paradigma diakonia kearah diakonia yang lebih transformatif mesti
semakin serius diupayakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran sebagian warga
jemaat untuk berdiakonia semakin meningkat. Namun pada sisi lain muncul pula
gejala bahwa justru pihak pengelola jemaatlah yang cenderung membatasi pelayanan
diakonianya dalam lingkup jemaatnya sendiri, dan itupun masih terbatas pada
pelayanan diakonia karitatif atau diakonia konsumtif. Padahal jumlah orang-orang
yang dapat menjadi peserta pelayanan diakonia bukannya semakin berkurang.
c. Jumlah warga jemaat dan warga bangsa ini yang tergolong ke dalam kelompok orang-
orang yang terlindas oleh hiruk-pikuknya aktivitas pembangunan, justru semakin
bertambah dari saat ke saat. Mereka inilah yang memerlukan perhatian serius dan
dukungan dari kita semua. Mereka ini perlu dientaskan dari ketidakberdayaannya,
khususnya dalam bidang ekonomi, yang membuatnya menjadi beban pembangunan
secara terus-menerus. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kepedulian, keseriusan,
tekad tindakan nyata dari kita semua. Sikap diakonal jemaat juga harus diberdayakan
sehingga usaha-usaha yang dibuka oleh penerima bantuan diakonia transformatif,
diberdayakan oleh warga jemaat sendiri. “Trend” belanja ke mall-mall, meski untuk
kebutuhan dasar sehari-hari, mestinya dialihkan kepada kios-kios kecil mereka. Di
samping itu, perlu direncanakan program-program pemberdayaan bagi upaya
peningkatan kesejahteraan warga gereja, seperti program-program pembinaan
keterampilan dan pendampingan bagi warga gereja pencari kerja, baik dalam negeri
maupun ke luar negeri.
III.5.2 MISI
Misi PPGT merupakan tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai visi. Misi PPGT adalah
menciptakan KADER SIAP UTUSyang siap dan bertangung jawab menyatakan tugas dan
panggilannya di tengah gereja dan masyarakat. Proses pembentukan “Kader Siap Utus”
tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Memberdayakan semua kader PPGT untuk memiliki kualitas persekutuan, kesaksian dan
pelayanan.
2. Memperlengkapi para pemimpin muda dengan format pengembangan kualitas
persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
3. Mengutus pemimpin-pemimpin muda ke tengah-tengah berbagai ladang pelayanan gereja
dan masyarakat untuk menyatakan kualitas persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
IV. STRATEGI
Strategi di atas bertujuan untuk menghasilkan profil pemuda kristen yang memiliki sejumlah
kualifikasi kompeten. Kualifikasi itu dapat digambarkan dalam 4 Qdan 3 Segitiga.
Kualifikasi 4 Q adalah sbb :
1. Spiritual Quation, yaitu kemampuan untuk mewujudnyatakan spiritualitas yang utuh
dalam setiap bentuk pelayanan dengan selalu mengandalkan TUHAN.
2. Emotional Quation, yaitu kemampuan untuk memaksimalkan emosi kejiwaan dalam setiap
interaksi dengan sesama ciptaan Tuhan yang lain
3. Attitude Quation, yaitu kemampuan untuk mengejawantahkan kualitas iman dalam bentuk
tindakan nyata yang mencerminkan kasih Kristus sebagai pola hidup Kristiani.
4. Intelectual Quation, yaitu kemampuan intelektual yang dimiliki sebagai hasil dari suatu
proses belajar baik pada jenjang formal maupun informal dan dimatangkan melalui
pembinaan dan pemberdayaan anggota PPGT.
Dengan mengacu pada pokok-pokok tugas panggilan tersebut, Gereja Toraja pada
semua aras, diharapkan dapat merumuskan program kerja secara visioner, baik untuk jangka
pendek dan menengah maupun untuk jangka panjang. Ketanggapan visioner yang berteladan
kepada spiritualitas Yesus ini adalah kemampuan menatap jauh kedepan, ketanggapan dalam
merespon tantangan serta kesanggupan untuk memikirkan berbagai kemungkinan untuk
menggairahkan pelayanan. Pokok-pokok tugas panggilan tersebut menyangkut
pengembangan pemahaman, penghayatan dan pemaknaan tentang sejumlah isu pokok
perubahan atau pembaruan yang sedang dan akan terus berlangsung dalam kehidupan
bergereja, bermasyarakat dan berbangsa
Berdasarkan Visi Gereja Toraja “Damai sejahtera bagi semua”, serta dengan
mempertimbangkan berbagai konteks pelayanan PPGT, maka hasil Kongres XII PPGT di
Samarinda tahun 2008 yakni 12 Pokok Panggilan PPGT akan terus berderap seiring. Kongres
XIII PPGT di Seriti ini diharapkan akan menjadi momentum evaluatif terhadap implementasi
panggilan ini selama lima tahun sejak dicanangkannya di Samarinda. Seberapa jauh Pengurus
Pusat, Pengurus Klasis dan Pengurus Jemaat telah bertekun menterjemahkan kedalam Program
Kerja yang visioner, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang, dan seberapa jauh
tingkat pencapaian dan partisipasi anggota PPGT di jemaat-jemaat dalam menyerap dan
melakoni panggilan tersebut. Untuk kebutuhan ini, maka berikut ini dua belas pokok
panggilan PPGT secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:
9. Pelayanan Sosial
PPGT terpanggil untuk mewujudkan pelayanan sosial yang menjawab
pergumulanpergumulan bangsa, khususnya yang berhubungan dengan ketimpangan dan
keterbelakangan sosial, pelayanan sosial kepada kelompok-kelompok yang terisolir dari
pergaulan kemasyarakatan, termasuk kesiagaan tanggap darurat dalam merespons bencana
alam dalam berbagai bentuk.
Dalam rangka melaksanakan pokok-pokok tugas panggilan PPGT tersebut di atas, perlu
dijabarkan secara operasional dalam bentuk pokok-pokok perogram. Program pemberdayaan
PPGT dikelompokkan dalam lima program induk, yaitu:
1. Program induk Pembinaan Spiritualitas
2. Program induk Pemberdayaan SDM
3. Program induk Organisasi
4. Program induk Pelayanan Sosial
5. Program Induk Profesi dan Keminatan
BAB VI
PENUTUP
Garis-garis Besar Program Pengembangan (GBPP) PPGT ini disusun berdasarkan kondisi
objektif PPGT sekarang ini. GBPP PPGT ini merupakan haluan yang dengannya Pengurus
periode 2013-2018 dapat merumuskansecara spesifik program kerja yang dapat menjawab
tantangan yang sementara dihadapi oleh persekutuan ini sehingga arah perarakan bersama
menuju tujuan PPGT sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Anggaran Dasar PPGT dapat
terwujud.
KONGRES XIII PPGT memberi mandat kepada Pengurus Pusat untuk membuat jabaran
operasional dari pokok-pokok program di atas, melalui rapat kerja, rapat koordinasi, maupun
strategi lain yang dipandang kontekstual. Dalam rangka penjabaran dan implementasi
tersebut, perlu ditetapkan beberapa prinsip yang akan menjadi pedoman bagi penyusunan
GBPP di tingkat Klasis dan Jemaat, yaitu:
1. Redaksi Visi dan Misi untuk tingkat Klasis dan Jemaat mengikuti rumusan redaksi Visi
dan Misi yang ada dalam GBPP ini. Hal ini dimaksudkan agar kita bersama-sama
dalam perarakan menggemakan dan mencapainya secara bersama.
2. GBPP ini terbuka terhadap adanya inovasi dan kreatifitas sesuai dengan konteks
masing-masing klasis dan jemaat.
3. Penerjamahan di tingkat Klasis dan Jemaat diterapkan dengan membuka
kemungkinan yang luas bagi perumusan yang sesuai dengan situasi, kondisi dan
karakteristik lokal Klasis dan jemaat.
Damai Sejahtera Allah yang melampaui segala akal itu akan memelihara hati dan pikiran
kita dalam Kristus Yesus Tuhan kita dalam setiap gerak aktifitas membangun Gereja-Nya untuk
menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dimanapun kita berada, sehingga semua lutut akan
bertelut menyembah Dia, Raja di atas segala raja dan semua lidah mengaku : “Yesus Kristus
itulah Tuhan dan Juruselamat”.