0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
545 tayangan42 halaman

GBPP PPGT 2013-2018

Ringkasan dokumen tersebut adalah: (1) Dokumen tersebut membahas garis besar program pengembangan PPGT untuk satu periode kepengurusan; (2) Menguraikan tujuan dari dokumen tersebut yaitu sebagai pedoman strategis dan penilaian program PPGT; (3) Memberikan analisis konteks kekinian yang mempengaruhi PPGT seperti perubahan sosial politik dan ekonomi di Indonesia.

Diunggah oleh

ALDRI HENDRA
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
545 tayangan42 halaman

GBPP PPGT 2013-2018

Ringkasan dokumen tersebut adalah: (1) Dokumen tersebut membahas garis besar program pengembangan PPGT untuk satu periode kepengurusan; (2) Menguraikan tujuan dari dokumen tersebut yaitu sebagai pedoman strategis dan penilaian program PPGT; (3) Memberikan analisis konteks kekinian yang mempengaruhi PPGT seperti perubahan sosial politik dan ekonomi di Indonesia.

Diunggah oleh

ALDRI HENDRA
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 42

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGEMBANGAN PPGT

BAB I
PENDAHULUAN

Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) sebagai wujud dari gereja, bukanlah berasal dari
dunia, melainkan diutus oleh ALLAH ke dalam dunia untuk menghadirkan tanda-tanda
kerajaan-Nya yaitu damai sejahtera bagi umat manusia. Keberadaannya di dunia merupakan
suatu rencana Agung dari Yesus Kristus Sang Kepala Gereja untuk menyampaikan kabar baik
kepada „orang-orang miskin‟, „pembebasan bagi orang-orang tawanan‟, „penglihatan bagi
orang-orang buta‟, pembebasan bagi orang-orang tertindas‟, dan untuk „memberitakan tahun
rahmat Tuhan sudah datang‟ (Luk. 4 : 19).
Untuk menjalankan tugas dan panggilan itu, dibutuhkan komitmen untuk bertindak dan
berbuat, dimana setiap anggota persekutuan menyatakan esensi yang paling dasar dari
perbuatan, yaitu kasih. Dalam bingkai kebersama-samaan dalam perarakan tema SMS 23,
Kongres XIII PPGT menyongsong era baru PPGT dalam rajutan tema : “Mengasihi dengan
perbuatan dan dalam Kebenaran, dengan sub tema : “Membangun Persekutuan, Merawat
Kemajemukan, Memelihara Lingkungan.
Relevansi Tema dan Sub Tema dengan konteks kekinian PPGT menjadi semakin penting
ditengah semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi PPGT. PPGT sepenuhnya
meyakini bahwa hanya untuk tetap survive ditengah kompleksitas perubahan zaman, maka
PPGT pertama-tama harus berubah (be transformed), yaitu kesediaan untuk terus menerus
dibaharui oleh Tuhan, Sang Pemilik Persekutuan. PPGT tetap berkomitmen untuk berada di
jalur semboyan reformasi : eklesia reformata semper reformanda, gereja yang dibarui haruslah
terus menerus membarui dirinya. Pembaruan berjalan bersama dengan pertumbuhan gereja.
Tidak ada pertumbuhan gereja tanpa perubahan. Jadi PPGT harus berubah karena itulah
kehendak Tuhan, agar kita mengalami perubahan dan pembaruan.
Salah satu tanda pembaruan adalah kasih, dalam hal ini setiap warga PPGT sampai pada
perwujudan kasih yang benar. Demikianlah, maka runutan tema Kongres XII Samarinda ke
Tema Kongres XIII Seriti berada dalam satu garis lurus yang saling equivalen. Pemuda yang
dibarui menampakkan tanda-tanda yang berbeda dengan dunia, yaitu mengasih dengan
model yang berbeda (tampil beda), dimana warga PPGT mengasihi dengan perbuatan yang
benar. Demikian juga perbuatan kasih dalam kebenaran akan mengantar setiap anggota untuk
terus berubah dan membarui dirinya, termasuk organisasinya.
Bila kita jujur mengevaluasi baik diri pribadi (sebagai anggota PPGT) maupun persekutuan
(sebagai organisasi), kita sadar bahwa kita masih pada tataran gereja yang ”masih sedang
berdoa”. Artinya gereja (PPGT) kita masih sedang melipat tangan, menutup mata dan banyak
bicara kepada Tuhan. Kalaupun gereja (PPGT) selesai berdoa, membuka mata dan mau
bertindak, maka umumnya kita hanya akan bertindak untuk mengurus ibadah, membangun
gedung (fisik), bersidang, lalu berdoa lagi. Urusan kesehatan, ekonomi, budaya, politik, HAM,
pendidikan, kemiskinan, pengangguran, lingkungan hidup dan lain-lain dianggap bukan
urusan gereja.
I.1. Pengertian
Garis-garis besar program pengembangan (GBPP) adalah dokumen organisasi yang
menjabarkan sasaran, strategi kebijakan umum dan arah program-program organisasi selama
kurun waktu satu periode kepengurusan PPGT. Penyusunan GBPP berakar pada konteks
kecenderungan lingkungan eksternal dan analisa aspek-aspek internal yang dipandu oleh
landasan visi dan misi PPGT dibawah sorotan tema dan sub tema KONGRES. Pada dasarnya
GBPP terdiri dari dua bagian pokok, yaitu a) Garis-garis Besar Program dan b) Garis Besar
Pengembangan & Kebijakan Umum Organisasi. Garis Besar Program Organisasi memuat
klasifikasi program yang akan dilaksanakan selama satu periode kepengurusan. Oleh
karenanya merupakan rangkuman hasil-hasil pemikiran yang berkaitan dengan arah, sasaran,
serta pola dan sarana implementasi program. Klasifikasi program ini sendiri merupakan
penjabaran dari kerangka dasar kebijakan organisasi. Kebijakan organisasi merupakan upaya
reflektif terhadap terang tema dan sub tema dalam memandu dinamika organisasi. Dengan
demikian secara praktis Garis Besar Program Pengembangan berfungsi sebagai tuntunan
umum dalam menjalankan langkah-langkah strategis organisasi.

I.2. Tujuan
GBPP ini disusun untuk mencapai tujuan yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Sebagai kerangka umum analisis organisasi dalam memahami dan menerjamahkan konsep
visi dan misi organisasi yang idealis-filosofis kedalam dinamika praksisnya
b. Sebagai pedoman strategis selama masa satu periode bakti bagi segenap perangkat
organisasi dalam merencanakan, melaksnakan dan mengendalikan seluruh aktifitas gerak
organisasi. Menyangkut penetapan posisi strategis organisasi,
c. Pengorganisasian wacana, penjabaran program, penentuan struktur, serta keseluruhan
perilaku dan penampakan organisasi
d. Sebagai landasan analisis yang sistematisdan berorientasi ke masa depan dalam rangka
pengembangan program-program dan kebijakan organisasi
e. Sebagai pedoman penilaian kualitatif dan dasar evaluasi pelaksanaan program dan
kebijakan organisasi

I.3. Sistematika
GBPP ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ANALISIS KONTEKS KEKINIAN
BAB III VISI DAN MISI
BAB IV POKOK-POKOK PANGGILAN PPGT
BAB V PENGORGANISASIAN PROGRAM
BAB VI PENUTUP
BAB II
ANALISIS KONTEKS KEKINIAN

Setiap organisasi dapat dikatakan hidup pada jalur yang benar, apabila ia setia dalam
menjalankan visi dan misi organisasi secara konsisten, sinambung dan dinamis serta relevan
dengan keutuhan lingkungan dan jamannya. Dalam kerangka pemahaman tersebut organisasi
harus memiliki kemampuan untuk tanggap dan adaptif terhadap perubahanperubahan yang
terjadi dalam lingkungan strategisnya. Untuk itu organisasi harus melakukan analisis dan
identifikasi secara tepat mengenai kebutuhan serta problematika pada diri dan tantangan
lingkungannya. Dengan demikian organisasi akan mampu bergerak secara proaktif dalam
menjalankan visi dan misinya. Bagian ini memberikananalisis dan pemetaan situasi saat ini dan
kecenderungan dimasa akan datang bagi Pengurus PPGT

II.1. Kondisi dan Kecenderungan Umum


Kondisi kehidupan berbangsa dalam satu dekade terakhir mengalami lompatan-lompatan
perubahan khususnya dalam sosial politik. Sisi lain perubahan yang sangat cepat tersebut, oleh
karena berbagai bias kehidupan belum juga mampu membawa perubahan signifikan pada
sektor ekonomi, yang pada gilirannya menciptakan kesenjangankesenjangan yang rawan
konflik. Pasca reformasi, Indonesia memasukiera keterbukaan dan kebebasan. Ada berbagai
aspek yang sebelumnya tidak dapat disentuh kemudian terbuka seluas-luasnya. Yang
fundamental adalah pengembalian kedaulatan pada kelompok sipil (Civil Society).
Hal-hal tersebut telah memberi kesempatan pada berbagai lapisan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Baik melalui berbagai
organisasi politik denngan lahirnya puluhan partai politik, juga dengan lahirnya organisasi
sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan paguyuban. Namun peluang
keterbukaan tersebut pada sisi lain telah melahirkan insan-insan oportunis, dengan kamuflase
organisasi yangdengan konsep mulia menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Oportunisme
tersebut, sebagai akibat dari kebebasan yang kebablasan, akibat kultur idealisme yang
sebelumnya tidak mendapat tempat untuk tumbuh dan berkembang pada orde baru.
Kebebasan dan kedaulatan yang datang pasca runtuhnya rezim Orde Baru, tidak
dimanfaatkan untuk mengelola kehidupan berbangsa menjadi lebih baik, melainkan
pragmatisme yang muncul.
Bias kebebasan dan keterbukaan serta ketidakmampuan mengelola kebebasan dan
keterbukaan tersebut nampak pada konflik elite politik baik pada aras daerah maupun pusat.
Secara simultan hal ini kait-mengait dengan kondisi ekonomi yang belum juga
menunjukkan perbaikan yang significant, sementara budaya kapitalisme semakin berkembang
yang juga tidak lepas dari peta kekuatan internasional dengan kemenangan demokrasi liberal
kapitalis terhadap sosialis komunis, dimana dalam bayak hal kapital memegang peranan
sangat penting dalam menentukan derajad hidup anak bangsa dalam pergaulan keseharian.
Pemahaman ini semakin memperparah dan memupuskan nilai-nilai idealisme dengan
mengedepankan kekuatan kapital dalam mencapai segala hal dan tumbuh kembangnya faham
materialistis, hedonisme, feodal, terutama dalam perebutan kekuasaan, dimana sistem dagang
sangat kental. Yang ada adalah transaksi (money politics), sehingga praktek KKN seolah
memasuki sendi bahkan sumsum anak bangsa, yang tentu saja semakin menyulitkan.
Pada sisi penegakan hukum, menunjukkan arah-arah perbaikan, dengan lahirnya berbagai
lembaga yang diharapkan dapat menjadi pioner dalam pemberantasan budaya korup, namun
arah perbaikan yang juga ditandai dengan lahirnya berbagai undang-undang tersebut dalam
perkembangannya juga tidak cukup signifikan dalam membawa perbaikan.
Hal ini tidak lepas dari mentalitas pelaksana hukum yang tidak cukup memiliki kapabilitas
dan kentalnya campur tangan kekuasaan politik atas proses hukum. Sisi lain lahirnya berbagai
ormas, telah digunakan untuk memaksakan kehendak golongan, kelompok dan individu
tertentu bahkan melahirkan budaya kekerasan terhadap yang lemah.
Dalam konteks kehidupan beragama, ekslusifisme agama-agama masih sangat kental.
Budaya klaim monopoli kebenaran masing-masing sangat kental, sehingga tidak memberi
ruang yang cukup untuk tumbuh kembangnya “dialog“ antar anak bangsa yang beragama.
Konflik dan kekerasan kemudian sering menjadi dalih untuk sebuah tindakan kekerasan. Yang
satu mengklaim yang lain sesat, dan harus dihancurkan sebagai bentuk patriotisme pada
agamanya. Pada daerah-daerah dengan komposisi pemeluk agama cukup berimbang justru
timbul konflik horisontal yang telah menelan banyak korban jiwa. Diyakini bahwa konflik-
konflik tersebut dapat dengan mudah terjadi, bukan semata karena alasan Agama, tetapi
ekslusifisme masing-masing agama disulut oleh para oportunis kapitalis yang mencari
keuntungan dalam konflik anak bangsa.
Pada kondisi ini Gereja diutus untuk hidup, berkembang untuk menjadi garam dan terang,
untuk menjadikan semua bangsa menjadi muridNya. Namun alih-alih menggarami,
kecenderungan yang terjadi adalah system dan pola kehidupan sosial kemasyarakatan yang
kronis justru terbawadalam pergaulan bergereja. Pengelolaan organisasi gereja tidak lebih baik
dari pengelolaan kehidupan bangsa yang sedang sakit ini.

II.2. Kondisi dan Kecenderungan Internal


PPGT baru saja merayakan yubelium 50 Tahun, tepatnya 11 Desember 2012. Tak lama
berselang, sangtorayaan merayakan peristiwa paling bersejarah dalam kehidupan bergereja
dan bermayarakat, 100 tahun Injil Masuk Toraja. Inilah peristiwa luar biasa, Magnalia Dei,
dimana perbuatan-perbuatan Tuhan yang besar sudah dinyatakan di tengah-tengah orang
Toraja. Momentum bersejarah ini seharusnya menjadi energi positifuntuk memacu semangat
berbuat semakin baik dan berkarya semakin sempurna bagi gereja dan masyarakat pun alam
semesta. Ini akan terjadi jika kita menjadikan perjalanan hari kemarin sebagai pelajaran
berharga untuk menentukan ke arah mana langkah selanjutnya akan berpijak. Namun
sebaliknya akan menjadi energi negatif, jika kita terjebak pada romantisme sejarah yang
panjang itu, seolah-olah PPGT masa lalu lebih baik dari masa kini.
PPGT adalah wadah pembinaan dan pemberdayaan generasi muda Gereja Toraja, sebab
dari rahim PPGT telah lahir banyak kader siap utus yang telah banyak berkiprah diberbagai
bidang kehidupan. Kenyataan ini seharusnya menjadikan kita makin sadar bahwa PPGT
adalah wadah yang sangat strategis sebagai pusat penggodokan kader-kader generasi muda.
Namun kita harus berkaca bahwa didalam tubuh PPGT masih terdapat banyak kelemahan-
kelemahan yang harus segera dibenahi. Setidaknya ada beberapa masalah PPGT tahun-tahun
terakhir ini:
a. Ada kecenderungan melemahnya rasa memiliki, sense of belonging warga PPGT terhadap
Persekutuan jemaat-jemaat terhadap Klasis dan Pusat, antara lain dapat dilihat dalam hal
rendahnya partisipasi jemaat-jemaat dan klasis dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
organisatoris. Hal ini berdampak pada melemahnya hubungan Pengurus Jemaat dan
Pengurus Klasis dengan Pengurus Pusat.
b. Konsep pembinaan yang sudah tersusun rapi dan bagus seperti Kurikulum Pembinaan
Generasi Muda, Visi dan Misi serta Program Kerja kurang berjalan dengan baik akibat
lemahnya hubungan klasis-jemaat, kalaupun berjalan, sebagian besar terlaksana sekedar
sebagai rutinitas saja. Belum ada evaluasi komprehensif terhadap produkproduk itu, sejauh
mana keberhasilannya dan bagaimana follow up-nya. Dalam hal pembinaan kader melalui
LKP terkesan masih asal berjalan dan belum semua jemaat dan klasis mengikuti prosedur
LKP sebagaimana yang diharapkan. Sementara proses pembinaan kita tersendat-sendat, laju
perkembangan IPTEK semakin cepat yang membuat warga PPGT kurang siap menghadapi
arus perubahan dan tantangan zaman.
c. Dari 3 ciri PPGT yaitu Kegerejaan, Kepemudaan dan Kemasyarakatan, ada kesan ciri yang
ketiga tentang Kemasyarakatan kurang mendapat porsi yang semestinya. Akibatnya
sebagian besar program yang terlaksana hanya menyentuh kebutuhan internal PPGT saja
dan kurang menyentuh masyarakat sekitar PPGT. Semangat keaktifan membangun jaringan
agak kendor (terutama jaringan lintas agama), lebih banyak menunggu (pasif), atau
kalaupun diprogramkan tetaplah menjadi prioritas paling akhir untuk direalisasikan. PPGT
masih harus terus didorong untuk beroikumene. Oikumene di sini perlu dibaca secara luas,
tidak hanya sebatas bersesama lintas denominasi, tetapi juga bersesama lintas agama, lintas
kultural, lintas ideologi, termasuk bagaimana bersesama dengan seluruh ciptaan Allah yang
lain (Alam semesta).

Dibutuhkan keberanian untuk berubah dari rutinitas program yang sudah menjadi warisan
turun temurun. Kebaktian PPGT, Porseni/Pesparawi, Praya dan LKP adalah kegiatan-kegiatan
PPGT yang masih menjadi program primadona baik di semua tingkatan, tanpa ada
keberanian untuk mengevaluasi apakah kegiatan ini masih relevan dalam membentuk kader
siap utus khususnya di tengah-tengah dunia yang makin kompetitif ini.
Seharusnya kegiatan PPGT makin variatif, makin fungsional dan makin up to date.
Seharusnya setiap jemaat atau setidaknya klasis mempunyai program unggulan, sehingga
setiap klasis semestinya memliki kekhasan sendiri-sendiri. Selain pembinaan spritulitas kita
begitu merindukan PPGT yang memprogramkan Cell Group Seminat, English Bible Study,
Kelompok Study Kritis, Kelompok Tani PPGT, Koperasi PPGT, Sentra Keterampilan, Forum
Dialog Lintas Agama (PPGT yang berinisiatif), Kelompok-kelompok PPGT Peduli : misalnya
HIV/AIDS, Pemanasan Global, Politik, Budaya, HAM, dll).
Untuk mewujudnyatakan hal-hal tersebut, perlu dikenali secara jelas setiap potensi,
peluang dan tantangan yang tengah dihadapi PPGT. Berikut ini adalah garis besar hasil
identifikasi potensi (kekuatan dan kelemahan) dan kondisi lingkungan (peluang dan
tantangan).

1.1. Kekuatan dan kelemahan

No Kekuatan Kelemahan
No Kekuatan Kelemahan
1 Jumlah anggota yang besar dan Database jemaat-jemaat belum
menyebar tergarap secara optimal
2 SDM warga PPGT yang terus mengalami Moralitas, spiritualitas dan etos kerja
Peningkatan belum berkembang secara optimal
3 Mempunyai banyak potensi SDM, Masih banyak (semakin banyak???)
khususnya mahasiswa sebagai aset masa potensi yang tidak digarap, tidak aktif
depan atau enggan ber-PPGT
4 Tersedianya Pusat-pusat pembinaan Selama ini pusat-pusat pembinaan
seperti Balla Tamalanrea di Makassar, tersebut belum berfungsi maksimal
Wisma Rama dan optimal- Komersial
Gedung Tongkonan di Jakarta dan
Surabaya, Gedung Pemuda di Rantepao,
Gedung Pelayanan di Makale dan Palopo,
dll
5 Semakin banyak Pendeta muda dan Belum semua pendeta muda dan
kader PPGT yang menjadi pejabat kader PPGT yang duduk distruktur
struktural di berbagai lingkup berjuang untuk generasi muda.

6 Jaringan antar pengurus jemaat yang Dukungan terhadap pengurus Jemaat


terorganisir dengan baik yang tidak merata dan belum optimal
7 Adanya Kerjasama antar Pengurus Kadang-kadang terjadi
Pelayanan Kategorial maupun dengan misscommunication diantara
BPM, BPK, dan BPS lembagalembaga ini
8 Adanya dukungan kuat dari senior-senior Database senior tidak optimal
PPGT
9 Tersedianya kurikulum pembinaan Sebagian besar Pengurus Jemaat tidak
generasi muda yang konseptual memahami penggunaan Kurikulum ini
10 Persekutuan antar anggota dan Aspek horizontal dan persekutuan
pembinaan kerohanian sudah berjalan dengan sesama masih sering
dengan lancar terlupakan atau dinomor duakan.
11 Anggota PPGT adalah bahagian dari Kurangnya kesadaran anggota PPGT
komunitas pemuda yang siap akan hak dan kewajibannya sebagai
membangun Indonesia warga negara misalnya dalam
pengurusan KTP.
12 Struktur presbiterial sinodal yang dapat Banyak pengurus PPGT dan Majelis
mendorong kreatifitas dan kemandirian Gereja yang tidak memahami dengan
pengurus dalam mengembangkan baik Struktur presbiterial sinodal
program pelayanan

2.2. Peluang dan tantangan

No Peluang Tantangan
1 Hampir semua pusat-pusat Kabupaten Tidak semua anggota siap
sudah terjangkau dengan akses informasi dan menghadapi kemudahan akses
teknologi informasi tersebut
2 Ketersediaan tenaga pembina pada hampir Belum tersedia data yang akurat
semua bidang tentang spesialisasi dan spesifikasi
dari SDM tenaga pembina
3 Pluralitas masyarakat setempat yang Di sejumlah tempat masih ada
merupakan lingkungan strategis untuk hambatan dalam menjalankan
No Peluang Tantangan
hidup bersesama ibadah sesuai dengan agama
masing-masing
4 Semakin terbukanya iklim demokrasi Mengemukanya kekerasan dalam
yang membuka kesempatan bagi setiap berbagai bentuk akibat kebebasan
warga PPGT untuk berpendapat dan yang kebablasan antara lain
berperan serta dalam pembangunan anarkisme dan premanisme
5 Otonomi daerah memberi peluang bagi Suburnya primordialisme, sukuisme,
pengembangan potensi daerah secara fanatisme, dan dikhotomi
maksimal penduduk asli pendatang
6 Kemajuan teknologi informasi dan Berubahnya nilai-nilai yang
komunikasi yang memudahkan interaksi menimbulkan krisis identitas,
antarmanusia maraknya penyahgunaan
Napza, dan makin beragamnya
dampak negatif media
7 Globalisasi menawarkan banyak pilihan, Tampilnya pesaing-pesaing yang
kebebasan berekspresi, dan peluang lebih Hebat
berkompetisi
8 Berkembangnya budaya global Krisis identitas, krisis budaya dan
sejenisnya
BAB III
VISI DAN MISI PPGT

III.1. Tujuan dan Usaha-Usaha Organisasi


Tujuan dan sekaligus merupakan pernyataan misi PPGT dirumuskan dalam pasal 5 Anggaran
Dasar PPGT sebagai berikut: ”Terwujudnya Warga PPGT yang sadar dan bertanggungjawab
terhadap tugas dan panggilannya ditengah-tengah gereja, masyarakat, dan alam semesta”.
PPGT adalah bagian yang azasi dari Gereja Toraja dan anggota PPGT adalah warga Gereja
Toraja. Motivasi pembentukan organisasi PPGT sebagai salah satu OIG dalam gereja toraja
adalah untuk pembinaan dan pelayanan pemuda baik intern maupun ekstern.

III.2. Arahan Tema dan Sub Tema


Visi PPGT adalah pernyataan cita-cita tentang kondisi ideal PPGT yang diharapkan dan
diyakini dapat terwujud pada masa yangakan datang. Sedangkan misi PPGT adalah upaya-
upaya yang wajib diemban untuk mewujudkan visi tersebut. Dengan demikian, visi dan misi
PPGT merupakan kerangka acuan dan pedoman dalam menentukan arah bagi seluruh
komponen dalam lingkup PPGT untuk melangkah kedepan. Visi dan misi itu diantar oleh
tema: “Mengasihi dengan Perbuatan dan dalam Kebenaran” dengan sub tema “Membangun
Persekutuan, Merawat Kemajemukan, Memelihara Lingkungan”.

III.2.1 Gereja Toraja Dan Hakekatnya

Sidang Majelis Sinode (SMS) Gereja Toraja ke-23 yang sebelumnya lebih dikenal
sebagai Sidang Sinode Am (SSA) Gereja Toraja adalah saat untuk evaluasi, refleksi untuk
kemudian merumuskan aksi dalam hubungan dengan hakekat Gereja Toraja – sebagaimana
pada umumnya hakekat gereja itu sendiri – sebagai Gereja Tuhan di dunia ini. Gereja Toraja
adalah hasil dan kelanjutan dari pelaksanaan hakekat gereja pada umumnya yaitu misi. Dan
kehadirannya dalam konteks tertentu adalah wujud kehadiran gereja Tuhan yang esa. Cikal
bakalnya di mulai dengan kehadiran beberapa guru beragama Kristen (anggota Indische Kerk-
Gereja Protestan Indonesia) pada sekolah Landschap yang dibuka oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1908 di Toraja dapat dianggap sebagai awal masuknya berita Injil ke
daerah Toraja. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa.
Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada
tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Landschap di Makale oleh
Hulpprediker F. Kelling dari Bontain. Pemberitaan Injil dilakukan secara “sengaja” dan intensif
oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Negeri Belanda dengan datangnya Penginjil
A.A. van der Loosdrecht ke Toraja pada tanggal 10 November 1913. Dia mati dibunuh (oleh
kelompok yang tidak setuju karena pemerintah kolonial Belanda mengurangi masa/waktu
berlangsungnya perjudian) pada tanggal 26 Juli 1917 di Bori= dan menjadi syahid pertama
Injil di Toraja. Darahnya telah menjadi benih gereja: Gereja Toraja. GZB adalah sebuah badan
zending yang didirikan oleh anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang
menganut paham gereformeerd, berlatar belakang pietis, dalam arti sangat mementingkan
kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja
tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB ini
masih banyak memengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.
Para pembawa Injil datang melanjutkan pengutusan Yesus. “Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus engkau” (Yoh 22:21), dan melakukan
seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri yakni memberitakan Injil Kerajaan Allah (preaching),
mengajar (teaching) serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (healing) (Mat. 9:35).
Mereka datang memberitakan penyelamatan Allah di dalam diri Yesus Kristus, mereka
mendidik masyarakat untuk keluar dari kebodohan dan keterbelakangan dengan membuka
sekolah-sekolah, dan menyembuhkan masyarakat dengan mendirikan pelayanan kesehatan.
Mereka mengharapkan orang Toraja menjadi manusia yang beriman, terdidik, dan sehat.
Sebuah pemahaman dan pelaksanaan misi yang menyeluruh (holistic).

Dengan hal itu orang Toraja telah diberkati oleh Tuhan sehingga mencapai sebuah
kemajuan yang luar biasa hanya dalam waktu kurang lebih 50 tahun, yang menurut beberapa
catatan sejarah hanya bisa dicapai suku-suku lain dalam waktu 100 tahun ke atas. Artinya,
kedatangan kekristenan yang dibawa oleh para zending yang kemudian dilanjutkan oleh
Gereja Toraja yang mandiri telah melahirkan sebuah perubahan yang sangat mendasar dalam
sejarah orang Toraja dan masyarakat Toraja. Sejarahwan malah mencatat bahwa modernisasi
di Toraja dimulai dengan kehadiran pendidikan yang di bawa oleh Gereja. Gereja Toraja
telah menjadi salah satu agen modernisasi dan perubahan sosial yang sangat menentukan di
Toraja lewat koinonia (persekutuan), diakonia (pelayanan), marturia (kesaksian), liturgy
(ibadah yang hidup), didache (pengajaran), pastoral (penggembalaan), oikomenia
(penatalayanan) (oikomenia mencakup sarana dan prasarana, manajemen organisasi,
keuangan) yang dibangunnya. Gereja Toraja telah menjadi kekuatan pemicu yang sangat
mendasar dalam diri orang Toraja, masyarakat Toraja, yang pada gilirannya pengaruh
perubahan pada skala regional dan nasional. Satu hal yang tidak bisa disangkali adalah bahwa
kekristenan yang datang di Toraja yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja Toraja telah
memberikan identitas baru bagi orang Toraja sebagai “pembeda” dengan masyarakat
sekitarnya. Toraja menjadi identik dengan Kristen. Dengan demikian, sadar atau tidak, orang
Toraja akan menjadi saksi Kristus, entah saksi baik maupun buruk.

Apa yang telah dilakukan oleh para pengijil itu telah melahirkan Gereja Toraja. Salah
satu Gereja Tuhan ini kemudian semakin matang dan mulai bisa mengurus dirinya. Batu tapal
berdirinya Gereja Toraja terjadi pada tanggal 25-28 Maret 1947. Pada saat itu diadakan
persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I
ini memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan
berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama GEREJA TORAJA. Waktu berjalan
terus, dan Tuhan melibatkan Gereja Toraja dalam karya penyelamatanNya di dunia ini.
Dalam upaya menghadirkan dirinya sebagaimana diinginkan Tuhan daripadanya, lewat
pergumulan yang panjang dan di bawah bimbingan Roh Kudus Gereja Toraja telah mencapai
Tri Kemandirian Gereja yakni kemandirian Teologi, Daya, dan Dana. Dengan ketiga modal ini
Gereja Toraja terus berjuang menjalani panggilannya dalam realisme yang berpengharapan.
Kini kita memasuki Sidang Sinode Am (sekarang Sidang Majelis Sinode) yang ke-23 yang
dihadiri oleh 84 Klasis, 960 Jemaat, 278 cabang kebaktian, dan 55 tempat kebaktian yang
tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri. Sidang sinode ke kali ini adalah sidang
sinode yang terakhir sebelum kita merayakan 100 tahun Injil “menjangkau” orang Toraja jika
kita bertolak dari datangnya Penginjil A.A. van der Loosdrecht ke Toraja pada tanggal 10
November 1913.
Gereja Toraja adalah Gereja Tuhan di dunia ini yang berupaya untuk hadir secara
bermanfaat (efektif) dan dapat diterima (akseptabel) tanpa kehilangan identitasnya. Kita telah
melakukan tiga kali konsultasi tentang hakekat kita sebagai gereja dalam bentuk konsultasi
misi. Konsultasi yang pertama 2-4 Maret 1972, konsultasi yang kedua 14-19 Maret 1994, dan
konsultasi yang ketiga 20-25 Mei 2005. Perenungan dari konsultasi ke konsultasi
menampakkan bahwa perubahan yang sangat mendasar di dalam diri warga Gereja Toraja
dan masyarakat kita – yang juga salah satu penyebabnya adalah kehadiran Gereja Toraja itu
sendiri – yang menuntut perubahan yang mendasar pula dari Gereja Toraja agar ia tetap bisa
hadir secara efektif dan akseptabel, tanpa kehilangan identitasnya. Artinya, perubahan yang
begitu cepat dan mendasar menuntut strategi dari Gereja Toraja untuk tetap hadir secara
efektif (tetap bisa menjadi garam dan terang) dan akseptabel (diterima kehadirannya dalam
“dunia” meski ia bukan dari “dunia”) tanpa kehilangan identitasnya (bahwa betapapun sosok
atau strategi kehadiran itu berubah demi efektivitas serta akseptabilitas, sosok kehadiran yang
baru itu tidak mengkhianati identitas (hakekat) kristiani kita yang paling mendasar. Apa
idenititas atau hakekat yang paling mendasar itu?

Dari konsultasi pertama telah dicanangkan bahwa hakekat gereja yang tidak pernah
berubah adalah misinya; atau misi adalah hakekat gereja. Kemudian Gereja Toraja memahami
misinya ke dalam dan ke luar, atau yang biasa disebut sebagai funsgi penggembalaan dan
fungsi pemberitaan. Pembinaan Warga Jemaat adalah misi ke dalam dan Pemberitaan Injil
kepada yang belum mengenal dan menerima Yesus Kristus adalah misi keluar. Tentu saja
keduanya dimaksudkan untuk menjadikan identitas Gereja yang tidak pernah berubah, yakni
untuk menjadi berkat bagi sebanyak mungkin orang, atau menjadi garam dan terang, atau
yang kemudian menjadi visi Gereja Toraja: Damai Sejahtera Bagi Semua. Misi ke dalam
ditangani oleh BPWG (dahulu LPK) dan misi keluar ditangani oleh LPI. Meskipun ditangani
oleh dua lembaga yang berbeda, Gereja Toraja memahami kedua hal tersebut tidaklah bisa
dipisahkan satu dengan yang lain, bahwa PWG (PWJ), selain diarahkan untuk kedekatan atau
keintiman setiap warganya dengan Tuhan, juga diberdayakan untuk menjadi saksi-saksi yang
hidup dari Gereja Tuhan, baik dalam kata-kata maupun perbuatan mereka.

Konsultasi misi yang kedua dengan tetap berpegang pada hakekat gereja yaitu misi
menekankan kesadaran konteks yang terus berubah, yang dengan demikian menuntut strategi
kehadiran yang baru agar kehadiran Gereja Toraja tetap efektif, akseptabel tanpa kehilangan
identitas. Konteks yang mendapat penekanan adalah kebudayaan, modernitas, dan relasi
dengan Islam. Konsultasi misi yang ketiga semakin menunjukkan betapa perubahan di sekitar
kita terjadi begitu cepat, mendasar, dan semakin luas, yang sekali membutuhkan perubahan
yang mendasar dari Gereja Toraja jika Gereja Toraja masih tetap ingin kehadirannya efektif
dan akseptabel. Hasil Konsultasi Misi Gereja Toraja yang ke-3 tahun 2005 itu, yang kemudian
hasilnya disahkan pada SSA ke-22 di Jakarta semakin memperjelas bahwa Misi itu adalah
Hakekat Gereja. Dikatakan bahwa, ketika kita berbicara tentang misi atau “misi” atau PI,
maka sesungguhnya kita berbicara tentang hakikat gereja. Artinya, hakikat gereja adalah
misinya. Jadi eksistensi gereja yang tak pernah berubah adalah misinya Lalu untuk apa misi
dan hakikat yang demikian itu? Untuk menjadi alat suatu tujuan, yakni melaksanakan Misi
Allah (Missio Dei) dan melanjutkan Misi Kristus (Missio Christi) di dunia: “Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus engkau” (Yoh 22:21). Lalu apa inti Misi
Allah dan Misi Kristus itu? Supaya dunia percaya, agar tidak binasa (Yoh. 3:16). Jadi nasib atau
ketidakbinasaan dunia ini harus menjadi kepedulian utama gereja, dan karena itu, gereja harus
selalu menyadari dirinya sebagai alat, bukan tujuan. Untuk mewujudkan Misi Allah dan
melanjutkan Misi Kristus (Misi Penyelamatan) itulah, gereja ditugaskan untuk bersekutu,
bersaksi, dan melayani. Ada tugas ke dalam dan ada tugas ke luar. Jadi Tri Panggilan Gereja
itu merupakan fungsi gereja dalam hubungan dengan misinya. Ketiganya memang dapat
dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Gereja harus menjadi persekutuan (Koinonia) yang
bersaksi (Marturia) dan melayani (Diakonia). Karena itu, (1) persekutuan yang harus dibina
adalah persekutuan yang bersaksi dan melayani; (2) kesaksian yang harus dilaksanakan adalah
kesaksian oleh persekutuan dan dibarengi (dijiwai) oleh pelayanan; (3) pelayanan adalah
pelayanan di dalam dan oleh persekutuan dan pelayanan yang merupakan kesaksian.
Dalam Sidang Sinode XV tanggal 6-14 Mei 1978 Struktur KUGT mengakomodasi
keberadaan kaum awam dan OIG sebagai anggota KUGT. Struktur lengkap KUGT waktu itu
adalah Ketua, Sekretaris, Bendahara, Wakil Ketua: dijabat oleh Ketua Wil. I-IV dan Komisi-
komisi, yang terdiri dari Komisi Pengakuan GT, Tata GT, RAPB, dan Verifikasi. Dari kesadaran
integralistik pentingnya pelayanan kategorial ini direkrut secara resmi, PPGT adalah pelayanan
kategorial yang sangat strategis. Secara historis-ekklesiologis, persekutuan pemuda Gereja
Toraja sejatinya lahir sejak baptisan I tahun 1913 di Toraja, namun secara organisatoris dan
kelembagaan, PPGT dinyatakan berdiri pada tanggal 11 Desember 1962. Mengkilas sejarah,
ketika seksi Pemuda dalam KUGT ditunjuk sebagai Wakil Pemuda dalam kegiatan eksternal
PPGT. Cikal bakal PPGT dimulai dari terbentuknya organisasi lokal pemuda pada masa
pergolakan tahun 1950an. Tahun 1953 berdiri Persatuan Pemuda Toraja di Makassar dan
tahun 1954 berdiri Gerakan Pemuda Gereja Toraja yang waktu itu merupakan gerakan lokal
pemuda gereja dengan pusat kegiatan di Gereja Maros, Makassar.
Dikaitkan dengan eksistensi PPGT dalam struktur KUGT, mulai dari Sidang Sinode V
tanggal 25 Februari - 5 Maret 1955 di Rantepao, kepengurusan pemuda menjadi salah satu
seksi dalam KUGT dengan nama Seksi Pemuda/Kebudayaan, bersama-sama dengan 8 seksi
lainnya yaitu Seksi Kegerejaan, Keuangan, Usaha Pembangunan, Kesehatan, Lektur, Theologia,
Perhubungan, dan Verifikasi/Visitator. Nama seksi Pemuda/Kebudayaan bertahan sampai
Sinode V yang dilaksanakan 26-30 April 1959 di Makale. Dalam Sinode ini Seksi Pemuda
berdiri sendiri tidak lagi digabungkan dengan Kebudayaan. Nama Seksi Pemuda ini masih
bertahan sampai Sinode X tahun 1965 di Makassar. Dalam Sinode X ini Seksi Pemuda berubah
menjadi Seksi Pembinaan Kader dan pada tahun yang sama, tepatnya 21-29 Desember 1965
perwakilan pemuda dari berbagai tempat berkumpul di Rantepao mengadakan Kongres I dan
memutuskan penggunaan nama Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT).
Kongres XII PPGT di Samarinda tanggal 10 – 13 September 2008 menegaskan
komitmen bersama untuk melakukan pembaruan PPGT menuju terwujudnya paradigma baru
PPGT. Paradigma baru ini mewujud dalam 10 pokok panggilan PPGT sebagai Kader Siap Utus
dimana ujung tombak pelaksanaannya adalah jemaat sebab di jemaatlah PPGT berada.
Pengurus jemaat bertanggungjawab menyusun program kerja beradasarkan 12 pokok
panggilan PPGT tersebut. Tugas pengurus PPGT Klasis adalah fungsi koordinatif untuk
memastikan setiap jemaat di klasisnya berjalan menurut tuntutan paradigm baru tersebut. Dua
belas pokok panggilan tersebut adalah:
1. Pembaruan Diri dan Organisasi
2. PPGT untuk Semua
3. Pemberdayaan SDM
4. Pembudayaan Etos Kristiani
5. Pengembangan Peran Kebangsaan
6. Pengembangan Peran Ekumenis
7. Pengembangan Peran Pluralisme
8. Gender dan Feminisme
9. Pelayanan Sosial
10. Pembangunan Kesehatan Masyarakat
11. Pengentasan Kemiskinan
12. Pemeliharaan Lingkungan Hidup

Menempatkan pembaharuan diri pada posisi pertama dari 12 pokok panggilan PPGT, adalah
penegasan dan integrasi diri PPGT terhadap jiwa dari tanggapan teologis Gereja Toraja secara
meyeluruh terhadap perubahan yang sangat cepat dan mendasar disekeliling kita. SSA Gereja
Toraja ke-22 di Jakarta dicanangkan sebagai sidang sinode pembaruan dengan tema:
“Berubahlah oleh pembaruan budimu” (Roma 12:12a) dengan sub tema: “Mewujudkan
Pembaruan Yang Membawa Damai Sejahtera”. Untuk melaksanakan pembaruan yang
membawa damai sejahtera bagi semua maka SSA ke-22 tahun 2006 telah mencanangkan 10
Pokok-Pokok Tugas Panggilan Gereja Toraja (PTP-GT) sebagai berikut:

1. Pembaruan Ibadah dan Spiritualitas Kristiani


2. Peningkatan Kualitas SDM
3. Pengembangan Peran Kebangsaan
4. Pembudayaan Etika Kristen dan Penanggulangan Kekerasan
5. Peran Ekumenisme dan Pluralitas
6. Eklesiologi, Pengorganisasian Gereja dan Kemitraan Jemaat
7. Pelayanan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat
8. Pemberdayaan Ekonomi dan Penanggulangan Akar Kemiskinan
9. Pemeliharaan Lingkungan Hidup dan Kepedulian Sosial
10. Pengembangan Sarana, Prasarana, Dana, dan Penatalayanan

3.2.2. Latar Belakang Pemilihan Dan Penjelasan Tema

Tema ini adalah tema payung Gereja Toraja dalam perjalanan hidup bergereja selama
lima tahun. Dengan demikian tema ini juga adalah pengayom tematis bagi seluruh komponen
gerejawi termasuk Persekutuan Pemuda Gereja Toraja sebagai bagian integral Gereja Toraja.
Dalam perjalanan panjang perjuangan bersama warga Gereja Toraja di berbagai ranah dan
lini, realitas yang kita hadapi belum cukup menjawab idealitas yang sedang kita perjuangkan.
Ketika perjalanan dari Palopo (SSA k2-21) ke Jakarta (SSA ke-22) memandatkan semangat
pembaruan, dan SSA ke-22 di Jakarta mengutus warga Gereja Toraja untuk bersekutu, bersaksi
dan melayani dalam koridor PTP-GT diatas; kita menghadapi kenyataan bahwa kompleksitas
pergumulan dalam kehidupan bergereja, bemasyarakat dan berbangsa menyulitkan kita untuk
mengukur pencapaian dimaksud. Namun penghayatan teologis yang semakin menguat
adalah, misi Allah tidak berubah tetapi gereja-lah yang harus berubah dibawah terang
kehendak Allah. Pembaruan berbasis kesadaran yang sungguh-sungguh mendasar atas
kelemahan dan keterbatasan bahkan pelanggaran kita, yang mengantar kepada sebuah
“metanoia”, pembaruan budi yang lahir dari proses batiniah dan mengantar kepada
penampilan (performa) lahiriah yang membawa damai sejahtera.
Menyongsong Sidang sinode ke-23, semakin kuat tantangan untuk membahasakan
pembaruan budi tersebut dengan lebih kongkrit, senyata tantangan yang semakin riil dihadapi
oleh warga Gereja Toraja dalam kesehariannya. Sehari-hari kita semakin berhadapan dengan
sikap mementingkan diri, beria-ria diatas penderitaan orang lain, individualisme dan
menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi. Sehari-hari kita berhadapan dengan
bahasa “kebenaran” yang diputar-balik untuk melayani kepentingan pribadi maupun
kelompok; kebenaran yang berstandar ganda yang tidak berkeadilan bahkan dapat diperjual-
belikan. Dalam retorika, kasih makin sering dikumandangkan tapi dalam praktik dicampakkan.
Sikap yang oleh Rasul Yohanes ditengking dengan ucapan “pembohong dan menipu diri”.
Inilah yang dipandang perlu untuk diteriakkan sekeras-kerasnya, marilah kita mengasihi, bukan
dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran! (I
Yoh.3:18). “Little children, let us love, not in words or speech, but in truth and action.”-
NRSV.
Inti tema adalah “spiritualitas”. Tema ini mengangkat salah satu penekanan SSA ke-22
yakni “spiritualitas” yang kemudian mengemuka dalam program tahunan BPMS Gereja Toraja
yakni “Pekan Spiritualitas”. Selain itu, tema ini diangkat dalam rangka perenungan satu abad
Injil Masuk Toraja (100 tahun IMT). Satu abad IMT adalah anugerah Tuhan sebagai
momentum evaluasi dan refleksi spiritualitas Gereja Toraja memasuki abad baru kehadirannya
di dunia ini. Sejauhmana spiritualitas yang dibangunnya sesuai dengan hakekatnya sebagai
Gereja Tuhan di dunia ini. Untuk maksud tersebut, maka spiritualitas Yesus menjadi teladan
penilaian kita.
Mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran adalah Spiritualitas Yesus. Dengan
memilih tema ini terkandung maksud agar kehidupan gereja menjadikan Spiritualitas Yesus
sebagai teladan. Gereja yang dimaksud disini adalah warga jemaat temasuk para pelayan yang
pengembangan spiritualitas dan pertumbuhan imannya mesti “meniru spiritualitas Yesus”.
Karena tema ini dipandang sudah bersifat operasional maka dianggap sub tema tidak perlu
lagi.

A. Spiritualitas Yesus sebagai Sumber Spiritualitas Kristiani:


1. Apa itu “spiritualitas”?
a. Tidak jarang spiritualitas di (salah) mengerti secara sempit sebagai “hidup
kerohanian”, bahkan lebih sempit lagi sebagai “kesalehan”. Spiritualitas seharusnya
lebih luas ketimbang itu. Spiritualitas adalah sesuatu yang menjadi minyak dari
pelita kehidupan dan pelayanan kita, yang tanpanya kehidupan dan pelayanan kita
menjadi dingin dan hambar. Lagipula konotasi “hidup kerohanian” maupun
“kesalehan” terlanjur dibebani oleh pemahaman dualistik atas manusia bahkan atas
kehidupan. Yaitu anggapan bahwa manusia dan kehidupan ini terbagi atas yang
rohani dan yang jasmani. Keduanya adalah suatu kesatuan yang utuh dalam
manusia dan dalam kehidupannya.
b. Secara umum, spiritualitas adalah cara hidup, gaya hidup, atau sikap hidup
berdasarkan, dan yang lahir dari suatu pandangan hidup. Setiap orang punya cara
hidup, gaya hidup, sikap hidup (etika) sendiri berdasarkan pandangan hidupnya
(kebenaran yang diyakininya). Spiritualitas adalah gaya hidup, cara hidup, sikap
hidup yang keluar dari hati dan didorong oleh keyakinan/kebenaran yang
diyakininya.
c. Secara tata bahasa spiritualitas berasal dari akar kata spare (Latin) yang berarti:
menghembus, meniup, mengalir. Dari kata kerja spare terjadi bentukan kata
bendanya, yaitu spiritus atau spirit. Konotasinya kemudian berkembang sangat luas:
udara, hawa yang dihirup, nafas hidup, nyawa, roh, hati, sikap, perasaan,
kesadaran diri, kebesaran hati, keberanian. Dalam Alkitab spirit dipahami dalam
kata ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani) yang secara pokok berarti: “nafas atau
angin yang menggerakkan dan menghidupkan”.
d. Dari perspektif semantis diatas, maka spiritualitas adalah sumber semangat untuk
hidup di dunia ini dengan segala aspek dan cakupannya, baik secara pribadi,
bersama sesama dan dalam relasi dengan Allah. Spiritualitas dalam hal ini juga
dilihat sebagai upaya sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid Kristus. Dan itu
berarti mencakupi segenap kepercayaan pada diri Yesus Kristus, serta persekutuan
yang total dan hidup (dinamis) dengan-Nya.
e. Selanjutnya jika kita berbicara tentang spiritualitas, maka sesungguhnya pula kita
berbicara tentang “spirit” atau “roh”, atau “inti” atau “substansi” tentang sesuatu.
Misalnya saja soal beragama. Spiritualitas dalam beragama berarti beragama di
dalam “spirit”nya “roh”nya, “inti”nya, “substansi”nya, tidak berhenti pada
simbolis-formalistis. Demikian juga dengan aspek-aspek kehidupan yang lain. Kalau
kita memakai andaian “api” dan “abu”, maka “api” itu spiritualitasnya. Atau
“santan” dan “ampas”, santan itu spiritualitasnya. Kehidupan spiritualitas mengejar
“api” atau “santan”, bukan “abu” dan “ampas”. Jadi dalam beragama, spiritualitas
memahami simbol-simbol beragama (misalnya ibadah rutin, liturgi-liturgi, dlsb)
sebagai alat (bukan tujuan) untuk tiba pada “spirit” (“api” atau “santan”) beragama
itu sendiri. Proses “menjadi” (to be a Christian) menuju “inti” menjadi kristen
(being a Christian)itu di bawah kuasa dan bimbingan Roh Kudus.
f. Dari perspektif kristiani, spiritualitas digambarkan sebagai kehidupan dalam Kristus
dan sebagai suatu proses perjalanan kesetiaan yang semakin berkembang, di mana
kita dipimpin oleh Roh Kudus dan oleh kekuatan-Nya kita menjadi serupa dengan
Kristus, berada dalam persekutuan cinta yang sempurna dan dalam pengabdian
terhadap Gereja untuk menjadi saksi yang hidup di tengah-tengah masyarakat di
mana kita ditempatkan dengan segala permasalahannya. Spiritualitas demikian
dihayati dengan iman dan dalam relasi dengan Tuhan Yesus sesuai dengan lingkup
hidup, dimensi serta peran yang dilakoni dalam suka-duka, dalam keterdugaan dan
ketakterdugaan, dalam situasi hidup sehari-hari, dalam sikap harian terhadap
sesama dan seluruh ciptaan. Sebuah ungkapan bijak mengatakan: The heart of the
problem is the problem of heart (jantung dari seluruh persoalan adalah persoalan
hati).
g. Jadi dalam hubungan dengan gaya hidup, bukan sekedar gaya hidup yang semata-
mata muncul karena meniru, membaca buku, atau karena aturan, apalagi gaya
hidup yang dibuat-buat, melainkan gaya hidup, cara hidup, sikap hidup yang
benar-benar mengungkapkan, mewujudkan apa yang ada di dalam batin.
Pembatinan keyakinan oleh kuasa Roh Kudus yang melahirkan gaya hidup sesuai
keyakinan (kebenaran). Sebuah gaya hidup “orang yang baik yang mengeluarkan
hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik …” (Mat 12:35a). Dari
perspektif itu maka dapat pula dikatakan bahwa spiritualitas adalah perwujudan
iman dalam kehidupan konkret.
h. Kasih, yang menjadi prinsip etika Kristen di dasarkan pada sebuah pandangan hidup
(world view), cara berpikir (mindset) sebagai sumber mendalam dari pemaknaan
tindakan “kasih” itu. Perwujudan nyatanya adalah sikap hidup dan gaya hidup (life
style) yang selaras. Dengan demikian, spiritualitas menunjuk pada kesatuan gaya
hidup dengan pandangan hidup yang mendasarinya, yang keluar dari hati
(integritas). Gaya hidup yang bermakna karena gaya hidup itu berdasarkan atau
berakarkan pada sebuah sumber pemaknaan hidup yaitu Allah sendiri di dalam
Yesus Kristus yang didong oleh kuasa Roh Kudus. Mengapa bermakna? Agar sebuah
tindakan atau perbuatan (gaya hidup) maka ia mesti secara jelas berakar pada
pemahaman tertentu mengenai “kenyataan yang ada di balik semua kenyataan”
(yang kita sebut Allah). “makna” adalah “apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang
bersifat harus (mis. mengasihi) dan yang sekaligus dipandang mulia untuk
diperhatikan, untuk menuntut kesetiaan dan ketaatan kita (kebenaran) yang muncul
dari dalam hati”.
i. Jadi, “Mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”. Bahwa gaya hidup
mengasihi itu adalah identitas etis orang kristen, dan bahwa gaya hidup mengasihi
itu sungguh mulia adanya karena ia berasal dari Allah di dalam Yesus Kristus
(kebenaran, identitas teologis), tidak hanya dibenarkan dengan pikiran (akal) tetapi
juga dengan hati dan dengan segenap jiwa: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat
22:37-39). Bahwa kemuliaan atau kebenaran bagi seorang Kristen adalah dalam
gaya hidupnya yang mengasihi. Karena ia keluar dari dalam hati, jiwa dan akal,
maka gaya hidup yang seperti itu dinikmati, bukan beban. Inilah yang disebut oleh
Konsultasi Misi Gereja Toraja sebagai “menikmati Injil”, atau kalau kita meminjam
istilah PL, menjadikan Taurat atau perintah Tuhan itu menjadi kesukaan kita,
bukan beban (Lihat Mzm. 119:70, 143, 174). Jadi spiritualitas merujuk pada
hubungan pribadi orang beriman dengan Allah yang terwujud dalam sikap hidup
yang juga mencakup pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian maka
salah satu segi yang penting dari spiritualitas adalah "being a christian", proses
keberadaan menjadi seorang kristen yang sejati. Di situ spiritualitas dilihat sebagai
upaya sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid Kristus. Dan itu berarti
mencakupi segenap kepercayaan pada diri Yesus Kristus, serta persekutuan yang
total dan hidup (dinamis) dengan-Nya di bawah bimbingan Kuasa Roh Kudus. Dari
situ kemudian lahir pikiran, pengakuan, kepercayaan, moral pribadi, perkataan dan
perilaku dalam keutuhan spiritualita yang meneladani Kristus. Bukan saja hanya
gaya hidup ( karena gaya bisa dibuat buat) tetapi perwujudan utuh (holistic) dari
keseluruhan hidup

2. Spiritualitas Yesus
a. Spiritualitas Utuh
Spiritualitas merupakan kesatuan relasional antara spiritualitas yang akrab
atau intim dengan Tuhan dan spiritualitas kenabian. Keintimannya, kedekatannya,
keakraban Yesus dengan BapaNya melahirkan sikap hidup yang peduli dan kritis
dengan kehidupan manusia dan ciptaan lainnya. Jika kita memperhatikan seluruh
kehidupan Yesus, maka memang sangat jelas bahwa di dalam diriNya relasi
intimitas dengan Bapa dan sikap/tindakan profetis (kenabian) merupakan satu
kesatuan. Keintimannya/kedekatannya dengan Allah menghadirkan sikap hidup
yang peduli dan kritis dalam relasi dengan manusia dan seluruh ciptaan ( profetis).
Kedekatan dengan Tuhan melahirkan “hati yang berkobar-kobar” (menggetarkan)
untuk lebih dekat dengan Tuhan lagi (intim) yang kemudian berpuncak pada “hati
yang berkobar-kobar” untuk pergi menjadi saksi-saksi yang hidup, baik di dalam
persekutuan maupun dunia pada umumnya (Lihat Lukas 24:32).
Di dalam kehidupan Yesus, selain sibuk berkotbah, mengajar,
menyembuhkan, menantang pimpinan agama & negara (spiritualitas kenabian),
Yesus menunjukkan spiritualitas intimitas-Nya dengan BapaNya dengan rajin
berkontemplasi untuk mengalami dan menikmati kedekatanNya dengan BapaNya.
Ia berdoa tanpa henti, bergumul sendirian sebelum ambil keputusan. Para murid
sering melihat Yesus berdoa – kadang-kadang tidak jauh dari mereka (Mat 26:36;
Luk 22:41; 11:1). Menyempatkan diri untuk menyendiri dan berdoa. ”Bangun pagi
waktu masih gelap” (Mrk 1: 35), berdoa secara tetap (Luk 5:16), berdoa sepanjang
malam (Luk 6:12), dan menutup pintu saat berdoa (Mat 6: 5-6). Hingga umur 30-
anYesus belajar, merenung, berdoa. Ketika dibaptis,Yesus berdoa (Luk 3: 21-22).
Selama 40 hari dipadang gurun tempat bergumul, Ia digoda dengan harta (roti),
dengan sensasi (terjun dari Kenisah), dan dengan kuasa (sembah sujud). (Mrk 1: 12-
13). Di dalam diri Yesus bertumbuh bersama “Semakin dikasihi Allah dan manusia”:
” Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya,
dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.”(Luk 2: 52).
Jadi kalau kita memperhatikan dengan seksama seluruh kehidupan dan
pengajaran Yesus, maka nampak dengan jelas bahwa Yesus datang untuk
memperkenalkan sebuah spiritualitas yang baru, sebuah gaya hidup yang baru, di
mana ada dua dimensi yang saling terkait. Dimensi yang pertama, adalah ketaatan
yang total kepada Allah (intimitas dengan Allah). Dan dimensi yang kedua, adalah
kepedulian yang eksistensial kepada sesama dan seluruh ciptaan. Keduanya tak
terpisahkan. Ketaatan Yesus yang total kepada Allah (intimitas dengan Allah) itulah
yang membuat Ia secara eksistensial dan total pula menaruh kepedulian kepada
umat manusia dan seluruh ciptaan. Dan sebaliknya, kepedulianNya yang total
terhadap umat manusia dan seluruh ciptaan (sikap profetis) adalah bukti yang
paling absah dan paling nyata dari ketaatan-Nya kepada Allah. Spiritualitas Yesus
menunjuk pada kehidupan yang terarah kepada Allah (keintiman, kedekatan
dengan Allah) yang menjadi semangat pokok menjalani dan memaknai seluruh
aspek kehidupan: hubungan dengan sesama, dunia/alam semesta, bahkan dengan
diri sendiri.
Kedua relasi ini merupakan satu kesatuan yang mewujud di dalam
perbuatan Kasih. Seluruh perbuatan dan perkataan-Nya merupakan kesatuan kasih
(identitas etis) dan kebenaran (identitas teologis). Keterarahan kepada Allah
melahirkan Spiritualitas Yesus yang visioner dan transformatif (band. Lukas 4:17-
20). Yesus dengan sangat jelas mengartikulasikan visi pelayanannya sebagai
bangunan dari tiga elemen yang saling terkait (1) kehendak dan mandat dari Allah
(2) kesadaran akan talenta dan kapasitas yang Allah berikan, dan (3) konteks dan
kebutuhan zaman yang Allah tunjukkan. Bahwa Roh Tuhan yang ada pada Yesus
mengurapi Dia untuk menyampaikan Kabar Baik bagi orang miskin, pembebasan
bagi yang tertawan dan tertindas, penglihatan bagi orang buta, dan
memproklamirkan kedatangan tahun rahmat Tuhan.
Tema, “Mengasihi dalam Perbuatan dan dalam Kebenaran” merupakan
ajakan untuk menjadikan spiritualitas Yesus sebagai gaya hidup kita (spiritualitas
kita) membangun spiritualitas diri, gereja dan masyarakat di mana kita di
tempatkan oleh Tuhan.

b. Spiritualitas Pelayan: Hamba dan Gembala


Selain spiritualitas mistis-profetis, Yesus Kristus pun telah meninggalkan
teladan bagi kita para pelayan dan hamba-Nya spiritualitas pelayan untuk kita
teladani. Dalam pelayanan kita diharapkan menyerupai Kristus Kepala dan
Gembala. Mengupayakan keserupaan dengan Kristus sebagai Kepala yang
menghamba dan sebagai Gembala Baik. Dengan demikian ia berpartisipasi dalam
pelayanan Kristus dan menghayati spiritualitas pelayanan. Kristus sebagai Kepala
Gereja dimengerti dalam arti Hamba, sesuai dengan apa yang dikatakan-Nya
tentang diri-Nya sendiri: “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak
orang." (Matius 20:28).
Pelayanan-Nya sebagai Hamba nyata dalam pengabdian-Nya dengan
memberikan diri-Nya bahkan menyerahkan hidup-Nya di kayu salib. Hamba dalam
arti berserah diri sepenuhnya dalam cinta kasih dan kerendahan hati. Ia
merendahkan diri sebagai seorang Hamba dan taat sampai mati di salib:
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang
terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib” (Filipi 2:5-8).
Kemudian Ia disebut Gembala yang Baik atas tiga alasan. Pertama, karena
Yesus mengenal domba-domba dan mereka mengenal-Nya. Kedua, sebab Ia
menyatukan domba-domba. Ketiga, Ia menyerahkan segenap hidup-Nya bagi
domba-dombaNya (pengorbanan).

III.3.3 Penjelasan Teks

Para ahli Perjanjian Baru sependapat bahwa Yohanes, penulis kitab ini yang disebut
sebagai seorang penatua adalah Rasul Yohanes, murid yang dalam beberapa penjelasan Injil
adalah murid yang “paling dikasihi” oleh Yesus. Para ahli juga sependapat bahwa penulis surat
I Yohanes adalah juga penulis Injil dan Wahyu Yohanes. Hal itu berbeda dengan surat II dan
III Yohanes, yang beberapa ahli meragukannya sebagai yang ditulis oleh Rasul Yohanes.
Meskipun begitu, dari segi isi dan penyajiannya umumnya diterima bahwa keduanya berasal
dari Rasul Yohanes juga. Perlu diketahui bahwa baik Injil Yohanes, surat-surat maupun Wahyu
Yohanes berbicara tentang tindakan Allah yang terarah ke dunia ini. Firman, yaitu Allah
sendiri telah menjadi manusia (Yoh 1:14). Allah mengasihi dunia (Yoh 3:16). Langit baru dan
bumi baru terjadi karena Yerusalem yang surgawi turun ke bumi (Wahyu 21).
Yohanes adalah sosok murid yang mengalami dan merasakan langsung apa arti
“dikasihi” dan “mengasihi” itu di dalam Kristus itu. Ia juga mengalami dan merasakan
langsung apa yang dimaksudkan dengan “kebenaran” itu jika Yesus berbicara tentang
“kebenaran”. Pengalamannya hidup bersama dengan Yesus telah mengajarkan kepadanya
bahwa kasih dan kebenaran tidak bisa dipisahkan, bahkan dalam seluruh kehidupan Yesus,
kasih dan kebenaran identik dengan perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain pula,
perkataan dan perbuatan yang benar adalah perkataan dan perbuatan yang berlandaskan
kasih dan kebenaran. Karena itu, dia dengan gamblang mengeritik kehidupan jemaat atau
pribadi-pribadi tertentu yang dengan gampang menyebutkan “kasih” dan “kebenaran” tetapi
sesungguhnya kehidupan mereka jauh dari “kasih” dan “kebenaran” sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Yesus. Sebaliknya ia juga dengan gamblang memuji jemaat dan pribadi-
pribadi yang dalam kehidupannya nyata perbuatan-perbuatan yang menunjukkan penyatuan
kasih dan kebenaran itu. Dia menyapa Gayus dengan “kasih dan kebenaran”, “Dari penatua
kepada Gayus yang kekasih, yang kukasihi dalam kebenaran” (III Yoh. 1:1). Dari perspektif ini
pulalah Yohanes menilai kehidupan jemaat-jemaat dan pribadi-pribadi yang dengannya ia
menulis surat penggembalaan, baik pada tataran teologis maupun etis.
Jika kita memperhatikan keseluruhan Surat Yohanes yang pertama, nampak bahwa
surat ini dialamatkan kepada suatu jemaat atau gereja tertentu, yang menurut istilah
penulisnya sedang dilanda nabi-nabi palsu. Karena itu, I Yoh. 4:1 menandaskan, “Saudara-
saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah
mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke
seluruh dunia.” Siapa nabi-nabi palsu itu? Ternyata mereka tidak datang dari luar, tetapi justru
muncul dari dalam tubuh gereja sendiri. Bukan itu saja. Nabi-nabi palsu itu juga beroperasi
dalam gereja. Nampaknya orang-orang ini memang tetap dalam gereja, tidak keluar dari
keanggotaan gereja. Tetapi mereka membuat suatu kelompok tersendiri. Membuat
persekutuan di dalam persekutuan. Membuat gereja di dalam gereja, dan karena itu amat
membahayakan keutuhan dan kesatuan jemaat. Kata Yohanes, “Memang mereka berasal dari
antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka
sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita” (ayat
19). Mereka membentuk persekutuan sendiri.
Dari ayat-ayat selanjutnya kita mendapat kesan bahwa ciri khas dari kelompok ini
adalah: bahwa mereka itu merasa mendapat pengurapan khusus oleh Roh Kudus. Roh Kudus
ini, menurut keyakinan mereka mengaruniakan “gnosis” atau “pengetahuan” yang khusus dan
istimewa tentang Allah. Pengetahuan khusus inilah yang membuat mereka merasa lebih
berhikmat, lebih beriman, dan lebih suci daripada anggota-anggota gereja yang lain. Sikap
itulah yang kemudian dikecam oleh Yohanes melalui ayat yang sangat terkenal: “Jika kita
berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada
di dalam kita” (I Yoh. 1:8). Selain itu Yohanes juga memberikan julukan kepada mereka
sebagai “anti Kristus”: “Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang
telah kamu dengar, seorang anti Kristus akan datang. Sekarang telah bangkit banyak anti
Kristus” (I Yoh. 2:18).
Mengapa mereka diberikan julukan seperti ? Menurut ayat 22: oleh karena mereka
menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus. Apa artinya “menyangkal bahwa Yesus adalah
Kristus”? Kelihatannya aneh! Bukankah mereka justru amat menghormati Kristus? Ya, tetapi
Kristus yang mereka percayai dan hormati itu adalah Kristus yang surgawi, yang rohani, yang
mulia. Tidak kepada Yesus yang duniawi, yang jasmani, yang papa, yang menderita, yang
tersalib, yang oleh Rasul Paulus dipahami sebagai idenitias kristiani ketika ia mengatakan,
“Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab
olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6:14). Yang mereka
percayai dan hormati adalah Mesias yang menang, bukan Hamba Allah yang menderita, yang
tersalib. Yang mereka percayai dan hormati adalah Kristus, Sang Anak Allah, bukan Yesus, si
Anak Manusia. Pendeknya, Kristus yang mereka percayai dan hormati itu adalah Kristus yang
rohani. Saking rohaninya, atau saking abstraknya sehingga Kristus tidak ubahnya telah menjadi
sekedar sebagai sebuah ide, semacam konsep, suatu prinsip-prinsip kebenaran yang abstrak.
Bukan lagi sebagai sebuah pribadi yang hidup dan kongkret. Bukan lagi Allah yang telah
menjadi manusia dan “tinggal di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan
kebenaran” (Yoh. 3:14).
Jadi rupanya bagi sang penatua penulis surat I Yohanes ini, menjadikan Kristus sekedar
sebagai sebuah ide, konsep atau prinsip kebenaran universal adalah sikap seorang anti Kristus.
Anti Kristus karena Yesus Kristus itu bukan ide, bukan konsep, bukan prinsip, tetapi Allah,
Allah yang hidup. Dan yang terpenting: Allah yang menjadi manusia, Allah yang menjadi
daging, dan “memberikan teladan hidup untuk kita ikuti jejak-jejak-Nya” (I Petrus 2:21). Iman
kepada Yesus Kristus yang tersalib adalah iman yang membumi, iman yang menemukan
identitasnya di dunia ini. Rupanya menurut Yohanes, pendapat mereka itu merupakan
kesalahan teologis yang amat mendasar, yang bertolak belakang dari seluruh kebenaran Injil.
Mengapa? Sebab Injil justru berarti Allah yang abstrak menjadikan Diri-Nya kongkret, menjadi
manusia, masuk ke dalam sejarah. Mereka sebaliknya. Mereka menjadikan yang kongkret
menjadi abstrak. Injil yang sejati adalah ketika yang rohani itu menjadi jasmani, ketika Allah
yang rohani itu menjasmanikan diri, mengambil bentuk manusia, menjadi daging,
men”dunia”. Mereka sebaliknya. Mereka menjadikan yang jasmani itu rohani. Kesalahan
teologis yang fatal inilah yang kemudian mendorong Yohanes untuk berbicara tentang
mengasihi Allah dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Mengapa? Sebab kesalahan teologis
juga telah melahirkan kesalahan etis yang gawat. Kasih, yang menjadi identitas etis orang
percaya, juga mereka rohanikan. Mereka jadikan ide, konsep, prinsip. Kasih menjadi kata-kata
saja yang begitu mudah diungkapkan tetapi tidak nampak dalam kehidupan. Karena itu, kata
Yohanes, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah,
tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran”. Ayat ini memperbandingkan dua cara untuk
mengasihi, yang satu dengan perkataan (logos), yang satu lagi dengan tindakan (ergon).
Perbandingan antara logos dengan ergon lazim dalam tulisan-tulisan Yunani. Kedua cara itu
masing-masing dilengkapi dengan satu istilah lagi. “Perkataan” ("logos") merupakan wujud
suatu pikiran. “Lidah” merujuk ke tindakan bertutur. Keduanya mewakili yang abstrak
ketimbang yang konkrit. Dan karena kasih Kristus adalah konkrit, maka kata “perkataan” dan
“lidah” mewakili yang semu ketimbang yang sejati. Kemudian, perbuatan ("ergon") dilengkapi
dengan kebenaran ("aletheia"). Perbuatan jelas konkrit, tetapi aletheia itu biasanya abstrak,
jadi merujuk ke suatu kesesuaian antara apa yang benar dengan kenyataan atau perbuatan.
“Aletheia” memiliki beberapa arti.
1) Apa yang sesuai dengan kenyataan, lawan dari penampakan atau ilusi. Dalam 2 Yoh
1:1, "benar-benar" menerjemahkan "dalam aletheia". Kata „emet dalam PL biasanya
diterjemahkan “aletheia”. Kata „emet sendiri dalam PL sering diterjemahkan
“kesetiaan” Allah atau “kebenaran” (Lihat kata “kesetiaan” dan “kebenaran” dalam
Mazmur 43:3; 45:5; 51:8). Sebenarnya, Plato pun mencari dasar untuk kehidupan
(perbuatan) yang baik, sama seperti ilmu pengetahuan Barat. Hanya, dicari dalam
rumusan/ide, bukan Pribadi.
2) Apa yang sesuai dengan kenyataan, lawan dari bohong. Unsur etis mulai muncul di
sini, yaitu bahwa orang berkomunikasi (dalam perkataan atau tindakan) sesuai dengan
apa yang sebenarnya. Dalam 1 Yoh 2:21 aletheia berarti pemahaman tentang Kristus
yang sesuai dengan kenyataan Kristus, ketimbang pemahaman dalam ajaran palsu.
3) Jika kenyataan yang dimaksud adalah perbuatan orang, maka kita tiba pada satu tema
yang kuat dalam PL dan PB, yaitu kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Hal
itu bisa menyangkut pengakuan tentang diri sendiri, seperti dalam 1 Yoh 1:6, 8; 2:4, di
mana pengakuan tertentu dipalsukan oleh perbuatan. Perkataan itu juga termasuk
perkataan yang menyiratkan janji. Kenyataan dari suatu janji adalah pewujudannya
dalam perbuatan.
4) Dengan demikian kita tiba pada artian aletheia sebagai sifat orang yang bertindak
(berbicara) menurut aletheia, yaitu ketulusan, kesetiaan, kejujuran. 'Emet dalam bahasa
Ibrani sering memiliki artian demikian, merujuk ke kesetiaan Allah. Dalam kaitannya
dengan kata ergon, mungkin pengertian yang ketiga di atas yang paling
mempertahankan perlawanan antara abstrak dengan konkrit. Yohanes memiliki
concern supaya perbuatan dan perkataan pembaca klop, baik dalam pemahaman
tentang dirinya, maupun pada ayat ini dalam relasi dengan sesama. Mengaku
mengasihi orang menyiratkan janji yang harus dinyatakan dalam perbuatan. Namun,
dalam ayat berikut Yohanes langsung memperluas cakupan aletheia itu. Bahwa kita
"berasal dari aletheia" jelas tidak merujuk pada sifat dalam diri kita. Frase itu merujuk
ke frase "berasal dari Allah" dalam ayat 10, yang secara negatif dikaitkan dengan kasih.
Berasal dari Allah dan berasal dari aletheia merupakan pengulangan yang mencakup
pembahasan tentang kasih dalam ayat-ayat11-18.
5) Aletheia dalam ayat 19 adalah sifat Allah, yaitu sebagaimana dalam pengertian yang
pertama versi PL yakni kesetiaan. Aletheia pribadi dalam kesesuaian antara perkataan
kasih dan perbuatan kasih menunjukkan bahwa kita berasal dari aletheia, yaitu Allah
sebagai Yang Riil.

Jadi sebuah peringatan bahwa “kasih” dan “kebenaran” dalam iman Kristen itu itu
adalah relasi, bukan konsep-konsep abstrak. Tetapi relasi kasih itu tidaklah bermakna relasi
kasih pada dirinya sendiri melainkan sebuah relasi kasih yang dimotivasi oleh sebuah prinsip
kebenaran menurut Injil (landasan teologis), yakni tindakan Allah: “Bukan kita yang telah
mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anak-Nya
sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah
sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi” (I Yoh. 4:10,11). Jadi
dapat dikatakan bahwa “perbuatan” (gaya hidup, cara hidup) adalah cara menghayati
kebenaran dan kasih. Spiritualitas adalah trilogi mengasihi-perbuatan-kebenaran. Jika Yesus
mengatakan bahwa Dialah kebenaran, maka Dia adalah perwujudan relasi yang telah
dipulihkan antara Allah dan manusia, antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia
dengan seluruh ciptaan. Kebenaran adalah relasi yang benar. Itulah spiritualitas Yesus. Itulah
gaya hidup Yesus, yang oleh Rasul Petrus disebut sebagai jejak-jejak hidup yang harus kita
ikuti ikuti: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk
kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (I Petrus
2:21).
Trilogi Mengasihi–Perbuatan–Kebenaran. Ketiganya memang tak dapat dipisahkan.
Dengan meletakkan perbuatan di tengah-tengahnya, Yohanes sesungguhnya mengingatkan
identitas kekristenan, baik teologis maupun etis. Bahwa kasih sebagai identitas etis kristiani
adalah sesuatu yang mesti “dijadikan”, bukan sesuatu yang sudah jadi. “Kasih” baru ada ketika
kita “mengasihi”. Kasih mensyaratkan adanya pihak lain, pihak asing: “Sebab aku sangat
bersukacita, ketika beberapa saudara datang dan memberi kesaksian tentang hidupmu dalam
kebenaran, sebab memang engkau hidup dalam kebenaran. Bagiku tidak ada sukacita yang
lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran. Saudaraku
yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu
untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing. Mereka telah memberi
kesaksian di hadapan jemaat tentang kasihmu. Baik benar perbuatanmu, jikalau engkau
menolong mereka dalam perjalanan mereka, dengan suatu cara yang berkenan kepada Allah”
(III Yoh. 1:3-6). Dengan kata lain, kasih yang adalah identitas etis kita justru kita temukan di
dalam diri orang lain ketika kehidupan kita telah mampu membawa damai sejahtera bagi
orang lain itu. Dan gaya hidup seperti itu dilandasi oleh sebuah kebenaran kristiani yang telah
diteladankan oleh Kristus sendiri pula, yakni di dalam relasi yang benar dengan Allah dan
sesama (identitas teologis, kebenaran). Trilogi ini merupakan spiritualitas kristiani, spiritualitas
yang telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Mengasihi–Perbuatan–Kebenaran = Spiritualitas
Kristiani.
Dari paparan diatas, maka mengangkat Tema “Mengasihi dengan Perbuatan dan
dalam Kebenaran” (I Yoh. 3:18), merupakan sebuah panggilan untuk:
1) Membangun sebuah spiritualitas kristiani dengan menjadikan spiritualitas Yesus sebagai
teladan di dalam menjalani kehidupan orang percaya dalam rangkan mewujudkan
Gereja Toraja yang membawa damai sejahtera bagi semua.
2) Mengembangkan sebuah spiritualitas di mana gaya hidup itu (perbuatan) merupakan
gaya hidup hasil pembatinan pandangan hidup (dhi. kebenaran) kristen, sehingga
hasilnya adalah sebuah gaya hidup (dhi. mengasihi) berdasarkan padangan hidup
kristiani (kebenaran kristiani) yang keluar dari hati sebagai hasil pembatinan
pandangan hidup kristiani (kebenaran kristiani), sehingga kita tidak mengasihi hanya
dengan akal budi tetapi dengan segenap hati dan jiwa (Matius 22:37-40). Pembatinan
dalam hal ini dimaknai sebagai perjalanan pendalaman sebuah penghayatan nilai dan
keyakinan kedalam lubuk hati, sanubari, batin, budi, nous, sehingga hasilnya melamur
keseluruhan keberadaan kita; rasa, karsa, kata dan karya kita.
3) Menjemaatkan cara “menikmati” Injil sebagaimana dijelaskan dari hasil Konsultasi Misi
ke-3 Gereja Toraja. Bahwa seluruh “kewajiban-kewajiban” agama kita akan terasa
sebagai beban jika kita tidak “menikmatinya”, tidak keluar dari hati sebagai hasil
pembatinan dalam kerangka teologis: mengapa kita melakukan itu. Hanya dengan
begitu, seluruh kehidupan dan pelayanan kita menjadi sesuatu yang bermakna. Ada
spirit kehidupan, tidak dingin dan hambar, dinikmati.
4) Menegaskan identitas kita sebagai gereja, baik identitas teologis maupun etis. Itu
berarti sebuah panggilan untuk hadir sesuai dengan identitas eklesiologis yang
diberikan kepada kita oleh Tuhan sendiri.
5) Memacu semangat bagaimana seharusnya kehadiran kita supaya dapat diterima
(akseptabel) dan bermanfaat (efektif) tanpa mengkhianati identitas kita sebagai gereja

III.3.4.Gereja Toraja, PPGT dan Permasalahannya

“Masalah” adalah kesenjangan antara “yang ada” (realitas) dengan yang diharapkan
(idealitas). Masalah Gereja Toraja adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan
daripadanya sebagai Gereja dengan realitas kehidupan Gereja Toraja sekarang ini. Jika kita
bertolak dari dua arah hakekat Gereja Toraja yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang
lain (misi ke dalam dan ke luar), evaluasi kehadiran kita terletak pada dua arah ini dan
bagaimana keduanya berjalan seimbang. Rumusan eklesiologis Gereja Toraja dalam PGT pasal
VI menekankan dalam bahwa umat Allah diutus ke dalam dunia untuk dunia, berada didalam
dunia, tetapi bukan dari dunia. Setiap kegiatan gereja merupakan tanda kehidupan baru itu,
baik bila jemaat berkumpul, maupun bila menyebar untuk melayani dan bersaksi ditengah-
tengah dunia. Jemaat adalah arak-arakan yang dinamis dan terbuka serta mengundang semua
orang melalui kesaksian hidup, pelayanan dan pemberitaannya untuk ikut dalam arak-arakan
ini menuju kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah. Didalamnya ada pengakuan iman
bahwa arak-arakan ini senantiasa dibina dan dipelihara oleh Roh Kudus dan Firman Allah
didalam seluruh kehidupan dan segala kegiatannya ditengah-tengah dunia
Jika kita memperhatikan pencapaian 10 PTP-GT yang dihasilkan dalam SSA ke 22,
menunjukkan perubahan yang sangat mendasar pada tataran yang seharusnya, yang
diharapkan (idealitas), di mana porsi misi ke luar yang sebelumnya kurang mendapat
perhatian telah mendapat perhatian yang sangat besar (3,4,5,7,8,9). Dari ke 10 PTP-GT ini
kita tertantang untuk mengevaluasi dan berefleksi untuk kemudian menentukan aksi kita
selanjutnya. Disamping berbagai pencapaian yang menggembirakan dan patut kita syukuri,
kita terus berhadapan dengan keragaman permasalahan yang dalam refleksi ini akan
dipetakan kedalam dua arah pembenahan, yakni secara internal (misi ke dalam) dan secara
keluar (misi ke luar).

1. Internal

a. Komunikasi Kelembagaan. Disamping semakin bertambahnya jumlah keanggotaan Gereja


Toraja, kita juga menyaksikan bertambahnya jumlah orang yang meninggalkan Gereja
Toraja, baik di kota maupun di desa. Banyak anggota kita di pedesaan maupun di
perkotan yang pindah ke gereja lain karena tidak terjangkau pelayanan (tangdilambi‟)
ataupun karena alasan mencari suasana ibadah “yang lebih menyentuh” . Upaya
menjembatani kesenjangan jemaat kota dan desa yang telah terbangun selama ini dalam
bentuk jemaat adopsi maupun kembar perlu dijembatani dan dikembangkan secara
sistemik dalam rangka membangun satu tubuh, yang kuat membantu yang lemah supaya
kita semua tetap “teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di
dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Efesus 4:15) karena kita semua
adalah “satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang
seorang terhadap yang lain” (Roma 12:5). Termasuk dalam hal ini penting diperhatikan
untuk terus menumbuhkan tingkat keterhubungan jemaat dengan BPMS Gereja Toraja
dengan memberikan legitimasi yang semestinya dalam pengambilan kebijakan
kelembagaan. Sekaligus tantangan bagi BPMS untuk terus berbenah berdasarkan masukan-
masukan konstruktif dari jemaat.
b. Perpindahan Anggota dan Keanggotaan Rangkap. Tentu tidak dapat disangkal
tentang pertambahan warga Gereja Toraja dengan terbukanya jemaat-jemaat yang baru,
baik itu pemekaran jemaat maupun perpindahan anggota dari gereja lain (atau anggota
rangkap), akan tetapi perlu dipertanyakan motivasi dari perpindahan. Apakah karena
pelayanan Gereja Toraja sudah lebih baik dari gereja-gereja lain atau telah jenuh di
tempat “pelariannya” selama ini? Keduanya bisa. Kita harus tetap instropeksi diri sambil
belajar pada gereja-gereja lain jika hal-hal itu menolong kita menghadirkan diri dengan
efektif bagi warga jemaat. Dalam kenyataannya, di banyak tempat banyak warga kita
yang bergereja rangkap dan keanggotaan rangkap. Jam tertentu bergereja di Gereja
Toraja dan jam tertentu masih bergereja di gereja lain. Penting dikaji, mengapa?
c. Perpecahan Jemaat. Kita bersyukur dengan bertambahnya jemaat-jemaat karena
pemekaran. Tetapi Persekutuan kita terganggu dengan fenomena perpecahan dan
pemekaran-pemekaran dengan motif-motif yang tidak gerejawi, konflik internal misalnya.
Jika coba didalami, kita akan menemukan bahwa dalam beberapa hal persekutuan kita
tidak lagi dibangun dengan prinsip eklesiologi yang benar. Pengakuan Iman GT Bab VI
pasal 4 adalah prinsip bergereja yang mesti terus dijemaatkan; bahwa jemaat adalah
persekutuan yang hidup dalam satu persaudaraan dengan kedudukan yang sama, tanpa
pembedaan ras, bangsa, suku dan lapisan-lapisan sosial. Ini sekaligus menjadi koreksi bagi
masih kuatnya sistim “kobbu‟” dalam masyarakat, yang kemudian sering terbawa kedalam
kehidupan bergereja.
d. Masalah Keluarga. Dalam kaitan kehidupan keluarga warga jemaat, kita menyaksikan
peningkatan perceraian keluarga dalam jumlah kasus yang semakin memprihatinkan,
kenakalan remaja yang semakin tidak terkendali, banyaknya anak-anak kita yang
bertumbuh di luar Gereja Toraja, belum mengakarnya kesadaran yang kuat bahwa tempat
utama pendidikan dan pertumbuhan iman adalah keluarga, pembinaan keluarga masih
kurang mendapat perhatian/pelayanan Gereja Toraja, dan sederetan masalah lainnya.
Tantangan yang mesti dijawab dengan memberi perhatian serius terhadap
pembekalan/katekisasi/pastoral nikah, pembinaan pasutri dan perhatian lebih kepada
pembinaan generasi muda.
e. Kesenjangan antara Kerajinan Beribadah dengan Kehidupan Keseharian. Gejala ini seiring
dengan keprihatinan global bahwa kebangkitan agama belum dibarengi dengan
kebangkitan etika, malahan ada kecenderungan berbanding terbalik. Kalau setiap agama
terdiri dari tiga hal yaitu mitos (dogma, teologi), ritus (liturgi), dan etika, maka nampak
kesenjangan yang cukup besar, di mana kita ramai pada bidang mitos dan ritus tetapi
kurang nampak dalam etika. Formalisme semakin tidak dipersoalkan. Dalam kehidupan
bergereja, masih sangat lebar kesenjangan antara pengakuan formal sebagai anggota
gereja dan dengan praktek kehidupan sehari-hari. Pengakuan formal kita belum membumi
dalam gaya hidup, terbukti dengan masih maraknya kekerasan internal keluarga dan antar
keluarga, kekerasan politik, sikap biasa-biasa saja terhadap korupsi, kegampangan ikut
menyuap dll.
f. Kesenjangan komunikasi dalam Persekutuan. Pola komunikasi dalam persekutuan acapkali
sudah sangat jauh dari komunikasi kasih sebagai identitas etis kita, dalam terang kuasa roh
yang “lemah lembut” dan penguasaan diri. Dalam beberapa kasus terbawa bahwa
persidangan-persidangan gerejawi kita menjadi lebih ricuh dari persidangan diluar sana
yang kita namai “sekuler”. Dalam hal ini, gereja lebih digarami ketimbang menggarami.
Jangankan di dalam perbuatan, dalam perkataan pun “bahasa kasih” cenderung
mengalami erosi, ketika kita tidak lagi sungkan melempar kata kasar satu kepada yang
lain. Tegas tidak lagi dapat dibedakan dengan kasar.
g. Pendirian jemaat-jemaat di perantaun, dalam dan luar negeri. Semangat pendirian jemaat
harus terus ditantang dengan kesiapan model-model pelayanan yang sesuai dengan
dinamika kehidupan mereka sebagai kaum urban. Ditengah hingar bingar kota, tingkat
berkumpul keluarga yang relatif minim, ketersediaan waktu beribadah yang rentan
terhadap kejenuhan, menjadi tantangan spesifik bagi pendekatan pelayanan yang
lebihmenyentuh dan meneduhkan. Dalam pada itu, khotbah dan liturgi dapat terbatinkan
secara mendalam, dan tidak sekedar tiba pada tataran akal dan penerimaan kognitif kaum
urban yang identik sibuk, akademik dan kritis. Pelayanan yang dapat melahirkan “hati
yang berkobar-kobar” untuk mencari kehendak Tuhan dan melakukannya ditengah
tantangan masyarakat kota yang semakin memojokkan anak-anak Tuhan ke ranah
“keserupaan dengan dunia”. Berdirinya jemaat-jemaat Gereja Toraja di perantauan mesti
terus dipacu untuk berjalan dalam paham Gereja Tuhan untuk membawa damai sejahtera
bagi semua. Sehingga pergumulan masyarakat setempat menjadi pergumulan
pelayanannya lalu menjadi kegelisahan teologis-etisnya, dan melahirkan aksi kepeduliaan
yang selaras denagn kesadaran tersebut.
h. Kepedulian PPGT terhadap Pen Sos (HIV Aida)

2. Eksternal

a. Pembenahan Komitmen dan Sarana-sarana Marturia dan Diakonia. Penatalayanan yang


berbasis optimalisasi sarana-sarana marturia dan diakonia yang kita miliki, seperti sarana
pendidikan, kesehatan, dan lembaga-lembaga pemberdayaan kita, adalah urgen untuk
diperhatikan. Melalui pembenahan kualitas penatalayanan yang ada, masyarakat akan
lebih mendapat kesan (impression) yang positif dan makin diminati oleh berbagai
kalangan. Peran Gereja Toraja menemukan tantangan riilnya dalam perjuangan
mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi, dalam kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi di sekitarnya.
b. Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Gereja Toraja. Otonomi daerah secara tak terduga
memperhadapkan Gereja Toraja kepada tantangan yang lebih kompleks. Tumpuan
otoritas kepemerintahan yang berpindah dari pusat ke daerah menuntut peran profetik
yang lebih berani tetapi berhikmat. Suara kenabian gereja harus terus bergaung dalam
kaitan dengan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Maraknya kasus
korupsi, tetapi dilain pihak meningkatkan kemauan politik banyak pihak untuk
pemberantasannya, menantang Gereja Toraja untuk mengevaluasi keterlibatan
kenabiannya sebagai mitra kritis pemerintah bagi kepemimpinan daerah yang lebih bersih
dan berwibawa. Mandat alkitabiah agar gereja jangan menjadi serupa dengan dunia
(Roma 12:2) menjadi tanda awas bagi kita untuk terus menilai diri, sudah seberapa berarti
(significant) kehadiran kita ditengah masyarakat. Ataukah “keberartian dan
kebermaknaan” kehadiran kita belum cukup dirasakan secara eksternal? Kerusuhan pasca
Pemilukada di Kabupaten Tana Toraja, penahaman oknum pemerintah yang tersangka
korup, dsb menjadi kasus ujian (test cases) bagi seberapa kehadiran Gereja Toraja
dipandang “diperhitungkan” (accountable) dalam membawa transformasi moral, sosial,
politik dan ekonomi dalam konteksnya.
c. Komitmen Ekumenis. Belakangan ini Gereja Toraja mendapat beberapa sorotan kritis
terkait komitmen ekumenisnya. Berdirinya jemaat Gereja Toraja di wilayah yang selama
ini menjadi zone solidaritas ekumenis yang kuat, misalnya di wilayah Gepsultra, GKST;
adalah kasus serius untuk digumuli. Hal ini terkait erat dengan kita ambil bagian aktif
dalam perarakan mengupayakan agar keesaan makin nyata di Indonesia dan mencakup
semua gereja termasuk gereja-gereja di luar keanggotaan Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI). Batu uji bagi komitmen dalam spirit Dokumen Keesaan Gereja (DKG-PGI)
bahwa kedalam tangan Sang “Pengesa”, gereja-gereja mempersembahkan semua
individualisme, primordialisme, eksklusifisme berbasis ras, etnis, budaya, ajaran,
denominasi, wilayah struktural/institusional; agar mendapat tempatnya yang benar, yaitu
sebagai elemen kemajemukan yang menghidupkan dan memperkaya kesatuan. Suatu
pengakuan bahwa ketertutupan dan perpecahan adalah pengingkaran terhadap Yesus
Kristus sebagai satu-satunya dasar keesaan gereja.
d. Respon terhadap Pluralitas Kemasyarakatan. Kemampuan kita makin ditantang untuk
menempatkan, baik secara teologis maupun sosiologis orang lain (the other) yang berbeda
identitas primordialnya dengan kita dalam rangka menyikapi pluralism. Mesti ada
kegelisahan teologis-etis yang terus diasah dalam wujud kepekaan untuk menghadapi dan
turut membangun proses demokratisasi ditengah ragam dampak globalisasi nilai dan fakta
terorisme. Gereja Toraja terpanggil untuk secra serius dan sistematis membangun model-
model pendidikan yang akn menghasilkan produk intelektual Kristen yang siap
menghadapi kecenderungan-kecenderungan seperti ini. Membangun paradigma
pendidikan sekuler yang tetap melekat kuat pada visi dan misi Gereja Toraja. Generasi
yang dapat secara berhikmat melakoni hubungan ilmu dan agama dalam pengembangan
kecerdasan spiritual dan operatif dalam implementasi kecerdasan emosional, intelektual
dan sosial mereka. Kita juga terus berhadapan dengan komitmen NKRI yang terus
terdistorsi oleh ancaman disintegrasi, yang perwujudannya bertentangan dengan visi
damai sejahtera; keutuhan, ketenangan, rekonsoliasi dan keadilan sosial
e. Perjumpaan Injil dan Kebudayaan. Studi dan pengalaman yang panjang terkait
perjumpaan Injil dan Kebudayaan Toraja menjadi kekayaan spiritual yang tidak pernah
kering. Suatu proses yang menantang sudah sejauhmana Gereja Toraja menghadirkan
hubungan yang dialektis antara Injil dan budaya; di mana Injil sudah semakin mewarnai
atau mencerahkan budaya, dan budaya memberi bahasa yang membumi kepada Injil.
Gereja Toraja berhadapan dengan masalah memelihara dan mengembangkan budaya
yang lebih berbelarasa, berbelas kasih dan berhikmat. Yesus Kristus dipercayai telah
menjadi Tuhan yang membudaya dan diterima akrab dalam komunitas orang percaya
dengan kebudayaannya masing-masing , dan telah menjadi “pengesa” dari suatu keesaan
yang sangat majemuk dan merangkum semua manusia dengan segala kekayaan budaya
dan tradisi gerejawi.
f. Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak. Warga Gereja Toraja adalah bagian dari
komunitas ekumenis global Dewan Gereja se-Dunia yang pernah mencanangkan dekade
gereja-gereja dalam solidaritas dengan perempuan pada tahun 1990. Ini menjadi
dorongan bagi Gereja Toraja untuk lebih memberi ruang strategis dalam mengintegrasikan
kesetaraan gender dan menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran,
pelaksanan dan pemantauan serta evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan
pelayanan di jemaat-jemaat kita. Program terkait pemberdayaan perempuan tidak
diserahkan menjadi program eksklusif PWGT tetapi menegaskan keterpanggilan bersama
jemaat. “Dalam hal ini tidak ada lagi orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba
atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu
didalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28). Terbitnya secara khusus UU RI No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bukan hanya menjadi tantangan sosiologis tetapi teologis bagi
Gereja Toraja untuk melihat betapa ranah penyuaraan tindakan profetik kita bertambah
kompleks. Masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap
perempuan dan anak, perdagangan manusia (human trafficking) yang dominan adalah
perempuan dan anak, buruh anak, pronografi yang melibatkan anak, dsb barulah
segelintir dari begitu banyak “pekerjaan rumah” yang tidak dapat diabaikan oleh warga
jemaat.
g. Kepedulian Lingkungan. Kerusakan lingkungan merupakan salah satu isu yang
mengemuka, antara lain meliputi pencemaran udara dan air, tanah longsor, erosi,
berkurangnya sumber air dan energi, pemanasan global, dampak bencana alam, masalah
sampah yang berserakan dan merusak kesehatan manusia dst. Sekalipun sudah merasakan
dampaknya, misalnya merebaknya penyakit menular, tapi masih banyak orang yang tidak
menghiraukannya. Padahal rusaknya hubungan antara manusia dan lingkungannya
terbanyak disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yang tidak bertanggungjawab dalam
memperlakukan “to sangserekanna.” Pandangan teologis yang sangat antroposentrik
melahirkan kesombongan manusia dengan memperlakukan ciptaan lain semata-mata
sebagai obyek yang dapat digunakan tanpa batas untuk kepentingan manusia. Penting
untuk terus menjemaatkan etika lingkungan dan paham pemandataan pemeliharaan
lingkungan ini.
h. Kekerasan Sosial. Gereja Toraja sedang berarak sederap dengan gereja Tuhan di seluruh
dunia untuk pada tahun 2010 ini mengevaluasi dan berefleksi sejauh mana pencapaian
Dekade Gereja-gereja dalam Mengatasi Kekerasan (Decade to Overcome Violence – DOV
– 2000-2010). Sudah cukup banyak program yang didalamnya semangat DOV diratifikasi
melalui program baik pada tataran jemaat maupun kelompok pelayanan kategorial.
Namun kembali kita terus menerus diperhadapkan pada fakta kekerasan seperti kerusuhan
di Tana Toraja pasca Pemilukada menyisakan desakan hadap diri terhadap warga Gereja
Toraja. Nurani kemanusiaan kita semakin dibuat pedih oleh berkelanjutannya kekerasan
sosial baik antar warga maupun konflik atas nama agama yang jelas-jelas menciderai
keluhuran ajaran agama-agama. Gereja Toraja diperhadapkan pada tuntutan untuk makin
mengambangkan penghayatan bahwa pada dasarnya keanekaragaman agama, budaya
dan ras sama sekali bukan persoalan dalam membangun harmoni kehidupan dalam
bingkai NKRI. Toleransi harus makin membumi sehingga sikap-sikap intoleran,
ketidakdewasaan sebagian kalangan dalam mengelolah perbedaan tidak akan bermuara
pada kekerasan sosial. Tragedi yang banyak menyisakan kesengsaraan dalam berbagai
wujudnya dalam masyarakat

III.4. Penyesuaian Tematik PTP Gereja Toraja 2011-2018 dalam Derap Implementasi 12 Pokok
Panggilan PPGT

Bertolak dari Visi Gereja Toraja, “Damai Sejahtera bagi Semua” dan Tema SSA XXIII
“Mengasihi dengan Perbuatan dan dalam Kebenaran” (I Yohanes 3:18) serta
mempertimbangkan konteks pergumulan pelayanan Gereja Toraja dan tantangan yang
menyertainya, dan setelah menggumuli dengan seksama tantangan internal maupun ekternal
Gereja Toraja, maka dalam tuntunan hikmat Tuhan SMS ke 23 di Tallunglipu menetapkan
pokok-pokok tugas panggilan Gereja Toraja dalam Keputusan nomor 13 sebagai berikut:

1. Penghayatan dan Penjemaatan Spiritualitas Kasih sebagai Ibadah yang Sejati:


a. Warga Gereja Toraja terus terpanggil memantapkan komitmen untuk mengalami dan
melakukan pembaruan yang selama lima tahun belakangan ini disemangati oleh tema
SSA XXII “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”. Perubahan yang fundamental harus
terus disaksikan oleh dunia terjadi pada diri para pelayan dalam Gereja Toraja
mendorong dan olehnya konsisten mendampingi warga jemaat untuk berubah dan
selanjutnya warga jemaat mengajak dunia lingkungannya berubah.
b. Warga jemaat terpanggil untuk menjadikan ibadah sebagai persembahan yang hidup
dan berkenan kepada Tuhan. Ibadah dimaksud adalah ibadah yang didorong oleh
spiritualitas kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama bahkan semua makhluk.
c. Program-program pembinaan dan pemberdayaan perlu dikembangkan secara
kategorial bukan hanya dengan pertimbangan jabatan (Majelis Gereja), usia (generasi
muda), jenis kelamin (wanita dan kaum bapak), tetapi juga kelompok-kelompok
profesi. Semua ini diarahkan kepada kesiapan mereka menjadi “agen” implementasi
kasih dan kebenaran.
d. Pengembangan keteladanan pemimpin gereja sebagai salah satu basis penting bagi
kehidupan spiritualitas. Sistem pelayanan mentorat pastoral mesti semakin diberi
perhatian untuk melaksanakan bimbingan, pendampingan pastoral dan bahkan
teguran terhadap oknum pemimpin yang terindikasi mengalami degradasi spiritualitas.

2. Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Pengembangan SDM yang Cinta Kebenaran


a. Komitmen peningkatan mutu pendidikan pada tataran kebijakan mulai dirasakan,
namun pada tataran implementasi masih amat terasa adanya kelambanan, dan
malahan indikasi adanya penyimpangan pada berbagai tingkatan. Kita juga tidak bisa
menutup mata terhadap kenyataan di sejumlah tempat, yang mengindikasikan adanya
penyelengara dan pengelola pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai lahan
usaha untuk mengejar keuntungan finansil semata-mata.
b. Warga masyarakat dan warga gereja mesti memahami bahwa gelar yang diperoleh
melalui pendidikan, khususnya gelar kesarjanaan, bukanlah suatu prestise yang secara
otomatis dapat berdampak pada perubahan status sosial. Seringkali gelar dan ijazah
menjadi tujuan utama sementara pengetahuan dan keterampilan dikesampingkan.
Sementara itu, masih begitu banyak warga masyarakat di sejumlah tempat yang
sebenarnya memiliki keinginan untuk belajar dengan baik, namun sampai saat ini
mereka belum memperoleh kesempatan mengecap pendidikan secara memadai.
Faktor ketiadaan biaya merupakan salah satu alasan utama bagi terciptanya kondisi
ini. Faktor keterbatasan sarana dan prasarana, ketiadaan atau kekurangan tenaga
pengajar serta rendahnya motivasi dan kompetensi tenaga pengajar, juga merupakan
penyebab bagi rendahnya mutu pendidikan di sejumlah tempat, termasuk di sekolah-
sekolah yang dikelola oleh Gereja Toraja.
c. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan pendidikan yang berbasis
pembangunan karakter (character building), menjadi tantangan mendesak yang mesti
diantisipasi secara proporsional dan bersinergi dengan semua pihak terkait, bagi
munculnya para sarjana yang mempunyai kualifikasi SDM yang berkarakter kasih dan
cinta kebenaran. Moralitas dan karakter yang selama ini dipandang semakin terkikis
dari diri para teknokrat dan akademisi, tidak terkecuali teknokrat dan akademisi
Kristen.

3. Pengembangan Pemahaman Eklesiologi, Pengorganisasian Gereja dan Kemitraan Jemaat


a. Perjalanan momen gerejawi dari Jakarta ke Tallunglipu, adalah fase pengalaman
menjalani perubahan pengorganisasian gereja yang meliputi perubahan-perubahan
Tata Gereja, yang dahulu dinilai tidak lagi relevan, tidak kontekstual dan atau tidak
lagi selaras dengan perkembangan Gereja Toraja dan masyarakatnya. Substansi yang
ada pada perubahan dimaksud didasarkan pada pemahaman bahwa organisasi adalah
alat dan bukan tujuan. Tujuan Gereja Toraja adalah untuk mengerjakan keselamatan
yang telah diterimanya di dalam Yesus Kristus untuk diteruskan (dibagikan) kepada
dunia lingkungannya. Dalam rangka pencapaian tujuan ini, Gereja Toraja membentuk
sebuah struktur organisasi yang disertai dengan sejumlah aturan untuk mendukung
efektivitas penyelenggaraan organisasi. Struktur dan aturan-aturan tersebut tentu
disesuaikan dengan konteks di mana Gereja Toraja hadir untuk bersekutu, bersaksi dan
melayani. Dengan demikian, dinamika internal berubah, dan atau ketika konteks
pelayanan Gereja Toraja berubah maka struktur dan aturan-aturannya pun dapat
mengalami perubahan-perubahan. Dengan jalan begitu, Firman Allah yang tidak
berubah itu tetap dapat dinikmati dan disampaikan secara kontekstual.
b. Seiring dengan semangat itu, hasil perubahan Tata Gereja, yakni Tata Gereja Gereja
Toraja (TG-GT) mendapat sambutan dan tanggapan yang beragam dalam
implemetasinya. Peniadaan wilayah dalam struktur kelembagaan, perubahan OIG
menjadi pelayanan kelompok kategorial (PKK), pemberkatan nikah ulang bagi yang
bercerai dan beberapa tema teologis lainnya, tetap dipandang bagian dari dinamika
internal gerejawi yang terus memerlukan evaluasi dan pengkajian mendalam. Selain
itu, untuk menjawab mandat meningkatkan kemandirian dan fungsi garam dan terang
setiap jemaat, maka hubungan kemitraan antar jemaat perlu dikembangkan yang
difasilitasi oleh BPS.

4. Kebudayaan, Pembudayaan Etika Kristen, Keluarga Kristen, dan Penanggulangan Kekerasan


a. Ironis bahwa justru disaat kita akan mengevaluasi pencapaian perjuangan kita bersama
gereja-gereja di seluruh dunia untuk mengatasi kekerasan (Decade to Overcome
Violence – 2000-2010), hampir tiada hari yang kita lalui tanpa berita-berita melalui
media massa tentang tindak kekerasan dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Tindak
kekerasan tersebut melibatkan anak-anak sampai orang tua, orang-orang buta aksara
sampai orang yang berpendidikan tinggi, rakyat jelata sampai pejabat negara,
pengemis sampai para konglomerat, dan tidak terkecuali warga gereja. Dalam
sejumlah kasus, tindakan-tindakan kekerasan ini melibatkan kelompok-kelompok
masyarakat yang mengusung perbedaan agama, etnis dan latar belakang sosial lainnya,
sehingga menimbulkan ekses bagi kehidupan masyarakat secara lebih luas untuk jangka
waktu lama.
b. Dalam rangka memerangi budaya kekerasan, Gereja Toraja terpanggil untuk
melakukan upaya-upaya pembudayaan etika Kristen, yakni etika bermasyarakat yang
berlandaskan kasih dan memaknai hakekat manusia sebagai makluk yang diciptakan
menurut gambar Allah. Pembudayaan etika kristen ini harus dimulai secara dini dalam
setiap keluarga, kemudian diperluas ke dalam kehidupan berjemaat dan seterusnya ke
dalam kehidupan bermasyarakat. Pembudayaan etika kristen tersebut juga sejatinya
diberlakukan secara konsisten pada semua sekolah-sekolah yang dikelola oleh gereja
dan pada semua bidang pelayanan gereja. Jemaat dan organisasi intra gerejawi
terpanggil membangun iklim yang lebih santun dan saling menghargai dalam forum-
forum gerejawi agar menjadi kesaksian nyata bagi dunia.
c. Gereja harus memberi prioritas bagi pembinaan etika kristen guna menanggulangi
sejumlah kekerasan yang terjadi baik dalam keluarga, maupun dalam masyarakat
lingkugannya, serta menghindari maraknya seks bebas, pornografi, penyalah gunaan
narkoba terutama bagi generasi muda. Terjadinya “tawuran” antara siswa dengan
polisi di Rantepao dan kerusuhan yang menelan korban nyawa pasca Pemilukada
Kabupaten Tana Toraja misalnya, adalah “gajah di pelupuk mata” yang mendesak
semua pihak untuk berpikir keras, apa yang salah dengan masyarakat kita, dan apa
yang belum dilakukan oleh gereja.
5. Pemberdayaan Ekonomi dan Pengembangan Diakonia Transformatif dalam Upaya
Penanggulangan Akar Kemiskinan

a. Tantangan bagi sikap dan komitmen diakonal gereja menjadi semakin riil. Kita
mengaminkan bahwa Kristus masuk ke dalam dunia ini, antara lain, untuk mencari dan
menyantuni orang miskin, melepaskan orang yang terbelenggu dan mengentaskan
orang-orang yang tidak berdaya kepada keadaan yang lebih baik. Atas dasar itu,
gereja pada hakekatnya terpanggil untuk berperan sebagai mitra Kristus dalam upaya
penanggulangan akar kemiskinan dan pengentasan orang-orang lemah dari berbagai
ketidakberdayaan. Peran inilah yang lazim dikenal sebagai Tugas Panggilan Gereja
yang ketiga, yaitu “pelayanan” atau “diakonia”. Pelaksanaan tugas panggilan ini harus
dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa dalam setiap berkat yang kita peroleh tertitip
bagian orang-orang miskin, dan dalam setiap potensi yang kita miliki terselip bagian
yang harus dialokasikan untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan orang-orang
yang tidak berdaya.
b. Pembaharuan paradigma diakonia kearah diakonia yang lebih transformatif mesti
semakin serius diupayakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran sebagian warga
jemaat untuk berdiakonia semakin meningkat. Namun pada sisi lain muncul pula
gejala bahwa justru pihak pengelola jemaatlah yang cenderung membatasi pelayanan
diakonianya dalam lingkup jemaatnya sendiri, dan itupun masih terbatas pada
pelayanan diakonia karitatif atau diakonia konsumtif. Padahal jumlah orang-orang
yang dapat menjadi peserta pelayanan diakonia bukannya semakin berkurang.
c. Jumlah warga jemaat dan warga bangsa ini yang tergolong ke dalam kelompok orang-
orang yang terlindas oleh hiruk-pikuknya aktivitas pembangunan, justru semakin
bertambah dari saat ke saat. Mereka inilah yang memerlukan perhatian serius dan
dukungan dari kita semua. Mereka ini perlu dientaskan dari ketidakberdayaannya,
khususnya dalam bidang ekonomi, yang membuatnya menjadi beban pembangunan
secara terus-menerus. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kepedulian, keseriusan,
tekad tindakan nyata dari kita semua. Sikap diakonal jemaat juga harus diberdayakan
sehingga usaha-usaha yang dibuka oleh penerima bantuan diakonia transformatif,
diberdayakan oleh warga jemaat sendiri. “Trend” belanja ke mall-mall, meski untuk
kebutuhan dasar sehari-hari, mestinya dialihkan kepada kios-kios kecil mereka. Di
samping itu, perlu direncanakan program-program pemberdayaan bagi upaya
peningkatan kesejahteraan warga gereja, seperti program-program pembinaan
keterampilan dan pendampingan bagi warga gereja pencari kerja, baik dalam negeri
maupun ke luar negeri.

6. Pengembangan Peran Ekumenis, Relasional Kelembagaan dan Pengelolaan Pluraritas


a. Visi Gereja Toraja, yaitu “Damai Sejahtera Bagi Semua”, pada hakekatnya
mengamanatkan pengembangan peran ekumenis dan pengelolaan pluralitas. Hal
tersebut bermakna, bahwa segenap warga Gereja Toraja dituntut untuk senantiasa
mengembangkan hubungan yang baik dengan gereja-gereja lain tanpa harus dibatasi
oleh perbedaan denominasi. Bahkan lebih dari itu, Gereja Toraja juga dituntut untuk
menjalin kerjasama dan saling pengertian dengan para penganut agama-agama lain,
serta harus proaktif dalam memperjuangkan perdamaian dan kesejahteraan bagi
semua. Sehubungan dengan itu, pengembangan sikap inklusif (keterbukaan) dan
pengelolaan pluralitas (kepelbagaian atau keanekaragaman) perlu terus digalakkan.
Pluralitas seyogianya dipahami dan dikelola sebagai suatu potensi dan kekuatan
bangsa, dengan dilandasi oleh suatu keyakinan, bahwa Kristus mengasihi semua
manusia, dalam kepelbagaiannya, sebagai ciptaan Allah yang mulia. Kita percaya
bahwa Kristus pun telah menyatakan rahmat dan cinta kasih-Nya kepada orang lain
yang berbeda gereja dan berbeda agama dengan kita.
b. Gereja Toraja sedang berarak bersama gereja-gereja di Indonesia untuk memberian
“bentuk” pada ekumene gerejawi, yang dalam Dokumen Keesaan Gereja PGI disitir
amat ditentukan oleh asas “derajat keterhubungan” (degree of connectivity) antar
anggota tubuh dan seluruh tubuh dengan Sang Kepala (1 Kor. 12). Realisasinya mesti
diupayakan secara serius oleh jemaat-jemaat Gereja Toraja dalam perjumpaan dengan
gereja-gereja setempat lainya melalui berbagai kerjasama persekutuan, kesaksian dan
pelayanan. Selain itu asas “akuntabilitas gerejawi” (church accountability) mendorong
wujud “kebertanggung-jawaban” gereja satu terhadap yang lain, tanggung jawab
kepada dunia dan kepada Tuhan.Gereja Toraja, bersama-sama dengan gereja-gereja
se-Indonesia, se-Asia dan sedunia, sadar terhadap panggilan untuk terus mencari akar
spiritualitas ekumenis yang akan mengantar gereja-gereja memaknai kehadiran
bersama untuk menjadi berkat bagi dunia. Pengakuan Iman GT menekankan bahwa
setiap kegiatannya merupakan tanda kehidupan baru itu, baik bila jemaat berkumpul,
maupun bila menyebar untuk melayani dan bersaksi ditengah-tengah dunia. Jemaat
adalah arak-arakan yang dinamis dan terbuka serta mengundang semua orang melalui
kesaksian hidup, pelayanan dan pemberitaannya untuk ikut dalam arak-arakan ini
menuju kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah.
c. Pengelolaan pluralitas sebagai potensi dan kekuatan bangsa pada dasarnya harus
diawali dengan pengembangan pemahaman dan penghayatan tentang urgensi
kebersamaan dan interdependensi di antara segenap komponen bangsa yang plural
ini. Pengembangan pemahaman dan penghayatan tentang urgensi kebersamaan dan
interdependensi, antara lain, dapat diwujudkan melalui pengembangan dialog atau
forum-forum bersama seperti diskusi, seminar, lokakarya dan semacamnya. Semua itu
harus dikerjakan dalam semangat dan kesadaran bahwa yang paling mendasar dan
aktual adalah menjalani dan menikmati keseharian dalam hubungan-hubungan sejati
(genuine), tulus dan bermakna dengan siapapun, termasuk melalui penyelenggaraan
program-program pelayanan sosial secara bersama-sama. Fenomena meningkatnya
semangat fundamentalisme bukan hanya terlihat pada agama-agama lain tetapi juga
internal Kristen. Hal yang mesti diwaspadai bagi masa depan pluralitas Indonesia yang
lebih damai dan harmonis.

7. Pengembangan Partisipasi dalam Pelayanan Sosial dan Pembangunan Kesehatan


Masyarakat
a. Salah satu fungsi utama gereja adalah pelayanan sosial. Terkait dengan pengajaran
tentang hal ini kepada murid-murid-Nya, Yesus Kristus sendiri menyatakan bahwa
pelayanan kepada diri-Nya sejatinya adalah pelayanan kepada orang-orang yang
terpinggirkan, yakni mereka yang lapar, haus, telanjang, terpenjara dan terasing : “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
(Mat. 25 : 40). Itulah sebabnya, dalam segenap hidup-Nya, Kristus tidak menggunakan
kuasa yang ada pada-Nya untuk mencari popularitas atau melindungi diri-Nya dari
kesengsaraan bahkan dari kematian, tetapi justru digunakan untuk menolong orang
sakit, orang buta, orang yang terkucil dari masyarakat, orang-orang terpinggirkan
karena status sosial, tanpa mengenal batas-batas etnis, agama dan latar belakang sosial
lainnya.
b. Gereja Toraja, sejak awal, sudah terlibat dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas
pelayanan sosial, termasuk dalam pelayanan melalui pembangunan kesehatan
masyarakat. Malahan pada waktu yang lampau, khususnya di Tana Toraja, Gereja
Toraja sebagai lembaga justru menjadi pihak terdepan dalam penyelenggaraan
aktivitas pelayanan sosial, khususnya pelayanan kesehatan masyarakat. Seiring dengan
kemajuan zaman dan implikasi sosial yang menyertainya, Gereja Toraja dinilai kurang
progresif memberi tanggapan sesuai harapan orang banyak.
c. Namun, di lain pihak warga jemaat tidak boleh pula berhenti mempertanykan
sambutan aktif kita terhadap optimalisasi fungsi dari fasilitas yang dikelolah Gereja
Toraja. Kita sering menyatakan bahwa fasilitas-fasilitas sosial, kesehatan dan
pendidikan yang dikelola oleh Gereja Toraja adalah milik kita, tetapi sudahkah kita
memaknai rasa memiliki tersebut secara konstruktif dan partisipatif? Suatu hal yang
pasti adalah, bahwa kita semua menginginkan supaya Gereja Toraja beserta segenap
potensi yang dimilikinya kembali menjadi pihak terdepan dalam penyelenggaraan
aktivitas pelayanan sosial dan pembangunan kesehatan masyarakat. Untuk mendukung
hal ini, potensi Gereja Toraja (potensi warganya) pada dasarnya lebih dari sekedar
cukup, sepanjang ada kepedulian, keseriusan dan tekad, dan didukung oleh
pengelolaan yang lebih baik.
d. Gereja Toraja bertumbuh dalam kebudayaan Toraja, dan karena itu ia harus memberi
perhatian yang serius bagi pengembangan kebudayaan sebagai sarana kesaksian. Itu
berarti bahwa ada hal-hal yang perlu dikembangkan secara kreatif, namun ada hal-hal
yang perlu dihindari atau ditolak. Dalam hal ini, Gereja Toraja secara terus menerus
mengadakan penelitian dan menyampaikan suara kenabiannya bagi pelestarian
budaya yang mendatangkan damai sejahtera dan memuliakan Allah.

8. Pengembangan Peran Kebangsaan dan Kiprah Profetik di Bidang Politik


a. Ditengah era demokratisasi yang semakin terbuka, sikap antusias masyarakat Indonesia
untuk melakukan pemilihan pemimpin negara secara langsung merupakan suatu
kemajuan dalam proses demokratisasi yang cukup memberi harapan. Namun sekaitan
dengan itu, suatu hal yang patut direnungkan adalah “apakah pemilihan langsung
tersebut merupakan jalur yang dengan sengaja dipilih untuk membawa masyarakat
kepada kehidupan demokrasi yang berdamai sejahtera?” Pertanyaan semacam ini
tetap relevan untuk dikemukakan oleh karena fakta-fakta di lapangan menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara sampai saat ini masih tetap mengindikasikan
adanya ketegangan antara kehendak politik (political will) penyelenggara negara dan
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks yang demikian ini,
“demokrasi” pun masih potensil menjadi kendaraan untuk sekedar mememenuhi
kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau kepentingan golongan sendiri, yang
pada akhirnya dapat berimplikasi pada terabaikannya kepentingan pihak lain.
b. Peluang bagi terjadinya kondisi yang demikian ini akan semakin diperbesar oleh masih
kurang dan belum meratanya kedewasaan berpolitik sebagian rakyat Indonesia.
Untuk itu, perlu dikembangkan secara kreatif dan kritis peran gereja dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dibutuhkan suara kenabian gereja baik dalam
mendorong program-program pemerintah dan lembaga-lembaga sosial yang
mengarah kepada terciptanya kehidupan yang berkeadilan, sejahtera dan damai,
maupun dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan politik serta memberikan sumbangan
pemikiran demi terciptanya kehidupan damai sejahtera. BPS dapat membentuk tim
profesi yang dapat memberi masukan atau pertimbangan untuk disampaikan kepada
pihak-pihak yang bertanggungjawab.
c. Gereja Toraja telah menyatakan bidang politik sebagai bidang kesaksian gereja.
Namun bidang ini semakin rentan menjadi lahan kepentingan pragmatis jangka
pendek dari sekelompok orang. Dalam kondisi ini Gereja Toraja terpanggil untuk lebih
member penegasan pada “kiprah profetik” dibidang politik melalui pemberdayaan
dan pendewasaan politik warganya, terutama generasi muda, secara terprogram dan
sistematis. Gereja perlu, secara sengaja, melakukan upaya-upaya pemberdayaan bagi
warganya agar dapat melakukan kewajiban politiknya, memperjuangkan hak-hak
politiknya secara konstruktif, menjamin berlangsungnya hubungan harmonis dan
sinergis dengan sesama komponen bangsa. Patut dicatat bahwa upaya-upaya untuk
memperjuangkan hak-hak politik tersebut harus tetap dipahami sebagai upaya
memperjuangkan dan mewujudkan damai sejahtera Allah bagi semua. Karena itu,
upaya tersebut juga harus tetap berlangsung dalam hubungan yang baik dengan Allah
Sang Pencipta, sumber kedamaian dan kesejahteraan .

9. Ketanggapan Ekologis dan Kepedulian Sosial


a. Selama tiga dekade Gereja Toraja telah berderap bersama dengan gereja-gereja
sedunia dalam semangat KPKC (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). Sebuah
pengaminan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah amat baik adanya, dan
manusia diberi tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan kondisi yang sungguh
amat baik itu, dalam kerangka “keutuhan ciptaan”. Namun kenyataan-kenyataan
menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup (ecological crisis) yang terjadi
dimana-mana sebagian besar terkait dengan keserakahan manusia yang terus berlomba
untuk mengekspoitasi sumberdaya alam dan lingkungan tanpa mempertimbangkan
daya dukung dan kelanggengannya. Akibatnya, tidak hanya terbatas pada kerusakan
sumberdaya alam yang bersangkutan tetapi juga berimbas pada kerusakan lingkungan
hidup secara luas, dan juga kerusakan lingkungan sosial.
b. Keserakahan dalam mengeksploitasi sumberdaya alam juga berimbas pada
ketidakpedulian terhadap hak-hak orang-orang atau kelompok masyarakat tertentu,
khususnya orang-orang yang berdomisili di sekitar lokasi sumberdaya alam yang
dieksploitasi. Hak-hak dari kelompok masyarakat yang dimaksud, diabaikan bahkan
dirampas. Keserakahan membutakan mata hati, menghilangkan rasa solidaritas sosial
dan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan tanpa
mempertimbangkan dampak dari cara yang digunakannya tersebut. Bencana alam
terjadi secara sekonyong-konyong tanpa ketanggapan yang berarti, sehingga banjir
bandang, longsor, gempa bumi, angin badai, letusan gunung berapi, lumpur beracun
dan lainnya selalu bermuara pada pemandangan yang memilukan sekaligus menelan
biaya sosial yang teramat besar. Selain itu sikap tanggap terhadap masalah pemanasan
global (global warming) juga menuntut perubahan gaya hidup warga jemaat.
c. Dalam rangka mengatasi permasalahan di atas, gereja terpanggil untuk lebih tanggap
menyampaikan suara kenabiannya, memperjuangkan keutuhan ciptaaan melalui
upaya-upaya dan atau program-program konkrit. Upaya atau program tersebut dapat
dilakukan secara swadaya dan swadana, ataupun melalui kerjasama dengan pihak
pemerintah dan atau pihak-pihak pemerhati lingkungan hidup dan masalah-masalah
sosial.

10. Pendayagunaan Sarana/Prasarana, Penggalangan Dana dan Pengembangan


Penatalayanan
a. SMS Gereja Toraja ke-23 adalah momentum evaluasi terhadap berbagai pencapaian
dari hal-hal yang telah dicanangkan melalui PTP-GT 2006-2011. Semua idealitas
dimaksud dalam PTP-GT akan terselenggara jika didukung oleh sarana-prasarana,
pendanaan dan penatalayanan yang memadai. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan
komitmen dan sikap konsisten dari semua pihak terkait (jemaat-jemaat) untuk dapat
mengoperasionalkan setiap kesepahaman dan keputusan yang sudah diambil, melalui
penyiapan dukungan pendanaan, pendayagunaan sarana-prasarana dan pelaksanaan
penatalayanan secara optimal.
b. Terkait pendayagunaan sarana dan prasarana, patut dicatat bahwa Gereja Toraja
memiliki sejumlah sarana, termasuk gedung gereja, yang belum dimafaatkan secara
optimal. Gedung gereja yang besar dan megah pada umumnya hanya dipakai pada
hari Minggu; kenyataan yang mesti mendorong jemaat-jemaat untuk lebih kreatif
dalam menjadikan gedung gereja sebagai pusat aktivitas “ibadah” jemaat dalam
makna seluas-luasnya. Pembangunan Convention Hall Gereja Toraja adalah salah satu
proyek besar pembangunan sarana dan prasarana yang sedang berlangsung.
Pengalaman lemahnya kita selama ini dalam hal pemeliharaan (maintenance) mesti
menjadi pengalaman berharga dalam misi pengelolaan asset gerejawi seperti ini.
Termasuk komitmen berkelanjutan untuk pengembangan PSP Tangmentoe sebagai
situs historis dan aset potensial Gereja Toraja
c. Menyikapi keragaman tantangan yang amat menantang penatalayanan Gereja Toraja,
diyakini bahwa semua masalah juga bersangkut-paut dengan pendanaan, sarana-
prasarana serta penatalayanan serta masalah-masalah kehidupan berjemaaat lainnya.
Semua ini akan dapat kita tanggulangi bersama dalam derap penghayatan Visi Gereja
Toraja dan Tema SSA ke -23, dan dengan perkenaan Sang Kepala Gereja, semua yang
kita harapkan dapat terwujud demi kemuliaan nama-Nya. Berhubung terbatasnya
dana untuk membiayai program-program pembinaan dan pemberdayaan, maka BPMS
dapat membentuk sebuah komisi yang secara khusus mengusahakan dana untuk
membiayai program dan pelayanan am dalam lingkup Gereja Toraja, dan semakin
mendorong komitmen serta kreatifitas pengelolaan yayasan-yayasan untuk berusaha
mandiri dalam hal pembiayaan program.

III.5. Visi dan Misi


Sebagai organisasi Intra Gerejawi dalam lingkup Gereja Toraja, maka visi dan misi PPGT
disusun sebagai bagian dari perarakan mewujudkan visi Gereja Toraja “Damai Sejahtra Bagi
Semua”.
III.5.1. VISI
“Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat.” (Amsal 29 : 18a). Visi PPGT merupakan suatu
penglihatan ke depan yang dinyatakan oleh TUHAN tentang keberadaanNya di masa yang
akan datang. Visi itu dirumuskan sebagai berikut: ”DISUKAI ALLAH DAN MANUSIA”. (Band 1
Samuel 2 : 26, lukas 5 : 52). Dengan visi ini, PPGT harus diberdayakansecara optimal sebagai
wadah pembinaan kader-kader pemimpin yang memiliki pola kepemimpinan Alkitabiah di
segala bidang pelayanan, baik internal yaitu gerejawi maupun eksternal yaitu bangsa dan
negara seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial budaya, politik, hukum,
pemerintahan dan lain-lain. Oleh sebab itu semua pola pembinaan yang digunakan harus
tepat dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip iman Kristen.

III.5.2 MISI
Misi PPGT merupakan tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai visi. Misi PPGT adalah
menciptakan KADER SIAP UTUSyang siap dan bertangung jawab menyatakan tugas dan
panggilannya di tengah gereja dan masyarakat. Proses pembentukan “Kader Siap Utus”
tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Memberdayakan semua kader PPGT untuk memiliki kualitas persekutuan, kesaksian dan
pelayanan.
2. Memperlengkapi para pemimpin muda dengan format pengembangan kualitas
persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
3. Mengutus pemimpin-pemimpin muda ke tengah-tengah berbagai ladang pelayanan gereja
dan masyarakat untuk menyatakan kualitas persekutuan, kesaksian dan pelayanan.

Misi PPGT tersebut disingkat 3 M (Memberdayakan, Memperlengkapi, Mengutus) dimana


ketiganya merupakan satu kesatuan proses pengkaderan yang saling mendukung satu dengan
yang lain, dan diharapkan setiap kader yang dihasilkan melewati semua proses itu. Hasil akhir
dari ketiga proses itu adalah lahirnya “Kader Siap Utus”. Yang pertama adalah proses
memberdayakan, dimana diharapkan basis pembinaan warga PPGT adalah Jemaat dan Klasis.
Model dan sistem serta materi pembinaan yang digunakan adalah yang terbaru, yang
kontekstual, dan yang up to date dengan kebutuhan PPGT sekarang. Yang kedua, adalah
proses memperlengkapi, yang berbasis di Klasis dimana akan diperlengkapi bukan kader-kader
baru tetapi hasil pemberdayaan di jemaat. Dengan demikian diharapkan Pengurus Klasis
terkonsentrasi untuk memperlengkapi kaderkader jemaat. Pada proses ini diharapkan kader-
kader PPGT sudah mampu
beraktualisasi secara nyata. Yang ketiga, adalah proses mengutus dimana diharapkan “Kader
Siap Utus”didorong untuk bersesama dan berkarya dalam lingkup pengabdian yang lebih luas
sehinga tidak terkesan bahwa kader-kader PPGT adalah kader-kader yang eksklusif, yang haya
mampu eksis di lingkungan sendiri.

IV. STRATEGI
Strategi di atas bertujuan untuk menghasilkan profil pemuda kristen yang memiliki sejumlah
kualifikasi kompeten. Kualifikasi itu dapat digambarkan dalam 4 Qdan 3 Segitiga.
Kualifikasi 4 Q adalah sbb :
1. Spiritual Quation, yaitu kemampuan untuk mewujudnyatakan spiritualitas yang utuh
dalam setiap bentuk pelayanan dengan selalu mengandalkan TUHAN.
2. Emotional Quation, yaitu kemampuan untuk memaksimalkan emosi kejiwaan dalam setiap
interaksi dengan sesama ciptaan Tuhan yang lain
3. Attitude Quation, yaitu kemampuan untuk mengejawantahkan kualitas iman dalam bentuk
tindakan nyata yang mencerminkan kasih Kristus sebagai pola hidup Kristiani.
4. Intelectual Quation, yaitu kemampuan intelektual yang dimiliki sebagai hasil dari suatu
proses belajar baik pada jenjang formal maupun informal dan dimatangkan melalui
pembinaan dan pemberdayaan anggota PPGT.

Kualifikasi 3 segitiga terdiri dari:


1. Segitiga tiga pilar gereja yaitu iman, pengharapan dan kasih
2. Segitiga tri panggilan gereja yaitu bersekutu, bersaksi, dan melayani
3. Segitiga kemandirian gereja yaitu kemandirian teologi, daya, dan dana

Berdasarkan kualifikasi 4Q dan 3S di atas, maka sasaran yang diharapkan adalah


dihasilkannya Kader siap Utus dengan kualifikasi sebagai berikut :
1. Bertransformasi dari Spiritual vertikalistismenjadi Spiritualitas Utuh.
2. Bertransformasi dari sikap ingin Dilayanimenjadi kesediaan Melayani
3. Bertransformasi dari Sikap Ekslusif menjadi sikap Inklusif
4. Bertransformasi dari sikap hidup Denominasionalisme dan identitas primordialisme
menjadi Oikumenis dan Pluralis
5. Bertransformasi dari pola orientasi Strukturalistis menjadi Fungsional
6. Bertransformasi dari kebiasaan ikut arusmenjadi kritis kreatif
7. Bertransformasi dari Extravagansa life style/konsumerisme menjadi proportional life style
8. Bertransformasi dari Study for fun/work for prestige menjadi kompetisi Profesionalisme
9. Bertransformasi dari model trouble maker menjadi peace maker.
BAB IV
POKOK-POKOK TUGAS PANGGILAN PPGT

Dengan mengacu pada pokok-pokok tugas panggilan tersebut, Gereja Toraja pada
semua aras, diharapkan dapat merumuskan program kerja secara visioner, baik untuk jangka
pendek dan menengah maupun untuk jangka panjang. Ketanggapan visioner yang berteladan
kepada spiritualitas Yesus ini adalah kemampuan menatap jauh kedepan, ketanggapan dalam
merespon tantangan serta kesanggupan untuk memikirkan berbagai kemungkinan untuk
menggairahkan pelayanan. Pokok-pokok tugas panggilan tersebut menyangkut
pengembangan pemahaman, penghayatan dan pemaknaan tentang sejumlah isu pokok
perubahan atau pembaruan yang sedang dan akan terus berlangsung dalam kehidupan
bergereja, bermasyarakat dan berbangsa
Berdasarkan Visi Gereja Toraja “Damai sejahtera bagi semua”, serta dengan
mempertimbangkan berbagai konteks pelayanan PPGT, maka hasil Kongres XII PPGT di
Samarinda tahun 2008 yakni 12 Pokok Panggilan PPGT akan terus berderap seiring. Kongres
XIII PPGT di Seriti ini diharapkan akan menjadi momentum evaluatif terhadap implementasi
panggilan ini selama lima tahun sejak dicanangkannya di Samarinda. Seberapa jauh Pengurus
Pusat, Pengurus Klasis dan Pengurus Jemaat telah bertekun menterjemahkan kedalam Program
Kerja yang visioner, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang, dan seberapa jauh
tingkat pencapaian dan partisipasi anggota PPGT di jemaat-jemaat dalam menyerap dan
melakoni panggilan tersebut. Untuk kebutuhan ini, maka berikut ini dua belas pokok
panggilan PPGT secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Pembaruan Diri dan Organisasi


PPGT terpanggil untuk terus menerus membarui dirinya sebagai dasar untuk mewujudkan
pembaruan organisasi, pembaruan gereja dan pembaruan dunia.Dijiwai oleh tema :
“Mengasihi dengan Perbuatan dan Dalam Kebenaran” PPGT bertekad untuk memulai
perubahan itu dari tindakan-tindakan yang nyata, tidak sekedar kata-kata yang indah tetapi
dinikmati, dirasakan, dialami dan dilakukan. Perubahan yang sudah dinikmati dan dirasakan
serta dialami dan dilakukan itu akan berdampak pada pembaruan organisasi, pembaruan
gereja, pembaruan Toraja, Pembaruan Indonesia bahkan pembaruan global.
2. PPGT untuk semua
PPGT menyongsong paradigma baru, yakni “PPGT FOR ALL”. Dengan paradigma baru ini,
PPGT berkomitmen untuk lebih banyak memberi ketimbang dari meminta, lebih banyak
melayani daripada menuntut, lebih banyak berbuat daripada berbicara, lebih banyak bekerja
daripadamengeluh, dll. Untuk mewujudkan hal itu, maka PPGT akan mengambil peran-peran
inisiator dan fasilitator untuk program-program kepemudaan baik padalingkup gereja
maupun masyarakat. Dengan peran-peran itu, PPGT akan lebih dikenal dan diterima oleh
masyarakat secara umum.
3. Pemberdayaan SDM
PPGT terpanggil untuk memberdayakan semua potensi SDM yang dimiliki secara optimal
melalui upaya-upaya yang terorganisir dan berkelanjutan. Potensi PPGT yang sedemikan
banyak dan tersebar itu perlu dikelolah melalui sistem manajemen mutu yang profesional agar
dapat berkontribusi optimal dalam pembangunan PPGT dan Gereja Toraja serta bermanfaat
bagi Pembangunan masyarakat Toraja.

4. Pembudayaan Etos Kristen


PPGT terpanggil untuk menyatakan pelayanan yang beretos kristinani, yang anti kekerasan,
dan yang berkomitmen tinggi untuk mewujudkan damai sejahtera di tengah-tengah dunia.
Untuk itu PPGT terpanggil untuk terus terlibat dalam upaya-upaya mendorong pembudayaan
etika kristiani, gerakan internasional mengatasi kekerasan (DOV 2001-2010) dan program-
program lainnya yang dapat menjadi kesaksian yang nyata bagi dunia, termasuk pencitrakan
etos kristiani yang lebih baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, Hak
Azasi Manusia, Seni dan Kebudayaan, dan berbagai bidang kehidupan lainnya. Melalui
program ini kita bermimpi bahwa orang akan menyaksikan bahwa di Tana Toraja yang
mayoritas Kristen pengelolaan pemerintahannya lebih baik, tingkat korupsinya paling rendah,
etos politiknya lebih bagus, penataan ekonominya lebih berkeadilan, penegakan hukum dan
HAM lebih adil, dan sejumlah kesaksian lainnya yang pada akhirnya akan bermuara pada
citra dan etos kristen di Toraja.

5. Pengembangan Peran Kebangsaan


PPGT adalah bagian integral dari Bangsa Indonesia yang ikut menentukan perjalanan sejarah
Bangsa. Untuk itu PPGT terpanggil mewujudkan peran kebangsaan dalam hal terwujudnya
demokrasi yang berkeadilan dan berkeadaban dan mewarnai politik yang membawa
kemaslahatan bangsa. PPGT menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara
yang baik, yaitu mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di seluruh wilayah NKRI
dimanapun PPGT ada. PPGT bertekad untuk memberi kontribusi yang kritis, positif, kreatif
dan konstruktif melalui upaya pemberdayaan dan pendewasaan politik warga PPGT melalui
mekanisme kaderisasi yang terprogram dan sistematis. PPGT mencari dan memanggil kader-
kadernya untuk terjun ke dunia politik sebagai salah satu ladang pelayanan, tetapi kader-
kader PPGT yang ada di Politik haruslah mencitrakan etos kristiani, bersih dan tidak Korupsi,
sebab mereka adalah hamba Allah di dunia Politik.

6. Pengembangan Peran Ekumenis


PPGT terpanggil untuk bersama-sama dengan warga gereja lainnya dari berbagai latar
belakang denominasi untuk mewujudkan keesaan gereja di Indonesia. PPGT terpanggil untuk
mengambil inisiatif dalam upaya mendorong kerjasama interdenominasi dan kemitraan
dengan semua elemen pemuda gereja di Indonesia untuk menggerakkan lokomotif
perjuangan oikumene yang semakin maju. Panggilan ini menjadikan PPGT sebagai seumber
inspirasi dan inisiasi program-program ekumenikal, dan bukan sekedar turut partisipasi pada
program-program ekumenikal yang sudah digagas elemen pemuda gereja yang lain. Selain itu
PPGT menjadi mitra program-program ekumenis seperti DOV 2001-2010, Water for Life,
Resolusi Konflik dan perdamaian dan program-program lain dari PGI, CCA, WCC, WARC dan
sejumlah organisasi ekumenis lainnya.

7. Pengembangan Peran Pluralisme


PPGT terpanggil untuk bersama-sama dengan semua elemen bangsa, tanpa memandang sekat-
sekat latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan. PPGT juga terpanggil untuk
mengambil inisiatif dalam upaya mewujudkan pluralisme dan penguatan masyarakat sipil. Hal
ini bisa diwujudkan jika PPGT menyadari arti kehadirannya dalam konteks masyarakat dan
bangsa yang sangat majemuk.

8. Gender dan Feminisme


PPGT terpanggil untuk mewujudkan masyarakat dan warga gereja yang semakin memberi
ruang dan peran bagi perempuan, sekaligus mendorong dan memberdayakan kader-kader
perempuan PPGT untuk mengaktualisasi peran dan potensi diri mereka. PPGT haruslah
menjadi tempat yang bebas dari tekanantekanan struktural terhadap perempuan, serta
menjadi tempat yang kondusif bagi perempuan untuk mengekspresikan peran-peran mereka.

9. Pelayanan Sosial
PPGT terpanggil untuk mewujudkan pelayanan sosial yang menjawab
pergumulanpergumulan bangsa, khususnya yang berhubungan dengan ketimpangan dan
keterbelakangan sosial, pelayanan sosial kepada kelompok-kelompok yang terisolir dari
pergaulan kemasyarakatan, termasuk kesiagaan tanggap darurat dalam merespons bencana
alam dalam berbagai bentuk.

10. Pembangunan Kesehatan Masyarakat


PPGT terpanggil untuk menjadi mitra pemerintah dan institusi non pemerintah dalam
mewujudkan warga gereja yang sehat dengan bereperan untuk berperan aktif dalam
program-program pembangunan kesehatan masyarakat, termasuk upaya penanggulangan
dampak miras, Napza, HIV/AIDS serta penyakit-penyakit lainnya yang menjadi ancaman bagi
manusia.

11. Pengentasan Kemiskinan


PPGT Terpanggil dalam upaya-upaya terencana dalam mengatasi kemiskinan dan segala
macam problematikanya, mengurangi pengangguran serta bertekad menjadikan kemiskinan
sebagai musuh bersama yang harus dihadapi dengan strategi dan aksi yang jelas. PPGT
terpanggil untuk menjadi seperti Yesus yang sangat sosialis dalam menyatakan
keberpihakannya kepada orang yang tertindas, orang lemah, orang miskin, orang yang
tertawan dan terbelenggu serta menyatakan aksi yang nyata dalam bentuk tindakan kongkrit.

12. Pemeliharaan Lingkungan Hidup


PPGT terpanggil untuk merawat dan memelihara alam semesta sebagai salah satu anugerah
Tuhan bagi kehidupan. PPGT ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan dan
pemanasan global yang mengancam kelangsungan hidup penghuni alam semesta, dan karena
itu bertanggung jawab juga dalam upaya-upaya yang sistemastis dan terencana untuk
mengurangi dampak pemanasan global.
BAB V
PENGORGANISASIAN PROGRAM

Dalam rangka melaksanakan pokok-pokok tugas panggilan PPGT tersebut di atas, perlu
dijabarkan secara operasional dalam bentuk pokok-pokok perogram. Program pemberdayaan
PPGT dikelompokkan dalam lima program induk, yaitu:
1. Program induk Pembinaan Spiritualitas
2. Program induk Pemberdayaan SDM
3. Program induk Organisasi
4. Program induk Pelayanan Sosial
5. Program Induk Profesi dan Keminatan

5.1. Program induk Pembinaan Spiritualitas.


Program ini diarahkan kepada upaya peningkatan spiritualitas yang utuh dari segenap warga
PPGT sebagai pemimpin masa sekarangdan masa depan Gereja dan bangsa ditengah arus
globalisasi. Melalui program induk ini diharapkan akan lahir pemimpin muda PPGT yang
memiliki spiritualitas dan keteladanan, berintegritas kuat serta berjiwa pelayan yang senang
melayani (bukan dilayani).

5.2. Program induk Pemberdayaan SDM.


Program ini diarahkan kepadaupaya pemberdayaan SDM yang dimiliki oleh PPGT. Melalui
program induk ini diharapkan PPGT bersinergi dengan instansi/organisasi yang bergerak
dalam pengembangan SDM baik didalam maupun di luar negeri. Dengan demikian setiap
kader-kader PPGT siap berkiprah dan beraktualisasi di semua bidang kehidupan, dimanapun
Tuhan menempatkannya.

5.3. Program Induk Kaderisasi /organisasi


Program ini diarahkan kepada upaya mempersiapkan kader siap utus melalui proses yang
paripurna (tidak dikarbit), agar dapat memiliki kemampuan organisatoris plus (manajemen,
leadership, decision making, dan problem solving) sehingga dapat berperan ganda baik dalam
organisasi gerejawi maupun kemasyarakatan sesuai dengan panggilannya. Termasuk dalam
program ini adalah kajian-kajian strategis mengenai masalah-masalah aktual kegerejaan, serta
masalah aktual kemasyarakatan seperti masalah ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dapat
menjadi pegangan bagi kader-kader PPGT dalam kiprahnya di berbagai medan pelayanan
berdasarkan panggilannya.

5.4. Program induk Pelayanan Sosial


Program ini diarahkan kepada upaya menyatakan Injil damai sejahtera kepada sesama
manusia dan segenap ciptaan lainnya melalui partisipasi aktif dan nyata dari segenap warga
PPGT dalam pelayanan sosial kemasyarakatan, seperti pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan masyarakat tidak mampu, lingkungan hidup dll.

5.5. Program induk Keminatan dan Profesi


Program ini diarahkan kepada upaya mempersiapkan warga PPGT yang mandiri dan
profesional dalam berbagai disiplin ilmudan serta upaya pengembangan minat dan bakat
yang dimiliki oleh anggota PPGT.Pembinaan keminatan diarahkan pada terwujudnya sistem
pengembangan minat bakat yang terpadu dan berkesinambungan, lebih dari sekedar even-
even temporer. Pembinaan profesi lebih diarahkan kepada pengembangan kemampuan
profesional pemuda seperti dalam bidang seni, budaya, jurnalistik dan sejumlah profesi
lainnya.

BAB VI
PENUTUP

Garis-garis Besar Program Pengembangan (GBPP) PPGT ini disusun berdasarkan kondisi
objektif PPGT sekarang ini. GBPP PPGT ini merupakan haluan yang dengannya Pengurus
periode 2013-2018 dapat merumuskansecara spesifik program kerja yang dapat menjawab
tantangan yang sementara dihadapi oleh persekutuan ini sehingga arah perarakan bersama
menuju tujuan PPGT sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Anggaran Dasar PPGT dapat
terwujud.

KONGRES XIII PPGT memberi mandat kepada Pengurus Pusat untuk membuat jabaran
operasional dari pokok-pokok program di atas, melalui rapat kerja, rapat koordinasi, maupun
strategi lain yang dipandang kontekstual. Dalam rangka penjabaran dan implementasi
tersebut, perlu ditetapkan beberapa prinsip yang akan menjadi pedoman bagi penyusunan
GBPP di tingkat Klasis dan Jemaat, yaitu:
1. Redaksi Visi dan Misi untuk tingkat Klasis dan Jemaat mengikuti rumusan redaksi Visi
dan Misi yang ada dalam GBPP ini. Hal ini dimaksudkan agar kita bersama-sama
dalam perarakan menggemakan dan mencapainya secara bersama.
2. GBPP ini terbuka terhadap adanya inovasi dan kreatifitas sesuai dengan konteks
masing-masing klasis dan jemaat.
3. Penerjamahan di tingkat Klasis dan Jemaat diterapkan dengan membuka
kemungkinan yang luas bagi perumusan yang sesuai dengan situasi, kondisi dan
karakteristik lokal Klasis dan jemaat.

Damai Sejahtera Allah yang melampaui segala akal itu akan memelihara hati dan pikiran
kita dalam Kristus Yesus Tuhan kita dalam setiap gerak aktifitas membangun Gereja-Nya untuk
menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dimanapun kita berada, sehingga semua lutut akan
bertelut menyembah Dia, Raja di atas segala raja dan semua lidah mengaku : “Yesus Kristus
itulah Tuhan dan Juruselamat”.

Anda mungkin juga menyukai