Jurnal Aset Desa
Jurnal Aset Desa
Abstract. The study aims to analyze the process of planning, procurement, administration, reporting and
supervision of village assets in Kotamobagu City, the inhibiting factors and efforts taken to solve the problems.
This is a qualitative study with case study approach. The government of Kotamobagu city and four villages in
three sub-districts are respondents of this study. Data were obtained through in-depth interviews, observation and
documentation study. The results show that the process of planning, procurement, administration, reporting and
monitoring of village assets in Kotamobagu city have not been well implemented, where the regulation as the
reference for the village assets management has not been implemented. In addition, the Village Government has
not completely listed their assets to compile with the mandate of Village Act. The obstacles are also in human
resources competency, communications, legal certainty, executor attitude, organizational skills expertise,
transparency and organizational commitment. On the other hand, efforts taken to solve the problems are to develop
self-competence of human resources by sufficient learning, obey the regulation in managing public assets, provide
public service in form of systematic registration program, development of village financial system application and
the establishment of village-owned enterprise. Recommendations are to focus more on improving the human
resources competence, conduct socialization, technical guidance and continuous education training, list the asset
inventory imminently, and socialize as well as implement the regulation.
Keywords: Village Asset Management, Human Resources, Communications, Regulation and Organizational
Commitment.
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan,
pelaporan dan pengawasan aset desa di Kota Kotamobagu, faktor-faktor yang menjadi penghambat dan upaya-
upaya yang dilakukan. Ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pemerintah Kota
Kotamobagu dan empat desa yang ada di tiga Kecamatan adalah objek penelitian ini. Data diperoleh melalui
teknik wawancara mendalam, pengamatan dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan dan pengawasan aset desa di Kota Kotamobagu belum
dilaksanakan dengan baik, dimana regulasi yang menjadi acuan pengelolaan aset desa belum diterapkan. Selain
itu amanat Undang-Undang Desa yaitu menginventarisir semua aset desa belum sepenuhnya dilakukan oleh
pemerintah desa. Adapun kendala yang dihadapi adalah kompetensi sdm, komunikasi, kepastian hukum, sikap
pelaksana, keahlian pengelola kegiatan, transparansi dan komitmen organisasi. Upaya yang dilakukan yaitu
dengan mengembangkan sendiri kompetensi SDM melalui banyak belajar, mengikuti regulasi pengelolaan barang
milik daerah, pelayanan publik berupa program pendaftaran teknik sistematis, pengembangan aplikasi sistem
keuangan desa dan pembentukan badan usaha milik desa. Saran yang dapat diberikan yaitu lebih fokus pada
peningkatan kompetensi sdm melalui sosialisasi, bimbingan teknis dan pendidikan pelatihan yang
berkesinambungan, segera melakukan inventarisasi aset, dan mensosialisasikan sekaligus menerapkan regulasi
yang berlaku.
Kata Kunci : Pengelolaan Aset Desa, Sumber Daya Manusia, Komunikasi, Regulasi dan Komitmen Organisasi.
Pendahuluan
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa, diharapkan segala
kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa dapat diakomodir dengan lebih baik. Pemberian
kesempatan yang lebih besar bagi desa untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pemerataan
pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat desa, sehingga permasalahan seperti kesenjangan antar wilayah, kemiskinan dan masalah
sosial budaya lainnya dapat diminimalisir (BPKP, 2015). Pembangunan di desa pada era kepemimpinan
Presiden Joko Widodo menjadi salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam nawa cita
yakni “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka NKRI” sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN
2015-2019. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa, janji pemerintah “1 Desa 1 Milyar”
mungkin akan jadi kenyataan (Lestyowati, 2015).
Namun dari berita bagus ini, muncul permasalahan karena komunikasi dalam bentuk sosialisasi
terkait regulasi pengelolaan aset desa belum diterapkan sehingga belum sepenuhnya dipahami oleh para
203
pelaksana di daerah khususnya pemerintah desa. Hal lain yang cukup menjadi perhatian adalah semakin
besarnya dana yang dikucurkan pemerintah pusat ke desa semakin besar, selain itu sebagian dari angka
tersebut pasti digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan desa. Tahun 2016 pemerintah
pusat telah mengucurkan dana desa sebesar Rp. 46,98 trilyun dan Kota Kotamobagu sendiri sudah
menerima dana sebesar Rp.10.241.910,-. Besarnya dana yang harus dikelola oleh pemerintah desa
belum selaras dengan kemampuan SDM di desa yang beragam, diperlukan perencanaan yang matang.
Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD Kabupaten/Kota yang
dikelola dalam APBDes merupakan modal yang digunakan untuk mengelola aset tersebut yang
bertujuan untuk kesejahteraan bersama, oleh karena itu pengelolaannya harus dengan sebaik-baiknya.
Pengelolaan aset desa perlu memiliki sistem manajemen yang efektif dan handal sebagai alat untuk
melakukan perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan dan sistem pengawasannya.
Perencanaan dan pengawasan yang berkesinambungan diperlukan untuk menghindari penyimpangan
dari peraturan yang berlaku dalam setiap tahapan pengelolaan barang milik desa dan mengarahkan agar
pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kesemuanya ini
tidak terlepas dari orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya.
Pengelolaan aset daerah memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Salah satu tahapan
tata kelola aset yang baik adalah penginventarisasian aset. Mengingat pentingnya manajemen aset bagi
pemerintah desa, maka sudah menjadi keharusan bagi pemerintah desa untuk melakukan pengelolaan
aset desa secara profesional, efektif dan mengedepankan aspek – aspek ekonomis agar biaya – biaya
yang dikeluarkan tepat sasaran, tepat penggunaan, tepat penerapan dan tepat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut Sumini (2010:13), sebagian besar fisik barang tidak bisa
langsung diidentifikasi karena tidak diberi nomor register barang atau nomor register yang menempel
pada fisiknya. Nomor register merupakan bagian dari kodefikasi aset daerah yang memuat nomor urut
pencatatan dari setiap barang, pencatatan terhadap barang yang sejenis, tahun pengadaan yang sama dan
besaran harga.
Seperti juga hasil penelitian Risnawati (2017) adanya pembelian barang yang tidak tercatat
dalam buku inventaris, tidak diketahui asal usul barang apakah dari hasil jual beli atau hibah, rendahnya
kinerja pengurus dan pembantu pengurus barang, tidak adanya aturan yang mengikat (jelas dan legal)
terhadap pentingnya pengelolaan aset seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis proses
pencatatan dan pelaporan aset yang sah, pemahaman petugas pengelola aset masih minim. Fenomena
lainnya seperti yang terjadi di Kabupaten Wonogiri, banyak yang sindung riwut (kacau), bermasalah,
menjadi obyek sengketa, tidak jelas keabsahan pemilikannya, tak teradministrasikan secara baik. Hal itu
terungkap dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda)
tentang pengelolaan aset desa (Harian Suara Merdeka, 2017).
Carut marut pengelolaan barang milik negara/daerah yang sudah diuraikan, terjadi juga pada
pengelolaan aset desa di Kota Kotamobagu. Mengingat pengelolaan aset desa cakupannya luas maka
dalam penelitian ini difokuskan pada proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan dan
pengawasan. Perencanaan adalah tahapan kegiatan secara sistematis untuk merumuskan berbagai
rincian kebutuhan barang milik desa. Pengadaan adalah kegiatan untuk melakukan pemenuhan
kebutuhan barang dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Sedangkan Penatausahaan adalah
rangkaian kegiatan yang di lakukan meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan aset desa sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya pelaporan merupakan salah satu bentuk pengamanan aset
desa secara administrasi dan yang terakhir adalah pengawasan. (Permendagri No 01 Tahun 2016).
Fenomena pengelolaan aset desa di Kota Kotamobagu, masih kurangnya pemahaman
pemerintah desa dan TPK terhadap proses pengadaan, kesemuanya tidak terlepas dari proses
perencanaan yang matang, selain itu belum mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat proses pengadaan sangat rawan, jangan sampai akibat dari ketidaktahuan dapat menjadi
bumerang bagi para pihak yang terlibat dalam pengadaan. Hal ini menjadi ketertarikan bagi penulis
untuk meneliti pengelolaan aset desa karena pengadaan barang/jasa kebutuhan desa menggunakan
APBDes yang sumbernya dari dana desa maupun ADD dengan kata lain aset desa seiring sejalan dengan
dana desa, tidak bisa dipisahkan.
Setiap ada musrembang desa semua lembaga masyarakat diundang dan semua bebas
menyampaikan aspirasinya khusus untuk kegiatan pengadaan kebutuhan desa, semua aparat desa
mengusulkan dengan anggaran yang ada beli ini-beli itu entah hal tersebut dibutuhkan desa atau tidak,
ini menjadi tanda tanya apakah kepala desa selaku pengguna barang memperhatikan hal tersebut.
Selanjutnya dalam hal penatausahaan aset desa banyak aset vital seperti kantor desa, sekolah dan lain-
lain tidak memiliki bukti kepemilikan atas nama desa, hal ini penting diteliti karena aset vital tersebut
204
adalah jantung desa dimana keseharian kegiatan pemerintahan berlangsung disitu. Terkait masalah
pelaporan, sering BPD dan aparat desa kurang sepaham dimana pelaporan yang diberikan belum sesuai
dengan aturan. Demikian pula karena kurangnya pengawasan setiap pergantian kepala desa banyak aset
desa baik bergerak maupun tidak bergerak penyerahannya sering menjadi masalah, selain itu banyak
aset desa yang berpotensi menambah PADes belum dikelola dengan baik.
Dan yang membuat penulis tertarik mengangkat isu aset desa karena selain tidak seheboh dana
desa sepertinya masalah aset desa kurang mendapat perhatian pemerintah. Dari uraian diatas dan melihat
fenomena kasus yang sedang terjadi berdasarkan evaluasi dari instansi terkait kasus tersebut dianggap
sebagai temuan dimana penggunaan dana desa khususnya pengadaan kebutuhan desa terdapat
penyimpangan dari kewajaran. Pembatasan fokus dalam penelitian ini karena aset desa masih dalam
jumlah kecil dibanding aset pemerintah daerah dan kelima proses yang sudah diuraikan dominan terjadi
didesa yaitu bagaimana perencanaan pengadaan kebutuhan desa, penatausahaan dan pelaporannya
seperti apa, yang terakhir proses pengawasan.
Tujuan penelitian ini untuk : 1) menganalisis proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan,
pelaporan dan pengawasan aset desa di Kota Kotamobagu 2) menganalisis faktor–faktor penghambat
3) menganalisis upaya apa saja yang dilakukan untuk pengelolaan aset desa lebih baik.
Kerangka Konseptual
Kerangka konsep merupakan gambaran atau bangunan utuh suatu penelitian dan merupakan
perpaduan dari berbagai aspek yang dimulai dari permasalahan, aspek-aspek terkait yang hendak diteliti
hingga kemungkinan-kemungkinan lain yang ingin dihasilkan dari keseluruhan proses penelitian.
Dengan latar belakang masalah, rumusan permasalahan dikaitkan dengan teori yang ada maka kerangka
konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 3.3
Kerangka Konseptual Penelitian
No. 01/2016
Proses Perencanaan, Pengadaan, Penatausahaan, Pelaporan dan
Pengawasan Aset Desa
Pertanyaan Riset :
1. Bagaimanakah proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan dan pengawasan aset desa di
Kota Kotamobagu?
2. Faktor – faktor apa saja yang menghambat proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan
dan pengawasan aset desa di Kota Kotamobagu?
3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh pemerintah terkait proses perencanaan, pengadaan,
penatausahaan, pelaporan dan pengawasan aset desa di Kota Kotamobagu ?
Hasil Analisis
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study) yang
menelaah sebuah “kasus” tertentu dalam konteks atau setting kehidupan nyata kontemporer. Menurut
Endraswara (2012:78), studi kasus dapat dibagi menjadi dua golongan. Dalam Penelitian ini
menggunakan studi kasus berupa penyimpangan dari kewajaran. Studi kasus ini bersifat kuratif dan
disebut studi kasus retrospektif (retrospective case study) yang memungkinkan ada tindak lanjut
205
perbaikan dari suatu kasus (treatment). Tindak lanjut perbaikan tidak harus dilakukan oleh peneliti,
tetapi oleh orang lain yang berkompeten, peneliti hanya memberikan masukan dari hasil penelitian.
Satori dan Komariah (2014:202) menjelaskan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan
pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang/jasa.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara, studi
dokumentasi dan observasi atau gabungan ketiganya disebut triangulasi. Penentuan infoman dalam
penelitian ini dilakukan dengan tehnik purposive sampling yaitu menetapkan kriteria tertentu yang harus
dipenuhi oleh informan yang akan dijadikan sumber informasi. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis model Milles dan Huberman. Aktivitas analisis data Miles and
Huberman dalam Sugiyono (2015:404), terdiri atas: data reduction, data display dan conclusion
drawing/verification yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya mencapai jenuh. Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan uji
credibility yang terdiri dari triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Uji dependability dilakukan oleh
dosen pembimbing untuk memeriksa transkrip hasil wawancara, bagaimana melakukan analisa data,
melakukan keabsahan data penelitian sampai membuat kesimpulan.
206
Faktor – Faktor Yang Menjadi Penghambat
Terdapat 7 (tujuh) faktor yang menjadi penghambat pengelolaan aset desa di Kota Kotamobagu
yaitu 1) kompetensi SDM yang masih kurang baik dari pengurus aset maupun tim pengelola kegiatan
(TPK); 2) kurangnya komunikasi tentang penerapan regulasi pengelolaan aset desa; 3) kepastian hukum
kepemilikan aset; 4) sikap pelaksana yang belum patuh pada aturan; 5) keahlian pengelola kegiatan
dalam menyikapi keadaan pasar yang berubah-ubah; 6) kurangnya transparansi pemerintah desa terkait
pelaporan; 7) komitmen organisasi belum berjalan dengan maksimal.
1. Kompetensi SDM menjadi faktor penghambat dalam proses pengadaan dan penatausahaan aset
desa dimana pemahaman dan pelatihan yang masih kurang sehingga baik pengurus aset desa
maupun tim pelaksana kegiatan belum sepenuhnya memahami tugas pokok walaupun latar
belakang pendidikan sarjana tapi bukan jurusan sehingga menemui kesulitan dan kewalahan dalam
pelaksanaan tugasnya. Selain itu pada proses pengawasan yang dilakukan Inspektorat, pemerintah
desa dalam pembelanjaan sudah sesuai dengan aturan tidak ada belanja fiktif akan tetapi
pengadministrasiannya masih kurang tertib apalagi setelah ada sistem siskeudes mereka lebih
berfokus ke sistem sementara nota pembelanjaan tidak rapi.
Menurut Notoatmodjo ((2009:16), pelatihan merupakan upaya yang berkaitan dengan
peningkatan kemampuan atau ketrampilan karyawan yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau
tugas tertentu. Penekanan dalam suatu pelatihan adalah tugas yang akan dilaksanakan (job
orientation), disamping itu pelatihan pada umumnya menekankan kemampuan psikomotor
meskipun didasari pengetahuan dan sikap, metode belajar mengajar yang digunakan pada pelatihan
lebih inovatif dibandingkan dengan pendidikan.
Perlu adanya pelatihan secara berkesinambungan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan
tertibnya pengadministrasian aset desa, seperti yang dikemukakan oleh Martoyo (2000:14-15)
untuk menyediakan dan mempertahankan jumlah dan kualitas sumber daya manusia (tenaga kerja)
yang tepat bagi organisasi agar tujuan manajemen tercapai dengan baik dan tepat salah satunya
dengan pendidikan dan pelatihan (education and trainning). Kompetensi SDM sangat penting
untuk implementasi dari setiap kebijakan, SDM yang kurang memadai berdampak pada proses
pengelolaan aset desa tidak berjalan dengan efektif.
2. Komunikasi menjadi faktor penghambat pada proses pengadaan dan pengawasan dimana
pemerintah Kota Kotamobagu dan pemerintah desa belum melakukan komunikasi lewat sosialisasi
tentang penerapan regulasi pengelolaan aset desa sehingga pihak pengelola aset desa dalam
melaksanakan tugasnya masih meraba-raba regulasi yang menjadi acuan. Tidak adanya komunikasi
yang baik dalam sebuah kebijakan, maka akan membuat kualitas kebijakan menjadi tidak efektif.
Komunikasi diperlukan untuk menyebarkan informasi penting terkait pelaksanaan kebijakan yang
menyangkut pengelolaan aset desa. Dalam penerapan kebijakan membutuhkan kerjasama semua
pihak, apalagi jika implementor bingung dengan apa yang akan dilakukan disebabkan
ketidakjelasan informasi.
Menurut Edward (1980) salah satu variabel dalam suatu organisasi yang mempengaruhi
implementasi kebijakan yaitu komunikasi (communications). Sumber informasi yang berbeda
dapat melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang
bertanggung jawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat
melakukannya. Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan perlu dikomunikasikan sehingga implementor
mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan tersebut.
3. Kepastian hukum menjadi faktor penghambat dalam proses penatausahaan. Banyak aset desa
belum memiliki kepastian hukum kepemilikan aset dan hal ini juga menjadi kendala dalam
penginventarisasian aset desa. Sangat penting untuk segera melegalkan semua aset desa (tanah dan
bangunan) apalagi yang berasal dari hibah karena sudah banyak kejadian mana yang dulunya orang
tua hibahkan dan tidak memiliki bukti kepemilikan atas nama desa dikemudian hari bisa
menimbulkan masalah dan bila memungkinkan diambil oleh keturunannya.
Dalam Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 pasal 76 menyatakan sebagai berikut (ayat
4) kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama pemerintah desa; (ayat 6)
bangunan milik desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan dengan
tertib. Menurut Salim H.S (2001:99), Bezit adalah suatu keadaan yang senyatanya seseorang
menguasai suatu benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak namun secara yuridis formal
benda itu belum tentu miliknya. Ini berarti bahwa bezitter hanya menguasai benda secara materiil
207
saja sedangkan secara yuridis formal benda itu milik orang lain. Penting bagi desa untuk
menginventarisir seluruh asetnya agar bisa diketahui mana yang sudah dan belum memiliki
sertifikat.
4. Sikap pelaksana menjadi faktor penghambat pada proses perencanaan dan pengawasan. Salah satu
tugas dari kepala desa adalah menetapkan pengurus aset desa hal ini sejalan dengan arahan yang
disampaikan pihak Inspektorat untuk membentuk pengurus barang dengan tujuan agar apa yang
direncanakan disusun oleh yang bersangkutan dan sesuai dengan kebutuhan desa, sehingga
nantinya ketika barang tersebut sudah ada, tidak terbengkalai pengadministrasiannya. Selain itu
peralihan pimpinan ada-ada saja yang terjadi dan kebanyakan mana aset yang diperoleh semasa
jabatannya tidak ada yang tertinggal dikantor atau diserahkan tapi tidak semua, ini menggambarkan
sikap pelaksana yang belum patuh terhadap aturan dan hal ini berpengaruh dalam implementasi
kebijakan pengelolaan aset desa.
Edward III (1980) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam studi implementasi
kebijakan adalah sikap pelaksana, jika implementasi kebijakan diharapkan dapat efektif, maka para
pelaksana kebijakan tidak hanya sebatas mengetahui apa yang harus dilakukan, akan tetapi harus
memiliki dorongan keinginan untuk melakukan tugas tersebut. Perilaku pelaksana yang kurang
berpartisipasi aktif dapat menghambat efektivitas implementasi kebijakan.
5. Keahlian pengelola kegiatan menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pengadaan. Pada
dasarnya TPK sudah melaksanakan salah satu tugasnya sesuai dengan ketentuan yaitu melakukan
survey harga dibeberapa toko akan tetapi karena keadaan pasar yang berubah-ubah maka apa yang
sudah dianggarkan tidak sesuai dengan dilapangan, dengan situasi seperti ini dituntut keahlian
pengelola kegiatan bagaimana menyikapi hal tersebut. Menurut Griffin (2004), keahlian manajer
dibedakan menjadi keahlian teknis, interpersonal, konseptual, diagnostik, komunikasi,
pengambilan keputusan dan manajemen waktu. Peran seorang manajer dalam hal ini TPK dengan
keahlian diagnostik yaitu kemampuan manajer untuk memvisualisasikan jawaban yang paling
sesuai dengan situasi tertentu dengan kata lain seorang manajer dapat mendiagnosa atau
menganalisis masalah yang terjadi.
6. Transparansi menjadi faktor penghambat pada proses pelaporan dimana pelaporan dimaksud dalam
bentuk lisan saat mendengarkan penyampaian LKPJ kepala desa dan yang dibahas secara
keseluruhan mulai dari pembangunan, pengadaan tapi tidak terperinci. Seharusnya LKPJ tersebut
diperbanyak dan dibagikan ke semua yang hadir terlebih ke BPD yang tujuannya agar dapat dilihat
mana yang sudah dibuat maupun dibeli, mana yang menjadi prioritas kebutuhan desa sekaligus
mengecek keberadaan aset apakah sudah teradministrasi dengan baik. Memang secara lisan
diketahui ada pengadaan tapi karena kesibukan bisa saja sekarang diketahui besok tidak diingat
lagi, alangkah baiknya harus ada secara tertulis juga.
Menurut Lalolo (2003:13), transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan
yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan serta hasil yang dicapai. Mardiasmo
(2006:45) transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait
dengan aktifitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak yang membutuhkan yaitu
masyarakat. Lebih lanjut Mardiasmo menyebutkan tujuan transparansi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa yaitu : 1) salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada masyarakat;
2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan pemerintahan; 3) upaya peningkatan manajemen
pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek
KKN.
7. Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor penghambat pada proses pengawasan. Banyak
aset desa yang berpotensi menambah PADes tetapi karena kurangnya komitmen dari pengurus
mengakibatkan pengelolaannya tidak maksimal. Ketidakmaksimalan tersebut diantaranya
pengaruh pergantian pimpinan, tidak ada ketegasan untuk mengambil aset desa yang tadinya
dikelola kelompok tapi tidak pernah memberikan kontribusi ke desa, selain itu karena dari awal
proses perencanaan tidak ditetapkan pengurus yang bertanggung jawab mengelola aset desa
mengakibatkan aset desa yang sudah diadakan hanya dibiarkan dibalai desa dan parahnya lagi
banyak aset yang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Zurnali (2010) dengan mengacu pada pendapat-pendapat Meyer and Allen mendefinisikan
masing-masing komponen komitmen organisasional sebagai berikut : 1) affective commitment atau
komitmen afektif yaitu perasaan cinta pada organisasi atau perusahaan yang memunculkan
kemauan untuk tetap tinggal dan membina hubungan sosial serta menghargai nilai hubungan
208
dengan organisasi dikarenakan telah menjadi anggota organisasi; 2) continuance commitment atau
komitmen berkelanjutan yaitu perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dikarenakan
kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan biaya apabila meninggalkan organisasi dan
penghargaan yang berkenaan dengan partisipasi didalam organisasi; 3) normative commitment atau
komitmen normatif yaitu perasaan yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi
dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap organisasi yang didasari atas pertimbangan
norma, nilai dan keyakinan karyawan.
Penutup
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1) pada dasarnya setiap ada perencanaan pengadaan
kebutuhan desa diawali dengan musrembang yang melibatkan semua lembaga yang ada di desa, proses
penatausahaan sesuai arahan dari instansi terkait semua aset harus dicatat dengan baik tetapi kenyataan
dilapangan masih dicatat seadanya, pelaporan kepala desa disampaikan secara tertulis kepada Walikota
dalam bentuk LPPD dan ke BPD berupa LKPJ, karena kurangnya pengawasan banyak aset yang
berpotensi menambah PADes belum dikelola dengan baik; 2) kompetensi SDM yang masih minim,
kurangnya komunikasi terkait regulasi, hampir semua aset desa belum diinventarisasi karena belum
memiliki kepastian hukum, sikap pelaksana yang belum transparan dalam pelaksanaan tugas dan
komitmen organisasi yang belum terbentuk menjadi faktor penghambat pengelolaan aset desa; 3)
Pemerintah Kota Kotamobagu mengarahkan semua aset desa yang belum bersertifikat untuk diikut
sertakan dalam program PTS. Pemerintah desa dengan BPD mengupayakan agar pengelolaan aset desa
lebih baik dengan pembentukan BUMDES.
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah : 1) lebih fokus pada upaya peningkatan
kompetensi pengelola aset desa melalui sosialisasi, bimbingan teknis dan pendidikan pelatihan yang
berkesinambungan dengan pemateri yang berkompeten dibidangnya agar kedepan pengelolaan aset desa
bisa lebih baik khususnya proses perencanaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan dan pengawasan
aset desa; 2) segera melakukan amanat Undang-Undang Desa untuk menginventarisir seluruh aset yang
menjadi milik desa karena semua awal penatausahaan aset desa dimulai dari penginventarisasian; 3)
segera memberikan pemahaman kepada pengelola aset desa tentang aplikasi Siskeudes sehingga dapat
merubah pola pikir mereka bahwa didalam aplikasi tersebut terdapat fitur-fitur tentang aset desa; 4)
segera mensosialisasikan sekaligus menerapkan regulasi tentang pengelolaan aset desa kepada seluruh
pihak yang berkepentingan agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan perbedaan pendapat; 5)
melegalkan segera aset yang menjadi milik desa dengan cara pembuatan sertifikat dan surat keterangan
kepemilikan atas nama desa.
Daftar Pustaka
BPKP (2015) Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa. Deputi
Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah.
Dunn, William N. (2000). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terj. Samodra Wibawa dkk.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Edwards, George C. III (1980) Implementing Public Policy. Washington DC: Congresional, Quartely
Press.
Endraswara, Suwardi. (2012) Metodologi Penelitian. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.
Fiske, John (1990) Cultural and Communication Studies. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Griffin, Ricky W (2004). Manajemen, Edisi 7, Jilid 1, diterjemahkan oleh Gina Gania. Jakarta :
Erlangga.
Harian Suara Merdeka.com “Pengelolaan Aset Desa Banyak yang Sindung Riwut”. Solo Metro 12 Mei
2017.
Lestyowati, Jamila (2015) Widyaswara Madya Balai Diklat Keuangan. Yogyakarta. Modul
Pengadaan Barang/Jasa di Desa, Haruskah Swakelola.
Lalolo, Liona (2003) Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi,
BAPPENAS, Jakarta.
Mardiasmo (2006) Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui Akuntansi Sektor Publik
: Suatu Sarana Good Governance Yogyakarta : UMM-Press.
Martoyo, Susilo (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi 4, Yogyakarta : BPFE.
Moenir, HA. S (2006) Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Notoatmodjo, Soekidjo (2009) Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 2007,
Buku Panduan Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), Jakarta : PP-
RPDN.
211
Republik Indonesia. 2016 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset
Desa.
Republik Indonesia. 2014 Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Risnawati, Dewi (2017) Pengelolaan Aset Desa Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan di
Desa Krayan Bahagia Kecamatan Long Ikis Kab. Paser. eJournal Ilmu Pemerintahan, Volume
5, No 1, 2017:199-212 Hal. 10.
Rohim, Syaiful (2009). Teori Komunikasi. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Salim H.S (2001) Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Yogyakarta.
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Cv. Alfabeta.
Sugiyono, (2015) Metode Penelitian Manajemen. Alfabeta Bandung.
Sumini, O.E (2010) Pokok-Pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pusdiklat Kekayaan Negara dan
Perimbangan Keuangan.
Surjadi (2012) Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Refika Aditama, Bandung.
Tangkilisan, Hesel Nogi S (2005) Manajemen Publik, Jakarta. Grassindo.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, tentang Desa.
Wheatley, G.H (1991) Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Science
Education Journal. 75(1), 9-21.
Zurnali, Cut (2010) Learning Organization, Competency, Orgnizational Commitment and Customer
Orientation : Knowledge Worker-Kerangka Riset Manajemen Sumber Daya Manusia Masa
Depan. Bandung:Unpad Press
212