0% found this document useful (0 votes)
162 views14 pages

Pendampingan Pastoral Keindonesiaan: (Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen)

Uploaded by

Ryan Waney
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
162 views14 pages

Pendampingan Pastoral Keindonesiaan: (Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen)

Uploaded by

Ryan Waney
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 14

(Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) e-ISSN 2614-3135

TERAKREDITASI No: 36/E/KPT/2019 (Sinta 2) p-ISSN 2615-739X


Volume 6, No. 1, April 2020 (47-60)
http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios

Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

Jacob Daan Engel


Fakultas Theologia, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Indonesia
jacob.engel@uksw.edu

Article History Abstract: Indonesian pastoral assistance is affiliated with developing potential
Submitted: and improving the quality of life in cultural encounters in Indonesia. This was
26 February 2020 motivated by the fact of rejection of Western aid, which is only emphasized as
Revised: an individual approach without regard to the plural of socio-cultural and
23 March 2020 religious values of Indonesian society. A descriptive-analytical approach is
Accepted: describing and analyzing cultural encounters in spiritual and religious
03 April 2020 perspec-tives becomes a mentoring effort that refers to the improvement,
development, and transformation of society. Besides that, cultural encounter is
a pastoral assistance effort to empower, revive, and humanize Indonesian
people with different characteristics. Meanwhile, the study found that the
meaning of pastoral care in the Indonesian context is cooperation, share
Keywords: feelings and mutual acceptance, harmonious brotherhood, solidarity, and
cooperation; friendship that show respect to one another. Pastoral assistance is also carried
Indonesian out to develop their potential, to empower and improve their quality of life. The
assistance; development of the potential and quality of life occurs in cultural encounters,
pastoral; which are related to the development of mindsets, feelings, and personal
pastoral care; behavior patterns of each individual as well as the community and society.
solidarity
gotong royong; Abstrak: Pendampingan pastoral keindonesiaan berafliasi pada pengembangan
pastoral; potensi dan peningkatan kualitas hidup dalam perjumpaan budaya di Indonesia.
pendampingan Hal tersebut dimotivasi oleh fakta penolakan terhadap pendampingan barat,
pastoral;
yang hanya menekankan pada pendekatan individualis tanpa memperhatikan
pendampingan
keindonesiaan;
nilai-nilai sosial budaya dan agama masyarakat Indonesia yang plural. Pende-
solidaritas katan deskriptif analitis untuk mendeskripsikan dan menganalisis perjumpaan
budaya dalam perspektif spiritual dan agama menjadi suatu upaya pendam-
pingan yang mengacu pada peningkatan, pengembangan dan transformasi
masyarakat. Perjumpaan budaya menjadi suatu upaya pendampingan pastoral
dalam rangka memberdayakan, menghidupkan serta memanusiakan manusia
Indonesia yang berbeda-beda karakteristiknya. Kajian tersebut menemukan
pen-dampingan pastoral dalam konteks Indonesia mempunyai arti gotong ro-
yong, berbagi rasa dan saling menerima, persaudaraan yang rukun dan solida-
ritas serta pertemanan yang saling menghargai dan menghormati. Pendam-
pingan pastoral dilakukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, dalam
rangka memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Pengembangan
potensi dan kualitas hidup terjadi dalam perjumpaan budaya, yang berkaitan
DOI: https://doi.org/ dengan pengembangan pola pikir, perasaan dan pola perilaku pribadi setiap
10.30995/kur.v6i1.153
individu maupun komunitas dan masyarakat.

I. Pendahuluan
Istilah pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi, sebagai suatu kegiatan menolong,
karena suatu sebab perlu didampingi. Pendampingan menempatkan baik pendamping maupun

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 47


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

yang didampingi dalam kedudukan yang seimbang dan dalam hubungan timbal-balik yang
serasi dan harmonis.1 Pendampingan pada hakikatnya merupakan kegiatan kemitraan, bahu
membahu, menemani, berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.
Pendampingan atau bimbingan menurut Kartadinata adalah suatu proses pendidikan kepada
individu untuk mencapai tingkat kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hayat (life
long education).2 Sebagai proses pendidikan, pendampingan memfasilitasi individu
mengembangkan kemampuan sesuai potensi dan sistem nilai yang dianut, melakukan pilihan
dan pengambilan keputusan atas tanggung jawab secara mandiri.
Pastoral berasal dari bahasa latin pastore, dalam bahasa Yunani di sebut poimen yang
berarti gembala. Di dalam kata gembala terkandung pengertian tentang hubungan antara Allah
yang penuh kasih dengan manusia yang memerlukan arahan dan bimbingan.3 Karena itu,
pendampingan sebagai suatu pendekatan pastoral lebih menunjukkan pada sifat dan fungsi
dari seorang gembala, yang selalu bersedia membimbing, merawat, memelihara, melindungi,
menolong, dan memperbaiki relasi yang terputus dengan diri sendiri, orang lain dan Allah.4
Dalam proses pendampingan pastoral, pendamping tidak hanya bersentuhan dengan relasi
terhadap sesamanya, tetapi juga menempatkan pendamping dan yang didampingi dalam
hubungannya dengan Allah.
Menurut Clinebell, pendampingan pastoral merupakan suatu pelayanan pertolongan dan
penyembuhan dari gereja, baik secara individu maupun kelompok sehingga dapat bertumbuh
dalam proses kehidupannya di masyarakat.5 Dengan kata lain pendampingan pastoral adalah
suatu upaya yang disengaja untuk memberi pertolongan kepada seseorang ataupun kelompok
yang sedang mengalami masalah atau sakit, agar masalah tersebut tidak menjadi penghalang
dalam pertumbuhan di berbagai segi kehidupan. Krisetya mengemukakan bahwa pendam-
pingan pastoral berhubungan dengan manusia, tidak mempersoalkan kepercayaannya,
kedudukan sosialnya, atau prestisenya.6 Suatu pendampingan yang ditujukkan pada beragam
kebutuhan manusia di dalam perjalanan hidup ini. Jadi selalu ada saja kemungkinan bahwa
pendampingan pastoral dibutuhkan.
Sehubungan dengan fungsi pendampingan pastoral, Van Beek mendefenisikan fungsi
sebagai kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pendampingan dan
konseling dengan tujuan-tujuan operasional yang hendak dicapai dalam memberikan
pertolongan7. Beberapa fungsi pendampingan pastoral dideskripsikan sebagai berikut. Fungsi
bimbingan membantu yang didampingi yang berada dalam kebingungan untuk menentukan
pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan yang pasti, jika pilihan dan keputusan demikian

1
Beek Van Aart, Konseling Pastoral: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia (Semarang:
Satya Wacana, 1987), 9.
2
Kartadinata and Sunaryo, Menguak Tabir Bimbingan Dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis (Bandung:
UPI Press, 2011), 57.
3
Beek Van Aart, Pendampingan Pastoral, 5th ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 10.
4
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002), 32.
5
Ibid.
6
Mesach Krisetya, Teologi Pastoral (Semarang: PT Panji Graha, 1998), 38.
7
Beek Van Aart, Pendampingan Pastoral, 13.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 48


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang8.
Menurut Van Beek yang didampingi perlu dibimbing agar terampil memilih dan mengambil
keputusan tentang hal-hal positif yang membangun dirinya, serta menentukan langkah-
langkah yang harus diambil.9
Fungsi menopang membantu yang sakit atau terluka agar dapat bertahan dan mengatasi
suatu kejadian yang terjadi pada waktu yang lampau.10 Fungsi menopang, menolong yang
didampingi mengalami luka atau sakit untuk bertahan menghadapi dan melewati masa-masa
sulitnya. Fungsi menopang membantu yang didampingi untuk menerima kenyataan sebagai-
mana adanya, mandiri dalam keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh.
Fungsi penyembuhan merupakan pelayanan pastoral secara holistik, lahir dan batin, jasmani
dan rohani, tubuh dan jiwa.11 Fungsi menyembuhkan ini menuntun yang didampingi meng-
ungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Sebab bukan tidak mungkin secara fisik
merupakan akibat dari sebuah tekanan secara psikis emosional. Melalui interaksi yang terbuka
konseli dibawa pada hubungan dengan Tuhan baik melalui doa, pembacaan Firman Tuhan
dan percakapan pastoral.
Fungsi memulihkan berarti membantu yang didampingi memperbaiki kembali hubungan
yang rusak antara dirinya dengan orang lain12. Fungsi memulihkan menolong yang
didampingi memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang dan memberikan pengampunan
bagi mereka. Dengan tindakan pengampunan yang dilakukan, hubungan yang didampingi dan
sesama yang telah rusak, diperbaiki kembali. Fungsi memelihara atau mengasuh,
memampukan yang didampingi untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah
kepadanya.13 Potensi yang dapat dilihat dalam proses tersebut adalah apa yang dapat
ditumbuh-kembangkan sebagai kekuatan dalam melanjutkan kehidupannya, sehingga mereka
di dorong kearah pertumbuhan dan perkembangan secara holistik. Dengan demikian,
pendampingan pastoral melaksanakan fungsi-fungsi penggembalaan dengan tujuan utama
adalah mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik,
sosial, mental dan spiritualnya.
Dilema Pendampingan Pastoral dan Keindonesiaan
Berdasarkan konsep dan fungsi pendampingan pastoral di atas, maka isu sentral yang menjadi
pertimbangan dalam menyikapi dilema pendampingan pastoral dan keindonesiaan yaitu isu
ahistoris, paradigma dan metode. Secara historis, pendampingan tidak menjadi pendekatan
yang terpisah dari konseling. Hal tersebut terkait isu ahistoris dalam hubungan dengan sejarah
munculnya pendampingan dari latar belakang masyarakat Amerika yang individualis, egaliter
dan otonom.14 Penerapan pendampingan Barat di Indonesia harus berhadapan dengan latar

8
William Clebsch and Charles Jaekle, Care in Historical Perspective (New Jersey: Prentice-Hall, 1964), 49
9
Mayeroff Milton, Pendampingan Pastoral Dalam Praktik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 13.
10
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 53.
11
Abineno J. L. Ch., Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 48.
12
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral 54.
13
Ibid.
14
Paul Pedersen, Counseling Across Culture (USA: The University of Hawai, 1980).

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 49


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

belakang masyarakat yang berlawanan karakteristiknya yakni komunal deterministik15.


Paradigma menekankan dimensi spiritual pendampingan Barat yang berhubungan dengan
Kekristenan. Metode dan pendekatan lebih menekankan pada asumsi-asumsi nilai, preferensi
ideologis, apriori kognitif yang berafliasi pada psychological strength (pemenuhan kebutuhan,
kompetensi intrapersonal dan interpersonal)16, tanpa melihat individu sebagai mahkluk sosial
dan berbudaya.
Isu di atas, memposisikan pendampingan pastoral di Indonesia berada pada paradigma
berpikir Barat dan psikologi yang individualis. Kedua paradigma tersebut mengalami
benturan-benturan dengan kearifan lokal yang meliputi bahasa, nilai, steriotipe, kelas sosial,
ras atau suku, gender, gaya hidup dan ritus. Padahal tidak semua kecenderungan yang disebut
itu memiliki kecocokan dengan latar sosial dan budaya Indonesia. Hal tersebut merupakan
bentuk penolakan terhadap pendampingan barat, yang hanya menekankan pada pendekatan
individual tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang
plural. Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka corak
sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik. Dengan demikian, adaptasi dan modifikasi
menjadi tak terelakkan untuk mengembangkan suatu paradigma baru yang didasarkan atas
temuan lokal yang diharapkan dapat menjawab langsung permasalahan masyarakat setempat.
Hal tersebut tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan pendampingan
pastoral di Indonesia.
Latar belakang pemikiran di atas, menjadi pertimbangan untuk merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut: Bagaimana paradigma baru pendampingan pastoral keindonesiaan?
Tujuan kajian ini adalah: Mengkaji paradigma baru pendampingan pastoral keindonesiaan.

II. Metode Penelitian


Studi pustaka dilakukan untuk mendeskripsikan, menganalisis teori yang relevan, dengan alur
pikiran yang logis dalam membangun kerangka berfikir17, menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan pendekatan penelitian. Tahapan yang ditempuh adalah: pertama, deskripsi dan
analisis konsep pendampingan pastoral; kedua, deskripsi dan analisis dilema pendampingan
pastoral dan keindonesiaan; ketiga, membangun kerangka berfikir melalui pembahasan tentang
pendampingan pastoral dan keindonesiaan dari perspektif spiritual, agama dan budaya;
keempat, paradigma baru pendampingan pastoral dan keindonesiaan.
Berdasarkan tahapan di atas, maka pendekatan penelitian yang dipakai adalah deskriptif
analitis. Deskriptif analitis digunakan untuk menjelaskan secara sistematis, dan akurat tentang
fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi pendekatan.18 Deskriptif analitis
dipilih karena pendekatan ini bermaksud mendeskripsikan dan menganalisis perjumpaan
budaya dalam perspektif spiritual dan agama menjadi suatu upaya pendampingan pastoral
dalam rangka memberdayakan, menghidupkan dan memanusiakan manusia Indonesia yang
berbeda-beda karakteristiknya.
15
Supriadi, “Pendampingan Lintas Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia,” in Pidato Pengukuhan
Guru Besar UPI (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001).
16
Michael E Cavanagh, The Counseling Experience: A Theoretical and Practical Approach (California:
Brooks/Cole Publishing Company, 1982), 33-68.
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 58-61.
18
M Nazir, Research Methods (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 54-55, 61.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 50


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

III. Pembahasan
Paradigma Baru Pendampingan Pastoral Keindonesiaan
Paradigma baru yang dimaksudkan adalah mengkaji nilai-nilai spiritual dan agama yang
terkandung dalam budaya masyarakat Indonesia. Paradigma baru sebagai cara menyikapi
dilema pendampingan pastoral dan keindonesiaan. Pendampingan pastoral, mengembangkan
potensi-potensi diri yang terkandung dalam nilai-nilai spiritual, agama dan budaya pen-
damping maupun yang didampingi. Keindonesiaan dalam pengertian, realitas berbangsa yang
dibangun dari identitas primordial dan nasional.19 Dalam konteks keindonesiaan, pendam-
pingan pastoral harus dilakukan dalam rangka mengembangkan kemampuan dan mening-
katkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia yang berakar pada agama dan sosial
budaya bangsa Indonesia sendiri. Agama yang dimaksudkan di sini adalah agama sipil (civil
religion) yang menurut Rousseau merupakan agama masyarakat yang memper-hatikan
bagaimana orang harus hidup bersama dengan orang lain dan dengan lingkungan alam
sekitarnya. 20 Agama sipil adalah kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada kontrak
sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka
(general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama. Kalau kehendak umum tersebut
dipahami baik dan memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga Negara untuk
melakukan tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya, menurut Rousseau.21
Sehubungan dengan nilai transendental, Swidler memahami agama sebagai makna
eksterior atau eksternal kemanusiaan sebagai pengalaman yang transenden.22 Darmaputera
menjelaskan spiritualitas berhubungan dengan pengalaman religius sebagai pengalaman yang
transenden.23 Krauss dan Ralph memahami spiritual sebagai energi kehidupan yang mengacu
pada makna interior atau internal kemanusiaan.24 Roussseau melihat spiritualitas adalah pen-
carian pribadi untuk memahami jawaban akhir atas pertanyaan tentang kehidupan, makna
hidup, dan pengalaman transenden.25 Dalam hubungan dengan nilai transendental, spirituali-
tas adalah agama, karena itu baik spiritualitas maupun agama merupakan representasi dari
spiritual.26 Dan karena itu, agama tidak terpisahkan dari struktur sosial budaya masyarakat
karena mengandung nilai-nilai spiritual yang mengatur kehidupan bersama, sehingga masya-
rakat juga turut mempengaruhi penghayatan dan pengalaman keyakinan-keyakinan keagama-

19
John Titaley, Nilai-Nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
(Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999).
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Leonard Swidler, “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith,” Journal of
Ecummenical Studies 49, no. 3 (2014).
23
Eka Darmaputra, “Agama Dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar,” Jurnal Penuntun 3, no. 12
(1997).
24
Stephen Krauss and Ralph W Hood Jr., “Religion, Spiritualty, Conducth of Life: Manners Customs,”
International Series in the Psychology of religion 16 (2013): 7–22.
25
David Rousseau, “A Systems Model of Spirituality: Self, Spirituality, and Mysticism,” The Joint
Publication Board of Zygon 49 (2014).
26
Stanford Stoyles and Keating Caputi, “A Measure of Spiritual Sensitivity for Children,” International
Journal of Children’s Spirituality 17, no. 3 (2012).

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 51


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

an.27 Berdasarkan pemahaman tersebut, interaksi nilai-nilai spiritual dalam agama perlu
dipahami dalam rangka menjawab peranan pendampingan pastoral dalam masyarakat plural.
Pemaknaan spiritual dalam agama dapat ditemukan dalam falsafah hidup kearifan lokal
yang berdasarkan kesepakatan sosial dan budaya, seperti yang dipahami empat masyarakat
Indonesia sebagai berikut. Falsafah hidup orang Timor, hutan adalah rambut, batu adalah
tulang, tanah adalah tubuh, darah adalah air, alam adalah rahim perempuan, tenun
diidentikkan dengan perempuan Mollo. Merusak alam sama dengan merusak perempuan,
merusak perempuan sama dengan merusak generasi. Nilai-nilai inilah yang menjadi
spiritualitas perempuan Mollo bersama Mama Aleta melawan masuknya perusahaan asing
terutama perusahan tambang Mangan di NTT, dengan cara yang sangat khas perempuan,
melalui tenun sebagai dirinya sendiri.28 Filosofi orang Minahasa, si tou timou tumou tou
mengandung arti manusia hidup untuk memanusiakan sesama manusia. Dapat dikatakan
manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ungkapan ini berhubungan dengan
solidaritas kemanusiaan dan kesetiakawanan yang menghidupkan, berarti menghargai
kehadirannya, memberdayakan dalam kebersama-an.29 Disebut manusia apabila telah
memanusiakan manusia.
Mangrambu langi adalah upacara adat di Toraja yang merupakan acara pembakaran
hewan (dalam hal ini kerbau atau babi) yang dilakukan oleh yang bersalah (berbuat zinah atau
membakar kuburan). Mangrambu langi mengandung makna penerimaan kembali dalam
rangka penguatan dan pemberdayaan orang yang telah melakukan kesalahan.30 Giwu dalam
masyarakat Pamona Sulawesi Tengah adalah sanksi adat bagi mereka yang melanggar
ketentuan adat sebagai kontrak sosial, demi untuk menjaga keseimbangan kosmos dengan
membayar sejumlah kain, binatang dan uang sesuai besar-kecil pelanggaran. Sanksi adat
tersebut memberi pemahaman ganda tentang dampak psikologis seperti rasa malu, rasa
bersalah, tidak layak, penyesalan, dan di sisi lain memberdayakan mereka yang kena giwu
keluar dari keterpurukan untuk menjalani suatu kehidupan yang diperbaharui.31
Dimensi spiritual yang dipahami dalam kerangka berpikir agama masyarakat adalah nilai-
nilai hidup dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Agama masyarakat
seperti yang dideskripsikan di atas, menggeneralisasikan suatu pemahaman bahwa falsafah
hidup setiap agama dan sosial budaya di Indonesia mengandung makna spiritual. Dimensi
spiritual yang bersumber dari agama masyarakat di Indonesia, dapat menjadi kontribusi dalam
menyikapi dilema pendampingan pastoral dalam masyarakat plural. Dimensi spiritual dalam
pendampingan pastoral, dapat dipahami dalam paradigma berpikir agama dan sosial budaya
masyarakat Indonesia.
Dalam hubungan dengan pendampingan pastoral, spiritual berarti energi kehidupan yang
membuat kita konsisten dalam berpikir, berperasaan dan berperilaku. Energi kehidupan

27
Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali, 1988), 46.
28
Aleta Baun, “Goldman Environmental Prize Recipient for Islands & Nations,” The Goldman Enviromental
Prize, last modified 2013, accessed July 29, 2018,
http://www.rightsandresources.org/documents/files/doc_6039.pdf.
29
Sondakh A. J., Si Tou Timou Tumou Tou (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 21-14, 35.
30
Paulus Kondo Sara, “Salah Satu Tokoh Masyarakat Di Lembang,” in Wawancara Pdt. Marthen Betteng
(Rantepao, 2016).
31
W.L. Sigilipu, “Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona I Piamo,” VIBRA, 2015, 187.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 52


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

merupakan kualitas spiritual yang menggambarkan sumber dari mana spiritual itu barasal. Hal
tersebut secara teologis sejalan dengan pemikiran Yohanes dalam I Yohanes 3:24c, “Dan
demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan
kepada kita.” Tantangan untuk mencari solusi adalah memberikan rasa nikmat, berjuang
untuk menjadi kompeten sebagai suatu penghargaan bagi diri sendiri yang berdampak positif
dan konstruktif bagi suatu komunitas karena memiliki nilai-nilai spiritual dan agama yang
terkandung dalam sosial budaya masyarakat. Hal tersebut, meningkatkan kebermaknaan
hidup dalam suatu proses pendampingan pastoral secara komunal deterministik.
Nilai agama yang dianut oleh suatu komunitas tertentu pada umumnya sudah diyakini
kebenarannya, dapat dipergunakan untuk pendampingan32. Komunitas agama yang ingin
mencari bantuan melalui pendampingan tetapi mereka tidak mendapatkannya karena waspada
dipengaruhi oleh pendamping yang mungkin mengubah nilai-nilai dasar mereka selama
proses pendampingan. Ketika perbedaan nilai agama ada, maka itu adalah tanggung jawab
pendamping untuk belajar tentang nilai-nilai yang dipegang oleh yang didampingi. Hal ini
berfungsi untuk menempatkan perbedaan nilai yang didampingi dalam konteks pendampingan
agama33. Nilai-nilai yang didampingi harus secara terbuka dan terang-terangan dieksplorasi
sebagai bagian dari proses pendampingan. Pendamping memahami nilai-nilai agama yang
didampingi, sehingga lebih mampu mempengaruhi perubahan sikap yang diperlukan, dan
lebih bebas mengeksplorasi nilai-nilai agama yang didampingi.
Pendampingan budaya merupakan suatu proses pendampingan yang terjadi antara
pendamping dan yang didampingi yang berbeda budaya, tetapi dalam interaksinya ada
persamaan yang saling membantu, menopang dan menguntungkan, sehingga ada
pengembangan potensi dan peningkatan kualitas hidup. Pendamping dituntut kepekaan
budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.
Dengan itu, pendampingan dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter)
antara pendamping dan yang didampingi.
Perjumpaan budaya merupakan realitas hidup bersama yang tidak dapat di pungkiri,
karena manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu terlihat pada perilaku yang ditampilkan.
Perilaku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri,
melainkan juga dari sudut pandang budayanya34. Pendampingan budaya adalah bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena budaya mengontrol kehidupan manusia
melalui pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses kognitif, dalam situasi dan
keadaan sadar atau tidak. Melalui definisi tersebut, Pedersen menjabarkan budaya dalam tiga
pemahaman, yaitu: Budaya merupakan subjek dalam diri seorang manusia yang kemudian
mengendalikan perilakunya; budaya memberi makna kepada seorang manusia untuk

32
D. Russell, “Religious Values As Cross Cultural Issues In Counseling,” Counseling & Values 36, no. 3
(1992).
33
C. R. Ridley, “Imperatives for Ethnic and Cultural Relevance in Psychology Training Programs,”
Professional Psychology: Research and Practice, 16 (1985): 611–622.
34
G.F. Kneller, Educational Anthropology: An Introduction (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1965),
99.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 53


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan hidupnya; budaya melahirkan pengetahuan


berdasarkan pengalaman hidup dan pengetahuan untuk memahami apa yang terjadi dan
mengapa sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan.35
Kebutuhan pendampingan pastoral budaya di Indonesia makin terasa, mengingat pendu-
duk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang
berbeda-beda. Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu, tidak dapat
diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan pendampingan budaya.36 Pendam-pingan
pastoral, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan
serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri.
Pendampingan Pastoral dalam Konteks Indonesia
Pemikiran di atas, memberikan suatu pemahaman bahwa pendampingan pastoral dalam
konteks Indonesia, mengacu pada peningkatan, pengembangan dan transformasi masyarakat.
Pendampingan pastoral keindonesiaan menjadi suatu upaya pemberdayaan dalam rangka
menghidupkan dan memanusiakan manusia Indonesia yang berbeda-beda karakteristiknya.
Karakteristik dibangun dalam pola pikir, perasaan dan pola perilaku yang menggambarkan
pluralitas masyarakat Indonesia. Dengan itu, pendampingan pastoral dalam konteks
Indonesia, dilakukan tidak bersifat individual saja, pendekatannya lebih menekankan pada
peran dan fungsi sesuai latar belakang masyarakat Indonesia yang komunal deterministik.
Beberapa fungsi pendampingan pastoral dalam konteks masyarakat Indonesia dideskripsikan
dan dianalisis sebagai berikut:
Gotong Royong
Gotong royong mencerminkan nilai luhur dari pola hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.
Gotong royong merupakan kepribadian bangsa dan merupakan budaya yang telah berakar
kuat dalam kehidupan masyarakat. Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan
secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan
dengan lancar, mudah dan ringan. Gotong royong menjadi wujud kebersamaan, bahu
membahu yang sifatnya meringankan beban kerja. Gotong royong menunjukkan sifat tolong
menolong dalam pekerjaan seperti membuka lahan hutan, bercocok tanam dengan berladang
pindah, membangun rumah, perayaan atau pesta pernikahan, kedukaan, pembangunan
fasilitas umum membersihkan lingkungan sekitar dan kegiatan lainnya yang dikerjakan secara
bersama. Seberat apapun pekerjaan menjadi ringan karena nilai-nilai yang dibangun adalah
keyang didampingian sebagai kontribusi bagi kualitas kehidupan dan bukan durasi yang
mengutamakan komersialisasi, perhitungan untung rugi, mengupah dan menggaji.
Nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong sejalan dengan pemikiran Frankl
tentang tiga ragam nilai yang menjadi sumber makna hidup dalam dunia kerja37, yaitu:
Pertama, nilai kreatif lebih menunjukkan bagaimana individu harus berkarya dan dalam karya
itu menjelaskan tentang kualitas hidup yaitu cara menghargai, menghormati dan bertanggung
jawab terhadap apa yang individu lakukan, dan peroleh dalam dunia kerja. Nilai kreatif tidak

35
Pedersen, Counseling Across Culture, 5.
36
Nugraha Agung Adhiputra, Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 190.
37
V. E. Frankl, Man’s Search for Ultimate Meaning (New York: Perseus Publishing, 2000), 123-124.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 54


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

bergantung pada seberapa yang kita peroleh secara kuantitas (durasi) misalnya gaji, tetapi
lebih pada seberapa hidup kita berkualitas dan bermakna bagi orang lain dan bagi diri sendiri
yang merupakan potensi diri seseorang dalam dunia kerja; kedua, nilai pengalaman adalah
aktivitas diri meliputi kebenaran, keindahan, kasih dan keyakinan diri. Apa pun yang
dilakukan individu merupakan aktivitas diri dalam hal perilaku yang dikerjakan secara
terencana untuk menemukan kebenaran, keindahan dan cinta, karena nilai-nilai tersebut dapat
memberikan makna sebanyak nilai-nilai daya cipta. Nilai tersebut tercipta dalam perjumpaan
individu dengan dunia kerja di luar dirinya. Dalam perjumpaan itu individu perlu melakukan
suatu aktivitas diri untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya bagi pengembangan dirinya
secara inovatif dalam pekerjaannya; Ketiga, nilai sikap meliputi penerimaan dalam
mengambil sikap yang tepat terhadap berbagai masalah dan tantangan dalam pekerjaan yang
tidak dapat dihindari.
Situasi apapun yang dialami individu dalam dunia kerja, memberikan kesempatan yang
sangat besar bagi individu menemukan makna hidupnya, jika individu dapat menerima
dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk tantangan, dan masalah.
Hal tersebut membangkitkan kesadaran diri (self-awareness) yang dalam sehingga individu
dapat melakukan evaluasi diri yaitu penyesuaian, instropeksi dan membuka diri terhadap hal-
hal baru yang inovatif untuk mengembangkan kepercayaan dirinya, dalam rangka peningkatan
kualitas kerja yang memberinya makna hidup. Hidup tetap berpotensi untuk memiliki makna
dalam dunia kerja, bahkan dalam kondisi yang paling menyedihkan, karena individu memiliki
kapasitas untuk mengubah aspek-aspek hidup yang negatif menjadi sesuatu yang positif dan
konstruktif. Dengan kata lain, yang paling penting adalah memanfaatkan yang terbaik dari
setiap situasi kerja, maka nilai-nilai yang dianut oleh individu tetap melekat bersamanya.
Dalam konteks pendampingan, nilai-nilai gotong royong meringankan beban dan menjadi
donasi bagi orang lain. Lewis et al. mengatakan bahwa fungsi gotong royong memberi ban-
tuan penting bagi hubungan sosial suatu komunitas. Konselor komunitas dalam gotong
royong ini adalah mereka yang menyediakan waktu, ruang, tenaga, pikiran, perasaan bahkan
perilaku yang berinteraksi untuk menolong pribadi maupun komunitas.38 Mengutip pikiran
Engel bahwa pendamping harus memahami pribadi-pribadi dalam keberadaannya sebagai
komunitas yang mempunyai sifat-sifat kejiwaan yang mempengaruhi hidupnya.39 Dalam hal
ini, pendamping komunitas berperan bukan sebagai pembimbing tetapi sebagai yang
didampingi dalam rangka peningkatan kualitas kerja yang memberinya makna hidup. Itu
berarti bahwa gotong royong dalam suatu komunitas, berarti semua orang saling
membutuhkan dalam suka maupun duka, memberi rasa hormat dan penghargaan dalam
berinteraksi.
Dalam pendampingan pastoral, nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan
dalam bentuk kebersamaan, persatuan, bahu membahu dan sosialisasi yang dilakukan tanpa
mengharap balasan demi kepentingan bersama. Gotong royong memberi makna bagi

38
Judith A. Lewis, Judy A. Daniel, and Michael D. Lewis, Community Counseling: A Multicultural-Social,
Justice Perspective (Belmont: Brooks, 2010), 16.
39
Jacob Daan Engel, Pastoral Dan Kebutuhan Dasar Pendampingan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016),
77.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 55


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

pendampingan pastoral sebagai kebersamaan yang tumbuh dalam lingkungan hidup antar
sesama. Kebersamaan yang terjalin dalam gotong royong memberi makna pendampingan
terhadap persatuan antar sesama, menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi permasalahan
yang muncul. Gotong royong memberi makna bagi pendampingan pastoral terhadap bahu
membahu yang mengajari setiap orang untuk rela berkorban, baik waktu, tenaga dan
pemikiran. Semua pengorbanan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama. Masyarakat
rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya untuk memenuhi kebutuhan bersama. Sekecil
apapun kontribusi seseorang dalam gotong royong, selalu dapat memberikan pertolongan dan
manfaat untuk orang lain. Sebagai maskhluk sosial, gotong royong memberi makna bagi
pendampingan pastoral terhadap sosialisasi yang membuat masyarakat saling mengenal satu
sama lain, sehingga proses sosialisasi dapat terus terjaga keberlangsungannya.
Berbagi dan Menerima
Berbagi dan menerima berarti kepedulian kepada sesama sebagai wujud tanggungjawab
kepada Tuhan dan alam. Manusia saling membutuhkan untuk berbagi dan menerima, karena
tanpa berbagi dan menerima manusia akan kehilangan arah dan arti sebagai makhluk sosial.
Rasa kepedulian kepada sesama diwujudkan dengan memberi sesuatu yang bermanfaat.
Orang yang peduli dengan kerabat sebagai wujud berbagi dan menerima, bukan soal berapa
besar pemberian yang diberikan tetapi perhatian dan kasih sayang. Orang-orang yang
memiliki rasa peduli merasakan suasana hati orang lain dan bisa mengatakan apakah
seseorang sedang merasa sedih atau kecewa, dan memikirkan cara melakukan sesuatu untuk
mengatasinya. Sikap peduli pada orang lain cenderung berfokus pada usaha untuk
meningkatkan hubungan yang sehat dan positif. Peduli pada orang lain berarti sungguh-
sungguh mau mendengarkan apa yang membuat mereka khawatir pada saat mereka
menghadapi masalah dalam sebuah hubungan atau situasi tertentu. Orang yang memiliki rasa
kepedulian menjalani kehidupan mereka sehari-hari dengan cara pandang untuk selalu
memberikan perhatian. Memberikan perhatian pada apa yang dilakukan oleh orang-orang
yang mereka ajak bicara, selain itu mereka juga memiliki kepekaan terhadap kebutuhan dan
perasaan orang-orang tersebut.
Berbagi dan menerima dikondisikan secara kultural sehingga diperoleh pengetahuan
penting bagaimana manusia melihat dirinya sendiri dan komunitas. Dalam budaya Timur
memperlihatkan bahwa kolektifitas yang saling berbagi dan menerima, terkandung nilai
budaya yang menjadi kontrol bagi tingkah laku manusia40. Sanchez mengatakan bahwa
budaya sekaligus menjadi petunjuk yang mengarahkan individu serta kelompok bagaimana
berprilaku dalam kehidupan sehari-hari41. Nilai-nilai tersebut diberlakukan untuk individu
maupun komunitas, bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Nilai-nilai dalam budaya
diwariskan dari generasi ke generasi untuk menghidupkan manusia, sehingga manusia
menemukan makna dan nilai didalamnya. Semua ini tertuang dalam prilaku yang diatur dalam
masyarakat sehingga menjadi dasar pendampingan untuk memahami keberadaan seseorang
dengan latar belakang yang dimiliki. Pendampingan yang berbasis budaya ini dapat

40
Archie Jr Smith, Indigenous and Cultural Psychology: Where Does Faith Come In?, 2007, 56.
41
Arthur R. Sanchez, Handbook Counseling Of Multicultural (Sage Publication, 2001), 674.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 56


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

membantu untuk menemukan strategi yang tepat, dimana prilaku dalam budaya menjadi nilai
penting untuk pendampingan yang efektif.
Dalam pendampingan, berbagi dan menerima memiliki kemampuan untuk berempati
kepada orang lain, menjalani hidup berdasarkan rasa kasih sayang, cinta dan belas kasih
kepada orang-orang di sekitarnya. Berbagi dan menerima berarti bersedia mendengarkan,
mengerti jika seseorang membutuhkan bantuan, dan memberikan dukungan bagi komunitas
tanpa mengharapkan penghargaan. Hidup tidak untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Saling berbagi dan menerima bukan karena alasan ada kelebihan tetapi sikap kerelaan untuk
memberikan waktu, harta, tenaga bahkan nyawa demi keselamatan orang lain. Kerelaan untuk
mengorbankan hidup dilandasai oleh rasa memiliki terhadap kehidupan semua orang tanpa
membedakan agama dan etnis, dipandang sebagai sesama yang setara dengan diri sendiri dan
menempatkan sesama sebagai saudara. Tindakan-tindakan yang ditujukan kepada sesama,
dipandang sebagai tindakan yang ditujukan kepada diri sendiri.
Berbagi dan menerima merupakan upaya pendampingan pastoral yang sarat dengan nilai-
nilai kolektifitas yang mengintegrasikan individu dan komunitas yang berbeda satu dengan
yang lain dalam suatu kesatuan, dan bersatu dalam perbedaan. Kolektivitas, dalam arti kesa-
tuan hidup bermasyarakat lintas budaya maupun agama termanifestasi dalam sikap dan perila-
ku berbagi dan menerima yang saling menghargai, saling mempercayai dan saling menolong.
Berbagi dan menerima memiliki makna kepedulian karena sebagai mahkluk sosial dan
berbudaya, setiap individu dan komunitas pasti memiliki falsafah hidup dan nilai spiritual
yang berkembang dalam keragaman potensi dan keunikan. Hal tersebut dapat dimodifikasi
dan diintegrasikan menjadi suatu pendekatan pendampingan dengan alasan: pengembangan
perilaku individu dan komunitas tidak pernah berlangsung dalam kevakuman melainkan
selalu ada dalam lingkungan; ada falsafah hidup dan nilai-nilai spiritual yang harus
ditampilkan dalam pendampingan terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat
Indonesia; pendampingan pastoral pada hakikatnya adalah perjumpaan budaya.
Persaudaraan dan Solidaritas
Persaudaraan dan solidaritas berarti menghargai dan menghormati orang lain seperti dirinya
sendiri. Setiap orang dalam suatu komunitas dan masyarakat menganggap dirinya sama dan
bersaudara dengan saling mengutamakan kepentingan sesama yang lain. Menghargai dan
menghormati berarti tidak mementingkan dirinya sendiri, berusaha menjadi orang yang tidak
egois dalam melakukan interaksi tanpa memandang status sosialnya. Menghargai dan
menghormati menjadi prioritas dalam mengarahkan seluruh perilaku hidup individu dan
masyarakat. Tingkah laku individu dan masyarakat terikat oleh kebudayaan, yang dalam
perspektif pendampingan wujudnya terlihat dalam berbagai aturan atau norma yang menjadi
kontrol bagi masyarakat. Kebudayaan adalah proses yang dipelajari dan berkembang serta
nilai-nilai yang ada diambil masyarakat.42 Hal tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang
diatur. Nilai-nilai itu menjadi tolak ukur prilaku individu dalam keterkaitannya dengan

Berger P. I. and Thomas L Lucmann, The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology of
42

Knowledge, 1991.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 57


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

masyarakat. Keunikan yang dimilki setiap individu menjadi kekuatan untuk membangun
relasi antar sesama yang berbeda keyakinan dan budaya.
Dalam pendampingan pastoral, persaudaraan dan solidaritas menempatkan manusia
sebagai mahkluk berbudaya, menjadi pendorong bagi manusia untuk berbuat baik terhadap
sesamanya. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya nilai-nilai hidup yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat sesama (kesetaraan manusia) yang terwujud dalam sikap
solidaritas kemanusiaan. Persaudaraan dan solidaritas menggambarkan hubungan seseorang
dengan sesamanya, harus dipahami dalam konteks perjumpaan budaya, sehingga pendamping
pastoral menyadari bahwa memahami yang didampingi harus melalui budaya yang
didampingi. Sumber penggalian dari tingkah laku yang didampingi berdasarkan hidup
keseharian yang didampingi, yang dipahami dan diinterpretasi dalam konsep budaya yang
didampingi, untuk membuat konstruksi pendampingan dengan memperhatikan kepedulian
terhadap masyarakat dan ekologi disertai pemahaman yang didampingi.
Persaudaraan dan solidaritas memiliki nilai kemanusiaan yang setara. Setiap orang
diperlakukan dengan cara yang betul-betul manusiawi, dengan melakukan kebaikan dan
menghindari kejahatan. Nilai kemanusiaan dengan sendirinya, dapat bertumbuh dan
memberikan manfaat bagi masyarakat secara universal. Nilai kemanusiaan itu tertanam dalam
setiap individu, komunitas dan masyarakat dan tidak dapat direduksi bahkan dirusak oleh
adanya perbedaan dalam agama dan budaya. Nilai kemanusiaan dibangun dalam berbagai
kelompok sosial, entah keluarga, rukun tetangga (RT), rukun warga (RW) bahkan lintas Desa,
menjadi pelopor persaudaraan dan solidaritas sebagai penghambat bagi perilaku kekerasan.
Menemani
Menemani menjelaskan bahwa tugas pendampingan pastoral menjadi pertemanan manusia.
Tugas menemani tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja untuk ikut proses pertemanan.
Sikap pertemanan memampukan yang didampingi untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki pribadi setiap individu maupun komunitas. Potensi yang dapat dilihat dalam
proses tersebut adalah apa yang dapat ditumbuh-kembangkan sebagai kekuatan dalam
melanjutkan kehidupannya, sehingga mereka di dorong kearah pertumbuhan dan
perkembangan secara holistic43. Dengan demikian, pertemanan melaksanakan fungsi-fungsi
pendampingan dengan tujuan utama adalah mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala
aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental dan spiritualnya.
Yang didampingi bertumbuh menjadi manusia yang memahami makna keberadaannya
dalam dunia ini. Tujuan dari pertemanan adalah memampukan yang didampingi untuk
mengembangkan potensi-potensi diri di sepanjang perjalanan hidupnya. Fungsi ini merupakan
suatu proses pendidikan agar yang didampingi memiliki kemampuan yang dianugerahkan
Tuhan, yang dapat dikembangkan untuk kebaikannya di masa depan. Dengan itu, yang
didampingi melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang kelam, menuju kehidupan baru
yang penuh harapan dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.

43
Beek Van Aart, Pendampingan Pastoral, 13-17.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 58


KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), Vol. 6, No. 1, April 2020

IV. Kesimpulan
Pendampingan pastoral dalam konteks Indonesia memiliki arti gotong royong, berbagi rasa
dan saling menerima, persaudaraan yang rukun dan solidaritas serta pertemanan yang saling
menghargai dan menghormati, dengan tujuan mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya, dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Pengembangan potensi dan kualitas hidup terjadi dalam perjumpaan budaya. Budaya yang
dimaksudkan berhubungan dengan pengembangan pola pikir, perasaan dan pola perilaku
pribadi setiap individu maupun komunitas dan masyarakat. Hal tersebut terjadi dalam
kesadaran yang tinggi, untuk memahami bahwa setiap perjumpaan budaya merupakan suatu
proses pendampingan pastoral dalam konteks Indonesia.
Peran pendamping pastoral umumnya sebagai pembimbing dan yang didampingi dalam
rangka pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan untuk peningkatan kualitas kerja
masyarakat yang memberinya makna hidup. Sebagai pembimbing, pendamping pastoral
berperan aktif memberikan edukasi, membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan
informasi, melakukan proses pembelajaran masyarakat. Sebagai yang didampingi,
pendamping pastoral berperan membangun dan mengembangkan jejaring secara internal
dengan sesama profesi ataupun profesi lain yang terkait dengan upaya pemberdayaan
masyarakat. Secara Eksternal, pendamping pastoral berperan membangun jejaring pada
tingkat produksi dan pemasaran, demi kesejahteraan, kebahagiaan dan kesetaraan hidup
masyarakat. Pendamping pastoral berperan utama melakukan pembelajaran kepada
masyarakat, yang berada sejajar dengan masyarakat, dan berperan menemani masyarakat
dalam melaksanakan setiap tahapan proses pemberdayaan. Kesetaraan dalam kolektifitas
mampu untuk mensejahterakan, mendamaikan dirinya dengan sesamanya dalam kebersamaan
sebagai individu, komunitas dan masyarakat. Dengan itu pendampingan pastoral dapat
diartikan sebagai suatu upaya yang setara antara pendamping dengan yang didampingi,
komunitas bahkan masyarakat sebagai pendidikan sepanjang hayat.

Referensi
Adhiputra, Nugraha Agung. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Aleta Baun. “Goldman Environmental Prize Recipient for Islands & Nations.” The Goldman
Enviromental Prize. Last modified 2013. Accessed July 29, 2018.
http://www.rightsandresources.org/documents/files/doc_6039.pdf.
Beek, Van Aart. Konseling Pastoral: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di
Indonesia. Semarang: Satya Wacana, 1987.
———. Pendampingan Pastoral. 5th ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Cavanagh, Michael E. The Counseling Experience: A Theoretical and Practical Approach.
California: Brooks/Cole Publishing Company, 1982.
Ch., Abineno J. L. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010.
Clebsch, William, and Charles Jaekle. Care in Historical Perspective. New Jersey: Prentice-
Hall, 1964.
Clinebell, Howard. Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002.
Darmaputra, Eka. “Agama Dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar.” Jurnal Penuntun 3,
no. 12 (1997).

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 59


Jacob Daan Engel: Pendampingan Pastoral Keindonesiaan

Engel, Jacob Daan. Pastoral Dan Kebutuhan Dasar Pendampingan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016.
Frankl, V. E. Man’s Search for Ultimate Meaning. New York: Perseus Publishing, 2000.
I., Berger P., and Thomas L Lucmann. The Social Construction of Reality : A Treatise in the
Sociology of Knowledge, 1991.
J., Sondakh A. Si Tou Timou Tumou Tou. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Kartadinata, and Sunaryo. Menguak Tabir Bimbingan Dan Konseling Sebagai Upaya
Pedagogis. Bandung: UPI Press, 2011.
Kneller, G.F. Educational Anthropology: An Introduction. New York: John Wiley and Sons,
Inc., 1965.
Krauss, Stephen, and Ralph W Hood Jr. “Religion, Spiritualty, Conducth of Life: Manners
Customs.” International Series in the Psychology of religion 16 (2013): 7–22.
Krisetya, Mesach. Teologi Pastoral. Semarang: PT Panji Graha, 1998.
Lewis, Judith A., Judy A. Daniel, and Michael D. Lewis. Community Counseling: A
Multicultural-Social, Justice Perspective. Belmont: Brooks, 2010.
Milton, Mayeroff. Pendampingan Pastoral Dalam Praktik. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002.
Nazir, M. Research Methods. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Pedersen, Paul. Counseling Across Culture. USA: The University of Hawai, 1980.
Ridley, C. R. “Imperatives for Ethnic and Cultural Relevance in Psychology Training
Programs.” Professional Psychology: Research and Practice, 16 (1985): 611–622.
Robertson, Roland. Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali,
1988.
Rousseau, David. “A Systems Model of Spirituality: Self, Spirituality, and Mysticism.” The
Joint Publication Board of Zygon 49 (2014).
Russell, D. “Religious Values As Cross Cultural Issues In Counseling.” Counseling & Values
36, no. 3 (1992).
Sanchez, Arthur R. Handbook Counseling Of Multicultural. Sage Publication, 2001.
Sara, Paulus Kondo. “Salah Satu Tokoh Masyarakat Di Lembang.” In Wawancara Pdt.
Marthen Betteng. Rantepao, 2016.
Sigilipu, W.L. “Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona I Piamo.” VIBRA, 2015.
Smith, Archie Jr. Indigenous and Cultural Psychology: Where Does Faith Come In?, 2007.
Stoyles, Stanford, and Keating Caputi. “A Measure of Spiritual Sensitivity for Children.”
International Journal of Children’s Spirituality 17, no. 3 (2012).
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2013.
Supriadi. “Pendampingan Lintas Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia.” In Pidato
Pengukuhan Guru Besar UPI. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001.
Swidler, Leonard. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith.”
Journal of Ecummenical Studies 49, no. 3 (2014).
Titaley, John. Nilai-Nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999.

Copyright© 2020; KURIOS, ISSN: 2615-739X (print), 2614-3135 (online) | 60

You might also like