Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan Cirebon
Laporan
Diajukan sebagai Syarat Kelulusan Mata Kuliah Praktik Profesi Lapangan pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam
Oleh
Imam Nur Fattah
1195010059
Laporan
Diajukan sebagai Syarat Kelulusan Mata Kuliah Praktik Profesi Lapangan pada Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam
Oleh
Imam Nur Fattah
1195010059
Disusun oleh:
Imam Nur Fattah
1195010059
Mengetahui:
Tanggal: ...........................
Artikel
Oleh:
Imam Nur Fattah, Asep Achmad Hidayat
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. A.H. Nasution No. 105 Cipadung, Kota Bandung, Jawa Barat
E-mail: imamnurfattah3@gmail.com
Abstrac:
Tradition is a habit from our ancestors that has been passed down from generation to generation
and is still practiced today. On this occasion I will write the results of research on the Long
Amulet Tradition in the Kanoman Palace. This paper will discuss the development of the long
tradition of talismans from 2015-2021. The long tradition of talismans is a tradition that is
routinely carried out every year in the month of Maulid as a commemoration of the Birthday of
the Prophet Muhammad. At this writing, the author uses historical research methods. According
to Prof. Dr. H. Sulasman, M. Hum in his book entitled "Historical Research Methods" there are 4
steps in conducting historical research methods. The 4 steps of the historical research method
are, Heuristics, Criticism, Interpretation and Historiography. The Kanoman Palace was built by
Prince Muhamad Badrudin Kartawidjaya in 1588 AD. Prince Kartawidjaya, who received the
title Sultan Anom, founded the Kanoman Palace, which was built as the former house of Prince
Cakrabuana when he arrived in Tegal Alang-alang. Kanoman Palace has a lot of unique and
interesting diversity of traditions if discussed. One of them is the Long Amulet Tradition which
is routinely held in the month of Mawlid (if the hijriyah counts) as a form of commemoration of
the Birthday of the Prophet Muhammad SAW. The long tradition of amulets is a sacred
ceremony where this event is carried out by people in groups. This tradition is carried out every
night on the 12th of Rabiul Awal as a form of commemoration of the birthday of the Prophet
Muhammad. Long Amulet comes from 2 words, long which means sustainable while talisman
means heirloom or sacred object.
Keywords: Tradition, Kanoman Palace, History
Abstrak:
Tradisi adalah kebiasaan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dan masih
dilakukan sampai sekarang. Pada kesempatan kali ini saya akan menulis hasil penelitian tentang
Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kanoman. Tulisan ini akan membahas perkembangan tradisi
panjang jimat dari tahun 2015-2021. Tradisi panjang jimat adalah tradisi yang rutin dilakukan
setiap tahun pada bulan Maulid sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada penulisan
kali ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Menurut Prof. Dr. H. Sulasman, M. Hum di
dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Sejarah” ada 4 langkah dalam melakukan metode
penelitian sejarah. 4 langkah metode penelitian sejarah tersebut yang yaitu, Heuristik, Kritik,
Interpretasi dan Historiografi. Keraton Kanoman dibangun oleh Pangeran Muhamad Badrudin
Kartawidjaya pada tahun 1588 M. Pangeran Kartawidjaya yang mendapat gelar Sultan Anom
tersebut mendirikan Keraton Kanoman dibangunan bekas rumah Pangeran Cakrabuana saat baru
tiba di Tegal Alang-alang. Keraton Kanoman memiliki banyak keanekaragaman tradisi yang unik
dan menarik jika dibahas. Salah satunya adalah Tradisi Panjang Jimat yang rutin digelar pada bulan
Maulid (jika hitungan hijriyah) sebagai bentuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi
panjang jimat adalah sebuah upacara yang sakral dimana acara ini dilakukan oleh orang-orang
secara beramai-ramai. Tradisi ini dilakukan setiap malam tanggal 12 Rabiul Awal sebagai bentuk
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Panjang Jimat berasal dari 2 kata, panjang yang
berarti lestari sedangkan jimat memiliki arti pusaka atau benda yang dikeramatkan.
PENDAHULUAN
Tradisi adalah kebiasaan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dan
masih dilakukan sampai sekarang (Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI)). Indonesia adalah
negara yang heterogen (beraneka ragam). Kehetrogenan Indonesia tidak bisa terlepas dari
sejarahnya yang sangat panjang. Indonesia merupakan negara yang terletak di tengah-tengah
jalur Sutera (jalur perdagangan). Disamping itu, Indonesia merupakan negara yang memiliki
kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini menyebabkan Indonesia banyak dikunjungi
oleh bangsa-bangsa lain. Karena hal itu pula Indonesia banyak berinteraksi dengan bangsa-
bangsa lain.
Agama kepercayaan bangsa Indonesia sebelum masuknya Hindu-Budha adalah Animisme
dan Dinamisme. Baru setelah munculnya kerajaan Tarumanegara, agama Hindu-Budha mulai
menyebar di Indonesia. Setelah Hindu-Budha, Islam masuk sebagai agama yang baru di
Indonesia. Ada beberapa teori tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu ada teori Cina, Persia,
Arab dan India (Gujarat). Setiap teori ini didukung oleh bukti-bukti yang ditemukan sebagai
penguat daripada teori tersebut (Agus, 2006). Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan
cara yang unik. Jika di timur tengah banyak terjadi peperangan untuk menyebarkan agama Islam,
maka di Indonesia tidak seperti halnya di timur tengah. Akulturasi menjadi salah satu penyebaran
agama di Indonesia. Hal ini terjadi karena pengaruh kepercayaan bangsa Indonesia yang kuat
sebelum Islam masuk ke Indonesia. Maka dari itu banyak terjadi budaya-budaya baru di
Indonesia yang merupakan hasil dari akulturasi antara agama Islam dan kepercayaan
sebelumnya. Maka jangan heran apabila Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di negeri-
negeri muslim lainnya. Tan Malaka dalam bukunya “Aksi Massa” Menyebutkan bahwa “Islam
di Indonesia bukan Islam Arab, bukan Islam Persia dan lain sebagainya, akan tetapi Islam di
Indonesia adalah Islam Indonesia yang berbeda dengan Negeri lainnya”. (Malaka, 2018)
Dari apa yang dijabarkan di atas, bisa disimpulkan faktor penyebab banyaknya tradisi, ras,
agama, suku, bahasa dan lain sebagainya di Indonesia. Salah satu wilayah yang masih
melestarikan tradisi saat ini adalah Cirebon. Cirebon memiliki tradisi dan budaya yang sangat
unik dan beragam. Namun, di masa saat ini, tradisi-tradisi mulai terkikis karena perkembangan
era globalisasi yang tidak bisa dibendung. (Muhaimin, 2001)
Saat ini kita sudah memasuki Revolusi Industri 4.0. Semenjak internet ditemukan,
pekerjaan-pekerjaan manusia menjadi lebih mudah dan efisien. Hal ini menjadi sisi positif bagi
manusia yang mana manusia mampu melakukan pekerjaan lebih mudah dan singkat. Akan tetapi,
disamping internet memiliki manfaat yang banyak bagi manusia, internet juga memiliki dampak
yang negatif. Munculnya internet merubah kehidupan manusia secara drastis. Dampak negatif
dari hadirnya internet adalah banyak hal-hal asing yang masuk ke masyarakat Indonesia. Hal ini
menjadi permasalahan sendiri khususnya dikalangan kaum muda bangsa Indonesia. Kaum muda
dengan sangat mudahnya terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang sangat berbalik dengan
budaya di Indonesia. Hal ini juga mengakibatkan tradisi-tradisi dan budaya tradisional di
Indonesia mulai terkikis. Apabila tradisi masyarakat tradisional Indonesia sudah tidak menjadi
daya tarik dikalangan pemuda bangsa maka lambat laun tidak ada yang menjadi tonggak penerus
dan penjaga kelestarian tradisi bangsa Indoneisa. (Andrew, 2018)
Seperti yang diketahui, bahwasannya Indonesia memiliki beragam budaya lokal. Hal ini
terjadi akibat sejarah Indonesia yang panjang sehingga memberikan dampak yang sekarang
terjadi. Hal yang terjadi sekarang adalah bahwa Indonesia adalah negara yang heterogen.
Berbagai suku, ras, agama, bahasan dan lain-lain bercampur di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satu tradisi Indonesia yang masih bisa dijumpai adalah tradisi panjang jimat di
Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. (Muhaimin, 2001)
Dari apa yang telah dijelaskan pada paragraf di atas maka penulis akan menuliskan hasil
penelitiannya tentang tradisi, khususnya di daerah Cirebon. Pada kesempatan kali ini saya akan
menulis hasil penelitian tentang Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kanoman. Tulisan ini akan
membahas perkembangan tradisi panjang jimat dari tahun 2015-2021. Tradisi panjang jimat
adalah tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun pada bulan Maulid sebagai peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Tradisi panjang jimat adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat keraton di Cirebon.
Penulis mengambil tema pada kali ini karena sudah banyak literatur-literatur yang menulis
tentang tradisi panjang jimat di Keraton Kasepuhan. Hal ini perlu diperhatikan karena Keraton
Kanoman juga memiliki peran penting dalam pelestarian tradisi dan budaya serta menjadi bukti
sumber sejarah di Kota Cirebon. Selain itu, penulis berharap penelitian ini bisa menjadi literatur
sebagai salah satu bentuk pemahaman untuk generasi muda supaya tidak melupakan tradisi serta
menambah cinta tanah air dengan kearifan lokalnya.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Alasan penulis
menggunakan metode penelitian sejarah adalah karena penelitian ini juga akan membahas
sejarah keraton kanoman, tradisi-tradisi yang ada di keraton kanoman Cirebon serta
perkembangan yang terjadi selama 5 tahun terakhir terakait tradisi ini dan perkembangan yang
terjadi dimasyarakat sekitar.
METODE PENELITIAN
Untuk melakukan penulisan ini, penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber
data yang terperinci. Selain itu, agar penulis dapat menulis hasil penelitian ini dengan sumber
yang mendalam terkait apa yang dibahas dalam penelitian ini. Pada penulisan kali ini, penulis
menggunakan metode penelitian sejarah. Menurut Prof. Dr. H. Sulasman, M. Hum di dalam
bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Sejarah” ada 4 langkah dalam melakukan metode
penelitian sejarah. 4 langkah metode penelitian sejarah tersebut yang yaitu, Heuristik, Kritik,
Interpretasi dan Historiografi. (Sulasman, 2014)
Selain itu, penulis menggunakan metode penelitian secara kualitatif dengan melakukan
wawancara terhadap narasumber-narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain
dengan wawancara, penulis juga mengamati keadaan sosial masyarakat untuk mengetahui
perkembangan yang terjadi di masyarakat sekitar Keraton Kanoman. (Sulasman, 2014)
Heuristik
Heuristik adalah tahapan pertama dalam melakukan penelitian sejarah. Dalam bukunya
Prof. Dr. Sulasman, M. Hum (Metode Penelitian Sejarah), Heuristik adalah tahapan
pengumpulan sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah. Sumber sejarah terbagi menjadi 2 macam,
yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber yang didapatkan langsung oleh
orang yang bersangkutan mengenai peristiwa yang terjadi. Sedangkan sumber sekunder adalah
sumber yang didapatkan melalui perantara dari orang yang bersangkutan. (Sulasman, 2014)
Dalam penelitian ini, penulis berhasil menemukan sumber primer berupa buku, manuskrip
dari keraton dan hasil wawancara kepada pedagang dan pengurus keraton terkait perkembangan
tradisi panjang jimat selama 5 tahun terakhir. Sedangkan sumber sekunder penulis berhasil
mengumpulkan bahan bacaan dari internet yaitu jurnal, website dan blog. Untuk melakukan
penulisan terhadap penelitian ini, penulis perlu mengupulkan bahan-bahan tersebut agar bisa
meneruskan ke tahapan metode penelitian selanjutnya.
Kritik
Kritik adalah tahapan kedua dalam metode penelitian sejarah. Kritik adalah tahapan
dimana penulis mengkritisi atau menguji keabsahan, kredibilitas dari sumber-sumber yang telah
dikumpulkan dan dipahami (Sulasman, 2014). Tahapan kritik juga terbagi menjadi 2 yaitu kritik
intern dan kritik ekstern. Kritik intern adalah menguji keabhasan dari sumber yang berkaitan
dengan sumber sejarah. Sedangkan kritik ekstern adalah tahapan pengujian keabsahan dari isi
sejarah tersebut.
Interpretasi
Interpretasi adalah tahapan ketiga dalam metode penelitian sejarah. Interpretasi adalah
hasil buah fikir, konklusi atau kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap penelitian yang
dilakukan (Sulasman, 2014). Setelah mengumpulkan sumber yang berkaitan dan menguji
kredibilitas serta keabhsahan sumber tersebut maka penulis mendapat pemahaman mengenai apa
yang ingin diteliti.
Historiografi
Historiografi adalah tahapan keempat dalam metode penelitian sejarah. Historiografi
adalah cara menyusun atau menuliskan hasil dari penelitian kedalam tulisan. Dalam hal ini, hasil
penelitian disusun sedemikian rupa secara terususun (Sulasman, 2014). Tahapan ini juga
menyampaikan hasil-hasil penelitian melalui rekonstruksi dan imaginatif penulis berdasarkan
sumber yang telah ditemukan kemudian diuji keabhasan dan kredibilitasnya serta buah hasil
pemikiran penulis.
Pendekatan Kualitatif
Selain menggunakan tahapan metode penelitian sejarah, penulis juga menggunakan
pendekatan kualitatif untuk mengetahui perkembangan yang terjadi pada tradisi panjang jimat di
keraton Kanoman serta dampak terhadap masyarakat sekitarnya. Pendekatan kualitatif adalah
pendekatan melalui pengamatan yang terjadi pada masyarakat untuk mengetahui perkembangan
yang terjadi. Untuk melakukan hal tersebut, peneliti melakukan wawancara terhadap masyarakat
sekitar yaitu pedagang dan terhadap pengurus/pengelola keraton Kanoman. (Moeloeng, Lexy J.,,
2000)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kota Cirebon
Cirebon berasal dari dua kata yaitu cai dan rebon. Cai berarti air dan rebon adalah udang
rebon, jadi apabila disatukan akan menjadi kalimat Cirebon yang memiliki arti Air Rebon.
Cirebon merupakan wilayah yang termasuk dalam provinsi Jawa Barat. Cirebon terletak pada
bagian timur provinsi Jawa Barat yang berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah. Cirebon
berbatasan dengan berbagai wilayah, sebelah utara dengan Indramayu, sebelah Barat dengan
Majalengka, sebelah selatan dengan Kuningan dan sebelah timur dengan Brebes. Cirebon juga
disebut dengan kota udang dikarenakan mata pencaharian masyarakat Cirebon sebagai nelayan
dan juga laut Cirebon terdapat banyak udang. Selain itu Cirebon juga bisa disebut sebagai kota
wali. Hal itu disebabkan ada salah satu walisongo yang menjadi sultan kerajaan Islam Cirebon
yakni Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah). Ada satu sebutan lagi untuk kota ini, yaitu
kota transit. Cirebon dikenal juga dengan sebutan kota transit hal ini disebabkan karena Cirebon
terletak diwilayah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mengakibatkan Cirebon
menjadi salah satu jalur mudik masyarakat dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
(Jayanti, 2017)
Letaknya yang strategis membuat Cirebon menjadi kota yang sibuk dengan aktivitas
masyarakat yang padat. Penduduk Kota Cirebon sebagian besar berprofesi sebagai nelayan
karena letaknya yang disamping laut. Penduduk Cirebon memanfaatkan hasil laut untuk
membangkitkan perekonomian masyarakat. Selain itu, karena posisi wilayah Cirebon yang
berada di jalur Pantura yang sering dilalui banyak masyarakat pemudik, Penduduk Cirebon juga
memanfaatkan keadaan tersebut untuk menambah mata pencahariannya. Diantaranya yaitu
banyak pedagang kaki lima yang berjajar di samping jalan dan juga banyak dibangun hotel-hotel.
Cirebon juga merupakan wilayah industri, hal ini terlihat dari banyaknya pabrik-pabrik yang
berdiri di Cirebon. Hal lain yang menjadi daya tarik adalah banyaknya tradisi-tradisi dan juga
pelestarian budaya khas Cirebon, diantaranya ada batik, gerabah, tarian tradisional, keraton-
keraton dan lain sebagainya. Keadaan ini menjadikan kesempatan untuk masyarakat Cirebon
untuk memenuhi ekonomi dalam kebutuhan sandang, pangan dan papan. (Jayanti, 2017)
Dalam sejarahnya, Cirebon merupakan wilayah yang termasuk dalam jalur perdagangan.
Sampai saat ini pun pelabuhan Kota Cirebon masih berfungsi sebagai jalur pengiriman dan
pengambilan batu bara. Sekitar tahun 1400 M, ketika Islam sudah menyebar di Cirebon dan
kesultanan Cirebon sudah berdiri (dipimpin oleh pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu
Sangkan Cirebon atau Raden Wlangsungsang) Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam
dan pusat perdagangan. Keadaan tersebut membuat banyak imigran atau bangsa asing yang ingin
melakukan jual beli atau belajar agama Islam singgah di Cirebon. Bangsa-bangsa tersebut
diantaranya ada bangsa Cina, India, Persia, Syam, Eropa dan lain sebagainya. Selain bangsa luar,
banyak juga masyarakat luar Cirebon yang menetap di Cirebon, diantaranya ada penduduk dari
Sumatera, Sunda dan Jawa. (Solikhah, 2015)
Dari apa yang terjadi pada masa lampaunya, tidak heran jika di masa sekarang Cirebon
menjadi wilayah yang memiliki banyak sekali tradisi lokal dan Islam. Faktor penyebabnya tidak
lain karena banyaknya imigran yang pindah ke Cirebon dengan budayanya, Penduduk asli
Cirebon dengan budayanya dan juga cara penyebaran agama Islam. Penyebaran agama Islam di
Cirebon dilakukan secara damai oleh Sunan Gunung Jati dan tokoh-tokoh penyebar Islam pada
masanya yang mana dengan cara pernikahan, perdagangan, tasawuf dan akulturasi antara budaya
lokal dengan Islam. (Rochani, 2008)
Bukti daripada Kesultanan Cirebon juga masih ada yaitu berupa bangunan-bangunan Islam
seperti masjid, keraton dan lain sebagainya. Daerah Lemawungkuk pernah menjadi pusat Ibu
Kota Kesultanan Cirebon. Wilayah tersebut merupakan pusat dari kesultanan Cirebon. Wilayah
tersebut juga memiliki bukti sejarah bahwa pernah menjadi pusat peradaban kesultanan Cirebon
diantaranya ada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan,
Keraton Kacirebonan dan juga alun-alun keraton. Pada kesempatan ini yang akan dibahas
penulis adalah tentang Keraton Kanoman dan tradisi panjang jimatnya. (Salana, 1987)
2. Sejarah Keraton Kanoman
Keraton berasal dari kata Ratu yang mendapatkan imbuhan kata ke dan an. Jika
digabungkan maka akan terbentuk kata Keratuan yang artinya tempat raja atau ratu serta selir
dan jajarannya. Pengertian keraton lebih jelasnya adalah keraton merupakan kerajaan atau
sebuah negara. Keraton sebagai tempat dari sang pemimpin dan sebagai sarana penyelengaraan
kepemimpinan serta keraton memiliki fungsi atau peran sebagai untuk mengembangkan sumber
daya manusia yang berada dalam wilayah kekuasaan dari suatu kerajaan. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas bahwasannya Cirebon memiliki bukti sejarah terkait kesultanan Cirebon
berupa 3 keraton yang masih utuh, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton
Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut dari silsilahnya masih terhubung dengan Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). (Lasmiyanti, 2013)
Jika ditarik kebelakang mengenai sejarah terbentuknya Keraton Kanoman maka akan
tersambung kepada sejarah Kesultanan Cirebon. Pada awal abad ke 15 M, Pangeran Cakrabuana
(Raden Walangsungsang) yang merupakan anak pertama dari Sri Baduga (Pamanah Rasa / Prabu
Siliwangi) dan Nyai Subanglarang berhasil mengubah sebuah wilayah kecil yang bernama Tegal
Alang-alang menjadi sebuah wilayah Nagari yang terdiri dari beberapa desa. Pada waktu itu pula
Pangeran Walangsungsang diberi hak otonomi daerah oleh Prabu Siliwangi dikarenakan
Pangeran Walangsungsang memiliki pasukan keamanan di tiga pelabuhan besar yang
dikuasainya yaitu pelabuhan Muara Jati, pelabuhan Jepara dan pelabuhan Caruban. Selain diberi
hak otonom oleh Prabu Siliwangi, Pangeran Walangsungsang juga diberi gelar “Sri Mangana”
dan hak politik untuk mengatur wilayah Caruban Larang. Akan tetapi Pangeran Walangsungsang
masih harus mengirim upeti hasil wilayahnya kepada kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh
Prabu Siliwangi. (Jayanti, 2017)
Tepat pada tahun 1479, Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) turun dari tahta
kesultanan Cirebon. Pangeran Walangsungsang menunjuk keponakannya yaitu Sunan Gunung
Jati (Syarif Hidayatullah). Sunan Gunung Jati merupakan anak dari Nyai Rarasantang yang
menikah bersama seorang bangsawan dari Arab bernama Maulana Sultan. Nyai Rarasantang juga
merupakan anak kedua dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang. Anak Prabu Siliwangi dan
Nyai Subanglarang ada 3, yang pertama ada Pangeran Walangsungsang, yang kedua adalah Nyai
Rarasantang dan yang ketiga adalah Raden Kian Santang. Jadi, Sunan Gunung Jati adalah
keponakan dari Pangeran Walangsungsang dan merupakan cucu dari Prabu Siliwangi. (Rochani,
2008)
Setelah tahta Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Sunan Gunung Jati, maka Sunan
Gunung Jati menjadi satu-satunya Walisongo yang menjadi Sultan atau Raja. Setelah diangkat
menjadi Raja di Kesultanan Cirebon, berita ini tersiar sampai kerajaan Islam di Jawa Tengah
yaitu Kerajaan Demak. Sunan Gunung Jati kemudian diberi gelar “Panetep Panagama” di tatar
tanah Sunda. Setelah kenaikannya dan diberi gelar, Sunan Gunung Jati mendapat panggilan dari
Raja Kerajaan Demak yaitu Raden Fatah. Undangan tersebut dimaksudkan kepada Sunan
Gunung Jati agar beliau membantu dalam pembangunan masjid Demak yang mana masjid ini
dibangun oleh para wali (Walisongo). Sunan Gunung Jati mendapat bagian yang istimewa yaitu
menetapkan 4 saka (tiang) penyanggah di masjid Agung Demak yang biasa disebut “Soko
Guru”. 4 tiang tersebut masing-masing dipegang oleh Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan
Bonang dan Sunan Gunung Jati. (Yayasan Mitra Kebudayaan Indonesia, 1982)
Setelah selesai membantu dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati
kembali ke Cirebon dan melanjutkan tanggungjawabnya sebagai Tumenggung (Sultan)
Kesultanan Cirebon. Beliau juga langsung menjalankan program-program yang telah disusun
dan direncanakan. Beliau berhasil melaksanakan program-programnya dengan lancar. Seketika,
beliau juga mempunai keinginan agar membuat Masjid Agung Cirebon. Kemudian beliau
memrintahkan seorang utusan ke Kerajaan Demak dan waliyullah lainnya untuk meminta saran
dan tanggapannya atas apa yang direncanakan. Raden Fatah selaku Sultan Kerajaan Demak dan
waliyullah yang lain setelah menerima berita tersebut merespon dengan baik. Raden Fatah
langsung mengirim arsitek terbaiknya dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Sepat untuk
membantu merancang desain Masjid Agung Cirebon. Bukan hanya Raden Sepat, pembangunan
Masjid Agung Cirebon juga dibantu langsung oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Setelah
pembangunan Masjid Agung Cirebon sudah berdiri, masjid tersebut diberi nama Masjid Agung
Sang Cipta Rasa. Raden Sepat bukan hanya berperan dalam pembangunan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa, beliau juga berkontribusi dalam pembangunan jalan Pasambangan dan perluasan
Keraton Pakungwati. Hal ini membuat hubungan politik antara Kesulatan Cirebon dan
Kesultanan Demak menjadi lebih erat dan lebih baik. Terelebih lagi ketika Sunan Gunung Jati
dinikahkan dengan puteri dari Raden Fatah selaku Sultan Kesultanan Demak. Sunan Gunung Jati
wafat pada tahun 1568 dan posisinya sebagai tumenggung digantikan oleh puteranya yang
bernama Panembahan Ratu. (Sunardjo, 1983)
Ketika Panembahan Ratu telah menjadi tumenggung, Cirebon sudah tertata rapih dan stabil
dlam pemerintahannya. Di dalam segi perdagangan pun Cirebon sudah banyak mengeluarkan
barang-barang produksi seperti garam, trasi, udang dan hasil laut lainnya. Kemakmuran
Kesultanan Cirebon didukung oleh pelabuhan yang menjadi tempat bersinggahnya antar
pedagang yaitu pelabuhan Muara Jati. Dalam hal berpolitik. Sultan Panembahan Ratu memiliki
sifat pribadi yang cinta perdamaian. Panembahan Ratu dalam masa kepemimpinannya banyak
menjalin hubungan politik persahabatan dengan kerajaan kerajaan lain. Hal ini menjadikan faktor
penyebab penyebaran agama Islam yang semakin pesat di Cirebon dan wilayah-wilayah
sekitarnya. Sultan Panembahan Ratu juga memiliki sifat rendah hati, ketika beliau menjalin
kerjasama dengan kerajaan Mataram yang pada waktu itu di bawah kepemimpinan Sultan
Agung, Sultan Agung kagum dengan sifatnya dan beliau menganggap Panembahan Ratu sebagai
gurunya. (Sunardjo, 1983)
Pada tahun 1649, Sultan Panembahan Ratu meninggal dunia dan digantikan oleh puteranya
yaitu Pangeran Karim. Pangeran Karim kemudian menikah dengan adik dari sultan Amangkurat
I. Sultan Amangkurat I adalah penerus kerajaan Mataram setelah Sultan Agung meninggal.
Sultan Amangkurat I merupakan putera dari Sultan Agung. Setelah menikah dengan adik dari
Sultan Amangkurat I, Pangeran Karim dikaruniai 3 anak laki-laki yaitu Pangeran Kartawidjaya,
Pangeran Martawidjaya dan Pangeran Wangsakerta. (Sunardjo, 1983)
Berbeda dengan ayahnya yaitu Sultan Agung, Sultan Amangkurat I memliki sifat yang
sangat berbeda. Sultan Amangkurat I memiliki sifat yang angkuh dan bahkan tidak segan kepada
orang-orang yang tidak mau tunduk serta patuh kepada dirinya. Keadaan ini menjadi kesempatan
oleh orang-orang Belanda untuk menjadikan kesempatan menghancurkan kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Sultan Amangkurat I dimanfaatkan oleh penjajah Belanda dan Belanda mulai
menyebarkan berita bohong untuk melancarkan politik adu dombanya. Pada mulanya, Belanda
menyebarkan isu bahwasannya kerajaan Banten akan menyerang kerajaan Mataram. Percaya
akan hal itu, Sultan Amangkurat I langsung membujuk Pangeran Karim agar menyerang
kerajaan Banten. Mendengar hal tersebut, Pangeran Karim menolak ajakan dari Sultan
Amangkurat I dengan dalih bahwasannya Kerajaan Banten masih satu keturunan dengan dirinya
yaitu dari Sunan Gunung Jati. (Sunardjo, 1983)
Menolak untuk menyerang Kerajaan Banten, Pangeran Karim dipanggil menghadap oleh
Sultan Amangkurat I ke kerajaan Mataram. Pangeran Karim memenuhi panggilan Sultan
Amagkurat I tersebut. Pangeran Karim datang ke Kerajaan Mataram bersama dengan puteranya
yaitu Pangeran Martawidjaya dan Pangeran Kartawidjaya. Setelah memenuhi panggilan Sultan
Amangkurat I tersebut, Pangeran Karim tinggal di Kerajaan Mataram selama 12 tahun. Tanpa
sebab yang jelas setelah 12 tahun tinggal di Kerajaan Mataram, Pangeran Karim meninggal
dunia. Pangeran Karim dikuburkan di pemakaman Bukit Girilaya. Pemakaman ini bukan
pemakaman raja-raja Mataram Yogyakarta sebelumnya. Dari situlah Pangeran Karim lebih
dikenal dengan sebutan Pangeran Girilaya. (Radjiman, 1984)
Dengan wafatnya Pangeran Karim sebagai tumenggung Kesultanan Cirebon maka terjadi
kekosongan kekuasaan di Cirebon. Anak ketiga dari Pangeran Karim yaitu Pangeran
Wangsakerta kemudian langsung menghubungi Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan
Ageng Tirtayasa untuk meminta bantuan menemukan saudara-saudaranya yang masih berada di
Kerajaan Mataram. Karena kesultanan Banten memiliki ikatan persaudaraan yang erat dan
keturunan yang sama yaitu Sunan Gunung Jati, Sultan Ageng Tirtayasa langsung bertindak.
Sultan Ageng Tirtayasa langsung berangkat menuju Kota Kediri dari Banten menggunakan kapal
perang yang ditumpanginya. Sultan Ageng Tirtayasa menuju Kediri memiliki tujuan untuk
menjalin kerjasama dan meminta bantuan kepada Trunojoyo agar bisa menemukan keberadaan
dari Pangeran Kartawidjaya dan Pangeran Martawidjaya. Jalinan kerjasama dengan Trunojoyo
membuahkan hasil yang mengagumkan. Trunojoyo berhasil menemukan keberadaan kedua anak
Pangeran Karim di Kerajaan Mataram. Kemudian, setelah berhasil menemukan apa yang dicari,
Pangeran Kartawidjaya dan Pangeran Martawidjaya dibawa ke Kesultanan Banten oleh Sultan
Ageng Tirtayasa. Kemudian, Pangeran Kartawidjaya dan Martawidjaya dikembalikan kembali
ke Kesultanan Cirebon. (Radjiman, 1984)
Terkait apa yang telah dibantu oleh Kesultanan Banten dan kerabat Kesultanan Cirebon
yang lainnya maka terjadi perpecahan di Keraton Pakungwati. Keraton Pakungwati terbagi
menjadi 2 keraton, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Setelah pembagian tersebut,
Sultan Ageng Tirtayasa memberikan gelar kepada Pangeran Martawidjaya sebagai Sultan Sepuh
yang menduduki Keraton Kasepuhan dan Pangeran Kartawidjaya sebagai Sultan Anom yang
menduduki Keraton Pakungwati bersama keluarganya. Sultan Anom menduduki Keraton
Pakungwati yang mana tempat tersebut adalah rumah dari Pangeran Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana) yang pada masa itu baru datang ke Tegal Alang-alang (Kebon Pesisir). Sekarang
Keraton tersebut dikenal dengan nama Keraton Kanoman. Sultan Anom memiliki arti Sultan
Muda dan Sultan Sepuh memiliki arti Sultan Tua. (Atja, 1972)
Keraton Kanoman dibangun oleh Pangeran Muhamad Badrudin Kartawidjaya pada tahun
1588 M. Pangeran Kartawidjaya yang mendapat gelar Sultan Anom tersebut mendirikan Keraton
Kanoman dibangunan bekas rumah Pangeran Cakrabuana saat baru tiba di Tegal Alang-alang.
Keraton Kanoman berlokasi di Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota
Cirebon. Lokasi dari Keraton Kanoman sebenarnya tidak jauh dari lokasi Keraton Kasepuhan.
Keraton Kanoman memiliki luas tanah sekitar 175.500 meter kubik. Keraton Kanoman dibangun
dengan bagian depan menghadap ke Utara sebagai lambang pusat bumi yang selalu menjadikan
utara sebagai patokan arah. (Atja, 1972)
Ketika memimpin sebagai Sultan Keraton Kanoman, Sultan Kartawidjaya memberikan
usul kepada saudaranya yang berada di Banten yaitu Sultan Ageng Tirtayasa agar keturunannya
juga mendapat gelar sultan. Selain kepada Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Kartawidjaya juga
meminta izin kepada Gubernur Batavia. Kedua orang ini pun menyetujui permohonan dari
Sultan Kartawidjaya agar keturunannya tetap menyandang gelar sultan Anom sebagaimana
mestinya. Sultan Kartawidjaya meninggal dunia pada usia 99 tahun (1703) dikarenakan sakit dan
kemudian digantikan oleh puteranya yaitu Sultan Purudin atau dikenal dengan Sultan Khaerudin
dan mendapat gelar Sultan Anom II. Sistem ini terus berlanjut sampai sekarang Keraton
Kanoman dipimpin oleh Sultan Anom XII yaitu Pangeran Raja Muhammad Emirudin. (Atja,
1972)
3. Peninggalan di Keraton Kanoman (Benda dan Tradisi) Yang Dirawat Sampai Saar ini
Keraton Kanoman sampai saat ini masih berdiri kokoh dan masih utuh sebagai salah satu
bentuk bukti sejarah yang terjadi pada masa lampau di Cirebon. Ada banyak sekali benda-benda
sakral dan keramat yang sampai saat ini masih dijaga dan dirawat oleh pengurus Keraton.
Meskipun tidak semegah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman juga memiliki ciri khas dan
daya tarik tersendiri. Adapun benda-benda yang masih terjaga sampai saat ini yaitu:
a. Lumpang Alu
Berdasarkan wawancara dengan pengurus keraton Kanoman bernama Bapak Udin,
Lumpang Alu adalah alat pembuatan terasi tradisional yang masih ada sampai saat ini. Alat ini
menjadi bukti sejarah bahwa Cirebon pada zaman dahulu sudah mampu untuk memproduksi
terasi sendiri sebagai ciri khas Cirebon dan juga sebagai bahan produksi yang dijual kepada
penduduk pendatang yang ada di Cirebon.
b. Bangsal Witana
Selanjutnya adalah wawancara dengan pengurus keraton Kanoman yang lain, yaitu bapak
Yufus, beliau mengatakan bahwa Benda selanjutnya yang masih terjaga adalah Bangsal Witana.
Bangsal Witana adalah sebuah bangunan yang didirkan oleh Ki Gede Alang-alang. Bangsal
Witana didirikan oleh Ki Gede Alang-alang sekitar abad ke 14 M. Pada saat itu bangunan ini
hanya berbentuk seperti saung yang disanggah oleh 4 soko atau tiang dan memiliki arti “Empat
Kelima Pancer”.
Masih banyak lagi bangunan-bangunan yang terdapat di Keraton Kanoman serta masih
dilestarikan, dirawat sampai saat ini. Selain berupa wujud bangunan, Keraton Kanoman juga
memiliki tradisi yang masih dijaga dan rutin dilakukan setiap tahun pada bulan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Tradisi Panjang Jimat adalah tradisi yang dimaksud yang mana masih terus
dilakukan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sampai saat ini.
4. Tradisi Panjang Jimat Keraton Kanoman Cirebon
Keraton Kanoman memiliki banyak keanekaragaman tradisi yang unik dan menarik jika
dibahas. Salah satunya adalah Tradisi Panjang Jimat yang rutin digelar pada bulan Maulid (jika
hitungan hijriyah) sebagai bentuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi panjang
jimat adalah sebuah upacara yang sakral dimana acara ini dilakukan oleh orang-orang secara
beramai-ramai. Tradisi ini dilakukan setiap malam tanggal 12 Rabiul Awal sebagai bentuk
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Panjang Jimat berasal dari 2 kata, panjang
yang berarti lestari sedangkan jimat memiliki arti pusaka atau benda yang dikeramatkan. Apabila
digabungkan, panjang jimat memiliki arti melestarikan pusaka yang ditinggalkan oleh leluhur
kita sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Tradisi ini dilaksanakan secara bersamaan
oleh 3 keraton di Cirebon, yaitu Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan dan Keraton
Kacirebonan. Selain keraton, tradisi panjang jimat juga dilakukan di makam Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) pada waktu yang bersamaan. (PT. Bhineka Sangkuriang
Transport, 2017)
Puncak acara panjang jimat pada tanggal 12 Rabiul awal malam hari, malam ini biasa
disebut juga oleh masyarakat sekitar sebagai malam pelal. Ritual panjang jimat diawali dengan
mengarak barang yang memiliki filosofi. Misalnya, ada barisan orang yang berparade dengan
tujuh jenis beras dan jimat dari distrik Ginem, di mana Sultan dimahkotai di kapel masjid beras
dan istana. Makna filosofis maulid Nabi saw, disimbolkan dengan jimat ini. Nasi Jimat buah pir
sendiri berasal dari beras yang telah disikat selama setahun (proses mengupas beras dengan
tangan dan mulut) oleh seorang abdi dalem wanita yang telah memutuskan untuk tidak menikah
seumur hidupnya, atau dikenal juga dengan sebutan Sunti Perawan. (PT. Bhineka Sangkuriang
Transport, 2017)
Nasi Jimat didampingi oleh 200 baris abdi dalem yang masing-masing membawa lambang
tertentu. Seperti lilin yang berarti seperti cahaya, dan Nadaran, Palungan, dan Hati adalah
simbol betapa agung dan agungnya Nabi Muhammad Thor lahir pada saat itu. Kemudian, di
belakang mereka yang menyebabkan penyakit jantung dan sejenisnya, ada barisan jamaah yang
membawa cairan ketuban bayi, air mawar yang melambangkan ari-ari, dan bunga-bunga elastis.
Baris berikutnya adalah abdi dalem yang membawa air sorbet yang disimpan dalam dua vas yang
melambangkan darah kelahiran bayi. Selanjutnya, ada empat nampan yang melambangkan
empat unsur yang ada pada manusia: angin, tanah, api, dan air. Berawal dari Bansal Prabayaksa,
konvoi ini menuju satu tempat, Langger Agang. Di sana, penjaga yang membawa obor, yang
bisa diartikan sebagai kemunculan paman Nabi Abutalib saat melahirkan keponakannya,
disambut. Kemudian ia tumbuh menjadi orang besar yang membawa perintah ilahi untuk
menyebarkan Islam. (PT. Bhineka Sangkuriang Transport, 2017)
Setibanya di sana, tujuh jenis nasi amulet dibuka dan disajikan bersama makanan lainnya,
termasuk yang disimpan di 38 piring pusaka. Pusaka ini merupakan peninggalan Sunan
Gunungjati dan dikenal paling bersejarah dan paling suci, karena sudah berusia lebih dari 6 abad.
Di Langger Agang, doa dan pembacaan buku-buku Barjanj dilakukan hingga tengah malam.
Bacaan dipimpin oleh Imam Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan. Setelah itu,
kami makan bersama. Sebuah kejadian unik terjadi di sini. Orang-orang berduyun-duyun ke
luar masjid untuk berebut dan menyapa, atau menyentuh Sultan Kasepuhan Pangeran Arief.
Jika, dalam kepercayaan orang, dia bisa menyentuh calon Sultan, dia akan diberkati dalam
hidupnya. Tak heran, Pangeran Arief dijaga ketat oleh para pengawal Keraton. (PT. Bhineka
Sangkuriang Transport, 2017)
5. Perkembangan Tradisi Panjang Jimat di Keraton Kanoman Dari Tahun 2015-2021
Pada saat ini kita dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0 dimana internet menjadi
segalanya bagi uat manuisa. Pekerjaan umat manusia pun semakin ringan dengan adanya
internet. Hadirnya internet juga menjadikan segala bentuk informasi mudah masuk dengan cepat
walau dari jarak yang jauh. Dari apa yang terjadi pada masa ini dapat disimpulkan bahwasannya
internet menjadi pemicu awal dari masuknya arus globalisasi bangsa barat ke Indoneisa. Banyak
dari pemuda penerus bangsa Indonesia lebih menyukai budaya asing dibandingkan budaya lokal.
Jika dilihat dari sejarah dan esensinya, tradisi-tradisi lokal di Indonesia lebih banyak menyimpan
makna dan nilai yang terkandung di dalamnya terkait kehidupan. Berikut adalah hasil wawancara
dengan para pedagang sekitar Keraton Kanoman terkait perkembangan tradisi panjang jimat.
Wawancara pertama dilakukan kepada salah seorang pedagang kaki lima bernama Ibu
Sarweni (58 tahun) beliau sudah berjualan disekitar Keraton Kanoman selama kurang lebih 12
tahun. Menurut hasil wawancara terhadap narasumber, beliau mengatakan jika tradisi panjang
jimat semakin tahun semakin ramai, banyak para pelancong yang menghadiri upacara unik
tersebut. Akan tetapi, setelah wabah Covid 19 mulai meluas penghasilan semakin sedikit dan
pengunjung yang datang ke Keraton Kanoman pun semakin berkurang.
Wawancara kedua dilakukan dengan seorang Mahasiswa Universitas Swasta yang
rumahnya berjarak dengan Keraton Kanoman. Narasumber tersebut bernama Kang Hadi (23
tahun). Berdasarkan hasil wawancara dengan beliau, perkembangan tradisi panjang jimat dari
tahun ke tahun mulai berkurang pengunjung yang berminat. Hal tersebut ia rasakan karena
banyak dari teman-temannya sudah tidak tertarik lagi terhadap tradisi ini. Padahal, peran pemuda
sebagai agen perubahan dan pewaris peradaban bangsa sangat perlu agar tradisi-tradisi lokal
tidak semakin terkikis dan lambat laun akan menghilang dengan masuknya budaya asing.
Kang Hadi memberikan saran mengenai cara pencegahan tradisi lokal agar tidak terkikis
yaitu kita promosikan melalui media masa. Tidak bisa dipungkiri bahwa di era ini media menjadi
alat propaganda, alat promosi yang menjanjikan. Kiranya tradisi tradisional bisa dipublikasikan
melalui media masa dan dikemas semenarik mungkin, maka itu akan menjadi daya tarik
tersendiri kepada masyarakat lokal maupun nasional terhadap tradisi lokal yang ada di Indonesia.
KESIMPULAN
Tradisi adalah kebiasaan dari satu masyarakat yang diturunkan secara turun menurun oleh
nenek moyang. Indonesia adalah negara yang heterogen (beragam). Keberagaman Indonesia
disebabkan oleh letak geografis Indonesia dan sejarahnya. Indoensia sebagai negara yang
memiliki sumber daya alam melimpah menjadi daya tarik tersendiri oleh bangsa asing. Tidak
hanya sumber daya alamnya, Indonesia juga memiliki banyak budaya, tradisi, adat yang berbeda-
beda. Hal ini disebabkan karena keberagaman Indonesia yang memiliki banyak agama, ras, suku,
bahasa dan lain sebagainya. Salah satu tradisi lokal yang masih dilestarikan sampai sekarang
adalah tradisi panjang jimat di keraton Kanoman Cirebon.
Keraton berasal dari kata Ratu yang mendapatkan imbuhan kata ke dan an. Jika
digabungkan maka akan terbentuk kata Keratuan yang artinya tempat raja atau ratu serta selir
dan jajarannya. Pengertian keraton lebih jelasnya adalah keraton merupakan kerajaan atau
sebuah negara. Keraton sebagai tempat dari sang pemimpin dan sebagai sarana penyelengaraan
kepemimpinan serta keraton memiliki fungsi atau peran sebagai untuk mengembangkan sumber
daya manusia yang berada dalam wilayah kekuasaan dari suatu kerajaan. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas bahwasannya Cirebon memiliki bukti sejarah terkait kesultanan Cirebon
berupa 3 keraton yang masih utuh, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton
Kacirebonan.
Keraton Kanoman dibangun oleh Pangeran Muhamad Badrudin Kartawidjaya pada tahun
1588 M. Pangeran Kartawidjaya yang mendapat gelar Sultan Anom tersebut mendirikan Keraton
Kanoman dibangunan bekas rumah Pangeran Cakrabuana saat baru tiba di Tegal Alang-alang.
Keraton Kanoman berlokasi di Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota
Cirebon. Lokasi dari Keraton Kanoman sebenarnya tidak jauh dari lokasi Keraton Kasepuhan.
Keraton Kanoman memiliki luas tanah sekitar 175.500 meter kubik. Keraton Kanoman dibangun
dengan bagian depan menghadap ke Utara sebagai lambang pusat bumi yang selalu menjadikan
utara sebagai patokan arah.
Keraton Kanoman memiliki banyak keanekaragaman tradisi yang unik dan menarik jika
dibahas. Salah satunya adalah Tradisi Panjang Jimat yang rutin digelar pada bulan Maulid (jika
hitungan hijriyah) sebagai bentuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi panjang
jimat adalah sebuah upacara yang sakral dimana acara ini dilakukan oleh orang-orang secara
beramai-ramai. Tradisi ini dilakukan setiap malam tanggal 12 Rabiul Awal sebagai bentuk
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada saat ini kita dihadapkan dengan Revolusi Industri 4.0 dimana internet menjadi
segalanya bagi uat manuisa. Pekerjaan umat manusia pun semakin ringan dengan adanya
internet. Hadirnya internet juga menjadikan segala bentuk informasi mudah masuk dengan cepat
walau dari jarak yang jauh. Dari apa yang terjadi pada masa ini dapat disimpulkan bahwasannya
internet menjadi pemicu awal dari masuknya arus globalisasi bangsa barat ke Indoneisa. Banyak
dari pemuda penerus bangsa Indonesia lebih menyukai budaya asing dibandingkan budaya lokal.
Jika dilihat dari sejarah dan esensinya, tradisi-tradisi lokal di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agus, B. (2006). Aagama dalam kehidupan manusia pengantar antropologi agama. Jakarta: PT Grafindo
Raja Persada.
Atja. (1972). Tjarita Purwaka Caruban Nagari, Sedjarah Muladjadi Tjirebon. Jakarta: Ikatan Karyawan
Museum.
Jayanti, T. B. (2017). Strategi Pengembangan Urban Heritage Tourism Kota Cirebon, Jawa Barat. Jurnal
Arsitektur dan Perkotaan "KORIDOR" Vol. 08 No. 02 , 195-205.
Lasmiyanti. (2013). Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya). Patanjala Vol 5 No. 1,
131-147.
Moeloeng, Lexy J.,. (2000). Metodologi Pendekatan Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhaimin, A. (2001). Islam dalam budaya lokal potret dari Cirebon. Jakarta: Logos.
Radjiman. (1984). Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat. Solo: Krida.
Rochani, A. H. (2008). Babad Cirebon. Cirebon: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cirebon.
Solikhah, N. (2015). Kajian Arsitektur Kota Pantai Cirebon dan Strategi Pengembanganya. Jakarta:
Universitas Tarumanegara.
Sunardjo, U. (1983). Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan, Kerajaan Cirebon. Bandung:
Tarsito.
Internet
Andrew. (2018, Mei 5). Pengertian Revolusi Industri 4.0: Jenis, Dampak dan Contoh Penerapannya.
Retrieved September 15, 2021, from Gramedia Blog:
https://www.gramedia.com/best-seller/revolusi-industri-4-0/
PT. Bhineka Sangkuriang Transport. (2017, April 15). Mengeal Tradisi Panjang Jimat, Kota Cirebon.
Retrieved September 13, 2021, from BhinekkaShuttle:
http://bhinnekashuttle.com/article/mengenal-tradisi-upacara-panjang-jimat-kota-cirebon/
Wawancara
Nama : Bahrudin
Usia : 54 Tahun
Profesi : Petugas Keraton Kanoman
Nama : Sarweni
Usia : 58 Tahun
Profesi : Pedagang Kaki Lima
Foto, Surat Pernyataan Wawancara, Sampul Buku yang digunakan, Koran yang
digunakan