Review (Nizar)
Review (Nizar)
ABSTRACT
The principles of Islamic law and its objectives in use as methods of legal finding and verification have
caused overlaps and even self-contradiction. As such, we need to understand those two in terms of
moving principles in order to make a proper system of Islamic law theory. This paper aims to study
those moving principles to build a reciprocal relationship in between. The research uses qualitative-
documentative approaches to data being collected from books and journal articles. This study leads to
the conclusion that, in general, each has those own moving principles at the philosophical, analytical,
and applicative levels. The principles of Islamic law move around, enclosing the meaning of the
Islamic text, whereas maqāsid asy-syarī’ah evaluates the law’s utilities by its analytical and critical
motions. All of the motions are based on philosophical maqāsid asy-syarī’ah’s motion, which are
taken into account for promoting mundane and hereafter prosperities. Manifasted as ideal values,
maqāsid asy-syarī’ah serves as future orientations, evaluating existing legal matters and adjusting
laws to the possibility of prosperities achievement in various locus and times. The maqāṣidic values
can take in form of genuine of communal meanings.
ABSTRAK
Penggunaan uṣūl fiqh dan maqāṣid asy-syarī’ah sebagai metode penemuan dan verifikasi hukum kerap
kali menyebabkannya tumpang tindih dan bahkan self-contradiction. Oleh sebab itu, perlu kiranya
memahami prinsip gerak keduanya, kemudian mengoperasikannya pada bagiannya masing-masing.
Makalah ini bertujuan untuk menelaah prinsip gerak masing-masing dan membangun relasi resiprokal
keluanya. Riset ini berjenis kualitatif-dokumentatif dengan data yang terkumpul dari buku-buku dan
jurnal. Penelitian ini berkesimpulan bahwa secara umum, masing-masing memiliki prinsip gerak
ijtihadi berupa filosofis, analitik, dan aplikatif. Prinsip uṣūl fiqh hanya sekedar mengungkapkan
makna naṣṣ menjadi konstruksi hukum, sedangkan dalam segi utilitasnya dinilai dengan maqāṣid
dengan gerakan analitik-kritisnya. Semuanya itu dilatarbelakangi oleh sinaran maqāṣid asy-syarī’ah
dalam gerak filosofis, yakni membangun sistem fikih yang bertujuan menciptakan kemaslahatan dunia
dan akhirat. Sebagai nilai ideal, maqāṣid berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl) untuk
mengevaluasi hukum-hukum yang telah ada, lalu disesuaikan dengan kemungkinan pencapaian
maslahat di suatu ruang dan waktu hukum itu diaplikasikan. Adapun bentuk dari nilai-nilai tersebut
adakalnya sebuah makna hakiki dan makna ‘urfī.
                                                     1
 Name
Dalam karya ini tidak sekalipun ia                   qawaid fiqhiyyah yang berujung pada
menyentuh perinsip gerak metodik                     pernyataan hukum atas suatu kasus.(Helim,
keduanya, namun justru mengikutsertakan              2019) Karya ini, meskipun memiliki
maqashid dalam uṣūl al-fiqh. Sehingga              kesamaan tujuan, namun berbeda dalam
yang terjadi adalah hanya membahas satu              pendekatan dan metodologi dengan
aspek, yakni penggalian maqaṣīd dengan             penulis.
isṭinbāṭ.
           Karya selanjutnya adalah tulisan          METODE
Fatimah Halim dalam Jurnah Hunafa. Ia                        Metode yang digunakan dalam
berkesimpulan bahwa kemaslahatan hidup               makalah ini adalah kualitatif sebagai
manusia merupakan tujuan diturunkannya               pendekatan, dokumentatif sebagai strategi
wahyu.        Sedangkan     dalam    rangka          pengumpulan data, dan analisis konten
menemukan maqaṣīd dapat dilakukan                  sebagai pisau bedahnya. Adapun data
dengan ijtihād kontekstual menggunakan              primer yang digunakan adalah buku-buku
perantara asbāb an-nuzūl, qiyās, dan              dan catatan yang memuat materi usul fikih
żari’ah.(Halim,      2010)    Ia  berusaha          dan masqashid asy-syari’ah baik dari
mengelaborasi antara maqasid dan metode              kalangan klasik maupun kontemporer.
ijtihad ushul fikih. Perbedaanya dengan              Lalu, untuk sumber sekunder meliputi
tulisan penulis ini adalah coraknya yang             catatan-catatan lain yang berisi informasi
menekankan pada sistematisasi kedua                  mengenai hubungan antara keduanya.
metode dengan mensistematisasi peran                 Sedangkan kerangka paradigmatik yang
masing-masing.                                       berperan menyusun arah penelitian adalah
           Karya yang mencoba memberikan             filosofis, khususnya epistemologi dalam
porsi imbang adalah tulisan Abdul Helim              kedua konteksnya, yakni context of
dengan judul Maqāṣid al-Syarī’ah versus           discovery dan context of justification.
Uṣūl al-Fiqh. Ia melihat bahwa maqāṣid           (Gunstone, 2015, p. 229) Hal ini tentu
belum memiliki posisi yang jelas dalam               mempertimbangkan ‘hasrat’ penulis yang
usul fikih, baik dalam peran penggalian              hanya bisa tercapai dengan meminjam
maupun analisis hukum. Meskipun gagasan              fungsi kritis-konstruktif dari filsafat untuk
maqāṣid asy-syari’ah telah ada sejak               memfokuskan          data,       membingkai
berabad-abad lalu, namun kenyataanya ia              pembahasan, kontrol subyektifitas, dan
hanya sebagai “figuran” dalam produksi               penekanan analisis data.(Given, 2008, p.
hukum, ushul fikih masih tetap menjadi               872)
“aktor        utama”.     Helim    berusaha
menempatkan keduanya dalam posisi                    HASIL DAN DISKUSI
seimbang. Ia berkesimpulan bahwa tujuan              Prinsip Gerak Ijtihadi dalam Nature
itu dapat terwujud menggunakan berbagai              Hukum Islam
macam analisis dalam mencari maslahah.                       Nature merupakan eskosistem yang
Analisis tersebut dimulai dari metode qauli,         menghubungkan beberapa elemen yang
induktif, penggalian illat, pembuatan                saling berkaitan. Dalam beberapa sumber
kaidah-kaidah usul fikih bersinergi,                 yang menerangkan tentang nature of
perluasan ushulul khomsah, dan kajian                Islamic Law, tidak ditemui definisi pasti
metode maknawiyah, menentukan prioritas              dari kata “kealamiahan” itu. Namun dalam
maslahah dan diakhiri dengan kajian                  beberapa pembahasan, nature dari sesuatu
ditemui kasus yang sama sekali baru dan              dijadikan manhaj dalam menciptakan
kosongnya dari status hukum.                         kondisi ideal di masyarakat. Hal ini sepakat
         Fitur selanjutnya adalah fikih, yang        dengan pendekatan sistem Jasser Auda
merupakan buah dari ushul fiqh, memiliki             yang menegaskan bahwa hukum Islam
dua prinsip, yakni gerak ‘azīmah dan                memiliki karakter ‘bertujuan’ (ing:
rukhṣah. Prinsip gerak ‘azīmah merupakan           purposefulness, ar: ghā’iyyah).(Auda,
implementasi hukum seperti ‘hukum                    2012, p. 105)
asalnya’.(’Uṡmān, 2002, p. 208) Sementara
kedua adalah memberlakukan dispensasi                Prinsip Gerak Ijtihādī Uṣūl al-Fiqh
hukum, karena adanya suatu perihal                             Seperti diulas secara singkat pada
eksternal (‘āriḍ). Adapun faktor tersebut          sub-bab        sebelumnya     bahwa     faktor
yakni kesulitan, darurat dan kondisi-                penggerak eksternal dari usul fikih adalah
kondisi genting di masyarakat.(’Uṡmān,               at-ṭāri’ (kasus baru). Hal ini merupakan
2002, p. 170) Dimana ketika dipaksakan               konsekuensi dari cakupan universal hukum
memberlakukan hukum asal justru akan                 Islam, dimana tidak boleh terjadi
menjadikan kesulitan semakin parah, dan              kekosongan hukum atas suatu kasus.(asy-
bahkan mengancam nyawanya. Dengan                    Syuwaylī, 2018, p. 113) Bahkan, kasus
begitu, pendorong eksternal dalam hal ini            yang tidak memiliki tendensi halal-haram,
adalah ‘ada atau tidak’-nya situasi genting          makruh-sunnah tetap diberi label ‘mubah’.
itu. Untuk mengaplikasikan kedua gerak               Sesuai dengan definisinya, fikih adalah
tersebut dibutuhkan ilmu yang disebut al-            pembahasan terkait tindakan mukallaf.
qawā’id al-fiqhiyyah (Islamic legal                           Implikasi dari asumsi ini adalah
maxim).                                              lazimnya kontinuitas gerak pencarian
         Terakhir, prinsip gerak dari                hukum. Bentuk dari pergerakan penemuan
maqāṣid asy-syarī’ah adalah filosofis,            hukum adalah mengaplikasikan metode-
teoritis dan aplikatif. Yang pertama adalah          metode usḥul fikh dengan mengaitkan
penggunaan maqashid dalam level filsafat             nilai-nilai dari sumber hukum dengan
hukum. Kedua adalah penggunaanya                     peristiwa kasuistik. Demikian, gerakan
sebagai acuan memahami suatu kasus                   penemuan hukum memiliki dua pola, satu
dengan       kerangka      konseptual     dan        pola bergerak menuju sumber hukum untuk
operasional yang memandu jalanya                     menemukan nilai-nilai, sedang kedua
analisis. Sedangkan yang ketiga adalah               adalah gerak menuju kasus untuk
perannya        sebagai     pengukur      dari       memahami hakikat dari peristiwa hukum
implementasi hukum yang langsung                     itu. Yang pertama disebut istinbāṭ dan
bersinggungan dengan masyarakat. Faktor              kedua disebut istidlāl.
pendorong eksternal di sini adalah ada atau                    Istinbāṭ dalam akar etimologisnya
tidaknya kemanfaatan dari produk hukum               mendeskripsikan aktifitas pengambilan air
bagi masyarakat.                                     dari dalam tanah. Setelahnya, kata ini
         Beberapa perinsip gerak tersebut,           menjadi istilah tekhnis berupa upaya
saling terkait dalam menuju satu tujuan              pengambilan makna dari sumber hukum
final, yakni menciptakan hukum yang                  dengan penuh kehati-hatian, mengandalkan
berdedikasi bagi kemanfaatan baik di dunia           kekuatan isyarāh dan pikiran.(’Uṡmān,
maupun akhirat. Dalam kata lain hukum                2002, p. 52) Dalam hal ini, seorang
merupakan persembahan dari Allah untuk               mujtahid dengan sengaja memunculkan
         Pada bab ini penulis berasumsi              dapat menarik perinsip ini menjadi core
bahwa awalnya maqāṣid asy-syari’ah                 values, dari semua ketetapan hukum, dan
menjadi bagian dari gerak uṣūl al-fiqh,            kemanfaatan-kemanfaatan       lain    dalam
namun pada giliranya ia terlepas, lalu               setiap ‘bentuk hukum’. Dalam tataran ini,
memiliki prinsip gerak sendiri. Istilah              core values dapat dijadikan konstruksi
spinoff sengaja penulis pilih dengan                 paradigmatik yang membentuk ‘worldview
mengacu kepada istilah media, yakni                  hukum Islam’ bahwa “fikih memiliki
‘cerita’ yang terlepas dari suatu narasi             tujuan menciptakan kemaslahatan’.1 Dalam
induk, sehingga ia memiliki plot tersendiri.         konteks ini, maqashid memiliki ‘gerak
(Spin-Off | Meaning in the Cambridge                 filosofis’    karena    berfungsi     secara
English Dictionary, n.d.)                            konstruktif terhadap worldview fikih.
         Secara ‘genealogis’, maqāṣid asy-                 Oleh     karena    hukum       Islam
syarī’ah menginduk pada perinsip gerak              mengarah terhadap kemaslahatan, maka
istidlal dalam ushul fiqh. Tentu saja bagian         semua metode yang ada dalam hukum
paling berpengaruh adalah istiṣlāḥ, istiḥsān    Islam      haruslah    memiliki     potensi
dan munāsabah dimana pada bagian ini,               membuahkan kemanfaatan. Dengan kata
illat ditelusuri dan diproyeksikan sebagai           lain, ia dapat digunakan sebagai standar
tujuan akhir dari suatu hukum. Akan tetapi           nilai ideal dari hukum Islam. Maksud dari
selanjutnya ia mengalami momentum                    nilai ideal adalah “bagaimana seharusnya
dimana mendapatkan sandaran filosofisnya             hukum       Islam”.     Menilai    idealitas
lalu bergerak mengkritisi fikih dan usul             ‘konstruksi hukum Islam’ adalah dengan
fikih. Momen ini adalah ketika asy-Syāṭibi         mempertimbangkan bagaimana hasil akhir
ingin memberikan ruh kepada fikih agar               suatu hukum jika diterapkan.(asy-Syāṭibī,
memiliki arah yang jelas, yakni berasaskan           1997a, pp. 177–178) Sehingga dapat
maslahah, dan memberikan maslahah.                   dikatakan hukum Islam tanpa menyertakan
         Pemberian ruh ini diwujudkan                nilai ini tidak mencerminkan kehendak
dalam garis-garis yang disusun olehnya               Syāri’ yang sesungguhnya. Dalam konteks
dengan memodifikasi beberapa bagian                  ini, maqāṣid dapat bergerak dalam pola
gerak ushul fikih. Modifikasi pertama                “analitik” terhdap hukum Islam.
adalah maslahah mursalah yang semula                         Jamak diketahui bahwa dalam
hanya sebagai bagian dari munāsabah                 mencapai suatu tujuan dapat dilakukan
diletakkan sebagai usūl asy-syarī’ah.              berbagai macam cara, seperti itu pula yang
Selanjutnya adalah ḥikmah min warā’ al-            terjadi di dalam hukum Islam, yang kita
aḥkām yang semula sebagai ‘elemen                  kenal dengan konsep maqāṣid dan wasā’il.
tersisih’ karena tidak mencukupi syarat              Oleh karena itu terdapat pluralitas
dijadikan ‘illah, kini menjadi qawā’id al-          kebenaran dalam konstruksi hukum Islam.
aḥkām. Terakhir adalah memberikan                  Tentu saja ini akan berpengaruh dalam
maqaṣid yang pada awalnya dianggap                  tataran aplikatif bahwa semua konstruksi
ẓanni karena melewati proses induksi,
berstatus qaṭ’ī.(Auda, 2012, pp. 57–58)            1
                                                       Hal ini terlihat dalam perumusan syarat mujtahid
         Maqashid sebagai usūl asy-syarī’ah        yang harus memiliki kompetensi pemahaman
                                                     maqāṣid asy-syarī’ah baik secara secara global
berarti        menjadikan          terciptanya
                                                     maupun spesifik, serta bersedia mendasarkan
kemaslahatan bagi manusia sebagai alasan             hukum yang difatwakanya terhadap kemaslahatan.
terbesar dalam penetapan syari’at. Kita              (asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 41–42)
yang mengarah kepada keinginan Syāri’               kenyataan bahwa para fakih juga
adalah benar. Tidak cukup sampai di situ,            kebanyakan tertarik dengan teologi,
peran maqāṣid dalam konteks aplikatif              sehingga semakin dalam menyelami
hukum Islam adalah memilih yang paling               argumen fikih secara tidak sengaja akan
baik diterapkan di masyarakat. Hal ini               menyentuh permasalahan teologis.(Giorgio
sesuai dengan apa yang ditekankan oleh               Levi della Vida Conference, 1971, p. 4)
‘Izz ad-Dīn b. ‘Abd as-Salām (w.1262)              Hubungan dekat antara teologi dan fikih
bahwa seorang alim harus memiliki                    adalah pokok dan cabang (usūl wa furū’),
kapasitas seleksi maṣlaḥah dalam skema             dimana asumsi dasarnya adalah fikih
‘hirarki prioritas’ (al-ahamm ṡumma al-             merupakan cabang dari ilmu kalam. Hal ini
ahamm).(as-Sulamī, 2014, p. 43) Dalam                memiliki dua alasan: pertama, aspek
peran ini, penulis sebut “gerak aplikatif”.          fundasional fikih berdasar pada premis-
        Sebagai spinoff, maqāṣid asy-              premis ilmu kalam. Kedua, premis ilmu
syrī’ah membangun konstruksinya sendiri             kalam memiliki pengaruh ideologis dan
dalam menonjolkan sisi efek ‘positif’                metodologis dalam premis hukum Islam.
dalam hukum Islam. Demikian, faktor                  (Fārūq, 2013, p. 73)
eksternal prinsip maqashid ini adalah                         Sebagaimana dalam        diskursus
“kealpaan fikih dari kemanfaatan”, sesuatu           filsafat pada umumnya, bahwa penekanan
yang telah dirasakan oleh asy-Syāṭibi,             pertama adalah pertanyaan mengenai
begitupun Jasser Auda dengan klaimnya                keberadaan dari sesuatu (ontologi). Disini,
bahwa melaksanakan hukum Islam sebagai               para fukaha mempertanyakan eksistensi
mana kita terima dari jurisprudensi justru           maqṣad dalam syari’at lalu ditarik menuju
akan membuat masyarakat muslim                       hakikatnya. Perinsip umum selanjutnya
kesulitan di tengah tatanan dunia yang               adalah “jika ia ada maka mungkin untuk
sudah sama sekali berbeda. Untuk                     diketahui”, sehingga setelah menekankan
mengulasnya lebih mendalam, penulis                  eksistensinya mereka mempertanyakan
sajikan beberapa sub-bab berikut sesuai              bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan
bingkai tiga gerak maqāṣid asy-syarī’ah di        setelah diketahui maka mempertimbangkan
atas.                                                apa manfaat dari maqṣad ini.(Fārūq, 2013,
                                                     p. 42)
Gerak Filosofis Maqāṣid asy-Syarī’ah                       Pertanyaan populer di kalangan
       Peran utama gerak filosofis ini               fukaha dalam membahas keterkaitan antara
adalah menyediakan argumen pandangan                 hukum dan maqṣad adalah eksistensi ‘illat
worldview hukum Islam yang ‘bertujuan’.              dalam syari’at. Adapun Asy’ariyyah
Adapun dalam tradisi Islam pengajuan                 berkeyakinan bahwa hukum syari’at
argumen bertajuk “al-adillah an-naqliyyah            termasuk dalam kelaziman perbuatan Allah
al-mu’ayyadah bi al-adillah al-‘aqliyyah”,           (jā’iz), oleh karena itu tidak memiliki
yakni argumen teologis yang dikuatkan                ‘illat. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat
dengan bukti rasional, atau dalam redaksi            bahwa perbuatan Allah berasaskan
lain disebut al-adillah wa al-barāhīn.             ‘keadilan-Nya’, maka ia memiliki alasan di
(Āfandī, 1932, p. 7) Tradisi berargumentasi          baliknya. Sedangkan posisi tengah diajukan
ini berasal dari para mutakallimīn dalam            oleh Māturīdiyyah, dimana tindakan Allah
perdebatan       persoalan       ketuhanan.          memiliki sebab dan tujuan yang kembali
Sebagaimana kata J. Schacht dengan                   kepada kemaslahatan makhluk, yang
memperkuat dalil naqlī surat an-Nisā’: 165            tab’iyyah)     dengan     syarat      tidak
dan al-Anbiyā: 105.2                                   bertentangan dengan nilai-nilai syari’at,
        Sebagai konsekuensi filosofis,                  yakni maslahah murni atau unggul atas
bahwa jika eksistensi telah diterima maka               mafsadah        (preponderant).(ar-Raisūnī,
ia mungkin untuk diketahui. Dalam hal ini               2014, p. 148 dan 421)
Ibnu ‘Āsyūr (w.1973) mengajukan tiga
metode dalam mengungkap maqṣad,                        Gerak Analitik Maqāṣid asy-Syarī’ah
diantaranya: 1) Istiqrā’ syariat baik lewat                      Sebagai nilai ideal, maqāṣid
‘single ‘illat’ maupun ‘collective ‘illat’, 2)          berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl)
dari dalil-dalil jelas, dan 3) hadits                   yang dapat digambarkan dari penarikan
mutawattir baik secara makna dan/atau                   kesimpulan pencarian nilai-nilai itu di balik
aktifitas (ma’na/’amalī).(’Āsyūr, 2010, pp.            nass. Adapun bentuk dari nilai-nilai
26–30)                                                  tersebut adakalnya sebuah makna hakiki
        Perbedaan mendasar dari metode                  dan makna ‘urfī. Yang pertama adalah
mengetahui tujuan hukum dalam ilmu                      makna universal yang oleh akal sehat
maqashid asy-syri’ah adalah penekanan                   dinilai sebagai suatu kebenaran, sedangkan
pada kolektifitas ayat-ayat al-Qur’an dalam             kedua adalah makna yang dibentuk oleh
menyimpulkan fitur maqashid. Hal ini                    suatu komunitas, bahwa sesuatu itu
merupakan wujud dari istiqrā’ (induksi)                membawa kebaikan untuk manusia.
makna berbagai macam ayat yang memiliki                 (’Āsyūr, 2010, pp. 83–84)
tema serupa. Berdasarkan kesamaan tujuan                          Ada beberapa syarat suatu nilai
dan hikmahnya akan ditarik menjadi fitur                dapat dijadikan sebagai maqaṣid, di
maqashid. Berbanding dengan usul fikih                  antaranya: 1) ṡubūt (makna yang diakui), 2)
yang cukup menggunakan satu ayat dalam                  ẓāhir (dapat diidentifikasi), 3) inḍibāṭ
menetapkan hukum. Hal ini cukup                         (terukur kriterianya) dan, 4) iṭṭirād (berlaku
dimaklumi sebab istinbāṭ yang notabene                umum).(’Āsyūr, 2010, pp. 84–86) Dalam
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan                    hal ini dapat dicontohkan dengan
dalam porsi besar tidak bisa mengabaikan                “keadilan”, dimana makna ini dapat dilihat
satu lafadzpun untuk dijadikan sebagai                  ketetapanya dalam an-Nisā: 46 dan 135, al-
sandaran hukum.                                         Mā’idah: 8, 41-42, an-Naḥl: 90 dan 126, al-
        Konsekuensi       terakhir      adalah          Ḥujrāt: 9. Wujud keadilan itu dapat
merumuskan kemanfaatan maqaṣid. Terjadi                diidentifikasi       karena       menunjukkan
perdebatan apakan nilai-nilai maqāsid                  indikator-indikator yang terukur, dan
dapat menjadi faktor determinan dalam                   berlaku umum karena hampir seluruh
peran pembentukan konstruksi hukum.                     manusia mengakui bahwa keadilan adalah
Bagi ar-Raisūnī, maqāsid atau maṣlaḥah             sebuah kemaslahatan.
dianggap sebagai salah satu ‘sumber                               Adapun maqṣad dalam konteks
hukum       dependen’     (al-maṣādir    at-          keluasan cakupannya terbagi menjadi tiga.
                                                        Pertama: maqṣad ‘āmmah (universal),
2
  Dalil-dalil ini sengaja diajukan oleh asy-Syāṭibi   yakni mencakup keseluruhan hukum
karena sifat ke-universalan-nya, yakni dengan           syarī’ah. Terma ini disebut oleh asy-Syāṭibi
mengajukan klaim bahwa para rasul diutus karena
                                                        dengan kuliyyāt al-millah. Kedua, maqṣad
visi tertentu, tentu akan mencakup keseluruhan
ajaran yang disampaikanya juga memuat misi.             khāṣṣah (parsial), mencakup terma-terma
Bacaan lebih lanjut: (asy-Syāṭibī, 1997b, pp. 10–11)    khusus yang biasnya melampaui batasan-
batasan tabwīb dalam fikih. Ketiga:                          Status substansial dari maqṣad ini
maqṣad juz’iyyah (partikular), terbatas             menyediakan gerak analitik-kritik dalam
cakupanya dalam makna yang tersimpan                 melihat wasā’il dalam segi potensinya
dalam nilai-nilai tujuan “hukum sebagai              mengantarkan menuju maqṣad. Dengan
predikat”.(ar-Raisūnī, 2010, pp. 13–16)              menempatkan maqṣad sebagai fungsi gerak
          Sedangkan fitur-fitur maqsāṣid           kritis ia dapat bergerak ke dua arah, yakni
dibagi dalam tiga kualitas hirariki.                 arah interal dan eksternal. Adapun gerak
Pertama: ḍarūrī, apabila menyangkut               internal adalah melihat hubungan antara
kehidupan dasar dalam menunjang                      maqaṣid ‘kuliyyah (‘āmmah), khāṣṣah dan
kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, ḥāji           juz’iyyah        dalam         bersama-sama
jika menyangkut hal-hal yang non-primer              mengantarkan menuju kondisi ideal yang
namun menunjang kemudahan hidup.(asy-                diharapkan oleh syari’at. Dalam hal ini,
Syāṭibī, 1997a, pp. 18–19) Terakhir,                 kendali dipegang oleh maksud universal,
taḥsīnī jika menyangkut hal-hal tersier           yang       bertugas     menganalisis      dan
untuk menunjang kualitas hidup dan                   mengkritisi maqsad parsial dan partikular
estetika. Penulis sengaja merombak posisi            agar tidak terjadi kontradiksi internal dalam
fitur-fitur tersebut. Adapun darūriyyāt            hirarki maqāsid.(an-Najār, 2008, p. 43)
khamsah biasanya masuk dalam klasifikasi                      Sedangkan gerak eksternal adalah
pertama. Namun fitur-fitur itu penulis               peranya masing-masing dari ketiganya
diletakkan di luar. Artinya ketiga hirarki ini       dalam menilai konstruksi hukum dalam
merupakan ‘kualitas’ fitur, bukan fitur di           segi potensinya menggapai kemaslahatan
dalam kualitas hirarki. Hal ini dilakukan            di dalam setiap tingkatan. Dengan begitu,
untuk menyederhanakan maqāṣid klasik               fungsi maqaṣid yang dimaksud asy-Syāṭibi
yakni tambahan tatimmah dan takmilah.                berada dalam gerak eksternal ini, sebab ia
          Dalam rangka memenuhi kriteria             menganulir konstruksi hukum, bukan
gerak analitik, petama yang perlu                    menganulir maqṣad lain yang cakupanya
ditekankan      adalah    sifat   substantif-        lebih rendah.
aksidental (jauhariyyah-a’rāḍiyyah) dari
maqāṣid dan konstruksi hukum. Dalam                Gerak Aplikatif Maqashid asy-Syari’ah
kajian ini, sebagaimana diketahui, bahwa                     Pembahasan ini akan lebih condong
substansi dari hukum adalah maqṣad-nya,             mengenai prinsip gerak fikih yang telah
sedangkan aksiden darinya adalah macam-              disinggung sebelumnya. Disebutkan bahwa
macam wās’il-nya, dimana ar-Raisūni                gerak aplikatif fikih memiliki dua macam,
menyebutnya dengan ‘taṭbīq ‘araḍī’.(ar-          yakni ‘Azimah dan rukhshah, dimana
Raisūnī, 2014, p. 442) Hal ini senada                bangunan konsepnya berasal dari usul
dengan asy-Syāṭibī bahwa ma’āl dapat             fikih, namun identifikasi aplikatifnya
menganulir konstruksi hukum jika ditemui             dibantu oleh legal maxim (qawā’id
perubahan kontekstual. Misal suatu                   fiqhiyyah). Pembahasan ini penting sebab
konstruksi hukum yang diterapkan dalam               perbedaan kondisi sosial-masyarakat, baik
nass, pada masa turunya membuahkan                   dalam dimensi waktu dan tempat, menuntut
maslahat, namun pada perkembanganya                  pola penerapan yang berbeda pula.
justru membuahkan mafsadah, maka                     Konsekuensinya, dalam rangka mencapai
konstruksi itu hilang ‘status masyrū’iyyah-         maqāṣid dituntut suatu metode yang
nya’.(asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 177–178)               memungkinkan seorang mifti atau fakih
Sedang bagi yang kedua, merubah hukum.               Kedua, Hubungan penemuan hukum dan
(ar-Rāzī, 1992, p. 121)                              kemanfaatan hukum. Ketiga, pemilihan dan
        Sebagaimana kita ketahui, bahwa              aplikasi hukum.
legal maxim merupakan metode terakhir
sebelum      suatu    konstruksi    hukum            Hubungan Immutabilitas-Fleksibiilitas
diterapkan di masyarakat. Adakalanya                         Konteks aplikatif antara usul fikih
seroang fakih berlaku sebagai hakim (qāḍī)        dan fikih memiliki perbedaan yang
atau mufti. Bagi seorang mufti, cakupan              diametral. Adalah sebuah rahasia umum
hukum hanya mengikat mustaftī, sehingga             bahwa        kaidah-kaidah       usul    fikih
menjadi     keharusan     baginya    untuk           membuahkan kepastian hukum, sebab ia
memahami situasi dan kondisi peminta                 hanya meyediakan hukum dalam arti
fatwa, agar hukum yang difatwakanya                  predikat. Di lain pihak, legal maxim
membawa kemaslahatan. Seperti itu pula               menyediakan proses aplikatif terhadap
bagi seorang hakim, dimana cakupan                   konstruksi hukum. Dalam arti lain, satu
hukumnya mengikat seluruh wilāyat al-               konstruksi hukum memiliki dua sisi
ḥukm-nya, untuk mengetahui kondisi                  berlawanan, yakni “immutability” dan
sosial-masyarakat.(al-Ajfān, 1984, pp. 68–           “flexibility” atau dalam bahasa Ahmad ar-
69)                                                  Raisūnī disebut aṡ-ṡābit wa al-marūnah.
                                                     (ar-Raisūnī, 2014, p. 409)
Membangun Relasi Resiprokal Uṣūl al-                       Hal ini memunculkan pertanyaan
Fiqh dan Maqāṣid asy-Syarī’ah                     terkait status hukum Islam itu sendiri,
         Sebagai     wujud      dari    upaya        apakah ia termasuk sebuah hukum mistik
‘harmonisasi’ prinsip gerak di atas, dalam           atau profan. Al-Ghazāli mengindikasikan
bab ini penulis mencoba menyusunnya                  bahwa ia termasuk ma’qūlat dimana dalam
menjadi sistem metodologi hukum Islam                premis-premis       penyusun        konstruksi
yang terpadu. Berdasarkan diskusi tentang            hukumnya dapat berdasar kepada hal-hal
perinsip gerak usul fikih, maqasid asy-              ẓanniyah. Selain itu, kemaslahatan ilmu
syarī’ah dan fikih memiliki peran sentral           fikih hanya sebatas dunyawiyyah. Hal
masing-masing. Peran sentral ini adalah              menarik ketika al-Ghazālī dihadapkan
karakteristik, tujuan, dan fungsi dari               dengan kenyataan bahwa sumbernya
pergerakan itu. Adapun pergerakan usul               adalah wahyu (usul). Menanggapi ini ia
fikih adalah menemukan hukum (law                    berargumen bahwa antara sumber dan fikih
finding) dari suatu nass maupun kasus                itu sesuatu yang berbeda. Adapun fikih
hukum. Di samping itu maqaṣid syarī’ah             hanya sekedar hasil pemahaman manusia
menyediakan pandangan dunia, fungsi                  tentang wahyu dan hanya menyediakan
analitik kritis secara internal dan eksternal.       dimensi zahiri dalam suatu aturan.(Fārūq,
Sedangkan fikih dengan bantuan legal                 2013, pp. 61–62) Demikian, yang tidak
maxim berada pada tataran aplikatif terkait          berubah adalah nilai-nilai wahyu, sedang
bagaimana menerapkan konstrksi hukum                 yang berubah adalah konstruksi hasil
dalam skala individu dan komunitas.                  pemahaman wahyu. Berseberangan dengan
         Penyusunan resiprokalitas dalam             itu, asy-Syaukānī mengungkapkan bahwa
konteks ini akan penulis lakukan dengan              fikih adalah entitas mistik, dengan dasar
beberapa tahap: pertama, menyambungkan               bahwa       diambil    dari     premis-premis
sisi berubah dan tidaknya hukum Islam.