Istihsan & Istishab in Sharia Economics
Istihsan & Istishab in Sharia Economics
Abstract
       Ushul Fiqh is one of the important sciences that must be owned and
mastered by everyone who wants to carry out the mechanism of ijtihad or
istinbath Islamic law. Istihsan and istishab are two of the sources of Islamic
law which are still disputed over their use. For those who refuse to use istihsan
as a source of law because they think a mujtahid has taken something that he
thinks is good, not based on arguments obtained directly according to the
editors of the Qur’an and sunnah texts or based on the consent of the
companions. Meanwhile, for those who use istihsan dan istishab as source of
Islamic law, make them an alternative to determining the law when the agreed
source cannot answer the problem. The purpose of this study is to analyze how
the relevance of the use of istihsan dan istishab in the eyes of sharia economics.
This research is a library research whose data is through library sources and
other references related to istihsan dan istishab. The results of this study
indicate that, (1) Istihsan is one istinbath methods that is very relevant to it’s
use today because it prioritizes sharia maqasid and always tries to realize and
maintain sharia maqasid, (2) Istishab is still very relevant to be applied as an
alternative to solving legal cases in the fields of family law, criminal law,
economics and civil law.
                                 SEKRETARIAT:
                                 PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                 HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                  83
         JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
A. PENDAHULUAN
         Ushul Fiqih merupakan salah satu ilmu penting yang harus dimiliki
  dan dikuasai oleh setiap orang yang ingin melakukan mekanisme ijtihad atau
  istinbath hukum Islam. Ushul Fiqih dijadikan sebagai salah satu syarat yang
  harus dimiliki oleh mujtahid agar proses ijtihad dan istinbath yang
  dilakukannya tetap berada pada koridor yang semestinya. Namun demikian,
  hal tersebut tidak dapat memberikan jaminan bahwa produk hukum yang
  dihasilkan bisa disepakati oleh para ulama mujtahid. Sehingga banyak
  dijumpai masalah yang telah ditetapkan hukumnya dengan hukum yang
  berbeda-beda.
         1
             Aḥmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993), Vol. IV, h.
  252.
         2
           Ibn Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (T.tp: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th), h. 2.
         3
           Mustafa Za’id, al-Maslahah fi al-Tashri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Tufi (ttp: Dar al-Fikr        al-
  ‘Arabi, 1954), h. 46.
         4
           Ridwan, Istishab dan Penerapannya dalam Hukum Islam, al-Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol.
  v. No. 1, Januari 2011, h. 1.
                                               SEKRETARIAT:
                                               PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                               HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                  84
       JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
        Pada masa mujtahidin dari para fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah,
  Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, masing-masing
  memiliki metode ijtihad tersendiri. Dalil-dalil syara’ yang dijadikan sebagai
  sumber hukum bagi para mujtahid masing-masing berbeda. Imam Abu
  Hanifah menjadikan dalil-dalil syara’ yaitu:              Al-Qur’an, sunnah,
  ijma’ sahabat, qiyas, istihsan dan ‘urf. Mazhab Malik berpegang kepada Al-
  Qur’an, sunnah, ijma’ ahlul Madinah, fatwa sahabat, khabar ahad dan qiyas,
  istihsan, istislah dan sadd al-zara’i, istishab dan syar’u man qablana.
  Sedangkan dalil-dalil syara’ yang dipegang oleh mazhab Syafi’i adalah Al-
  Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas , istislah dan istishab. Bagi Ahmad bin Hanbal
  berpegang pada Al-Qur’an, sunnah, fatwa sahabat dan qiyas.5
       Istihsan dan istishab merupakan dua dari sumber hukum Islam (dalil
  syara’) yang masih diperselisihkan penggunaannya (mukhtalaf fih). Imam
  Syafi’i telah menolak penggunaan istihsan sebagai sumber hukum karena
  dianggap seorang mujtahid telah mengambil sesuatu yang menurutnya baik,
  bukan didasari oleh argumentasi yang diperoleh secara langsung menurut
  redaksi teks (nash) Al-Quran dan sunnah ataupun berdasarkan ijma’ para
  sahabat rasul.6 Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
  menggunakan istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam (dalil
  syara’). Begitu juga halnya dengan istishab, bagi para penggunanya, istishab
  merupakan alternatif penentu hukum ketika sumber yang disepakati tidak
  dapat menjawab persoalan.
      Berangkat dari hal itulah penulis tertarik untuk melihat lebih jauh
  bagaimana ijtihad dengan menggunakan istihsan dan istishab dan
  bagaimana pula relevansi penggunaan istihsan dan istishab pada masa kini
  maupun masa mendatang, ke dalam sebuah penelitian yang berjudul
  “Relevansi Penggunaan Istihsan dan Istishab Dalam Kacamata Ekonomi
  Syariah”.
B. METODE PENELITIAN
      Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang datanya melalui
  sumber pustaka, yaitu kajian pustaka melalui penelitian kepustakaan. Studi
  kepustakaan (library Research) berkaitan erat dengan kajian teoritis dan
        5
            Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo: 1994), h. 5.
        6
           Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’I, Hayatuhu Wa’asruhu wa Fiktuhu Ara’uhu wa Fiqhuhu,
  diterjemahkan oleh Abdul Syukur, dengan judul, Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah
  Akidah, Politik dan Fiqh (Cet. II; Jakarta: Lentera, 2005), h. 479.
                                               SEKRETARIAT:
                                               PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                               HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                      85
       JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
  referensi lain yang terkait dengan relevansi penggunaan istihsan dan istishab
  dalam kacamata ekonomi syariah.
       Analisis dalam penelitian ini menggunakan deskriptif-analysis, yang
  menjelaskan dan menggambarkan fokus kajian utama penelitian dari
  konsep-konsep yang berhubungan dengan istihsan dan istishab berdasarkan
  analisis pendapat para ulama, cendekiawan dan para ahli yang berkompeten
  dalam kajian tersebut, sehingga paparan yang disajikan menjadi lebih
  mudah dibaca dan dipahami. Sementara untuk menyajikan kesimpulan
  dengan menggunakan analisis deduktif, dimana hal-hal yang bersifat umum
  disimpulkan menjadi kesimpulan khusus.
       7
         Badran Abu al-Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Mu’assasah Syabab                al-
  Iskandariyah, t.th), h. 263
       8
         Muhammad Abu Zahrah, Ushul, op.cit., h. 402
       9
         Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1999), h. 305.
         10
            ALauddi Abdul Aziz al-Bazdawi, Kasyfu al-Asrar Syarhu Ushul al-bazdawi, Tahqiq Muhammad al-
  Mu’tshim Billahi, Jilid. 7, (Beirut: Dar al-kitab al-Arabi, 1991), h. 104
           11
                Abu Ishaq As-Syatiby, Al- Muwafaqat, Jilid. 5, (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah), h. 194.
           12
            Abu al-Hasan Ali Al-Amidy, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Jilid. 4, (Beirut: Dar al-kutub alilmiyah,
  1983), h. 158.
                                                   SEKRETARIAT:
                                                   PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                                   HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                               86
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
Meninggalkan satu hukum kepada hukum yang lebih utama dari hukum
sebelumnya.13
    Dari beragam definisi yang diuraikan oleh para ulama, maka dapat
diambil persamaan dan kesimpulan bahwa, istihsan adalah meninggalkan
suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’ dan menetapkan hukum lain
karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat menurut jiwa orang yang
melakukan ijtihad. Baik dengan cara meninggalkan qiyas jalli dan
mengambil qiyas khafi sebagai sandaran hukum, atau menetapkan suatu
hukum dengan cara mengambil permasalahan yang sifatnya juz-i dari
permasalahan yang sifatnya kulli.14
  b. Pengertian Istishab
      Secara lughawi, istishab dimaknai dengan  الصحابة طلب,  الصحابة اعتبار, طلب
 الصحبةSuhbah dimaknai dengan membandingkan sesuatu kemudian
mendekatkannya. Berdasarkan makna bahasa tersebut, maka dapat
dipahami bahwa istishab adalah mendekatkan suatu peristiwa dengan
hukum tertentu dengan peristiwa lainnya, sehingga keduanya dinilai sama
status hukumnya.15
tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak
mengetahui adanya dalil, melainkan karena mengetahui tidak adanya dalil
yang mengubahnya setelah berusaha keras mencari.16
       ‘Abdul al-‘Aziz al-Bukhari memaknai istishab dengan, الزمن في أمر بثبوت الحكم
األول الزمن في ثابتا كان أنه على بناء الثاني
     13
        Ibnu Qudamah ad- Dimasyqi, Raudhah an-Nadhir Wa Junnah al-Manadhir, Jilid. 2, (Beirut:
Muassasah ar-risalah, 1978), h. 31.
      14
           Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, (Darussalam, 1997).
      15
          ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Jiddah: al-Ḥaramayn, 2004), h. 91.
      16
          Abu Ḥamid Muhammad ibn Muḥammad al-Ghazzali, Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-Usul (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), h. 410.
       17
          ‘Abd al-‘Aziz ibn Muḥammad al-Bukhari, Kashf al-Asrar ‘An Usul Fakhr al-Islam al-Bazdwi, Vol. 2,
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), h. 377.
                                            SEKRETARIAT:
                                            PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                            HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                              87
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
1) Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Quran atau hadis yang lebih
   kuat adalah berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan ketetapan
   qiyas atau hukum kully (umum) kepada hukum lain yang ditetapkan
   berdasarkan nash Al-qur’an atau Hadis.
   Istihsan dalam bentuk ini terdapat dalam beberapa masalah yang
   bersumber dari nash namun kontradiksi dengan kaidah umum yang
   berlaku, misalnya jual beli salam (transaksi atas suatu benda yang tidak
   tampak). Jual beli semacam ini jelas dilarang menurut syara’. Hal ini
   dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya jual beli adalah
   benda yang diperjualbelikan harus ada wujudnya, sebagaimana Hadis
   Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari. Akan tetapi larangan tersebut
   dapat ditakhsis berdasarkan pertimbangan istihsan dengan adanya nash
   khusus yang membolehkannya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa,
   ketika Nabi SAW berdomisili di Madinah, Beliau menyaksikan kebiasaan
   penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan yang belum jelas
   wujudnya satu hingga dua tahun. Melihat transaksi seperti itu, Nabi SAW
   justru membolehkan dengan ketentuan dan masa yang telah diketahui.
2) Istihsan yang disandarkan kepada ijma’ yaitu, berpindah dari ketentuan
   hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau hukum kully (umum) kepada
   hukum lain yang ditetapkan berdasarkan ijma’.
   Istihsan seperti ini terjadi apabila muncul fatwa para mujtahid tentang
   suatu persoalan tidak sesuai dengan kaidah umum yang telah
   ditetapkan, atau mereka bersikap diam dan tidak mencegah perbuatan
   masayarakat yang sebenarnya bertentangan dengan dasar-dasar pokok
   yang ada.
   Misalnya,    penyewaan kamar mandi umum yang biasa dilakukan
   masyarakat tanpa merinci berapa lama dan jumlah air yang digunakan.
   Menurut qiyas, perjanjian sewa-menyewa ini tidak sah (batal). Akan
   tetapi secara istihsan para ulama sepakat membolehkan hal tersebut
   meskipun tanpa menyebutkan lama dan jumlah pemakaian air. Ijma’
   ulama dalam memandang istihsan seperti ini didasarkan pada
      18
          Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabb al-‘Alamin, Vol. 1, (Beirut: al-Maktabah al-
‘Asriyyah, 2003), h. 247.
       19
          Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi, (Beirut: Penerbit Mu’assasah Risalah, 2002), h. 230.
                                           SEKRETARIAT:
                                           PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                           HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                    88
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
                                               SEKRETARIAT:
                                               PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                               HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                          89
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
     lahan itu seperti hak melewati, hak mengalirkan air di atasnya termasuk
     dalam akad wakaf, walaupun tidak disebutkan ketika akad terjadi.
     Misalnya juga tentang kebolehan minum air sisa minum burung buas
     seperti elang dan gagak.      Penghalalan ini ditetapkan berdasarkan
     istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minuman binatang buas
     seperti anjing dan burung buas adalah haram, karena binatang tersebut
     langsung minum dengan lisannya yang diqiyaskan kepada dagingnya.
     Menurut istihsan, berbeda antara mulut binatang buas dengan burung
     buas tadi. Kalau binatang buas langsung minum dengan mulutnya,
     sedangkan burung buas minum melalui paruhnya yang bukan
     merupakan najis. Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu
     dengan dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan antara binatang
     buas dan burung buas tadi, maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli
     kepada qiyas khafi.
  b. Jenis-jenis Istishab
     Abu Zahrah dan al-Sarakhsi membagi istishab menjadi 5 macam yaitu; 20
      20
          Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 297-298.
      21
          Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah                            al-
Risalah, 2000), h. 426.
       22
          ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, h. 92.
                                           SEKRETARIAT:
                                           PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                           HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                                                                                                           90
        JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
4) Istishab al-Hukm
                                                  ْ َ فَ ِإنَّه ي،اإلبَا َح ِة أ َ ْو ا ْل َح ْظ ِر
    ست َ ِمر َحت َّى يق ْو َم َد ِليْل مح ََّرم فِى                                              ِ ِ َوذ ِلكَ ِإذَا كَانَ فِى ا ْل َم ْوض ْوعِ ح ْك ٌم ب،صحَاب الحك ِْم              ْ ِا
                                                                                                                                                                                 ْ ِست
                                                                                                                             ْاإلبَا َح ِة َو َد ِليْل يبِيْح فِى حَا ِل ال َحظ ِر
                                                                                                                                                                                ِ حَا ِل
       Menerapkan hukum pada masa lalu untuk masa sekarang, sebelum ada
       petuntuk untuk tidak menggunakannya lagi. Kaidah turunan pada jenis
       yang keempat ini adalah  االصل بقاء ما كان على َما كانStatus kepemilikan atas
       harta benda tetap pada pemilik semula sampai ada bukti bahwa harta
       benda tersebut telah berpindah tangan.
5) Istishab al-Wasf
    مِن تَغَير               َ ستَمِر قَائِ ًما َحت َّى يَق ْو َم ال َّد ِليْل
                  َ علَى نَجَا
           ْ ستِ ِه                                                          ْ َ فَ ِإنَّ َه ي،َار ِة
                                                                                                  َ ْف م ِْن ذَ ِلكَ َوصْف ا ْل َماءِ ِبالطَّهِ صحَاب ا ْل َوص          ْ ِا
                                                                                                                                                                    ْ ِست
                                                                                                                                       َ  َ                          َ
                                                                                                                         .....  إِلى أخِ ِر ِه،ِفِى الل ْو ِن َوال َّرا َحة
                                                                                  SEKRETARIAT:
                                                                                  PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                                                                  HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                              91
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
     Dalam hal ini pula, al-Shafi’i mengeluarkan kaidah ان ما ثبت بيقين ال يرتفع اال
      بيقينbahwa suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak
     akan luntur kecuali telah muncul keyakinan baru yang mengubahnya.
     Arak yang semula secara meyakinkan dihukumi haram manakala telah
     berubah menjadi cuka maka menjadi halal. Berubah menjadi cuka
     adalah keyakinan baru yang mengubah keyakinan lama tentang
     keharaman arak.
      23
         Ahmad Hassan, Islamic Reserch Institute, diterjemahkan oleh Aqah Garnadi dengan judul Pintu Ijtihad
sebelum Tertutup, Cet. I (Bandung: Pustaka, 1984), h. 141.
      24
         Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Cairo: t.th ), h. 30.
      25
         Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: Dar al-Wahdat al-
Arabiyah, t.th), h. 589.
                                           SEKRETARIAT:
                                           PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                           HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                                                                                                                      92
         JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
merupakan suatu dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama karena istihsan
didasarkan kepada nash, ijma’darurat atau kepada qiyas khafi.26
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik juga di sisi Allah.
           26
                Al-Taftazani, Syarh al-Talwik ‘ala al-Taudih, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 62.
                                                                                SEKRETARIAT:
                                                                                PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                                                                HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                              93
     JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
masa lalu tidak ada apapun yang mengubahnya. Oleh karenanya, ketiga
waktu tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sisi ketetapan hukum
menghendaki dua hal, menetapkan (ithbat) dan melarang (nafy).
      Sementara dari sisi dalil hukum yang berkaitan dengan sisi waktu,
bahwa dalil hukum pada masa lampau akan tetap dilestarikan pada masa
sekarang dan akan datang manakala tidak ada yang mengubahnya.
Pengetahuan tentang dalil menjadi hal penting bagi aplikasi istishab.
Muhammad Taqi al-Hakim menyatakan bahwa istishab mempunyai tujuh
rukun yaitu; 27
 1) yakin terhadap realitas hukum,
 2) adanya keraguan sebagai bandingan atas sifat yakin,
 3) adanya kesatuan keterikatan antara realitas yang diyakini dengan
    realitas yang diragukan,
 4) keraguan dan keyakinan tersebut memang benar ada (faktual),
 5) adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dengan yang diragukan,
    baik dari sisi tema, obyek, maupun tingkatan permasalahan,
 6) adanya pertautan waktu antara hal yang diyakini dengan yang
    diragukan, dan
 7) keyakinan tersebut lebih dahulu ada sebelum keraguan.
      Adapun syarat-syarat istishab yang harus ada agar dapat digunakan
sebagai dalil, yaitu:28
 1) Pengguna istishab telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
    mencari bukti yang mengubah hukum yang semula ada.
 2) Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, pengguna istishab tidak
    menemukan bukti yang mengubah hukum yang telah ada.
 3) Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishab benar adanya, baik
    dari dalil shar’i ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan hanya sekedar
    dugaan.
 4) Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishab bersifat mutlaq
    (umum). Artinya, dalil lama tersebut tidak menunjukkan keberlakuan
    dirinya secara                   terus-menerus, tidak pula menujukkan
    ketidakberlakuannya sampai batas waktu tertentu. Jika demikian halnya
    maka itu tidak disebut menggunakan istishab, melainkan mengunakan
    dalil tersebut.
 5) Tidak terjadi kontradiktif antara istishab dengan nash yang ada. Bila
    terjadi kontradiktif antara keduanya, maka yang didahulukan adalah apa
    yang tertera pada nash, karena nash memiliki kekuatan hukum yang
    lebih tinggi dibandingkan dengan istishab.
      Secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang
terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-
Qur’an, hadits, ijma’                atau qiyas. Istishab merupakan sesuatu
yang fitrawi dalam diri manusia, maka dari itu jika tidak ada suatu bukti
atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum
      27
          Muḥammad Kamal al-Din Imam, Usul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Jami’iyyah li al-dirasah
wa al-Shu’un wa al-Tawzi’, 1996), h. 237-238.
       28
          ‘Awni Ahmad Muhammad Musarawah, al-Istishab, Hujjiyyatuh Wa Athruh Fi al-Ahkam                  al-
Fiqhiyyah (Nablis: t.tp, 1424 H/2003 M), h. 19.
                                           SEKRETARIAT:
                                           PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                           HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                   94
   JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
                                SEKRETARIAT:
                                PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                                                                         95
       JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
   sebagai akad yang sah karena perbuatan ini dilakukan oleh masyarakat
   banyak, berarti disepakati kebolehannya.
   Dan juga, kemungkinan ditetapkannya kebolehan transaksi seperti ini
   karena jarak yang tidak memungkinkan orang untuk langsung membeli
   ditempat produksi dan untuk memberikan kemudahan orang yang
   berjualan untuk mengembangkan bisnisnya meskipun tidak membuka
   lapak disemua tempat. Ini bukti bahwa Islam adalah agama yang tidak
   memberatkan umatnya.
3) Akad jual beli mu’atah di swalayan
   Jual beli mu’atah yaitu jual beli tanpa ada ucapan ijab qabul secara lisan.
   Menurut ketentuan umum (qiyas), setiap tansaksi jual beli harus
   memakai ijab qabul, namum karena ‘urf (kebiasaan) yang berlaku pada
   zaman sekarang di swalayan biasa terjadi transaksi jual beli tanpa
   adanya ijab qabul, maka jual beli mu’atah dibenarkan. Jual beli mu’atah
   ini sering terjadi di mal, swalayan, supermarket dan lain sebagainya. Jual
   beli ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah Al-istihsanu bil ‘urf yaitu
   penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, yang
   berdasarkan adat kebiasaan yang sudah dipraktekkan dan dikenal baik
   dalam kehidupan masyarakat yang berlaku umum.
4) Akad salam ( pesanan )
   Pada jual beli salam saat transaksi jual beli berlangsung, barang yang
   diperjualbelikan itu belum ada wujudnya. Sedangkan menurut
   ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas maka transaksi model
   seperti ini tidah sah. Karena tidak memenuhi salah satu persyaratan jual
   beli. Model jual beli ini dibolehkan berdasarkan QS. Al-Baqarah: 282
                                                                                 ٰٓ
                                                                   َ ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَيْن ا ِٰلى اَ َجل ُّم
                                   ٢٨٢ ……. ُس ًّمى فَا ْكتُب ُْو ٍۗه
   Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
   untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …...
   Dari penyelesaian masalah di atas dapat dikategorikan ke dalam istihsan
   bin nash yaitu istihsan yang berdasarkan ayat atau hadits. Maksudnya
   ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
   ketentuan kaidah umum. Mujtahid dalam meletakan hukum tidak
   menggunakan qiyas tapi menggunakan nash karena ada nash yang
   menuntunnya.
5) Menabung di Bank Konvensional
   Diperbolehkan menabung di bank konvensional ketika di daerah tersebut
   benar-benar tidak ada bank syariah. Selain itu, bekerja di bank
   konvensional sementara belum mendapatkan pekerjaan lainnya yang
   halal. Masalah tersebut masuk kategori al-istihsan bid dhoruroti yaitu
   istihsan berdasarkan keadaan darurat yang menyebabkan seorang
   mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Mujtahid juga
   tidak menuntut dalil yang secara umum karena adanya darurat yang
   menghendaki pengecualian. Dalam kata lain menghindari dari
   kemafsadatan.
                                                              SEKRETARIAT:
                                                              PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                                              HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                   96
   JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
1) Akta Nikah
   UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah secara
   hukum negara dibuktikan dengan akta nikah melalui pencatatan
   perkawinan. Munculnya akta pencatatan perkawinan ini sekaligus
   sebagai awal mula terjadinya hak dan kewajiban seorang laki-laki dan
   perempuan (suami-isteri). Dengan demikian, tanpa adanya pencatatan
   perkawinan, perkawinan jenis apapun (kawin sirri, kawin kontrak, nikah
   wisata) dianggap tidak pernah ada (tidak sah).
   Pencatatan perkawinan merupakan ijtihad ulama kontemporer berupa
   pembaruan hukum dan sekaligus keberanjakan dari fiqih klasik. Maksud
   dari pada pencatatan perkawinan adalah untuk mengeliminir terjadinya
   kemudharatan. Hal ini pun sesuai dengan kaidah menolak mudharat
   lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.
2) Persengketaan/Perselisihan
   Ketika terjadi sengketa, maka diterapkan dalil istishab, yaitu hukum
   diberlakukan sebagaimana keadaan semula kecuali ada hal lain yang
   menghendaki perubahan. Seorang penggugat harus membawa bukti,
   sebab bagi tergugat hanya perlu mengingkarinya saja. Jika bukti tidak
   ada maka jelas tergugatlah yang menang.
3) Tindakan main hakim sendiri
   Asas praduga tak bersalah, dalam hukum pidana Islam dikenal dengan
   asas legalitas, yaitu tidak ada hukum bagi perbuatan orang dewasa
   sebelum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini pun sejalan dengan asas
   nullum delictum nula poena sine praevia leg poenali artinya bahwa
   seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan
   menyatakannya.
   Oleh karena itu, tindakan main hakim sendiri yang sering terjadi di
   Indonesia, baik secara hukum positif maupun istishab tidak dapat
   dibenarkan. Contoh kasus adalah pengarakan seorang laki-laki dan
   perempuan yang terjadi di Tangerang beberapa waktu yang lalu, bahkan
   dilakukan pula oleh aparat negara. Hal itu terjadi hanya karena asumsi
   bahwa keduanya telah berbuat asusila, tanpa ada bukti dan bahkan
   saksi.
                                SEKRETARIAT:
                                PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                    97
    JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
KESIMPULAN
     Berikut ini adalah kesimpulan dari uraian mengenai hasil dan
pembahasan tentang relevansi penggunaan istihsan dan istishab dalam
kacamata ekonomi syariah:
1. Istihsan adalah merupakan salah satu metode istinbat hukum dengan
   beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat
   dari tujuan syari’at diturunkan. Istihsan selalu melihat dampak sesuatu
   ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi
   harus mendatangkan maslahah atau menghindari mudharat.
2. Istihsan termasuk salah satu metode istinbath hukum yang sangat
   relevan penggunaannya saat ini karena mengutamakan maqasid syariah
   dan selalu berusaha merealisasi serta memelihara maqasid syariah.
3. Istishab pada prinsipnya merupakan suatu metode penemuan hukum
   berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil
   (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Istishab bukanlah
   mermuskan hukum yang murni baru, tetapi justru mencari hukum
   sekarang didasarkan pada hukum lama.
                                 SEKRETARIAT:
                                 PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                 HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                    98
    JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq As-Syatiby, Al- Muwafaqat, Jilid. 5, Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah
Abu al-Hasan Ali Al-Amidy, 1983, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Jilid. 4, Beirut:
     Dar al-kutub alilmiyah.
‘Abd al-Wahhab Khallaf, 2004, ‘Ilm Usul al-Fiqh , Jiddah: al-Ḥaramayn.
Abu Ḥamid Muhammad ibn Muḥammad al-Ghazzali, 1993, Al-Mustasfa Min
     ‘Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
‘Abd al-‘Aziz ibn Muḥammad al-Bukhari, Kashf al-Asrar ‘An Usul Fakhr al-
     Islam al-Bazdwi, Vol. 2, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.
Abdul Karim Zaidan, 2002, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi, Beirut: Mu’assasah
     Risalah, 2002.
Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I , Cairo: t.th
Ahmad ibn Hanbal, 1993, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Vol. IV, Beirut: Dar
     al-Kutub al-Islamiyyah.
Ahmad Hassan, 1984, Islamic Reserch Institute, diterjemahkan oleh Aqah
     Garnadi dengan judul Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Cet. I, Bandung:
     Pustaka.
Al-Taftazani, Syarh al-Talwik ‘ala al-Taudih, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub
     al-Ilmiyah, t.th.
Alauddi Abdul Aziz al-Bazdawi, 1991, Kasyfu al-Asrar Syarhu Ushul
     al-bazdawi, Tahqiq Muhammad al-Mu’tshim Billahi, Jilid. 7, Beirut: Dar
     al-kitab              al-Arabi.
Amir Syarifuddin, 1999, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. I, Jakarta: Logos.
Amir Abdul Aziz, 1997, Ushul Fiqh Al-Islami, Darussalam.
‘Awni Ahmad Muhammad Musarawah, 2003, al-Istishab, Hujjiyyatuh Wa
     Athruh Fi al-Ahkam al-Fiqhiyyah , Nablis: t.tp.
Badran Abu al-Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy, Mesir: Mu’assasah
     Syabab al-Iskandariyah, t.th.
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah, Mesir:
     Dar al-Wahdat al-Arabiyah, t.th.
Ibn Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid , T.tp: Dar al-Kutub
     al-‘Arabiyah, t.th.
                                 SEKRETARIAT:
                                 PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                 HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com
                                                                                                    99
    JIBF Vol.II No.I , 2022 ISSN:2745-9802 (ONLINE)
                                 SEKRETARIAT:
                                 PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH STAIN MADINA, SUMATERA UTARA, INDONESIA
                                 HP/WA: 082186121778 EMAIL: journaljibf@gmail.com