0% found this document useful (0 votes)
59 views22 pages

Jurnal 1 Sinta

This document discusses economic crimes and their regulation in the Indonesian legal system. It begins by providing background on the relationship between economics and the state. It then defines economic crimes as crimes committed for economic motives. Economic crimes have the characteristics of white-collar crimes. The document examines the meaning, scope and characteristics of economic crimes. It notes that economic criminal law is part of criminal law with its own distinct economic style, covering crimes like smuggling, banking crimes, and corruption. Economic crimes are regulated primarily through Emergency Law No. 7 of 1955 on the Investigation, Prosecution and Adjudication of Economic Crimes. The regulation of economic criminal law is also contained in the Criminal Code and other laws.

Uploaded by

CV HUTAMA PUTRA
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
59 views22 pages

Jurnal 1 Sinta

This document discusses economic crimes and their regulation in the Indonesian legal system. It begins by providing background on the relationship between economics and the state. It then defines economic crimes as crimes committed for economic motives. Economic crimes have the characteristics of white-collar crimes. The document examines the meaning, scope and characteristics of economic crimes. It notes that economic criminal law is part of criminal law with its own distinct economic style, covering crimes like smuggling, banking crimes, and corruption. Economic crimes are regulated primarily through Emergency Law No. 7 of 1955 on the Investigation, Prosecution and Adjudication of Economic Crimes. The regulation of economic criminal law is also contained in the Criminal Code and other laws.

Uploaded by

CV HUTAMA PUTRA
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 22

P-ISSN: , E-ISSN:

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
smblj. Faculty of law Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Indonesia.
Open Acces at:

TINDAK PIDANA EKONOMI SERTA PENGATURANNYA

DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Fauzi Iswari & Azriadi


Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Email: iswari.fauzi@gmail.com & azriadi01@gmail.com
Abstract
Economic crime is a new dimension of crime whose perpetrators consist of the well-to-do,
intellectual, and organized groups. Economic crime is also known as white-collar crime. Another
characteristic of this crime is that it can be seen from the aspect of high mobility and is carried out
not only in one area, but also through state boundaries. This paper aims to determine the meaning
and scope of economic crimes, to determine the characteristics of economic crimes, and to
determine the regulation of economic crimes in the Indonesian legal system. Based on the research,
it was found that economic criminal law is part of criminal law which has its own style, namely
the economic style with a very broad scope, including: smuggling, banking crimes, commercial
crimes, cyber crimes, environmental crimes, criminal acts in the field of Intellectual Property
Rights, corruption, crimes in the field of manpower and others. Crimes against the economy have
the characteristics of being white-collar crimes so that they require special means for their
prevention and eradication. Thus, as a special criminal law, of course, economic criminal law has a
strong theoretical justification. Economic criminal law has special facilities, including the fields of
material criminal law and criminal procedural law. Economic crimes are regulated in the
Emergency Law no. 7 of 1955 concerning the Investigation, Prosecution and Judiciary of Economic
Crimes. In addition, the regulation of economic criminal law is also contained in Law no. 1 of 1946
concerning the Limited Criminal Code (KUHP), and several other laws and regulations outside
the Criminal Code.
Keywords: Economic crime; The regulatory system; Indonesian legal system

Abstrak
Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan berdimensi baru yang pelakunya terdiri dari
golongan mampu, intelek, dan terorganisasi. Kejahatan ekonomi lazim juga disebut
dengan kejahatan kerah putih atau white collar crime. Ciri-ciri lain dari kejahatan ini
adalah dapat dilihat dari aspek mobilitasnya yang tinggi dan dilakukan tidak hanya pada
satu wilayah saja, tetapi menerobos batas-batas Negara. Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui pengertian dan ruang lingkup tindak pidana ekonomi, untuk mengetahui
karakteristik tindak pidana ekonomi, serta untuk mengetahui pengaturan

1
Volume 1 No. 1, Juli 2022

tindak pidana ekonomi dalam system hukum Indonesia. Berdasarkan penelitian


diperoleh bahwa hukum pidana ekonomi merupakan bagian dari hukum pidana yang
memiliki corak tersendiri, yaitu corak ekonomi yang ruang lingkupnya sangat luas,
diantaranya: penyelundupan (smuggling), tindak pidana di bidang perbankan (banking
crimes), tindak pidana di bidang perniagaan (commercial crimes), cyber crimes, tindak
pidana lingkungan hidup (environment crime), tindak pidana di bidang Hak atas
Kekayaan Intelektual, tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang ketenagakerjaan
dan lain-lain. Kejahatan terhadap ekonomi memiliki karakteristik sebagai white collar
crimes sehingga memerlukan sarana-sarana khusus dalam penanggulangan serta
pemberantasannya. Dengan demikian, sebagai hukum pidana khusus tentunya hukum
pidana ekonomi memiliki dasar pembenaran teoretis yang kuat. Hukum pidana ekonomi
memiliki sarana-sarana khusus, di antara cakupannya adalah bidang hukum pidana
materiil dan juga hukum acara pidana. Tindak pidana ekonomi diatur dalam UU Darurat
No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi. Selain itu, pengaturan terhadap hukum pidana ekonomi juga termuat dalam
UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) secara limitatif, dan
beberapa peraturan perundangan lainnya di luar KUHP.
Kata Kunci: Tindak pidana ekonomi; Sistem pengaturannya; Sistem hukum Indonesia

A. PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi (dunia) pada awal pertumbuhannya, bahkan sampai
saat ini tidak terlepas dari perkembangan negara. Sejak masa pemerintahan
dilandaskan pada kerajaan sampai dengan pemerintahan yang berlandaskan pada
negara-bangsa (nation-state) dan kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan yang
dilandaskan pada kesejahteran bangsa (welfare-state) menunjukkan adanya kaitan erat
antara bidang ekonomi di satu pihak dan bidang politik di lain pihak.1

Dalam konteks negara modern, cakupan perangkat hukum ekonomi dapat


berupa di bidang hukum publik maupun di bidang hukum privat atau perpaduan
antara keduanya. Oleh karena itu, dalam hukum di bidang ekonomi terjadipemublikan
dan pemrivatan kegiatan perekonomian, sehingga penyimpangan dalam bidang
ekonomi akan dihadapi oleh sanksi pidana dan sanksi perdata. Masyarakat dalam
melakukan kegiatan ekonomi mempunyai pembatasan-pembatasan oleh

1 Daffa Abiyoga, Ivan Taffarel A, dan Donny Arjun, “Studi Pemetaan Hukum Tindak Pidana

Ekonomi Di Indonesia,” COURT REVIEW: Jurnal Penelitian Hukum 1, no. 1 (2021), h. 1.


2
Volume 1 No. 1, Juli 2022

peraturan yang ada, pembatasan ini dalam banyak hal diwujudkan dalam bentuk
ancaman pidana, khususnya jika pelanggaran itu mengakibatkan kerugian negara.

Seiring dengan kemajuan di bidang perekonomian serta ilmu pengetahuan dan


teknologi dalam masyarakat, dunia kejahatan juga semakin berkembang. Kejahatan
tidak lagi dilakukan secara tradisional, tetapi sudah memanfaatkan kemajuan
teknologi tersebut. Perkembangan tersebut menjadi ancaman sekaligus gangguan
yang dapat menggoyahkan ketahanan nasional, yang sebagaimana diketahui
merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan.2 Lebih lanjut, dibandingkan
dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda,
kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih
banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu
masyarakat.3

Pembangunan di bidang ekonomi sudah lama menjadi titik berat dalam


pembangunan jangka panjang. Hal ini karena, dengan meningkatnya hasil-hasil dalam
ekonomi secara nyata tentunya akan berdampak pula pada setiap kegiatan
pembangunan, baik pembangunan di bidang sosial, budaya, pertahanan, maupun
keamanan. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955),
merupakan regulasi utama yang diadakan untuk mengatur terkait kegiatan
perekonomian. Aturan tersebut menjadi dasar acuan bagi aturan-aturan yang akan
lahir selanjutnya dan tentunya juga ikut mengatur perekonomian bangsa ini. Undang-
undang tersebut memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk
menjabarkan norma dan pengertian perekonomian negara yang berkaitan dengan
perekonomian secara umum serta bersifat merugikan negara.4

2 Amad Sudiro, “Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi Di Bidang Perbankan,” Era Hukum 9,
no. 3 (1996), h. 56.
3 Supriyanta, “Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi,” Urnal Ekonomi Dan Kewirausahaan Vol. 7, no.

1 (2007), h. 42.
4 Anas Lutfi and Rusmin Nuriadin, “Tindak Pidana Ekonomi Sebagai Upaya Pembangunan Di

Bidang Ekonomi,” Jurnal Magister Ilmu Hukum I, no. 1 (2016), h. 1.

3
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Secara umum, kejahatan ekonomi dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan


karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives).5
Adapun tindak pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana tetapi yang
memiliki kekhususan. Di Indonesia, pengundangan tindak pidana ekonomi
relatif baru karena baru mulai dikenal sejak diundangnkan UU Darurat No. 7 Tahun 1955.6
Sementara itu, hukum pidana ekonomi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam
UU Darurat No. 7 Tahun 1955. Secara substansial dalam UU tersebut hanya menyebutkan
sebagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian yang ada, oleh sebab itu,
apabila dilihat dari substansi UU Darurat No. 7 Tahun 1955 dapat digolongkan kepada
pengertian tindak pidana ekonomi (economic crime) dalam arti sempit. Sedangkan dalam
arti luas, adalah tindak pidana yang selain dalam arti
sempit, mencakup pula tindak pidana dalam peraturan-peraturan ekonomi di luar yang
termuat dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955.7 Kegiatan di bidang perekonomian dan
keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait,
antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan
ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa
disebut dengan istilah economic crimes, crime as business,
business crime, abuse of economic power atau economic abuses.8

Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan berdimensi baru yang pelakunya


terdiri dari golongan mampu, intelek, dan terorganisasi. Kejahatan ekonomi lazim
juga disebut dengan kejahatan kerah putih atau white collar crime9. Ciri-ciri lain dari

5 Yanels Garsione Damanik, “Problematika Pencegahan Dan Kejahatan Di Bidang Ekonomi,”

Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis 1, no. 4 (2020), h. 61,


https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/view/208.
6 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Hukum Pidana Ekonomi (Banten: Penerbit Universitas

Terbuka, n.d.), h. 76.


7 Anas Lutfi dan Rusmin Nuriadin, Op.Cit., h. 2
8 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), h.

148.
9 Konsep kejahatan kerah putih pertama kali dikemukakan pada tahun 1939 di Philadelphia

oleh Edwin H. Sutherland, seorang sosiolog Amerika, yang memberikan pidato pada pertemuan
tahunan ke-34 American Sociological Association berjudul “White – Collar Criminal”. Menurut Sutherland,
White Collar Crime, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat, memiliki
status sosial yang tinggi dalam jabatan atau pekerjaan. (teks asli bisa dibaca lebih lanjut dalam:
Aleksandra Szaplonczay, “White-Collar Crime: Contemporary View,” Teisė 120 (2021), h. 140.)
4
Volume 1 No. 1, Juli 2022

kejahatan ini adalah dapat dilihat dari aspek mobilitasnya yang tinggi dan dilakukan
tidak hanya pada satu wilayah saja, tetapi menerobos batas-batas negara.10 Oleh
karena itu, terkait kejahatan ekonomi perlu dilakukan pengkajian yang lebih medalam
dan komprehensif melalui makalah yang berjudul Tindak Pidana
Ekonomi serta Pengaturannya dalam system Hukum Indonesia.

B. METODE PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena fokus kajian
berangkat dari kekaburan norma11, menggunakan pendekatan: statute approach,
conceptual approach, serta analytical approach. Tehnik penelusuran bahan hukum
menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis
kualitatif.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Tindak Pidana Ekonomi
Secara historis pengerian TPE adalah sebagaimana diatur oleh UU Darurat No.
7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi. Undang- undang Tindak Pidana Ekonomi ini adalah merupakan saduran
dari Wet op de Economische Delicten Belanda tahun 1950. UU ini secara khusus
mengatur bagaimana agar efektif perlindungan atas pelanggaran terhadap suatu
tindakan yang disebut secara tegas dalam UU itu yakni “ketentuan dalam atau
berdasarkan (i) “gecontroleerdegoederen”, (ii) “prijsbehersing”, (iii) “penimbunan
barang-barang”, (iv) “rijsterdonnantie”, (v) “kewajiban penggilingan padi”, (vi)
“devizen”. Keenam bidang itu adalah yang dianggap sangat penting ketika itu dalam

bidang perekonomian di mana semuanya saat ini sudah tidak berlaku lagi. Dengan
demikian, materi tindak pidana perekonomian atau ekonomi ini berhubungan
dengan politik hukum di bidang perekonomian pada suatu saat

Ahmad Sudiro, Op.Cit., h. 56


10
11Metode penelitian hukum normatif relevan diterapkan pada pengkajian hukum yang
mengandung problematika norma kabur, norma kosong maupun norma konflik. Lihat Diantha, I. M. P.
(2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media, hlm. 12.

5
Volume 1 No. 1, Juli 2022

tertentu. Melalui UU Darurat No. 7 Tahun 1955 ini maka mulailah istilah TPE masuk
dalam khazanah hukum pidana dan peradilan Indonesia yang berkembang sampai
sekarang.12
Tindak pidana ekonomi (TPE) itu sendiri adalah hukum pidana khusus yang
berkembang di luar kodifikasi (KUHP). TPE sebagai sistem hukum pidana khusus
sudah dikenal sejak UU Darurat No. 7 Tahun 1955 dan agaknya akan terus
berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi utamanya international
business dan international banking. Secara internasional untuk merujuk pada TPE
kecenderungan dengan atau pada kejahatan perbankan sehingga dikenal istilaah
financial crimes atau business crime.13 Saat ini, TPE telah mendapatkan nama yang
relatif baru, yaitu sebagai setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan
dalam bidang ekonomi dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana 14.
Dalam pengertian TPE ini secara jelas dinyatakan konsep keuangan.15
Sebagaimana diketahui, bahwa hukum pidana ekonomi dalam system hukum
Indonesia termasuk dalam kategori hukum pidana khusus. Pengkategorian
kejahatan ekonomi termasuk ke dalam hukum pidana khusus, berdasarkan pada
pendapat Paul Scholten yang memberi patokan “berlaku umum” dan “berlaku
khusus” terhadap hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku secara umum
disebut juga sebagai hukum pidana umum, sementara hukum pidana khusus
adalah “perundang-undangan bukan pidana yang bersanksi pidana, disebut juga
hukum pidana pemerintahan”. Adapun Andi Hamzah lebih mempersempit
pengertian pidana , yaitu berkenaan dengan istilah “perundang-undangan pidana
khusus bagi semua perundang-undangan di luar

12 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Op.Cit., h. 81-82


h. 76-77
13 Ibid.,
14 Pengertian kejahatan ekonomi yang tidak jauh berbeda, juga dapat ditelusuri dalam tulisan
klasik Mardjono Reksodiputro, dia juga mengatakan bahwa kejahatan ekonomi adalah “setiap
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang
keuangan serta mempunyai sanksi pidana. (Mardjono Reksodiputro, “Hukum Positif Mengenai
Kejahatan Ekonomi Dan Perkembangannya Di Indonesia,” Hukum Dan Pembangunan, 1989, h. 41.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1103/1026.)
15 Teguh Prasetyo dan Jeferson Kameo, “Tipologi Tindak Pidana Ekonomi Dalam Perspektif

Keadilan Bermartabat,” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 3, no. 2 (2020), h. 206.
6
Volume 1 No. 1, Juli 2022

KUHP yang mengandung ketentuan pidana, dan perundang-undangan pidana


umum bagi ketentuan yang tercantum dalam KUHP.”16
Lebih lanjut, pengertian TPE dapat dibagi ke dalam arti sempit/terbatas dan arti
luas. Dalam arti sempit, “TPE terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana oleh peraturan-peraturan yang berlaku seperti yang disebut secara
limitative dalam Pasal 1 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 atau dengan kata lain secara

sederhana dan dari sudut pandang sempit adalah semata-mata dengan mengaitkan
pada undang-undang tindak pidana ekonomi khususnya apa
yang disebut dalam Pasal 1”. Adapun pengertian TPE dalam arti luas adalah “tindak
pidana yang selain dalam arti sempit, mencakup pula tindak pidana dalam
peraturan-peraturan ekonomi di luar yang memuat dalam UU Darurat No.
7 Tahun 1955”. Atau secara akademis dan dalam pengertian luas, kejahatan
ekonomi dapat ditafsirkan sebagai perbuatan seseorang yang melanggar peraturan
pemerintah dalam lapangan ekonomi.17 Dengan demikian, tindak pidana di bidang
ekonomi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai semua tindak pidana di luar
UU Darurat No. 7 Tahun 1955 yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang
dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan Negara yang sehat. Tindak pidana di bidang ekonomi dalam pengertian
yang luas ini disebut pula sebagai “kejahatan ekonomi”.18
Kejahatan di bidang ekonomi dapat diartikan secara umum sebagai kejahatan
yang dilakukan karena motif-motif ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan
oleh Muladi yang mengatakan bahwa “Tindak pidana ekonomi (economic
crime/financial crime) adalah tindakan ilegal yang dilakukan seorang individu atau
kelompok individu yang terorganisasi untuk memperoleh keuntungan finansial
atau professional.”19 Kemudian sebagaimana dikutip juga oleh Muladi,

16 Ibid., h. 78
17 Edi Setiadi, “Reformasi Hukum Pidana, Untuk Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan Di
Bidang Ekonomi (Economic Crimes),” Jurnal Sosial Pembangunan 16, no. 3 (August 2000), h. 207.
Adapun uraian yang tidak berbeda dapat juga ditemukan dalam Hartiwiningsih dan Lushiana
Primasari, Op.Cit., h. 79
18 Daffa Abiyoga, Ivan Taffarel A, dan Donny Arjun, Op.Cit., h. 2
19 Muladi, “Watak Khas Tindak Pidana Ekonomi,” Kompas.id, 2020,
https://www.kompas.id/baca/opini/2020/02/29/watak-khas-tindak-pidana-
7
Volume 1 No. 1, Juli 2022

kementerian Kehakiman AS (1976) dan Edelhertz (1970) menyatakan, “Tindak


pidana ekonomi merupakan suatu aktivitas kriminal tanpa menggunakan
kekerasan yang terutama bersangkutan dengan gagasan tradisional yang bersifat
kebohongan (deceit), tipu muslihat (deception), penyembunyian fakta (concealment),
kecurangan (manipulation), pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan
(subterfuge) atau penyimpangan tak sah (illegal circumvention).”20
Selanjutnya, terkait unsur-unsur TPE menurut Coklin sebagaimana dikutip
oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, yaitu sebagai berikut:
a. suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana;
b. dilakukan oleh perseorang atau korporasi dalam pekerjaannya yang sah atau
dalam pencarian/usahanya di bidang industeri atau perdagangan;
c. untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari pembayaran
uang atau menghindari kehilangan/kerugian kekayaan, memperoleh
keuntungan bisnis atau keuntungan pribadi.21

Rumusan lain terkait unsur-unsut TPE, dikemukakan oleh Edi Setiadi dan
Rena Yulia sebagaimana dikutip oleh Hartiwiningsih, yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada dasarnya
bersifat normal dan sah;
b. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan negara atau
masyarakat secara umum, tidak hanya kepentingan individual;
c. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang
merugikan perusahaan lain atau individu lain.22

Berpijak pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa hukum pidana


ekonomi merupakan bagian dari hukum pidana yang memiliki corak tersendiri,
yaitu corak ekonomi. Dengan demikian, hukum pidana ekonomi hendaknya
mengambil tempat di samping hukum pidana. Lebih lanjut, menurut Moch. Anwar
sebagaimana dikutip oleh Hartiwiningsih mengartikan hukum pidana ekonomi
adalah “sekumpulan peraturan bidang ekonomi yang membuat

ekonomi?utm_source=kompasid&utm_medium=bannerregister_meteredpaywall&utm_campaign=me
tered_paywall&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2020%2F02%2
F29%2Fwatak-khas-tindak-pidana-ekonomi&status=sukses_login&status_login=login. Dikunjungi 24
juni 2022.
20 Ibid.
21 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 153
22 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Op.Cit., h. 88

8
Volume 1 No. 1, Juli 2022

ketentuan-ketentuan tentang keharusan/kewajiban dan atau larangan, yang


diancam dengan hukuman”.23 Adapun istilah TPE yang dikenal di Indonesia apabila
dilihat dari substansi UU Darurat No 7 Tahun 1955 tampak lebih dekat atau dapat
dimasukkan ke dalam istilah economic crime dalam arti sempit. Hal ini disebabkan

undang-undang tersebut secara substansial hanya memuat ketentuan- ketentuan


yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan.24

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi


Berkaitan dengan TPE, menurut Muladi hal yang paling mendasar adalah
“pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian
dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi
yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh
bangsa tersebut”.25 Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi
yang diatur dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 adalah tindak pidana sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e. 3 Tindak pidanaPasal 1 sub 2e
adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU Darurat No. 7 Tahun 1955.
Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam
atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan
pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.
Menurut Ahmad Sudiro bentuk-bentuk TPE antara lain mencakup: (1)
Pelanggaran/penghindaran pajak, (2) penipuan atau kecurangan di bidang
perkreditan (credit fraud), (3) penggelapan dana-dana masyarakat (embezzlement of
publick funds), dan penyelewengan/penyalahgunaan dana-dana masyarakat
(misapropiation of publick funds), (4) pelanggaran terhadap peraturan keuangan
(violation of currency regulations), (5) spekulasi dan penipuan dalam transaksi tanah
(speculation and swinding in land transactions), penyelundupan (smugling), (6) delik-
delik lingkungan (environmental offences), (7) menaikan harga (over pricing), serta

23 Ibid., h. 78
24 Ibid., h. 83
25 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 13

9
Volume 1 No. 1, Juli 2022

mengekspor dan mengimpor barang-barang di bawah standar dan bahkan hasil-


hasil produksi yang membahayakan (export and import of standart and even
dangerously unsafe products), (8) ekploitasi tenaga kerja (labour exploitation), dan (9)
penipuan konsumen (consumer fraud).26
Dalam perkembangannya, selain yang telah diuraikan di atas pidana
perbankan juga menjadi bagian dari TPE, selain tindak pidana di bidang bea cukai
(smuggling), kecurangan dibidang kebeacukaian (customs fraud), kejahatan
dibidang pengangkutan laut (maritime), kejahatan dibidang perikanan (illegal
fishing) dst.27 Perbuatan-perbuatan yang diuraikan sebagai perbuatan tindak pidana
dalam arti sempit penentuannya tergantung dari arah politik ekonomi pemerintah. Hal
itu berarti bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan yang
terjadi secara nasional, regional, dan internasional sehingga wajar apabila
peraturan-peraturan di bidang ekonomi sering berubah-ubah dan sulit untuk
mengidentifikasikan peraturan-peraturan mana yang masih berlaku atau
peraturan mana yang sudah tidak berlaku. Hal demikian, berimbas sulitnya
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang merupakan tindak pidana ekonomi
dan mana yang bukan.28
Dalam undang-undang tindak pidana ekonomi terdapat perbedaan secara
tegas antara tindak pidana ekonomi berupa kejahatan dan tindak pidana ekonomi
berupa pelanggaran.29 Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU Darurat
No. 7 Tahun 1955, yang menyatakan bahwa:
a. Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 1 c adalah kejahatan atau
pelanggaran, sekadar tindak itu menurut ketentuan dalam undang-undang
yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. Tindak-pidana
ekonomi yang lainnya, yang tersebut dalam pasal 1 sub 1 e adalah kejahatan,
apabila tindak itu dilakukan dengan sengaja. Jika tindak itu tidak dilakukan
dengan sengaja, maka tindak itu adalah pelanggaran.
b. Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 2e adalah kejahatan.
(3)Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 3e adalah kejahatan,
apabila tindak itu mengandung anasir sengaja; jika tindak itu tidak

26 Ahmad Sudiro, Op.Cit., h. 57-58


27 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Op.Cit., h. 76
28 Ibid., h. 79-80
29 Ibid., h. 95-96

10
Volume 1 No. 1, Juli 2022

mengandung anasir sengaja, tindak-pidana itu adalah pelanggaran; satu


dengan lainnya, jika dengan undang-undang itu tidak ditentukan lain.

Dari Pasal-Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan legislativeyang


ditempuh dalam mengklasifikasikan ruang lingkup TPE itu kejahatan atau
pelanggaran menggunakan ukuran sebagai berikut: Pertama-tama diserahkan
kepada undang-undang bersangkutan, artinya bahwa suatu jenis TPE merupakan
kejahatan atau pelanggaran diserahkan sepenuhnya kepada undang-undang.
Dalam hal ini, undang-undang tidak menentukan yang dipakai ukuran adalah unsur
kesengajaan, artinya apabila suatu tindak pidana dilakukan dengan sengaja maka
merupakan kejahatan, sedangkan apabila tidak dilakukan dengan sengaja maka
tindak pidana ekonomi itu merupakan pelanggaran.30
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa ruang lingkup tindak
pidana ekonomi (economic crimes) sangat luas, meliputi berbagai tindak tindak
pidana, diantaranya: penyelundupan (smuggling), tindak pidana di bidang
perbankan (banking crimes), tindak pidana di bidang perniagaan (commercial
crimes), cyber crimes, tindak pidana lingkungan hidup (environment crime), tindak
pidana di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual, tindak pidana korupsi, tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan dan lain-lain.

3. Karakteristik Tindak Pidana Ekonomi


Sampai sekarang tidak ada teori yang dapat menjelaskan pengertian tindak
pidana ekonomi dengan memuaskan. Termasuk pula menguraikan karakteristik
maupun tipe-tipe economic crime. Namun sebagai acuan Edmund Kitch telah
mengemukakan ada tiga karakteristik atau features of economic crime yaitu sebagai
berikut: “Pertama, pelaku menggunakan modus operandi kegiatan ekonomi pada
umumnya; kedua tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha
yang sukses dalam bidangnya dan ketiga, tindak pidana ini memerlukan
penanganan atau pengendalian secara khusus dari aparatur penegak hukum.”31

30 Ibid., h. 96-97
31 Ibid., h. 118
11
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Kejahatan terhadap ekonomi memiliki karakteristik sebagai white collar crimes


sehingga memerlukan sarana-sarana khusus dalam penanggulangan serta
pemberantasannya. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya sebagai white collar
crimes. Dengan demikian, sebagai hukum pidana khusus tentunya hukum pidana
ekonomi memiliki dasar pembenaran teoretis yang kuat. Hukum pidana ekonomi
memiliki sarana-sarana khusus, di antara cakupannya adalah bidang hukum
pidana materiil dan juga hukum acara pidana.32
Sedangkan tipe tindak pidana ekonomi menurut Ensiklopedi Crime and
Justice dibedakan dalam tiga tipe tindak pidana ekonomi yaitu property crimes,
regulatory crimes, dan tax crimes.33 Property Crimes Yaitu perbuatan yang
mengancam harta benda atau kekayaan seseorang atau negara. Property crime
meliputi pula objek yang dikuasai individu atau perorangan serta yang dikuasai
oleh negara. Regulatory Crimes Yaitu suatu perbuatan yang melanggar aturan-
aturan pemerintah (action that violate government regulations) yang berkaitan dengan
usaha di bidang perdagangan atau pelanggaran ketentuan-ketentuan mengenai
standarisasi dalam dunia usaha. Misalnya pelanggaran perdagangan narkotika,
penyelenggaraan pelacuran, pemalsuan kewajiban pembuatan laporan dari
aktivitas usaha di bidang perdagangan, larangan monopoli dalam dunia usaha serta
kegiatan usaha yang berlatar belakang politik. Tax Crime yaitu pelanggaran
mengenai pertanggungjawaban atau pelanggaran syarat-syarat yang berhubungan
dengan pembuatan laporan menurut undang-undang pajak (violations of the liability
or reporting requirenments of the tax law), misalnya penyelundupan dan penggelapan
pajak oleh pengusaha atau konglomerat.34

32 RB Budi Prastowo, “Membangun Sistem Hukum Pidana Ekonomi Indonesia Reinventing


Indonesian Economic Criminal Law System” (Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 2014),
http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/1985/Cover - Bab1 - 82208007sc-
p.pdf?sequence=1&isAllowed=y#:~:text=Kejahatan ekonomi memiliki karakteristik sebagai,kuat
sebaga hukum pidana khusus.
33 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Op.Cit., h. 118-119
34 Musa Darwin Pane, “Bahan Ajar Tindak Pidana Ekonomi” (Bandung: Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia, 2017), h. 6-8


https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/808/jbptunikompp-gdl-musadarwin-40353-1-bahanaj-i.pdf.
12
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Di sisi lain, adapun sifat tindak pidana ekonomi berdasarkan penjelasan resmi
UU Darurat No. 7 Tahun 1955, yakni:
a. Praktik Jahat Kalangan perdagangan, penjelasan resmi UU Darurat No. 7 Tahun
1955, antara lain memuat: “dapat dipahami dengan pengetahuan bahwa
kalangan perdagangan berupaya secara maksimal untuk memperoleh
keuntungan (laba) sebesar-besarnya, kadang-kadang mereka lupa akan etika
bahkan berupaya melanggar peraturan. Tanpa memperdulikan kepentingan
umum. Hal yang demikian wajar jika dikategorikan sebagai praktik yang jahat.”
b. Mengancam/Merugikan aspek, kepentingan umum, Pejelasan umumundang-
undang nomor UU Darurat No. 7 Tahun 1955 antara lain memuat:
“mengancam dan merugikan kepentingan-kepentingan yang sangat
gecomplceerd” Dalam kamus, gecompliceer adalah ruwet, kalut, rumit.”
c. Anggapan Bahwa mencari untung sebesarnya-besarnya merupakan kalkulasi
perhitungan usaha, bukan suatu kejahatan.35

Terkait corak TPE, secara umum dapat dibedakan atas dua hal, di antaranya
sebagaimana dijelaskan di bawahni:
a. Consist of crime committed by businessman as an adjunk to their regular business
activities (kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis sebagai
tambahan kegiatan bisnis mereka yang tetap).
b. The provision of illegal goods and services of provision of goods and services in an
illegal manner (Penyediaan barang-barang dan jasa-jasa yang illegal atau
penyediaan barang-barang dan jasa-jasa dengan cara illegal).36

Selanjutnya, sebagaimana dikutip oleh Hartiwiningsing dari Nyoman Serikat


Putra Jaya, Kitch (1983) mengemukakan bahwa ada setidaknya tiga ciri kejahatan
ekonomi (economic crime) yang menjadikan kejahatan tersebut sebagai special
interest, yaitu:
a. the economics crime adopts methods of operation that are difficult to distinguish from
normal commercial behavior (kejahatan ekonomi pelaksanaan menggunakan
metode atau cara yang sulit membedakannya dengan perilaku komersialyang
normal).
b. economic crime may involve the participation of economically successful individual of
otherwise upright community standing (kejahatan ekonomi bisa melibatkan
partisipasi dari individu-individu yang sukses di bidang ekonomi, partisipasi
individu-individu yang mempunyai status yang bagus dalam masyarakat).
35 Sadino dan Bella Nurul Hidayati, “Perkembangan Hukum Tindak Pidana Ekonomi,” Jurnal
Magister Ilmu Hukum (Hukum Dan Kesejahteraan) II, no. 1 (2017), h. 15,
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/JMIH/article/view/737.
36 Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari, Op.Cit., h. 121

13
Volume 1 No. 1, Juli 2022

c. many economic crimes present special challenges to prosecutors, to the criminaljustice


system, and to civil liberties (banyak kejahatan ekonomi menghadirkan tantangan
khusus terhadap penuntut umum, terhadap sistim peradilan pidana, dan
terhadap kebebasan perorangan).37

Perkembangan berbagai TPE di Era Globalisasi terasa begitu sangat cepat


dengan dengan modus operandi yang beraneka ragam. Kondisi yang demikian telah
menggeser istilah “White Collar Crime” ke istilah “socio-economic offences”, Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Edi Setiadi, yang mengatakan bahwa:
“Perkembangan kejahatan ekonomi terasa sangat cepat. Dalam era globalisasi
ini telah muncul berbagai jenis kejahatan ekonomi yang tipologi dan
karakteristiknya berbeda-beda, misalnya apa yang disebut money laundering,
kejahatan di bidang Pasar Modal, Kejahatan perbankan dan lain sebagainya.
Istilahnya pun telah bergeser dari istilah “white collar crime” ke istilah “socio-
economic offences”, yang pertama kali diperkenalkan dalam seminar mengenai
“The Prevention and Control of Social and Economic Offences” tahun 1978.” 38

Lebih lanjut, terkait untuk mengidentifikasi sifat kejahatan sosio ekonomi,


menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Setiadi, yaitu sebagai berikut:39
1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan;
2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban;
3. Penyembunyian pelanggaran.
Sementara, tipe-tipe dari kejahatan sosio ekonomi tersebut adalah:
1. Kejahatan yang dilakukan dalam kerangka individual;
2. Kejahatan yang dilakukan dalam kerangka perdagangan, pemerintahan atau
kelembagaan lain, dalam kerangka menjalankan pekerjaan tetapi dengan cara
melanggar kepercayaan.
3. Kejahatan yang berhubungan atau merupakan kelanjutan operasional
perdagangan, tetapi bukan merupakan tujuan utama perdagangan tersebut;
dan
4. Kejahatan ekonomi sebagai usaha bisnis atau sebagai aktifitas utama.

4. Pengaturan Tindak Pidana Ekonomi Dalam Sistem Hukum Indonesia


Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Prof. Subekti, SH
menyebutkan sistem adalah “suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu

37 Ibid.,h. 121-122
38 Edi Setiadi, Op.Cit., h. 208
39 Ibid.

14
Volume 1 No. 1, Juli 2022

keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain,
tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untul
mencapai suatu tujuan.” 40 Pendapat lain dikemukakan oleh Harsanto Nursadi, dia
mengatakan bahwa “sistem adalah sesuatu yang saling berhubungan dan saling
ketergantungan dari masing-masing bagian-bagiannya sehingga merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya.”41
Sementara yang dimaksud dengan system hukum, secara sederhana Zaka Firma
Aditya dan Rizkisyabana Yulistyaputri menuliskan bahwa “sistem Hukum
merupakan sekumpulan sikap yang telah mengakar kuat dan terkondisikan secara
historis terhadap hakikat hukum, aturan hukum dalam masyarakat dan ideologi
politik, organisasi serta penyelenggaraan sistem hukum.”42
Dalam lingkup kajian hukum, agar sistem yang bekerja dapat dipahami, maka
sangat releven menjadikan pendapat dari Lawrence M. Friedman sebagai
batasannya. Berkenaan dengan sistem hukum, Lawrence M. Friedman membaginya
ke dalam tiga komponen atau fungsi, yaitu komponen struktural, komponen
substansi dan komponen budaya hukum. Ketiga komponen tersebut dalam suatu
sistem hukum saling berhubungan dan saling tergantung.43 Oleh karena itu,
berbicara dalam kontek system hukum yang mengatur terkait TPE, maka yang
dimaksud di sini adalah komponen substansi. Hal ini karena, dalam komponen
substasi tersebutlah dibicarakan kaidah hukum, baik yang berwujud in
concreto (kaidah hukum individual) dan in abstracto (kaidah hukum umum). Atau
dengan kata lain, system yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentantang TPE.

40 Fajar Nurhardianto, “Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia,” Jurnal TAPIs 11, no. 1

(2015), h. 34-35.
41 Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, 1st ed. (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka,

2008), h. 1.
42 Zaka Firma Aditya dan Rizkisyabana Yulistyaputri, “Romantisme Sistem Hukum Di Indonesia :

Kajian Atas Konstribusi Hukum Adat Dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Di Indonesia,”
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 8, no. 1 (2019), h. 38,
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v8i1.305.
43 Harsanto Nursadi, Op.Cit., h. 6

15
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Tindak pidana ekonomi (TPE) diatur dalam UU Darurat No. 7 tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Sesuai
dengan namanya Undang-Undang Darurat44 yaitu undang-undang yang
dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam
suatu keadaan yang mendesak agar segera diberlakukan, karena pada saat itu
memang sangat di perlukan adanya undang-undang ini, kalau kita flash back ke
sejarah lahirnya UU Darurat No. 7 tahun 1955 bahwa pada saat itu Indonesia baru
saja merdeka, dan untuk kemajuan perekonomian bangsa maka Indonesia
membuka diri untuk berbagai jenis investasi.45 Selain dalam UU Darurat No. 7
Tahun 1955, pengaturan terhadap TPE juga termuat dalam UU No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) secara limitatif, dan beberapa peraturan
perundangan lainnya di luar KUHP.46
UU Darurat No. 7 tahun 1955 adalah merupakan saduran dari wet op de
Economich Delicten di Nederland/Belanda47, tetapi telah disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia walaupun ada beberapa kalimat yang masih asli dari
induknya seperti dalam Pasal 1. Dalam Pasal 1 angka 1e disebutkan bahwa tindak-

44 Undang-undang darurat adalah undang-undang yang ditetapkan oleh Pemerintah tanpa

persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Undang-undang darurat ini dibuat
untuk mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang perlu diatur dengan segera karena
adanya keadaan darurat. Sekarang, dalam hal terjadi keadaan mendesak dan perlu pengaturan segera,
yang ditetapkan oleh pemerintah bukan lagi undang-undang darurat, melainkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu). Fungsi Perpu serupa dengan undang-undang darurat. Hal ini dapat
dilihat dari pengaturan mengenai Perpu dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. (Letezia Tobing,
“Arti Dan Kedudukan Undang-Undang Darurat,” https://www.hukumonline.com/, 2013,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-dan-kedudukan-undang-undang-darurat-
lt51ae7d86ef8fb. dikunjungi 24 juni 2022)
45 Dini Ramdania, “Eksistensi Undang-Undang Drt Nomor 7/1955 Dalam Penegakan Hukum Di

Bidang Ekonomi (Economic Crimes),” Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 1 (2021), h. 4.
https://doi.org/https://doi.org/10.32816/paramarta.v20i1.95.
46 Patricia Rinwigati, Tindak Pidana Ekonomi Dalam RKUHP: Quo Vadis?, 1st ed. (Jakarta: Aliansi

Nasional Reformasi KUHP, 2016), h. 2.


47 Undang-undang ini sebenamya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan

mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua tindak pidana di bidang ekonomi
diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten. Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh,
karena tindak pidana ekonomi yang lahir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang.
Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak kosisten.Yoserwan, “Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Di Bidang Ekonomi Di Indonesia,” Jurnal Masalah-
Masalah Hukum 40, No. 2 (2011), h. 125, Https://Doi.Org/10.26532/Jh.V29i1.329.
16
Volume 1 No. 1, Juli 2022

pidana ekonomi merupakan pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau


berdasarkan:
a. Ordonnantie Gecontroleerde Goederen 1948 (Staatsblad 1948 No. 144),
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1949 No. 160;
b. Prijsbeheersing-ordonnantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 295);
c. Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951 (Lembaran Negara tahun
1953 No.4);
d. Rijsterdonnantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 253);
e. Undang-undang Darurat kewajiban penggilingan padi (Lembaran Negara
tahun 1952 No.33);
f. Deviezen Ordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205).

Menurut Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Dini Ramdania, ada tiga
golongan delik dalam UU Darurat No. 7 tahun 1955, yaitu:
1. Golongan pertama ditunjuk undang-undang, ordonanties yang dimaksudkan
menjadi delik ekonomi, diatur dalam Pasal 1 sub 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955.
a. Indische scheepvaartwet (Stbl. 1936 Nomor 700), Scheeovaart verordening nya
(Stbl. 1936 Nomor 703). Ini sudah dicabut, diganti dengan Undang- Undang
tentang pelayaran (UU No 17 tahun 2008), yang tidak dimasukan dalam
delik ekonomi.
b. Bedriff Reglementerings Ordonantie 1934 (Stbl. 1938 Nomor 86), ordonansi ini
sudah dicabut yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang tentang
Perindustrian (UU No. 22 tahun 1984).
c. Kapok Belangen Ordonantie 1935 (Stbl. 1935 Nomor 1650, Pasal 5
menyebutkan bahwa dilarang tanpa ijin tertulis yang diberikan oleh
Direktur atau seorang pegawai yang ditunjuk olehnya untuk mengeluarkan
kapok.
d. Ordonantie Aetherische Olien (Stbl. 1937 Nomor 601), yaitu tentang ekspor
minyak.
e. Ordonantie Cassava Producten 1937 (Stbl. 1937 Nomor 602), yaitu tentang
pelarangan ekspor produk ketela.
f. Krosok Ordonantie 1937 (Stbl. 1937 Nomor 64) yaitu pelarangan ekspor
krosok atau tembakau.
2. Golongan kedua, UU Darurat No. 7 tahun 1955 sendiri memuat perumusan
delik seperti dalam Pasal 26, 32 dan 33 yang semuanya merupakan
pelanggaran terhadap hukum acara.
Pasal 26 UU Darurat No. 7 tahun 1955 mengatur tentang subjeknya adalah
“barang siapa” dan adanya bagian inti delik yaitu dengan “sengaja dan tidak
memenuhi tuntutan pegawai pengusust, berdasarkab suatu aturan dari
undang-undang darurat ini adalah tindak pidana ekonomi,
mengenyampingkan Pasal 216 KUHP”.

17
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Pasal 32 UU Darurat No. 7 tahun 1955 mengatur tentang subjek yaitu dengan
kalimat “Barang siapa” dan inti delik adalah dengan “sengaja”, “berbuat atau tidak
berbuat sesuatu” dan “yang bertentangan dengan suatu hukuman tambahan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) sub a,b atau e dengan suatu
tindakan tata tertib seperti tercantum dalam Pasal 8, dengan suatu peraturan
seperti termaksud dalam Pasal 10, atau dengan suatu tindakan tata tertib
sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tata tertib,
peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas”.
Pasal 33 UU Darurat No. 7 tahun 1955 mengarur tentang subjek “ Barang
Siapa”, dan bagian initi deliknya menyebutkan subjek adalah “Barang siapa”,
bagian intinya adalah “sengaja”, “baik sendiri atau dengan perantaraan orang
lain”, “menarik bagian- bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-
tagihan atau pelaksaan suatu hukuman, tindakan tata tertib atautindakan tata
tertib sementara, berdasarkan UUTPE”.
3. Golongan ketiga, ialah undang-undang yang dibuat belakangan yang secara
tegas dinyatakan dalam undang-undang itu bahwa pelanggaran atasnya
termasuk delik ekonomi seperti umpamanya UU No 8 (Prp) tahun 1962
tentang Pengawasan Barang-Barang.48

Untuk mengetahui pengaturan terkait TPE dalam ketentuan hukum Indonesia


terlebih dahulu harus melakukan inaventarisasi aturan hukum pidana dalam hal ini
undang-undang terkait dengan TPE. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh
Yoserwan, terhadap aturan-aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi,
yaitu: (1) Undang-undang No. 7/drt/Tahun 1955 tentang Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi; (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif; (3) Undang-Undang No. 6 tahun 1983 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun
2000 jo. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan tata cara Perpajakan; (4) Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; (5)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; (6) Undang-Undang No.
10 tahun 1995 jo. Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan; (7)
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; (8) Undang-
undang No. 5 Tahun 1999 Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (9)
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (10) Undang-undang No.

48 Dini Ramdania, Op.Cit., h. 5-6


18
Volume 1 No. 1, Juli 2022

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004; (11)
Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang lalu Lintas Devisa; (12) Undang-
Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; (13) Undang-Undang No. 14 Tahun
2001 tentang Hak Paten.49

C. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan makalah
ini, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
a. Pengertian TPE dapat dibagi ke dalam arti sempit/terbatas dan arti luas. Dalamarti
sempit, TPE terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
oleh peraturan-peraturan yang berlaku seperti yang disebut secara limitative dalam

Pasal 1 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 atau dengan kata lain secara sederhana dan
dari sudut pandang sempit adalah semata-mata dengan mengaitkan pada undang-
undang tindak pidana ekonomi khususnya apa yang
disebut dalam Pasal 1. Adapun pengertian TPE dalam arti luas adalah tindak pidana
yang selain dalam arti sempit, mencakup pula tindak pidana dalam peraturan-
peraturan ekonomi di luar yang memuat dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955.
b. Kejahatan terhadap ekonomi memiliki karakteristik sebagai white collar crimes
sehingga memerlukan sarana-sarana khusus dalam penanggulangan serta
pemberantasannya. Dengan demikian, sebagai hukum pidana khusus tentunya
hukum pidana ekonomi memiliki dasar pembenaran teoretis yang kuat. Hukum
pidana ekonomi memiliki sarana-sarana khusus, di antara cakupannya adalah
bidang hukum pidana materiil dan juga hukum acara pidana.
c. Tindak pidana ekonomi (TPE) diatur dalam UU Darurat No. 7 tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Selain
dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955, pengaturan terhadap TPE juga termuat
dalam UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) secara
limitatif, dan beberapa peraturan perundangan lainnya di luar KUHP, seperti

49 Yoserwan, Op.Cit., h. 126

19
Volume 1 No. 1, Juli 2022

UU Pajak, UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Hak Cipta, UU Paten, UU


Persaingan Usaha, dll.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hartiwiningsih, dan Lushiana Primasari. Hukum Pidana Ekonomi. Banten: Penerbit
Universitas Terbuka, n.d.
Muladi, dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1992.
Nursadi, Harsanto. Sistem Hukum Indonesia. 1st ed. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka, 2008.
Rinwigati, Patricia. Tindak Pidana Ekonomi Dalam RKUHP: Quo Vadis? 1st ed. Jakarta:
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2016.

Jurnal:
Abiyoga, Daffa, Ivan Taffarel A, and Donny Arjun. “Studi Pemetaan Hukum Tindak Pidana
Ekonomi Di Indonesia.” COURT REVIEW: Jurnal Penelitian Hukum 1, no. 1 (2021):
2.
Aditya, Zaka Firma, and Rizkisyabana Yulistyaputri. “Romantisme Sistem Hukum Di
Indonesia : Kajian Atas Konstribusi Hukum Adat Dan Hukum Islam Terhadap
Pembangunan Hukum Di Indonesia.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional 8, no. 1 (2019): 37–58.
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v8i1.305.
Damanik, Yanels Garsione. “Problematika Pencegahan Dan Kejahatan Di Bidang
Ekonomi.” Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis 1, no. 4 (2020): 61.
https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/view/208.
Lutfi, Anas, and Rusmin Nuriadin. “Tindak Pidana Ekonomi Sebagai Upaya
Pembangunan Di Bidang Ekonomi.” Jurnal Magister Ilmu Hukum I, no. 1 (2016): 1.
Nurhardianto, Fajar. “Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia.” Jurnal TAPIs 11,
no. 1 (2015): 34–45.
Pane, Musa Darwin. “Bahan Ajar Tindak Pidana Ekonomi.” Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Komputer IndoneSIA, 2017.
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/808/jbptunikompp-gdl-musadarwin-40353-
1-bahanaj-i.pdf.
Prasetyo, Teguh, and Jeferson Kameo. “Tipologi Tindak Pidana Ekonomi Dalam
Perspektif Keadilan Bermartabat.” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 3, no. 2
(2020): 206.
Prastowo, RB Budi. “Membangun Sistem Hukum Pidana Ekonomi Indonesia
20
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Reinventing Indonesian Economic Criminal Law System.” Universitas Katolik


Parahyangan Bandung, 2014.
http://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/1985/Cover - Bab1 -
82208007sc-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y#:~:text=Kejahatan ekonomi memiliki
karakteristik sebagai,kuat sebaga hukum pidana khusus.
Ramdania, Dini. “Eksistensi Undang-Undang Drt Nomor 7/1955 Dalam Penegakan
Hukum Di Bidang Ekonomi (Economic Crimes).” Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu
Hukum 20, no. 1 (2021): 1–14.
https://doi.org/https://doi.org/10.32816/paramarta.v20i1.95.
Reksodiputro, Mardjono. “Hukum Positif Mengenai Kejahatan Ekonomi Dan
Perkembangannya Di Indonesia.” Hukum Dan Pembangunan, 1989.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1103/1026.
Sadino, and Bella Nurul Hidayati. “Perkembangan Hukum Tindak Pidana Ekonomi.”
Jurnal Magister Ilmu Hukum (Hukum Dan Kesejahteraan) II, no. 1 (2017): 13–24.
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/JMIH/article/view/737.
Setiadi, Edi. “Reformasi Hukum Pidana, Untuk Mengantisipasi Perkembangan Kejahatan
Di Bidang Ekonomi (Economic Crimes).” Jurnal Sosial Pembangunan 16, no. 3
(August 2000): 205–14.
Sudiro, Amad. “Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi Di Bidang Perbankan.” Era Hukum
9, no. 3 (1996): 56.
Supriyanta. “Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi.” Jurnal Ekonomi Dan Kewirausahaan 7, no.
1 (2007): 42.
Szaplonczay, Aleksandra. “White-Collar Crime : Contemporary View.” Teisė 120 (2021): 140.
Yoserwan. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Di
Bidang Ekonomi Di Indonesia.” Jurnal Masalah-Masalah Hukum 40, no. 2 (2011): 123–
32. https://doi.org/10.26532/jh.v29i1.329.

Wabsite:
Muladi. “Watak Khas Tindak Pidana Ekonomi.” Kompas.id, 2020.
https://www.kompas.id/baca/opini/2020/02/29/watak-khas-tindak-pidana-
ekonomi?utm_source=kompasid&utm_medium=bannerregister_meteredpaywall&
utm_campaign=metered_paywall&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.i
d%2Fbaca%2Fopini%2F2020%2F02%2F29%2Fwatak-khas-tindak-pidana-
ekonomi&status=sukses_login&status_login=login. Dikunjung 24 juni 2022
Tobing, Letezia. “Arti Dan Kedudukan Undang-Undang Darurat.”
https://www.hukumonline.com/, 2013.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-dan-kedudukan-undang-undang-
darurat-lt51ae7d86ef8fb. Dikunjung 24 juni 2022

21
Volume 1 No. 1, Juli 2022

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang
Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

22

You might also like