0% found this document useful (0 votes)
45 views49 pages

Fix Bab II

This document provides an introduction and background on asthma. It defines asthma as a chronic inflammatory disease of the airways characterized by recurring episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. It is estimated that 100-150 million people worldwide suffer from asthma. The document then discusses the prevalence of asthma in Indonesia, risk factors, types of asthma, and levels of asthma severity.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
45 views49 pages

Fix Bab II

This document provides an introduction and background on asthma. It defines asthma as a chronic inflammatory disease of the airways characterized by recurring episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. It is estimated that 100-150 million people worldwide suffer from asthma. The document then discusses the prevalence of asthma in Indonesia, risk factors, types of asthma, and levels of asthma severity.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 49

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat didada terutama pada malam dan dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma
bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai
berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Nuha Medika, 2016)
Diperkirakan ada 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan
jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang
setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai
300 juta orang diseluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun
belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik maka
diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi dimasa
yang akan dating serta mengganggu kualitas hidup pasien (WHO, 2016)
Di Amerika Serikat tahun 2010, pravelensi asma mencapai 25,7juta
(8,4%), meningkat sebesar 7,3 % disbanding tahun 2001 (Haryanti,2016). Di
Indonesia termasuk Negara yang memiliki angka kejadian asma yang cukup
tinggi. Berdasarkan data dari Yayasan Penyantun Asma, kasus asma di
Indonesia mencapai 12 juta atau sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia
(Aliyah, 2015).
Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti
Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan
(6,7%). Prevalensi asma pada kelompok umur ≥45 tahun mulai menurun.
Prevalensi asma pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki.
Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks
kepemilikan ter bawah. (RISKESDAS, 2013).
Jumlah penderita asma pada anak-anak diketahui memang cukup banyak
jika dibandingkan dengan orang dewasa. Jumlah penderita asma bronchial
pada anak-anak sebesar 9.98 % atau 11.711 orang sedangkan pada orang
dewasa hanya 9.58% atau 8.895 orang (Dinkes kota Palembang, 2013).
Angka kejadian asma bronchial terus meningkat dikarenakan asma yang
tidak terkontrol. Hal ini terjadi karena penderita sering terpapar faktor-faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Faktor-faktor tersebut yaitu allergen,
infeksi, pernapasan, latihan fisik. Sensitive terhadap obat dan makanan, polusi
udara, perubahan psikologis/emosi dan perubahan cuaca ( Wahyuni & yulia,
2014). Asma yang tidak terkontrol juga disebabkan karena kurangnya
pengetahuan penderita asma bronchial ( Katerine dkk, 2014 ).
Asma bronchial dapat menyebabkan masalah bagi penderita asma, salah
satunya yaitu masalah intoleransi aktivitas. Penderita asma mengalami
keterbatasan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari atau mengalami
penurunan aktivitas harian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Eropa terhadap 2000 anak usia sekolah menengah yang memiliki asma, lebih
dari sepertiga anak tidak dapat masuk sekolah selama satu minggu pertahun
akibat asma dan sebanyak 49% orang dewasa tidak dapat masuk kerja
setidaknya satu kali. Hal ini dapat berdampak buruk karena dapat
meningkatkan resiko prestasi rendah dan menyebabkan menurunnya
produktivitas kerja ( Francis, 2011 ).
Penatalaksanaan yang seoptimal mungkin diperlukan untuk mengatasi
masalah yang dialami penderita asma. Penatalaksanaan asma bronchial
melalui asuhan keperawatan keluarga yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada keluarga. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan
keperawatan akan mempengaruhi tingkat kesehatan individu dan keluarga.
Keluarga juga harus mempu melakukan tugas kesehatan keluarga (Harmoko,
2012)
Peran perawat keluarga sangat dibutuhkan dalam pemberian asuhan
keperawatan keluarga. Perawat berperan sebagai pengenal kesehatan yang
membantu keluarga untuk mengenal kesehatan yang menyimpang dari
keadaan normal, pemberi layanan pada anggota keluarga yang sakit,
coordinator pelayanan kesehatan, fasilitator yang menjadikan pelayanan
kesehatan mudah dijangakau, pendidik kesehatan yang dapat merubah
perilaku keluarga tidak sehat menjadi sehat, serta penyuluh dan konsultan
dalam memberikan petunjuk tentang asuhan keperawatan dalam keluarga (
Padila, 2012 ).
Oleh karena itu, berdasarkan fenomena yang diuraikan dalam latar
belakang diatas, peneliti merasa perlu umtuk menyusun laporan tugas akhir
yang berjudul “Asuhan keperawatan pada pasien Ashma dengan masalah
intoleransi aktivitas tentang penyakit ashma di puskesmas kenten”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana melakukan
implementasi keperawatan pada kaluarga dengan masalah keperawatan
Intoleransi aktivitas dengan Ashma bronchial di wilayah kerja puskesmas kota
Palembang tahun 2018.
1.3 Tujuan Umum
Penulis mampu melaksanakan implementasi pada keluarga dengan ashma
bronchial yang mengalami intoleransi aktivitas di wilayah kerja puskesmas
kota Palembang 2018.
1.4 Tujuan Khusus
1. Dapat melakukan penerapan teknik relaksasi otot progresif pada keluarga
dengan asma bronkial yang mengalami intoleransi aktivitas
2. Dapat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga agar dapat
melakukan program asuhan kesehatan keluarga secara mandiri pada
keluarga dengan asma bronkial.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
merupakan sarana belajar dengan menerapkan ilmu yang telah diperoleh
terutama tentang Asma Bronkhial di wilayah kerja Puskesmas Kenten
Palembang tahun 2018.
1.5.2 Aplikatif/praktek
Menjalin kerja sama dengan petugas kesehatan di puskesmas upaya
memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada klien dengan
perawatan dirumah dan membiarkan informasi serta pelaksana Asuhan
Keperawatan Keluarga dengan Asma Bronkhial lebih lanjut di wilayah
kerja Puskesmas Kenten Palembang 2018.
1.5.3 Metodelogis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menyusun
laporan/tulisan/karya ilmiah yang baik dan dapat menilai hasil-hasil
penelitian yang sudah ada, yaitu untuk mengukur sampai beberapa jauh
suatu hasil penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Asma Bronkial

2.1.1 Definisi

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami penyempitan


hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan
(Nurarif & Kusuma, 2015)

Asma merupakan penyakit inflamasi (radang) kronik saluran nafas yang


menimbulkan gejala episodic berulang berupa mengi (napas berbunyi ngik-ngik),
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk. (Irianto, 2015)

Penyakit asma adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan saluran


pernapasan sementara waktu sehinga sulit bernapas. Asma terjadi ketika ada
kepekaan yang meningkat terhadap rangsangan dari lingkungan sebagai
pemicunya seperti gangguan emosi, kelelahan jasmani, perubahan cuaca,
temperature debu, asap, bau-bauan yang merangsang, infeksi saluran pernapasan,
faktor makanan dan reaksi alergi. (Hasdianah & Suprapto, 2014)

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa asma


bronchial merupakan gangguan saluran pernapasan yang terjadi karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan
ditandai dengan serangan berulang seperti mengi, sesak napas, dada sesak dan
batuk seiring perubahan cuaca, debu, faktor makanan dan alergi.

2.1.2 Tipe Asma

Menurut Hasdianah & suprapto (2014), klasifikasi asma berdasarkan


penyebabnya terbagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu:

a. Asma Ekstrinsik (alergik)


Tipe asma ini ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-
faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbukbunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic) dan jamur, asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetic terhadap alergi.
b. Intrinsik (non alergik)
Tipe asma ini ditandai dengan adanya reaksi non alergik yang bereaksi
terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau basah juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan
dan emosi. Sehingga serangan asma ini menjadi lebih berat.
c. Asma gabungan
Tipe asma ini paling umum, asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Tabel 2.1
Klasifikasi keparahan asma
Derajat Gejala Gejala malam
Intermiten Gejala kurang dari Kurang dari 2kali
1x/mingu dalam sebulan
Asimtomatik
Mild - Gejala lebih dari Lebih dari 2 kali
Persistan 1x/minggu tapi dalam sebulan
kurang dari
1x/hari
- Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan
tidur.
Moderate persistan - Setiap hari Lebih 1 kali dalam
- Serangan seminggu
2kali/seminggu,
bias berhari-hari
- Menggunakan
obat setiap hari
- Aktivitas & tidur
terganggu
Severe persistan - Gejala kontinyu sering
- Aktivitas terbatas
- Sering serangan

2.1.3 Etiologi

Adapun faktor penyebab dari asma adalah faktor infeksi dan faktor non
infeksi

a. Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri.


b. Faktor non infeksi seperti faktor alergi, iritan, perubahan cuaca, kegiatan
jasmani dan psikis.

Faktor pencetus

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronchial, adalah :

a. Allergen
Allergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, spora jamur, bulu
kucing dan beberapa makanan laut lainnya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza
merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan
asma bronchial. Diperkirakan penderita asma dewasa serangan asmanya
ditimbulkan oleh infeksi saluran pernafasan.
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak
orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma
bronchial. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada
orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol kepada
anak-anak dan wanita.
d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronchial akan mendapatkan serangan asma bila
melakukan olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan
bersepeda adalah dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan
asma.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitive atau alergi terhadap obat
tertentu.
f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan,
asap rokok,asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida, serta
bauyang tajam.
g. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-15% klien dengan asma bronchial.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Adapun manifestasi klinis dari asma bronchial adalah:

a. Nafas bunyi mengi (ngik-ngik)


b. Batuk-batuk
c. Dahak yang bertambah banyak atau berubah kuning pada terjadinya
serangan dan kuning pada saat terjadi infeksi.
d. Sesak dada
e. Susah berbicara dan berkonsentrasi
f. Pundak membungkuk
g. Banyak abu-abu dan membiru pada kulit, bermula dari mulut
(Masriadi, 2016)
Sedangkan menurut bararah dan jauhar (2013), gambaran klinis dari asma
yaitu:
a. Gejala episodic atau kronis dari obstruksi saluran pernapasan sesak napas,
batuk, wheezing dan dada sesak.
b. Gejala-gejala biasanya lebih buruk pada malam atau dini hari.
c. Ekspirasi diperpanjang atau wheezing difus pada pemeriksaan fisik.
d. Keterbatasan aliran udara pada tes fungsi paru atau hasil positif tes
provokasi bronchial.
e. Obstruksi saluran pernapasan total atau parsial yang reversible secara
spontan atau setelah terapi bronkodilator.
f. Keterbatasan aliran udara pada tes fungsi paru atau hasil positif tes
provokasi bronchial.

2.1.5 Patofisiologi

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015)


2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Nugroho,dkk (2016), pemeriksaan diagnostic dari penderita asma


bronchial adalah:

a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto thorak
Pada foto thorak akan tampak corakan paru yang meningkat,
hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik,
atelektasis juga ditemukan pada anak-anak 6 tahun.
2) Foto sinus paranasalis
Diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya sinusitis.
b. Pemeriksaan darah
1) Hitung jenis leukosit akan terdapat eosinofilia pada darah tapi secret
hidung, bila tidak eosinofilia kemungkinan bukan asma.
2) Analisa gas darah.
c. Uji faal paru/Lung Function test (LFT)
Dilakukan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi
bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat
yang digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter, caranya pasien
disuruh meniup flow meter beberapa kali (sebelumnya menarik nafas
dalam melalui mulut kemudian menghembuskan dengan kuat)
d. Uji kulit alergi dan imunologi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Allergen yang
digunakan adalah allergen yang banyak didapat di daerahnya.

2.1.7 Penatalaksanaan

Pengobatan pada asma bronchial terbagi dua, yaitu:

a. Pengobatan Nonfarmakologi
1) Penyuluhan
Penyuluhan ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang
penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor
pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim
kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada
pada lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi
faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi
Dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus, ini dapat
dilakukan dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.
b. Pengobatan farmakologi
1) Agonis beta : metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol,
bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4x semprot, dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.
2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 x sehari. Golongan
metilxantin adalah aminofilin dan toefilin. Obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3) Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan
respons yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam
bentuk aerosol dosis 4x semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam
jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang
mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
4) Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven). Kromolin merupakan
obat pencegah asma khusunya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum
Bromide diberikan 1-2 kapsul 4x sehari (Kee dan Hayes, 1994).

2.1.8 Pencegahan

Menurut Nugroho, dkk (2016), upaya yang dilakukan untuk mencegah


kekambuhan pada penderita asma bersama keluarga, yaitu :
a. Menjaga kesehatan
Menjaga kesehatan tubuh merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari
pengobatan penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak
saja mudah terserang penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat
serangan penyakit asma beserta komplikasinya. Usaha mencegah penyakit
ini antara lain berupa makn-makanan yang bernilai gizi baik, minum
banyka, istirahat yang cukup, rekreasi dan berolahraga yang sesuai untuk
mengatasi penyakit.
b. Menjaga kebersihan lingkungan
Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi
timbulnya serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat
penting diperhatikan. Rumah sebaik-baiknya tidak lembab, cukup
ventilasi, dan cahaya matahari. Sebaiknya alat-alat tidur tidak terbuat dari
kabu-kabu.

2.1.9 Komplikasi

Menurut Nugroho, dkk (2016), komplikasi dari penyakit asma bronchial


yang dapat terjadi yaitu:

a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema
f. Deformitas tulang
g. Gagal nafas
2.2 Konsep Dasar Keluarga

2.2.1 Definisi

Keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh
hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu
berinteraksi satu sama lain. (harmoko,2012).

Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam satu rumah


tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat. ( Helvie, 1981
dalam Harmoko, 2012)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah


individu yang terikat dalam hubungan darah serta kedekatan yang erat.

2.2.2 Karakteristik Keluarga

Menurut harmoko (2012), karakteristik keluarga sebagai system adalah:

1. Pola komunikasi keluarga


Secara umum ada dua pola komunikasi dalam keluarga, yaitu system
terbuka dan system tertutup. System terbuka pola komunikasi dilakukan
secara langsung, jelas, spesifik, tulus, jujur, dan tanpa hambatan.
Sedangkan pola komunikasi tertutup adalah tidak langsung, tidak jelas,
tidak spesifik, saling menyalahkan, kacau dan membingungkan.
2. Aturan keluarga
a. System terbuka : hasil musyawarah, tidak ketinggalan zaman, berubah
sesuai kebutuhan keluarga, dan bebas berpendapat.
b. System tertutup : ditentukan tanpa musyawarah, tidak sesuai
perkembangan zaman, mengikat, tidak sesuai kebutuhan dan pendapat
terbatas. System ini juga memiliki sikap melawan, kacau, tidak siap
(selalu bergantung), tidak berkembang, harga diri : kurang percaya
diri, dan kurang dapat dukungan untuk mengembangkan diri.
3. Perilaku anggota keluarga
a. System terbuka : sesuai dengan kemampuan keluarga, memiliki
kesiapan, mampu berkembang sesuai kondisi.
Harga diri : percaya diri, mengikat, dan mampu mengembangkan
dirinya.
b. System tertutup : memiliki sikap melawan, kacau, tidak siap (selalu
bergantung), tidak berkembang.
Harga diri : kurang percaya diri, ragu-ragu, dan kurang dapat
dukungan untuk mengembangkan diri.

2.2.3 Tipe Keluarga

Menurut Harmoko (2012), adapun tipe-tipe keluarga sbb:

1. Nuclear family, keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang
tinggal dalam satu rumah di tetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu
ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja diluar rumah.
2. Extended family, adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara,
misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan
sebagainya.
3. Reconstituted nuclear, pembentukan baru dari keluarga inti melalui
perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah
dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil
dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.
4. Middle age/ aging couple, suami sebagai pencari uang, istri dirumah atau
kedua-duanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah
karena sekolah/perkawinan/meniti karier.
5. Dyadic nuclear, suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai
anak, keduanya/salah satu bekerja dirumah.
6. Single parent, satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian
pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah/diluar rumah.
7. Dual carier, suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa anak.
8. Commuter married. Suami istri/ keduanya orang karier da tinggal terpisah
pada jarak tertentu, keduanya saling mencari waktu-waktu tertentu.
9. Single adult, wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak
adanya keinginan untuk menikah.
10. Three generation, tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
11. Institutional, anak-anak atau orang orang-orang dewasa tinggal dalam
suatu panti-panti.
12. Communal, satu rumah terdiri atas dua/lebih pasangan yang monogamy
dengan anak-anak dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
13. Group marriage. Satu perumahan terdiri atas orang tua dan keturunannya
di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan
yang lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak.
14. Unmarried parent and child. Ibu dan anak dimana perkawinan tidak
dikehendaki, anaknya di adopsi.
15. Cohibing cauple. Dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama
tanpa pernikahan.
Dari sekian macam tipe keluarga, maka secara umum di Negara
Indonesia dikenal dua tipe keluarga, yaitu tipe keluarga tradisional dan tipe
keluarga non tradisional.

Tipe keluarga tradisional

1. Keluarga inti : satu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak
(kandung/angkat)
2. Keluarga besar : keluarga inti ditambah keluarga yang lain yang
mempunyai hubungan darah missal kakek, nenek, paman, bibi.
3. Single parent : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan
anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh
kematian/perceraian.
4. Single adult : suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewaa.
5. Keluarga lanjut usia : terdiri dari suami istri lanjut usia.
Tipe keluarga nontradisional

1. Commune family merupakan keluarga yang terdiri dari lebih satu keluarga
tanpa ada ikatan darah serumah
2. Orang tua (ayah-ibu) yang tidak ada ikatan pernikahan dan anak hidup
bersama dalam satu rumah tangga.
3. Homoseksual merupakan dua individu yang sejenis hidup bersama dalam
satu rumah tangga (Harmoko,2012)

2.2.4 Struktur Keluarga

Menurut (padila,2012) struktur keluarga menggambarkan bagaimana


keluarga melaksanakan fungsinya dimasyarakat. Di Indonesia terdapat lima
macam struktur keluarga, diantaranya adalah:

a. Patrilineal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur ayah.
b. Matrilineal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara dalam beberapa
generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
c. Matrilokal
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah ibu.
d. Patrilokal
Adalah sepasang suami istri yang tingal bersama keluarga sedarah ayah.
e. Keluarga kawin
f. Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami atau istri.

Selain memiliki berbagai macam bentuk, struktur keluarga juga memiliki cirri-
ciri, diantaranya adalah:
1. Terorganisasi, yaitu saling berhubungan, saling ketergantungan antara
angota keluarga.
2. Ada keterbatasan, dimana setiap anggota keluarga memiliki batasan tetapi
mereka mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
masing-masing.
3. Ada perbedaan dan kekhususan yaitu setiap anggota keluarga mempunyai
peranan dan fungsinya masing-masing. (padila,2012)

Menurut Friedman dalam Harmoko (2012), struktur keluarga terdiri dari:

1. Pola komunikasi
Komunikasi dalam keluarga dikatakan berfungsi apabila dilakukan secara
jujur, terbuka, melibatkan emosi, konflik selesai, dan ada hierarki
kekuatan. Komunikasi dalam keluarga dikatakan tidak berfungsi apabila
tertutup, adanya isu atau berita negative.
2. Struktur peran
Adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai posisi social yang
diberikan. Jadi pada struktur peran bias bersifat formal atau informal.
Posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat missal status
sebagai istri/suami.
Gambar 2.1

Struktur Peran Menurut Friedman

Harapan Perilaku
Masyarakat keterampilan

Contoh Pesan
diterima
peran

Perilaku Individu

Sumber : Harmoko, 2012

3. Struktur Kekuatan
Struktur kekuatan adalah kemampuan dari individu untuk mengontrol,
mempengaruhi, atau mengubah perilaku orang lain. Struktur kekuatan
yang ada dalam keluarga antara lain hak (legitimate power), ditiru
(referent power), keahlian (expert power), hadiah (reward power), paksaan
(coercive power), dan efektif power.
4. Nilai dan Norma
Nilai dalah system ide-ide, sikap keyakinan yang mengikat anggota
keluarga dalam budaya tertentu. Sedangkan norma adalah pola perilaku
yang diterima pada lingkungan social tertentu, lingkungan keluarga, dan
lingkungan masyarakat sekitar keluarga.
Gambar 2.2

Struktur keluarga Friedman

Pola dan proses peran

Komunikasi

Nilai dan Norma Kekuatan

Sumber: Harmoko,2012

2.2.5 Peran Keluarga

Menurut Harmoko (2012), peran keluarga adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain pada situasi social tertentu, peran keluarga terdiri dari
dua yaitu:

a. Peran Formal Keluarga


Peran yeng bersifat homogen, keluarga membagi peran secara merata
kepada para anggotanya. Peran formal yang standar terdapat dalam
keluarga contohnya, pencari nafkah, ibu rumah tangga, tukang perbaiki
rumah, sopir, pengasuh anak, manajer keuangan, tukang masak.
b. Peran informasi keluarga
Peran yang bersifat implicit, biasanya tidak tampak, dimainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu dan menjaga
keseimbangan dalam keluarga, contohnya sebagai pendorong,
pengharmoni, inisiator-konstributor, pendamai, coordinator, perawatan
keluarga, penghubung keluarga, pengikut dan saksi.
2.2.6 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (1999) dalam padila (2012), lima fungsi dasar keluarga adalah
sebagai berikut:

1. Fungsi efektif adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan


psikososial dengan cara memberikan cinta kasih, saling mengasuh, saling
menerima dan mendukung serta saling menghargai.
2. Fungsi sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan individu
keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi social dan belajar berperan
dilingkungan social.
3. Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti sandang, pangan dan papan.
5. Fungsi perawatan kesehatan adlah kemampuan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatn.

Harmoko (2012) menjelaskan bahwa kemampuan keluarga dalam memberikan


asuhan keperawatan mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga dan individu.
Kesanggupan keluarga melaksanakan perawatan dan pemeliharaan dapat dilihat
dari tugas kesehatan keluarga. Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Mengenal masalah kesehatan yaitu kemampuan keluarga dalam


mengetahui penyebab, tanda gejala, komplikasi, serta pencegahan suatu
masalah.
2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat yaitu kemampuan
keluarga mengambil keputusan untuk mengatasi suatu masalah kesehatan.
3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit yaitu kemampuan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit dan upaya-upaya apa
saja yang dilakukan untuk merawat anggota keluarga yang sakit.
4. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat yaitu
kemampuan keluarga dalam perawatan anggota yang sakit dengan cara
merubah atau memodifikasi tempat tinggal.
5. Mempertahankan hubungan dengan (mengguanakan) fasilitas kesehatan
masyarakat yaitu kemampuan keluarga dalam memanfaatkan pelayanan
kesehatan misalnya puskesmas dilingkungan tempat tinggalnya.

2.2.7 Tugas Keluarga

Dalam sebuah keluarga ada beberapa tugas bagi keluarga tersebut antara lain:

a. Memelihara kesehatan fisik keluarga dan anggota lainnya.


b. Berupaya memelihara sumber daya yang ada dalam keluarga.
c. Mengatur tugas anggota keluarga sesuai dengan kedudukannya.
d. Bersosialisasi antar anggota keluarga agar keakraban dan kehangatan
dalam keluarga tersebut dapat terjalin baik.
e. Melakukan beberapa pengaturan jumlah anggota keluarga yang
diinginkan.
f. Memelihara ketertiban anggota keluarga.

2.2.8 Tahap Perkembangan Keluarga

Meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya secara unik namun


secara umum seluruh keluarga mengikuti pola yang sama (Duvan,1977 dalam
friedman,1998: Padila,2012).

a. Keluarga pemula (beginning family)


Keluarga baru tau pasangan yang belum memiliki anak:
1. Membangun perkawinan yang saling memuaskan
2. Menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis
3. Keluarga berencana
4. Menetapkan tujuan bersama
5. Memahami prenatal care (pengertian kehamilan, persalinan dan
menjadi orang tua).
b. Keluarga sedang mengasuh anak (child-bearin)
Keluarga yang menantikan kelahiran, dimulai dari kehamilan sampai
kelahiran anak pertama dan berlanjut sampai anak pertama berusia kurang
dari 30 bulan.
1. Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap
2. Rekonsiliasi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan
kebutuhan anggota keluarga
3. Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan
4. Konseling KB post partum 6 minggu
5. Menyiapkan biaya child bearing
6. Mengadakan kebiasaan agama rutin
7. Memfasilitasi role learning anggota keluarga.
c. Keluarga dengan anak pra-sekolah
Tahap ini dimulai saat kelahiran anak pertama usia 30 bulan-6 tahun.
Tugas-tugas dalam tahap ini:
1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti kebutuhan tempat
tinggal, privasi dan rasa aman.
2. Mensosialisasikan anak.
3. Mengintegrasikan anak yang baru dan memenuhi kebutuhan anak yang
lain.
4. Merencanakan kegiatan dan waktu stimulus tumbuh kembang anak.
5. Membagi waktu dan tanggung jawab.
6. Mempertahankan hubungan perkawinan, hubungan orang tua dan
anak, hubungan di luar keluarga.
d. Keluarga dengan anak sekolah
Tahap ini dimulai saat anak masuk sekolah pada usia enam tahun dan
berakhir pada usia 13 tahun.
1. Membantu sosialisasi anak : tetangga, sekolah dan lingkungan
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat,
termasuk kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan anggota keluarga
4. Menyediakan aktivitas untuk anak.
e. Keluarga dengan anak remaja
Dimulai pada saat anak pertama berusia 13 tahun dan biasanya berakhir
sampai 6-7 tahun kemudian, yaitu pada saat anak meninggalkan rumah
orangtuanya.
1. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggungjawab,
mengingat remaja sudah bertambah dewasa dan meningkat
otonominya
2. Memfokuskan kembali hubungan intim perkawinan
3. Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orangtua
4. Mempersiapkan perubahan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh
kembang anggota keluarga.
f. Keluarga dengan anak dewasa (pelepasan)
Tahap ini dimulai pada saat anak pertama meninggalkan rumah.
1. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Membantu orang tua suami/istri yang sedang sakit dan memasuki masa
tua
4. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat
5. Pentaan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.
g. Keluarga usia pertengahan
Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir meninggalkan rumah dan
berakhir saat pension atau salah satu pasangan meninggal.
1. Menyediakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan.
2. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya
dan anak-anak.
3. Meningkatkan keakraban pasangan.
4. Persiapan masa tua atau pensiun.
h. Keluarga usia lanjut
1. Penyesuaian tahap masa pensiun dengan cara merubah cara hidup
2. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
3. Menyesuaikan terhadap pendapat yang menurun
4. Mempertahankan hubungan perkawinan
5. Menyesuaikan diri terhadap pendapatan yang menurun dan kehilangan
pasangan
6. Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi
7. Melakukan life review (merenungkan hidupnya)

2.3 Asuhan Keperawatan Keluarga

Asuhan keperawatan keluarga merupakan proses yang komplek dengan


menggunakan pendekatan sistematis untuk bekerja sama dengan keluarga dan
individu sebagai anggota keluarga. Tahapan dari proses keperawatan keluarga
adalah sebagai berikut. (Harmoko, 2012)

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahapan seorang perawat mengumpulkan data/informasi


secara terus-menerus terhadap anggota keluarga yang dibinanya. Hal-hal yang
perlu dikaji pada tahap ini sebagai berikut:

a. Pengkajian terhadap data umum keluarga meliputi:


1. Nama kepala keluarga (KK)
2. Alamat dan telepon
3. Pekerjaan kepala keluarga
4. Pendidikan kepala keluarga
5. Komposisi keluarga yang berisi mengenai riwayat anggota keluarga
6. Genogram
Data genogram berisi silsilah keluarga yang terdiri dari tiga generasi
disajikan dalam bentuk bagan dengan menggunakan symbol-simbol
atau sesuai format pengkajian yang dipakai.
7. Tipe keluarga
Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga beserta kendala yang terjadi
dengan jenis tipe keluarga tersebut
8. Suku bangsa
Mengkaji asal suku bangsa keluarga tersebut serta mengidentifikasi
budaya suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan.
9. Agama
Menjelaskan mengenai agama yang dianut masing-masing anggota
keluarga serta aturan yang dianut keluarga terkait dengan kesehatan.
10. Status social ekonomi keluarga
Menjelaskan mengenai pendapatan KK maupun anggota keluarga yang
sudah bekerja, kebutuhan sehari-hari serta harta kekayaan atau barang-
barang yang dimiliki keluarga.
11. Aktivitas rekreasi keluarga dan waktu luang
Menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga dalam rekreasi atau
refreshing. Rekreasi tidak harus ketempat wisata, namun menonton tv,
mendengarkan radio juga merupakan aktivitas rekreasi keluarga
(Padila, 2012)
b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
1. Tahap perkembangan keluarga saat ini, detentukan oleh anak tertua
dari keluarga inti dan mengkaji sejauh mana keluarga melaksanakan
tugas tahap perkembangan keluarga.
2. Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi, menjelaskan
bagaimana tugas perkembagan yang belum terpenuhi oleh keluarga
serta kendalanya.
3. Riwayat keluarga inti, menjelaskan riwayat kesehatan pada keluarga
inti, meliputi : riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-
masing anggota keluarga, perhatian keluarga terhadap pencegahan
penyakit termasuk status imunisasi, sumber pelayanan kesehatan yang
biasa digunakan keluarga.
4. Riwayat keluarga sebelumnya , keluarga asal kedua orangtua (seperti
apa kehidupan keluarga asalnya) hubungan masa silam dan saat
dengan orang tua dari kedua orang tua (Harmoko, 2012
c. Pengkajian Lingkungan
1. Karakteristik rumah
Data ini menunjukan mengenai luas rumah, tipe, jumlah ruangan,
tangga, jenis wc ke sumber air. Data karakteristik rumah dapat
disajikan dalam bentuk denah.
2. Karakteristik tetangga dan komunitas setempat
Data ini menjelaskan mengenai lingkungan fisik tempat tinggal, norma
atau aturan penduduk setempat, serta budaya setempat yang
mempengaruhi kesehatan.
3. Mobilitas geografi keluarga
Ditentukan dengan apakah keluarga hidup menetap dalam satu tempat
atau mempunyai kebiasaan berpindah-pindah.
4. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berkumpul atau
berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal.
5. System pendukung keluarga
Menjelaskan mengenai jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas
keluarga, dukungan keluarga, dan masyarakat sekitar terkait dengan
kesehatan dan lain-lain.
d. Struktur keluarga
1. Pola komunikasi keluarga
Menjelaskan cara berkomunikasi anggota keluarga menggunakan
system terbuka atau tertutup, frekuansi, serta kualtas komunikasi yang
berlangsung.
2. Struktur kekuatan keluarga
Kemampuan keluarga untuk merubah perilaku antar anggota keluarga.
Model kekuatan atau kekuasaan digunakan keluarga untuk membuat
keputusan dalam keluarga.
3. Struktur peran
Menjelaskan peran anggota keluarga dalam keluarga dan masyarakat
yang terbagi menjadi peran formaldan informal.
4. Nilai/norma keluarga
Menjelaskan mengenai nilai dan norma yang dianut keluarga
berhubungan dengan status kesehatan keluarga (Padila, 2012)
e. Fungsi keluarga
1. Fungsi afektif
Mengkaji gambaran diri anggota keluarga. Perasaan memiliki dan
dimiliki keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga
lainnya, kehangatan pada keluarga, serta keluarga mengembangkan
sikap saling menghargai (Harmoko,2012).
2. Fungsi sosialisasi
Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh
mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, perilaku, serta
proses mendidik anak (Padila, 2012).
3. Fungsi perawat kesehatan
1). Mengenal masalah kesehatan keluarga
Sejauh mana keluarga mengenal fakta-fakta dari masalah kesehatan
meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan yang
mempengaruhi serta persepsi keluarga terhadap masalah.
2). Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya
masalah, apakah masalah dirasakan, menyerah terhadap masalah
yang dialami, takut akan akibat dari tindakan penyakit, mempunyai
sifat negative terhadap masalah kesehatan, dapat menjangkau
fasilitas kesehatan yang ada, kurang percaya terhadap tenaga
kesehatan dan mendapat informasi yang salah terhadap tindakan
dalam mengatasi masalah.
3). Memberi perawatan pada anggota yang sakit
Sejauh mana anggota keluarga mengetahui keadaan penyakitnya,
mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang
dibutuhkan, serta fasilitas yang diperlukan untuk perawatan dan
sikap keluarga terhadap yang sakit.
4). Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Sejauh mana keluarga mengetahui sumber-sumber yang dimiliki
keluarga, keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan,
mengetahui pentingnya hygiene sanitasi dan kekompakan antar
anggota keluarga.
5). Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada dimasyarakat
keluarga mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan dan
memahami tentang keuntungan yang diperoleh dari fasilitas serta
terjangkau oleh keluarga (Padila, 2012).
f. Fungsi Reproduksi
Mengkaji berapa jumlah anak, merencanakan jumlah anak, merencanakan
jumlah anggota keluarga dalam upaya mengendalikan jumlah anggota
keluarga (Harmoko, 2012)
g. Fungsi ekonomi
Mengaji sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
papan, bagaimana keluarga memanfaatkan sumber yang ada dimasyarakat
guna meningkatkan status kesehatan keluarga (Harmoko, 2012)
h. Stress dan koping
1. Stressor jangka pendek, yaitu stressor yang dialami keluarga yang
memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan.
2. Stressor jangka panjang yaitu stressor yang saat ini dialami yang
memerlukan penyelesaian lebih dari 6 bulan.
3. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi stressor, mengkaji
sejauh mana keluarga berespon terhadap situasi stressor yang ada.
4. Strategi koping yang digunakan, strategi koping apa yang diguakan
keluarga bila menghadapi permasalahan.
5. Strategi adaptasi disfungsional, menjelaskan adaptasi disfungsional
(perilaku keluarga yang tidak adaptif) ketika keluarga menghadapi
masalah. (Harmoko, 2012)
i. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan semua anggota keluarga. Metode yang
digunakan meliputi pemeriksaan fisik head to toe dan pemeriksaan
penunjang. (Padila, 2012)
j. Harapan keluarga
Harapan keluarga terhadap petugas kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang telah diberikan oleh perawat atau tenaga kesehatan. (Padila, 2012).

2.3.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan keluarga dirumuskan berdasarkan masalah
keperawatan yang di dapat dari data-data pada pengkajian yang
berhubungan dengan etiologi yang berasal dari data-data pengkajian fungsi
perawatan keluarga.
Diagnosa keperawatan mengacu pada rumusan PES (problem, etiologi,
simpon) dimana untuk problem menggunakan rumusan masalah dari
NANDA, sedangkan untuk etiologi menggunakan pendekatan lima tugas
keluarga atau dengan menggambarkan pohon masalah (Padila, 2012).

Tipologi dari diagnosa keperawatan keluarga terdiri atas:


a) Diagnosa aktual (terjadi defisit/gangguan kesehatan)
Dari hasil pengkajian didapatkan mengenai data tanda dam gejala
dari gangguan kesehatan, dimana masalah keperawatan yang dialami oleh
keluarga memerlukan bantuan untuk segera di tangani dengan cepat. Pada
diagnosis keperawatan aktual, faktor yang berhubungan merupakan
etiologi atau faktor penunjang lain yang telah mempengaruhi perubahan
status kesehataan.
b) Diagnosa resiko (ancaman kesehatan)
Susah ada data yang menunjang namun belum terjadi gangguan,
tetapi masalah tersebut dapat menjadi masalah aktual apabila tidak segera
mendapatkan bantuan pemecahan masalah dari tim kesehatan dan
keperawatan.
c) Diagnosa Potensial (keadaan sejahtera atau wellness)
Suatu keadaan dimana keluarga dalam keadaan sejahtera,
kesehatan keluarga dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik. Diagnosa
keperawatan tidak mencakup faktor-faktor yang berhubungan (Harmoko,
2012).
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) Diagnosa keperawatan
keluarga yang mungkin akan muncul pada keluarga dengan asma bronkial
sebagai berikut:

Tabel 2.3.2
Daiganosa Keperawatan
NO Problem Etiologi
1. Ketidakefektifan bersihan 1. Ketidakmampuan keluarga dalam
jalan napas mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat
2. Ketidakefektifan pola napas 1. Ketidakmampuan keluarga dalam
mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat
3. Gangguan Pertukaran gas 1. Ketidakmampuan keluarga dalam
mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat
4. Intoleransi Aktivitas 1. Ketidakmampuan keluarga dalam
mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat

5. Ketidakseimbangan nutrisi 1. Ketidakmampuan keluarga dalam


kurang dari kebutuhan tubuh mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat
6. Ansietas 1. Ketidakmampuan keluarga dalam
mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam
membuat keputusan tidakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam
mempertahankan suasana
lingkungan rumah yang sehat
5. Ketidakmampuan keluarga dalam
menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dimasyarakat

Sumber: Nurarif & Kusuma, 2015

2.3.3 Perencanaan Keperawatan Keluarga

Perencanaan Keperawatan Keluarga terdiri dari penetapan tujuan,


mencakup tujuan umum dan khusus dan dilengkapi dengan rencana
evaluasi yang memuat kriteria dan standar. Rencana keperawatan
direncanakan untuk mencapai tujuan. Langkah-langkah dalam rencana
keperawatan keluarga adalah
a. Menentukan Sasaran atau Goal
Sasaran adalah tujuan umum yang merupakan tujuan akhir yang akan
dicapai melalui segala upaya, dimana masalah digunakan untuk
merumuskan tujuan akhir.
b. Menentukan Tujuan atau Objektif
Objektif merupakan pernyataan yang lebih spesifik atau lebih terperinci
tentang hasil yang diharapkan dari tindakan perawat yang akan dilakukan,
dimana penyebab di gunakan untuk merumuskan tujuan.
c. Menentukan Pendekatan dan Tindakan Keperawatan yang akan
dilakukan.
Dalam memilih tindakan keperawatan sangat tergantung kepada sifat
masalah dan sumber-sumber yang tersedia untuk memecahkan masalah.
d. Menentukan Kriteria dan Standar Kriteria
Kriteria merupakan tanda atau indikator yang digunakan untuk mengukur
pencapaian tujuan, sedangkan standar menunjukkan tingkat performance
yang di inginkan untuk membandingkan bahwa perilaku yang menjadi
tujuan tindakan keperawatan telah tercapai.
Adapun kriteria mengacu pada :
1) Pengetahuan (kognitif)
Intervensi ini bertujuan untuk memberi informasi, gagasan, motivasi dan
saran kepada keluarga sebagai target asuhan keperawatan keluarga.
2) Sikap (afektif)
Intervensi ini dengan tujuan untuk membantu keluarga dalam berespon
emosional, agar didalam keluarga tersebut terdapat perubahan sikap
terhadap masalah yang dihadapi.
3) Tindakan (psikomotorik)
Intervensi ini bertujuan untuk membantu anggota keluarga dalam
perubahan segala bentuk perilaku dari perilaku yang merugikan hingga
perilaku yang menguntungkan (Padila, 2012).

2.3.4 Implementasi Keperawatan Keluarga

Pada tahap implementasi ini, perawat melakukan implementasi sesuai


dengan rencana keperawatan yang telah di susunkan berdasarkan diagnosis
yang diangkat.
Menurut Harmoko (2012), tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-
hal dibawah ini.
a.Menstimulasi kesehatan atau penerimaan keluarga mengenai kebutuhan
kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi kebutuhan
dan harapan tentang kesehatan, serta mendorong sikap emosi yang sehat
terhadap masalah.
b. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat
dengan cara mengidentifikasi konsekuensi untuk tidak melakukan
tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, dan
mendiskusikan konsekuensi setiap tindakan.
c. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang
sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan alat
dan fasilitas yang ada dirumah dan mengawasi keluarga yang melakukam
perawatan
d. Membantu keluarga untuk menentukan cara membuat lingkungan
menjadi sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan
keluarga dan melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal
mungkin.
e. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan
cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada dilingkungan keluarga cara
menggunakan fasilitas tersebut.

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil,


implementasi dan kriteria dam standar yang telah ditetapkan untuk melihat
keberhasilan bila hasil dan evaluasi tidak berhasil sebagian perlu disusun
rencana keperawatan yang baru. Adapun metedo evaluasi keperawatan
yaitu:
a) Evaluasi Formatif (proses)
EvaluasiFormatif(proses) adalah proses evaluasi yang dilakukan selama
proses asuhan keperawatan dan bertujuan untuk menilai hasil implemetasi
secara bertahap sesuai dengan kegiatan yang dilakukan, sistem penulisan
evaluasi formatif ini biasanya menggunakan sistem SOAP.
b) Evaluasi Sumatif (hasil)
EvaluasiSumatif(hasil) adalah evaluasi akhir yang bertujuan untuk menilai
secara keseluruhan, sistem penulisan evaluasi sumatif ini dalam bentuk
catatan naratif atau laporan ringkasan (Padila, 2012)

2.4 Intoleransi Aktivitas

2.4.1 Definisi

Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan dimana individu memiliki


ketidakcukupan energy psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau
menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang harus atau yang ingin dilakukan.
(Doenges dkk, 2015)

Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan individu yang mengalami


penurunan kapasitas fisiologis untuk mempertahankan aktivitas sampai ke tingkat
yang diinginkan atau diperlukan (Carpenito, 200).

2.4.2 Batasan Karakteristik

Menurut doenges dkk (2015), batasan karakteristik pada intoleransi


aktivitas yaitu :

a. Subjektif
1. Laporan verbal tentang kelelahan atau kelemahan
2. Ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas, menyatakan
ketidaknyamanan serta kurangnya minat dalam melakukan aktivitas
b. Objektif
1. Respon frekuensi jantung atau tekanan darah yang abnormal terhadap
aktivitas
2. Perubahan EKG yang menggambarkan aritmia atau iskemia.
Menurut Carpenito (2000), batasan karakteristik yang dimiliki oleh
individu yang mengalami intoleransi aktivitas yaitu antara lain:
a. Mayor (harus terdapat)
1) Pernapasan
a) Dispnea
b) Napas pemdek
c) Frekuensi napas meningkat berlebihan
d) Penurunan frekuensi
2) Nadi
a) Melemah
b) Menurun
c) Perubahan irama
d) Peningkatan berlebihan
e) Gagal untuk kembali ke tingkat sebelum aktivitas setelah 3 menit.
b. Minor
1) Mengalami kelelahan setelah beraktivitas
2) Mengalami kelemahan
3) Pucat dan sianosis
4) Mengalami kacau mental
5) Vertigo

2.4.3 Faktor Yang Berhubungan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan intoleransi aktivitas ini adalah


sebagai berikut (Doenges dkk, 2015)

a. Kelemahan umum
b. Gaya hidup kuramg gerak
c. Tirah baring/imobilitas
d. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

2.4.4 Patofisiologi Intoleransi Aktivitas Pada Asma

Intoleransi aktivitas merupakan respon tubuh yang tidak mampu untuk


bergerak terlalu banyak karena tubuh tidak mampu mengeluarkan energy yang
cukup. Untuk bergerak manusia membutuhkan sejumlah energy. Suplai O2 yang
tidak sampai ke sel menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi energy yang
banyak sehingga dapat mengakibatkan respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.

Penderita asma yang mengalami kekambuhan akibat faktor pencetus


mengalami peningkatan kapiler premiabilitas yang menyebabkan antigen yang
terikat IgE pada permukaan sel mast atau basofil mengeluarkan mediator yaitu
histamine dan bradikinin. Hal ini menyebabkan konsentrasi O2 dalam darah
menurun dan penderita mengalami hipoksemia. Suplai darah dan O2 ke jantung
menjadi menurun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output
ditandai dengan tekanan darah yang menurun. Keadaan inilah yang menyebabkan
terjadinya kelemahan dan keletihan. (Nurarif & Kusuma, 2015)
Gambar 2.3

Patofisiologi Intoleransi Aktivitas

Faktor Pencetus : Antigen yang Mengeluarkan


terikat IgE pada mediator Permialbilotas
Alergen, stress, permukaan sel histamine, kapiler meningkat
cuaca mast, atau basofil bradikinin

Konsentrasi O2
Penurunan cardiac Suplai darah & O2 Hipoksemia dalam darah
output ke jantung menurun

Tekanan darah Kelemahan & keletihan Intoleransi aktivitas


menurun

Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2015)

2.4.5 Prinsip Asuhan Keperawatan

Ada beberapa prinsip yang menjadi pertimbangan umum dalam asuhan


keperawatan dengan intoleransi aktivitas.

a. Intervensi keperawatan terhadap intoleransi aktivitas bertujuan untuk


meningkatkan partisipasi dalam aktivitas sehingga individu dapat
mencapai tingkat aktivitas yang diinginkan individu.
b. Intervensi keperawatan direncanakan untuk memudahkan individu untuk
ikut serta dalam aktivitas berdasarkan pemahaman individu mengenai
pengetahuan tentang aktivitas, penilaian aktivitas, keyakinan, tentang
aktivitas dan kemampuan aktivitas yang dirasakan.
c. Intervensi keperawatan diarahkan pada pelambatan kelelahan yang
berhubungan dengan tugas dengan memaksimalkan penggunaan otot
efisien yang mengontrol gerakan, perpindahan, dan daya gerak.
d. Penyederhanaan kerja merupakan straegi penting dari pelambatan
kelelahan berhubungan dengan tugas.
e. Kemampuan untuk mempertahankan tingkat penampilan tertentu
tergantung pada faktor : kekuatan, koordinasi, waktu, reaksi, kesadaran
dan motivasi serta faktor yang berhubungan dengan aktivitas, frekuensi,
durasi, dan intensitas aktivitas.
f. Toleransi terhadap aktivitas terjadi karena penyesuaian frekuensi, durasi
dan intensitas aktivitas sampai tercapainya tingkat yang diinginkan.
g. Peningkatan frekuensi aktivitas berlanjut dengan meningkatkan durasi dan
intensitas (tuntutan kerja). Peningkatan intensitas diimbangi dengan
reduksi dalam durasi dan frekuensi.
h. Evaluasi respon individu terhadap aktivitas dapat diperoleh dari
perbandingan tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum aktivitas
dengan tekanan darah, nadi dan pernapasan setelah aktivitas.
i. Gejala-gejala intoleransi aktivitas yang terjadi pada individu dapat
dihilangkan dengan istirahat.
j. Perencanaan jadwal harian bertujuan untuk memungkinkan periode
pengubahan aktivitas dan istirahat serta dikoordinasikan untuk
menurunkan penggunaan energy yang berlebihan. (Carpenito, 2002)

2.4.6 Kriteria Hasil

Menurut Doenges dkk (2015), kriteria hasil dari asuhan keperawatan


intoleransi aktivitas yaitu antara lain :

a. Mengidentifikasi faktor-faktor negative yang mempengaruhi intoleransi


aktivitas.
b. Menggunakan teknik yang diidentifikasi untuk meningkatkan toleransi
aktivitas.
c. Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan atau diharapkan.
d. Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
e. Menunjukkan penurunan tanda fisiologi intoleransi.
Menurut Carpenito (2002), setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan individu mampu:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memperberat intoleransi aktivitasnya.
b. Mengidentifikasi metode untuk mengurangi intoleransi aktivitas.
c. Mengalami peningkatan dalam beraktivitas hingga tingkat aktivitas yang
diinginkan.
d. Mempertahankan tekanan darah, nadi dan pernapasan.

2.4.7 Tindakan Keperawatan

Tindakan yang dapat dilakukan pada klien dengan intoleransi aktivitas


yaitu sebagai berikut :

a. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.


b. Bantu klien untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai.
d. Bantu klien untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan social.
e. Bantu klien membuat jadwal latihan diwaktu luang (Nurarif & Kusuma,
2015)
Menurut Doenges dkk (2015), tindakan yang dapat dilakukan pada klien
dengan intoleransi aktivitas yaitu sebagi berikut :
a. Terapi Aktivitas
Terapi aktivitas dengan membuat program dan membantu aktivitas fisik,
kognitif, social, spiritual, yang spesifik untuk meningkatkan rentang,
frekuensi, atau durasi aktivitas individu atau sekelompok.
b. Manajemen Energi
Mengatur penggunaan energy untuk manangani atau mencegah keletihan
dan mengoptimalkan fungsi.
c. Promosi Latihan
Menurut doenges (2015) promosi latihan dapat dilakukan dengan
memfasilitasi aktivitas fisik yang teratur untuk mempertahankan atau
meningkatkan kebugaran dan kesehatan.
Menurut Carpenito (2002), tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
individu dalam mengatasi intoleransi aktivitas yaitu:
a. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan atau menunjang intoleransi
aktivitas.
b. Kurangi faktor-faktor yang penunjang intoleransi aktivitas
1) Periode istirahat atau tidur yang tidak adekuat
a) Tentukan keadekuatan tidur
b) Rencanakan istirahat diantara aktivitas sesuai jadwal harian
c) Anjurkan individu untuk istirahat selama satu jam setelah
makan, istirahat yang dapat dilakukan berupa : duduk-duduk,
berbaring, menonton tv dan lain-lain.
2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan
a) Obat-obatan, kaji efek samping obat dan kurangi efek samping.
b) Jadwal harian, kaji jadwal harian individu dan atur jadwal
untuk mengurangi penggunaan energy.
3) Dorong individu untuk beraktivitas
a) Kenali faktor-faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri
individu.
b) Tingkatkan sikap “aku bisa” sehingga dapat mendorong
meningkatnya aktivitas.
c) Beri kesempatan pada individu untuk membuat jadwal aktivitas
beserta tujuan aktivitas fungsional. Apabila tujuannya terlalu
rendah buat kontrak dengannya.
d) Rencanakan tujuan aktivitas.
e) Bantu individu untuk mengenali kemajuan yang dicapai dan
beri pujian serta dorongan sebagai teknik yang efektif untuk
memotivasi.
c. Pantau respon individu terhadap aktivitas
1) Periksa denyut nadi, tekanan darah dan pernapasan saat istirahat.
2) Biarkan individu menjalankan aktivitasnya
3) Periksa tanda-tanda vital setelah individu beraktivitas. Aktivitas
yang melelahkan dapat meningkatkan denyut nadi sampai 50
denyut. Frekuensi tersebut masih dalam batas normal apabila
kembali pada denyut nadi normal dalam 3menit.
4) Biarkan klien istirahat selama 3 menit lalu periksa tanda-tanda vital
lagi
d. Tingkatkan aktivitas secara bertahap
1) Tingkatkan toleransi individu terhadap aktivitas dengan cara
menjalankan aktivitasnya secara perlahan-lahan dalam waktu yang
pendek dengan selang istirahat.
2) Tingkatkan keseimbangan dan toleransi deduk dengan
meningkatkan kekuatan otot.

2.4.8 Terapi Relaksasi Otot Progresif

2.4.8.1 Pengertian

Terapi relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang


diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian
relaksasi ( Triyanto, 2014 ).

Terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik pengelolaan


diri yang terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan, mengatasi
insomnia dan asma ( Ramadhani, 2016 dalam Triyanto, 2015)

2.4.8.2 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif

Tujuan terapi relaksasi otot progresif yaitu antara lain:

a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,


tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolic.
b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen
c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan
tidak memfokuskan perhatian serta relaks.
d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress
f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia
ringan, gagap ringan, dan
g. Membangun emosi positif dari emosi negative. (Triyanto, 2014)

2.4.8.3 Manfaat Terapi Relaksasi Otot Progresif

Menurut ( Triyanti, 2014 ) ada beberapa manfaat terapi relaksasi otot


progresif yaitu :

a. Meredakan stress dan depresi


b. Dapat meredakan kecemasan dan phobia
c. Baik untuk penderita hipertensi
d. Dapat meredakan gangguan psikosomatis
e. Psikosomatis adalah salah satu gangguan kesehatan serta respon-respon
f. Baik untuk kesehatan otot tubuh agar tidak menjadi kaku
g. Daoat mencegah kram dan kesemutan
h. Mencegah insomnia dan gangguan tidur
i. Menghilangkan pegal dan juga sakit pada leher.

2.4.8.4 Teknik Terapi Relaksasi otot Progresif

1. Gerakan 1 : ditujukan untuk melatih otot tangan.

a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.


b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan
yang terjadi.
c. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan
relaks selama 10 detik.
d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.
e. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.

2.Gerakan 2 : ditujukan untuk melatih otot tangan bagian belakang

Tekuk kedua lengan kebelakang pada pergelangan tangan sehingga


otot ditangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari
menghadap ke langit-langit. Gerakan melatih otot tangan bagian depan dan
belakang ditujukan pada gambar.

3. Gerakan 3 : ditujukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada


bagian atas pangkal lengan.
a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b. Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga
otot biseps akan menjadi tegang.
4. Gerakan 4 : ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga
menyentuh kedua telinga.
b. Fokuskan atas dan leher.
5. Gerakan 5 dan 6 : ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti
otot dahi, mata , rahang, dan mulut)
Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot
terasa dan kulitnya keriput. Tutup keras-keras mata sehingga dapat
dirasakan disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan
mata.
6. Gerakan 7 : ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami
oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi
sehingga terjadi ketegangan disekitar otot rahang.
7. Gerakan 8 : ditujukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.
Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan
ketegangan disekitar mulut.
8. Gerakan 9 : ditujukan untuk merileksikan otot leher bagian depan
maupun belakang.
9. Gerakan 10 : ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
1. Gerakan membawa kepala ke muka
2. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat
merasakan ketegangan di daerah leher bagian
muka.
10. Gerakan 11 : ditujukan untuk melatih otot punggung
1. Angkat tubuh dari sandaran kursi
2. Punggung dilengkungkan
3. Busungkan dada
4. Letakkan kembali ke kursi saat rileks.
11. Gerakan 12 : ditujukan untuk melemaskan otot dada
12. Gerakan 13 : ditujukan untuk melatih otot perut
13. Gerakan 14-15 : ditujukan untuk melatih otot-otot kaki
Seperti paha dan betis.
BAB III

METODE PENULISAN

3.1 DesainStudiKasus

Desain yang digunakan adalah deskriptif dalam bentuk kasus untuk


mengeksplorasikan asuhan keperawatan keluarga dengan masalah intoleransi
aktivitas pada asma bronkial di wilayah kerja Puskesmas Kenten Palembang
Tahun 2018. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asuhan
keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi serta dokumentasi.

3.2 Kerangka Konsep

- Teknik Relaksasi
Implementasi Otot Progresif
keperawatan Asma
Bronkhial dengan - Membangun
Masalah Intoleransi Hubungan
Aktivitas Teraupetik

3.3 Definisi Operasional

1. Relaksasi adalah suatu tindakan untuk “membebaskan” mental danfisi dari


ketenangan dan stress, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap
nyeri. Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan kecemasan
dan ketegangan otot sehingga didapatkan untuk menurunkan kecemasan
dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut jantung,
penurunan respirasi serta penurunan ketegangan otot. Contoh tindakan
relaksasi yang dapat dilakukan adalah relaksasi otot progresif.
2.Terciptanya hubungan teraupetik antara klien dan perawat akan memberikan
pondasi dasar terlaksananya asuhan keperawatan yang efektif pada klien
yang mengalami masalah intoleransi aktivitas. Hubungan saling percaya
yang terbentuk akan membuat perawat merasa nyaman dalam
mendengarkan dan bertindak memberikan asuhan keperawatan, sebaliknya
klien juga merasa nyaman untuk mendengarkan anjuran perawat dan berani
untuk menyatakan keluhan-keluhannya.

3.4 Subyek Studi Kasus

Subyek studikasus yang digunakan adalah keluarga dengan masalah


intoleransi aktivitas pada asma bronkial.Subyek yang digunakan harus
memenuhi kriteria klien yang memiliki masalah intoleransi aktivitas yaitu
klien memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Kriteria tersebut didapatkan dari hasil skrinning menggunakan indeks barthel.

3.3 Fokus Studi Kasus

Fokus penelitian pada studi kasus ini adalah implementasi keperawatan


pada pasien asma bronkial dengan masalah intoleransi aktivitas.

3.5 Tempat dan Waktu


a. Tempat
Lokasi penelitian studi kasus ini akan dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Kenten Palembang tahun 2018.
b. Waktu
Lama waktu pada penelitian adalah lebih kurang satu minggu.

3.6 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Metode
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk asuhan
keperawatan keluarga dengan asma bronkial dengan masalah intoleransi
aktifitas di wilayah kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2018 ini
menggunakan:

a. Wawancara
Data didapatkan dari hasil anamnesis berisi tentang identitas klien,
keluhan utama klien, riwayat penyakit terdahulu keluarga sampai
sekarang dan lainnya, sumber data berasaldarikliendankeluargaklien.
b. Observasi dan Pemeriksaan fisik
Penulis menapatkan data dengan cara observasi dan pemeriksaan fisik
head to toe dan pemeriksaan vital sign dengan pendekatan Inspeksi,
Palpasi, Perkusi, dan Auskultasi.
c. Studi Dokumentasi
Penulis mendapatkan data darihasil pemeriksaan diagnostic
dankuisioner.

3.7 Analisis dan Penyajian Data


a. Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu metode atau cara untuk
mengolah sebuah data menjadi informasi sehingga karakteristik data
tersebut menjadi mudah untuk dipahami. Dalam studikasusini, terdapat
dua jenis data yakni data subjektifdan data objektif. Data subjektif
dianalisis berdasarkan apa yang ditemukan peneliti pada klien.
Sedangkan data obyektif dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan
diagnostik kemudian dibandingkan dengan nilai normal.

b. Penyajian Data
Teknik penyajian data merupakan cara bagaimana untuk
menyajikan data sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca.
Untuk studi kasus ini, data disajikan secara narasi yang disertai dengan
ungkapan verbal dari pasien sebagai data pendukungnya. Kerahasiaan
dari responden dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari
responden.

3.8 Etika Studi Kasus


Masalah etika dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan akan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian. Masalah
etika yang harus diperhatikan ialah sebagai berikut:
1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dan responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent diberikan sebelum penelitian dilakukan. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, serta mengetahui dampaknya.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam menggunakan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau tidak mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data
atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah keperawatan merupakan masalah etika dengan
memberikan jaminan dalam kerahasiaan hasil penelitian, baik
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset.

You might also like