Lompat ke isi

Baddare Situru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 4 Januari 2024 13.56 oleh Anhar Karim (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Ini adalah nama orang Bugis, nama keluarganya adalah Situru

Baddare Situru
Foto diri Baddare Situru
LahirAndi Baddare Situru
1911
Belanda Sawaru, Distrik Camba, Maros, Sulawesi Selatan, Hindia Belanda
Meninggal7 September 1962(1962-09-07) (umur 50–51)
Indonesia Maros, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Panaikang, Kelurahan Panaikang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar
KebangsaanIndonesia Indonesia
Nama lainBaddare Situru
Baddare Daeng Situru
Andi Baddare Situru Arung Sawaru Matinroe Ri Panaikang
AlmamaterVolk School (sekolah rakyat zaman Hindia Belanda)
Pekerjaanguru bantu, penulis, pemuka agama
Dikenal atasPejuang kemerdekaan
Tokoh masyarakat
Pemuka agama
Suami/istriJeppong (istri pertama)
Djamme (istri kedua)
AnakAndi Sukiman
Andi Nurhayati
Andi Marwan
Andi Enre
Andi Sompe
Andi Ade
Andi Late
Andi Amal
Andi Aking
Andi Gempar
Andi Nikma
???
Orang tuaDaeng Situru Andi Mappasessi Petta Puli Arung Maccege (ayah)
Andi Aisyah (ibu)
KerabatBaba (kakak)
Cenra (adik)
Patenrungi (adik)
Muhammad Yunus (adik)
Tuppu (adik)
Sialu (adik)
Renge (adik)
PenghargaanBintang Gerilya
Pemandangan Jalan Trans Camba Maros tahun 1948, lokasi terjadinya pertempuran dan perang gerilya dua tahun sebelumnya (1946) yang dilakukan oleh pasukan KRIS Muda Camba yang dipimpin oleh Baddare Situru melawan pasukan NICA (bagian I).
Pemandangan Jalan Trans Camba Maros tahun 1948, lokasi terjadinya pertempuran dan perang gerilya dua tahun sebelumnya (1946) yang dilakukan oleh pasukan KRIS Muda Camba yang dipimpin oleh Baddare Situru melawan pasukan NICA (bagian II).

Andi Baddare Situru Arung Sawaru Matinroe Ri Panaikang atau lebih dikenal dengan nama Baddare Situru atau Baddare Daeng Situru atau Andi Baddare Situru (lahir di Sawaru, Distrik Camba, Hindia Belanda pada 1911 — meninggal di Maros, Sulawesi Selatan pada 7 September 1962) adalah seorang bangsawan Suku Bugis yang merupakan Arung atau Raja di Sawaru. Baddare Situru memiliki sikap tanpa kompromi kepada penjajah dengan aksi-aksi teror dan gerilyanya di wilayah Camba. Ia dikenal sebagai pejuang terlatih merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tokoh masyarakat, pemuka agama sekaligus pahlawan asal Maros. Baddare Situru memiliki tekad kuat pada pendiriannya melawan NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie atau Netherlands Indies Civil Administration) di Camba. Secara tidak langsung Baddare Situru berjuang mempertahankan kemerdekaan di Maros. Perlawanan ini dilatarbelakangi pada saat proklamasi kemerdekaan telah diraih, Sekutu (Inggris, Australia, Belanda) datang dengan memboncengi NICA/Belanda maka keadaan Sulawesi Selatan dan sekitarnya mencekam.

Baddare Situru memulai kariernya yaitu tahun 1943, saat terbentuknya organisasi SOEDARA (Soember Darah Rakjat) yang dipimpin oleh Baddare Daeng Situru. Organisasi pemuda yang dibentuk oleh Jepang ini kegiatannya berupa latihan-latihan, tujuannya adalah jika keadaan sewaktu-waktu genting, mereka dimanfaatkan. Selanjutnya Baddare Daeng Situru melanjutkan perjuangannya di organisasi kelaskaran yang bernama Pemoeda Merah Poetih (PMP). Di kelaskaran PMP ini Baddare Daeng Situru sebagai pemimpin. Ia menggantikan ayahnya yang telah wafat. Dengan berdirinya PMP ini, selanjutnya dilakukan latihan-latihan militer. Kemudian Baddare Daeng Situru dan para pejuang pemuda melakukan pelucutan senjata Jepang dan senjata NICA.

Perjuangan Baddare Daeng Situru dalam mempertahankan kemerdekaan terus berlanjut, yaitu setelah KRIS Muda Mandar eksis di Mandar dan semakin banyak yang berminat menjadi anggotanya. Semakin bertambah peminat terhadap organisasi perjuangan ini, disebabkan karena kelaskaran ini dianggap sukses dan banyak memberikan contoh yang positif dalam perjuangan. Kemudian kelaskaran KRIS Muda Mandar ini memperluas diri dengan membentuk beberapa cabang kelaskaran di daerah lain seperti di Pangkep, Makassar, Maros, dan lain sebagainya. Kelaskaran KRIS Muda Mandar cabang Maros ini dipimpin oleh Baddare Daeng Situru.

Awal mula Baddare Daeng Situru masuk dalam kancah perjuangan sejak masa penjajahan Jepang. Kemudian pada saat Belanda kembali menjajah dan menguasai wilayah Sulawesi Selatan. Baddare Daeng Situru sebagai salah seorang putra Sulawesi Selatan tidak rela kalau tanah airnya kembali menjadi daerah jajahan.

Baddare Daeng Sitoeroe dilahirkan di Sawaroe pada tahun 1911. Sawaru merupakan satu desa di Kecamatan Camba, Kabupaten Maros. Baddare Daeng Situru anak ke-2 (8 bersaudara) dari ayah bernama Daeng Situru Andi Mappasessi Petta Poeli Aroeng Maccege dan ibu bernama Andi Aisjah. Panggilan akrab Baddare Daeng Situru semasa kecil adalah Baddere. Baddare Daeng Situru adalah keturunan bangsawan dimana ayahnya sebagai pemangku Ade' Pitu (Adat Tujuh) di Bone. Baddare Daeng Situru pada masa kecilnya sebagai anak bangsawan menerima pendidikan dan bimbingan dari ayahnya sendiri. Ia sejak kecil diajar membaca Al-Qur'an. Setelah berusia tujuh tahun ia masuk Vevelog School (Sekolah Rakyat 3 tahun) di Camba dan memperoleh ijazah pada tahun 1923. Kemudian melanjutkan sekolah ke Volk School (Sekolah Rakjat) pada tahun 1929. Setelah menyelesaikan pendidikan pada Volk School, pada tahun itu juga ia kemudian diangkat menjadi guru bantu pada sekolah tersebut. Setelah berakhir jadi guru bantu di Volk School lalu ia diangkat menjadi kepala sekolah pada tahun 1931. Pada tahun 1936 menjadi anggota Muhammadiyah selanjutnya pada tahun itu juga diangkat menjadi pimpinan Muhammadiyah cabang Camba. Pada tahun 1937 ia diangkat menjadi kepala kampung merangkat sebagai juru tulis. Sejak diangkat menjadi kepala kampung, perhatian diarahkan ke masalah kemasyarakatan dan pemerintahan. Profesi sebagai kepala kampung merangkap juru tulis dari tahun 1937-1941. Ia melaksanakan tugas dengan baik dan masyarakat merasakan ketenangan dan ketentraman. Pada masa pemerintahannya, ia mendirikan OPD (Organisasi Pertahanan Desa) sebagai pertahanan di tingkat desa. Selain itu, Baddare Daeng Situru juga membentuk sebuah badan yang disebut Andel Koperasi tahun 1937. Koperasi yang dibentuk ini terus berkembang, dan manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat sampai terjadinya perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bentuk usaha Andel Koperasi itu hampir sama dengan bentuk arisan. Modal usaha didapat dari simpan wajib anggota yang dibayar sebelum bergabung menjadi anggota. Setiap bulan anggota harus menyetor jumlah uang yang telah disepakati bersama dan setelah itu akan diberikan kepada siapa yang paling membutuhkannya.

Tahun 1945 Baddare Daeng Situru diangkat menjadi pimpinan SOEDARA (Soemboe Darah Rakjat). SOEDARA adalah salah satu bentuk perkumpulan pemuda yang dibentuk oleh Jepang di Tjamba, mereka diberi latihan militer sebagai bekal pada pemuda. SOEDARA ini merupakan wadah perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka, SOEDARA berkembang ke seluruh pelosok Sulawesi. Tujuan perjuangannya ternyata mampu meningkatkan semangat perjuangan dari seluruh pemimpin rakyat, bangsawan, dan rakyat. Sebagai ketua kehormatan adalah Andi Mappanyukki dan ketua umum adalah Sam Ratulangi. Melalui organisasi SOEDARA ini disebarluaskan dan dibangun semangat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Usaha itu tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional yang berada di tengah-tengah masyarakat saja, tetapi juga menyusup masuk dalam organisasi pemerintahan dan kemiliteran.

Ayah dari Baddare Daeng Situru bernama Daeng Situru Andi Mappasessi Petta Puli Arung Maccege dan ibunya bernama Andi Aisyah. Baddare Daeng Situru adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Kakaknya bernama Baba dan enam adiknya bernama: Cenra, Patenrungi, Muhammad Yunus, Tuppu, Sialu, dan Renge. Baddare Daeng Situru mempunyai dua orang istri, yaitu istri pertama bernama Jeppong dan istri kedua bernama Djamme. Dari kedua istrinya tersebut, Baddare Daeng Situru memiliki 12 orang anak, diantaranya: Andi Sukiman, Andi Nurhayati, Andi Marwan, Andi Enre, Andi Sompe, Andi Ade, Andi Late, Andi Amal, Andi Aking, Andi Gempar, Andi Nikma, dan 1 unknown.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan di bumi Indonesia. Bangsa Indonesia yang memiliki tanah air berkeinginan hidup senantiasa dalam kedamaian dan kesejahteraan. Tidak banyak hal yang menjadi pikiran kecuali mendambakan kemerdekaan yang ditempuh dengan jalan menolak dan menentang penjajahan. Rentetan peristiwa setelah kemerdekaan memberikan warna tersendiri dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan. Setelah kemerdekaan daerah ini tidak pernah luput dari perang karena upaya Belanda yang ingin kembali berkuasa dilawan secara terbuka oleh para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan. Hampir diseluruh daerah terjadi pembentukan organisasi kelaskaran. Para bangsawan dan para pemuda pejuang saling bergandeng tangan menyusun kekuatan untuk membangun perlawanan meski memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan perlawanan adalah Onderafdeling Maros dengan pusat perjuangan dilakukan di Maros dan Camba.

Perjuangan

[sunting | sunting sumber]

Kekalahan dari Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Setelah itu, Indonesia dijajah oleh Jepang hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan, setelah ratusan tahun dijajah oleh Belanda.

Pada tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mendarat di Sabang, Aceh, dan tiba di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada 15 September 1945. Sekutu memang mengakui dua otoritas yang berkuasa di Indonesia, yakni pihak Republik dan pihak Belanda.

Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa kepentingan lain, yaitu menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait konsepsi kenegaraan di Indonesia. Pidato pada tanggal 6 Desember 1942 melalui siaran radio menyebutkan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda.

Sejak 21 September 1945, tentara Sekutu mendarat di Makassar di bawah komando Brigadir I. Dougherty. Kedok NICA juga terbaca hingga di Sulsel. Semangat membentuk badan perjuangan terjadi dimana-mana, termasuk di Maros, salah Kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan (30 km dari kota Makassar).

Bicara Maros, ada nama ‘Baddare Daeng Situru’ dan M. Gazali, sosok pejuang yang melawan Belanda saat itu. Meski kurang populer di Sulsel, namun ternyata peranan Baddare Daeng Situru dan M. Gazali sangat penting dalam era perjuangan kemerdekaan RI. Mereka berasal dari salah satu wilayah di Kabupaten Maros yakni Camba. Bermula dari menjadi guru, kedua tokoh Muhammadiyah Camba ini, akhirnya menjadi komandan pasukan KRIS muda di Camba.

Pada akhir September 1945, atas inisiatif Ratulangi dan Manai Sofyan (ketua PPNI: Pusat Pemuda Nasional Indonesia) dibentuklah TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), dan PMP yang dipimpin Baddare Daeng Situru bergabung dalam TRIP bersama M. Gazali.

Pada Juni 1946, kekuatan militer dan senjata pasukan pegunungan Camba lebih kuat dari Maros. Bersama M. Gazali, di Toolu Sawaru Camba, pemuda pemuda dilatih militer khusus. Terjadi juga pelucutan senjata dari Karaeng Karaeng/ kepala distrik yang dianggap membantu NICA di Lebbo Tengngae yang dipimpin langsung oleh Baddare Daeng Situru dan M. Gazali, dan dibantu oleh Abdul Hamid K, Mannawi, Abdul Wahid Kolaka, Andi Palinrungi dan Salam Rukka. Adapun kekuatan senjata Camba tak lepas dari peran M. Gazali (atau dikenal dengan tuan guru Mangga/Manggazali).

Olehnya di Maros saat itu dua strategi dilakukan, yaitu pasukan Camba dengan kekuatan militernya berjuang lewat kontak senjata. Sedangkan pasukan Maros menjalankan strategi sabotase, misalnya pembakaran pasar malam oleh Andi Nurdin Sanrima bersama kawan kawan pejuang lainnya

Selanjutnya, diketahui banyak organisasi pejuang yang hadir saat itu dan anggotanya pun banyak yang rangkap anggota. Salah satunya yang terbentuk adalah KRIS muda Mandar di Maros/Camba, dengan tokoh sentral KRIS muda adalah Nurdin Djohan, Baddare Daeng Situru dan M. Gazali. Dari Markas mereka pun akhirnya bergabung pasukan dari Andi Mappe (tokoh pejuang Pangkep). Dalam penyamarannya ke Makassar, Nurdin Djohan tertangkap Belanda.

NICA yang saat itu merasa jengkel terhadap para pejuang Maros akhirnya menangkap istri Baddare Daeng Situru, istri M. Gazali, istri dan istri pejuang lainnya. Akhirnya, pada awal Maret 1950, Baddare Daeng Situru, M. Gazali dan beberapa pejuang lainnya ditangkap oleh Belanda. Perjuangan mereka pun (1945-1950) ini pun berakhir.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]
  • Vevelog School (Sekolah Rakyat 3 tahun)
  • Volk School (Sekolah Rakyat)
  • Guru bantu di Volk School (Sekolah Rakyat)
  • Kepala Sekolah di Volk School (Sekolah Rakyat) (1931)
  • Pimpinan Muhammadijah Tjabang Tjamba (1936)
  • Kepala Kampung Sawaroe merangkap juru tulis (1937-1941)
  • Pemimpin SOEDARA (Soemboe Darah Rakjat) (1943)
  • Wakil Komandan Divisi II KRIS Muda Mandar Cabang Maros/Tjamba (November 1946-Januari 1947)
  • Pelindung/Penasehat Divisi II KRIS Muda Mandar Cabang Maros/Camba di Pattanjamang (November 1946-Januari 1947)
  • Pemimpin KRIS Muda Mandar Cabang Maros/Tjamba
  • Anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) (1945)
  • Pemimpin Pemuda Merah Putih (PMP) Cabang Tjamba (1945)
  • Mendirikan OPD (Organisasi Pertahanan Desa)
  • Membentuk badan koperasi "Andel Koperasi" (1937)
  • Kepala Distrik Tjamba (1954-1960)
  • Kepala Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Maros (1960-1962)

Pertempuran dan Perang

[sunting | sunting sumber]
  • Perang Gerilya di Hutan Camba (1946)
  • Pertempuran di Markas Divisi/Resimen KKM Camba di Cinope (Campulili) melawan tentara NICA (1946)
  • Pertempuran di Kalumpini melawan tentara NICA (Februari 1947)
  • Pertempuran di Kampung Pising (Cenrana) melawan tentara NICA (1947)
  • Pertempuran di Tellu (Sawaru) melawan tentara NICA (Mei 1947)

Taktik & Bentuk Perlawanan

[sunting | sunting sumber]
  • Masuk ke hutan dan melancarkan perang gerilya
  • Penghadangan di berbagai tempat yang dianggap strategis
  • Mengadakan pengrusakan-pengrusakan jembatan guna menghambat bantuan musuh
  • Dengan memimpin organisasi kelaskaran KRIS Muda Cabang Camba Divisi II Resimen II Batalyon I berjumlah 1000 orang pada pertempuran mempertahankan markas
  • Dengan memimpin 2 peleton menghadapi NICA di Tellu (Sawaru)
  • Melakukan pelucutan senjata dan peralatan militer NICA di Lebbotengae
  • Menjalin aliansi dan kerjasama dengan tokoh-tokoh kelompok anti NICA di Sulawesi Selatan
  • Melakukan latihan-latihan kemiliteran dan kesiapan-kesiapan pasukan pemuda guna persiapan penghadangan tentara NICA menuju Camba
  • Mendirikan markas-markas militer di Kampung Tellu dan Mattajang guna mematangkan persiapan pertempuran

Taktik serangan yang sering digunakan untuk melawan NICA Belanda adalah taktik gerilya. Berperang gerilya bukan karena menganut “ideologi” bergerilya, melainkan karena mereka diharuskan, karena telah tidak mampu menyusun kekuatan yang berorganisasi sekadar modern, yang setara. Maka gerilya mereka pun baru pada tingkatan melelahkan musuh belum sampai dapat menghancurkannya walaupun bagian demi bagian penjajah tidak dapat dikalahkan hanya dengan perjuangan dengan cara bergerilya melainkan dengan kekuatan TNI. Perjuangan Laskar KRIS Muda Camba sesungguhnya berlangsung pada 1945-1950.

Atas keinginan wakil-wakil kelaskaran, organisasi kelaskaran yang ada di Makassar dan sekitarnya digabungkan menjadi satu organisasi kelaskaran. Penyatuan dari beberapa kelaskaran ini disebut dengan Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi yang dibentuk pada tanggal 17 Juli 1946. Adapun kelaskaran yang tergabung dalam LAPRIS terdapat 19 kelaskaran, yaitu Lipan Bajeng, PPNI, Kris Muda (Mandar), AMRIS, GAPIS, PBAR, LAPTUR A, LAPTUR B, HI, BPRI Pare-Pare, PPI, GPT, BUKA Limbung, KRAP Pallangga, Pemuda Maros, Pemuda Camba (KRIS Muda Camba), ALRI Makassar, BPI Makassar, dan KPS Makassar.

Akhir Perjuangan

[sunting | sunting sumber]

Dengan kekalahan Baddare Daeng Situru pada November 1946 dalam pertempuran terbuka melawan NICA di dekat Kota Camba, ia masuk hutan dengan melancarkan perang gerilya. Cara yang ia lakukan yaitu penghadangan diberbagai tempat yang dianggap strategis serta mengadakan pengrusakan-pengrusakan jembatan guna menghambat bantuan musuh. Pada tahun 1947 Baddare Daeng Situru ditangkap oleh NICA dan dipenjarakan di Maros, kemudian dipindahkan ke penjara di Makassar, pada tahun 1949 baru dibebaskan.

Kehidupan sosial keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Baddare Daeng Situru berusaha agar adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam dihilangkan. Sebagai seorang bangsawan yang berusaha menghilangkan secara paham feodalisme, ia mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulan di masyarakat. Dengan kewibawaannya segala yang dicontohkannya diterima oleh masyarakat dengan senang hati. Ketika ia menjabat sebagai kepala distrik Camba, kesempatan inilah yang digunakan untuk menanamkan ide-ide dan buah pemikirannya dalam membrantas paham feodal yang pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat Camba.

Islam mulai berkembang di Camba saat figur Baddare Daeng Situru mulai tampil sebagai tokoh muda yang berani menegakkan islam. Dapat dilihat dari keberaniannya dalam memerangi syirik, khuragat, dan tahayul-tahayul yang semuanya itu dapat melemahkan islam. Dengan kedudukan NICA yang tidak hanya menguasai di satu sektor, tetapi di sektor kebebasan mendapatkan pendidikan, kebebasan berpolitik termasuk di dalamnya aspek keagamaan. Oleh sebab itu langkah pertama yang dilakukan oleh Baddare Daeng Situru adalah menanamkan keyakinan kepada seluruh umat islam, dan menyampaikan bahwa kehadiran penjajah bagaikan racun yang menghalangi pertumbuhan umat islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Cara yang ditempuh oleh Baddare Daeng Situru ialah memperbaiki tekad dan keyakinan umat islam, langkah ini ditempuhnya dengan jalan berdiskusi dengan pendekatan secara pribadi dan masyarakat. Dengan demikian, ia leluasa mengutarakan bahaya syirik, khurafat, tahayul, dan bid'ah yang masih banyak menguasai kehidupan umat islam. Syirik adalah mempercayai sesuatu atau menyembah batu-batu besar yang menurut keyakinannya memiliki kekuatan untuk membantunya mengatasi kesulitan. Khurafat tahayul adalah mempercayai sesuatu yang gaib yang tak bisa diterima oleh akal sehat, misalnya wanita dilarang makan pisang raja, karena ditakutkan tidak dapat jodoh, hal semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Bid'ah adalah perbuatan yang dilakukan oleh umat Nabi Muhammad yang tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad pada masa hidupnya, misalnya datang ke suatu tempat atau kuburan membawa sesajen. Seperti inilah yang dibrantas oleh Baddare Daeng Situru, karena memang hal ini dapat merusak islam.

Langkah tersebut mendapat dukungan dan sambutan hangat dari masyarakat karena sifatnya revolusioner juga mendapat rintangan dari segelintir orang yang tidak dapat menerimanya. Namun demikian, ia tetap menyadarkan masyarakat dengan memperingatkan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya. Kecemasan ia dalam melihat masyarakat yang terbelenggu paham khurafat dan tahayul, maka pada suatu ketika ia berkata bahwa cara yang paling baik agar umat islam bebas dari belenggu khurafat, tahayul, serta segala bentuk kemusyrikan lainnya ialah dengan jalan memajukan pendidikan dan mencerdaskan masyarakat. Dalam hal ini melalui proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, ia mewakafkan tanahnya seluas 10.000 m² demi kepentingan agama. Adanya dasar-dasar pengembangan yang dirintis oleh Baddare Daeng Situru, maka masyarakat Camba dapat menerima ajaran islam sebagai pegangan hidup. Ia sering menasehati masyarakat lewat ceramah-ceramah agama yang sering ia lakukan di masjid-masjid. Keramahan dan kebijaksanaannya pada saat menjalankan pemerintahan membuat pribadi ia disegani dan semakin dihormati.

Penghormatan dan Tanda Jasa

[sunting | sunting sumber]
Jalan Baddare Daeng Situru di Kelurahan Turikale
Jalan Baddare Daeng Situru di Kelurahan Turikale

Baddare Situru yang lahir, besar, sampai melakukan perjuangan di Maros telah membukakan mata bahwa perjuangan yang dilakukannya tidak sia-sia. Setelah aral melintang mengarungi perjuangannya, pada tanggal 7 September 1962 Baddare Situru wafat. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang di Kota Makassar.

Hasil dari perjuangan Baddare Situru sebagai pimpinan Laskar KRIS Muda Camba dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan negara, Presiden Ir Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia memberikan penghargaan terhadap Baddare Situru yaitu mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya, Satyalancana Dharma Pemuda, dan piagam penghargaan tanda jasa pahlawan pada 10 November 1958. Ia sebagai salah satu putra bangsa yang menorehkan perjuangannya untuk bangsa. Keterlibatannya dalam beberapa pertempuran di daerah Kabupaten Maros. Berkat perjuangan salah satu putra terbaik bangsa yang berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kini nama Baddare Situru diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Desa Sawaru, Kelurahan Cempaniga (Kecamatan Camba) dan Kota Turikale Kabupaten Maros dan juga diabadikan sebagai nama lapangan sepak bola di Desa Sawaru Kabupaten Maros.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • "Kisah Kepahlawanan: Melepas Status Gurunya, Baddare Daeng Situru dan M. Gazali, Bergerilya di Hutan Camba". smartcitymakassar.com. 13 Mei 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-09. Diakses tanggal 27 Mei 2020. 
  • Jamaluddin (1992) (dalam bahasa Indonesia). Peranan Baddare Situru Sebagai Tokoh Masyarakat Pemuka Agama dan Pejuang Kemerdekaan di Camba (Tesis Thesis). Hasanuddin University. 
  • Kadir, Harun, dkk (1984). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan 1945-1950. Ujung Pandang: Kerjasama Bappeda Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan & Universitas Hasanuddin. 
  • Nadja, Bahtiar (2017). "Baddare Daeng Situru: Pejuang dan Tokoh Agama di Kabupaten Maros 1945-1950" [Baddare Daeng Situru: The Warior and Religious Leader in Maros 1945-1950]. Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 23: 24–34. 
  • Poelinggomang, Edward L. (2005). Sejarah Sulawesi Selatan, Jilid 2. Makassar: Balitbangda & Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Sulawesi Selatan. 
  • Pawiloy, Sarita (1987). Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan Masa Bhakti 1985-1989. 
  • Rasyid, Darwas MS (1990). Sejarah Daerah Tingkat II Kabupaten Maros. Ujung Pandang: Laporan Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang. 
  • Tamma, Abd. Rahman, dkk (Tanpa Tahun). Kelaskaran Kebaktian Rahasia Islam Muda 1945-1950, KRIS Muda Divisi II Makassar.