Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara yang berasal dari Aceh Barat. Di kalangan masyarakat Aceh, ia juga dikenal dengan nama Abu/Teungku Beurahim Keuramat. Ketika Abu Ibrahim Woyla meninggal, ribuan orang berkunjung untuk melayat selama 30 hari sebagai tanda bahwa ia sangat dihormati oleh masyarakat.
Kelahiran dan pendidikan
[sunting | sunting sumber]Abu Ibrahim Woyla dilahirkan pada tahun 1919 di Kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat dengan nama lengkap Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen. Pendidikan formal yang diselesaikan oleh Abu Ibrahim Woyla adalah Sekolah Rakyat (SR) selebihnya menempuh pendidikan dayah (pesantren) selama hampir 25 tahun.
Selama hidupnya, Abu Ibrahim Woyla pernah belajar selama 12 tahun pada Abu Syekh Mahmud, seorang ulama asal Lhoknga, Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blangpidie, Aceh Barat Daya. Salah satu murid Syekh Mahmud ini adalah Abuya Muda Waly yang kemudian menjadi ulama tersohor di Aceh. Selain itu Abu Ibrahim Woyla juga pernah belajar pada Abu Calang (Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal Yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yang bernama Teungku Adnan Bakongan.
Setelah Abuya Muda Waly kembali dari Mekkah dan membuka Dayah Darussalam di Labuhan Haji, Aceh Selatan, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar kepada Abuya Muda Waly selama dua tahun untuk memperdalam Tareqat Naqsyabandiah. Selesai belajar kepada Abuya Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampungnya di Pasi Aceh. Tak lama setelah kembali ke kampung halamannya, Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara tanpa seorangpun yang tahu kemana tujuannya. Menurut salah seorang menantunya yang bernama Teungku Nasruddin, Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang sebanyak tiga kali selama hidupnya. Pertama sekali selama dua bulan, kedua kali selama dua tahun, dan ketiga selama empat tahun. Setelah menghilang untuk ketiga kalinya, kemudian Abu Ibrahim Woyla kembali ke keluarganya dengan kondisi rambut dan tubuh yang tidak terurus. Karena kondisinya yang seperti itu maka banyak orang yang menganggap kalau Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Sejak kecil Abu Ibrahim Woyla dikenal sebagai sosok yang pendiam, ia hanya berkomunikasi jika ada yang perlu disampaikan. Hal ini menyebabkan orang lain tidak berani menanyakan hal-hal aneh yang dilakukannya.[1]
Istri dan Anak
[sunting | sunting sumber]Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang istri yaitu Rukiah dan seorang wanita lagi yang tidak disebutkan namanya. Istri kedua beliau dinikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum Abu Ibrahim Woyla meninggal dunia. Dari istri kedua ini, Abu Ibrahim Woyla tidak mendapatkan anak.
Dari istri pertama, Abu Ibrahim Woyla mendapatkan tiga orang anak yaitu Salmiah, Hayatun Nufus, dan Zulkifli. Ada cerita yang menyatakan bahwa ketika Salmiah berumur 6 bulan dalam kandungan, Abu Ibrahim Woyla beberapa kali mengatakan ingin membelah perut istrinya untuk melihat anaknya. Meskipun hal itu tidak pernah dilakukannya tapi ucapannya itu membuat keluarganya cemas.
Anak pertama yang bernama Salmiah lahir pada tahun 1954, tetapi untuk Abu Ibrahim Woyla ini bukanlah sebuah peristiwa yang istimewa karena dia hanya pulang sebentar dan kemudian kembali menghilang. Ketika Salmiah sudah mulai beranjak besar, barulah Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampungnya dan membuka kebun di Suwak Trieng. Kehidupan normalnya itu terus berlangsung hingga kelahiran anak ketiganya yang bernama Zulkifli. Tidak lama setelah kelahiran Zulkifli, Abu Ibrahim Woyla kembali mengembara sehingga istrinya meminta agar dipulangkan ke rumah orang tuanya. Hal ini terjadi karena menurut istrinya, Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarganya dan hanya sibuk dengan zikirnya saja. Tetapi hal ini tidak terwujud dan mereka tetap hidup bersama hingga akhir hayatnya.
Cerita luar biasa yang dikaitkan kepadanya
[sunting | sunting sumber]Sering membagikan uang kepada anak-anak
[sunting | sunting sumber]Menurut menantunya yang bernama Teungku Nasruddin, Abu Ibrahim Woyla sering membagikan uang yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa perhitungan. Kebanyakan yang menerima uang tersebut adalah anak-anak, terkadang ada anak-anak yang menerima Rp.50.000, Rp.20.000, atau bahkan hanya Rp.1.000.
Mampu menyingkat waktu perjalanan
[sunting | sunting sumber]Di masa hidupnya, Abu Ibrahim Woyla dikenal sangat suka berjalan kaki. Suatu ketika ada seorang tetangganya yang bernama Teungku Muhammad Kurdi Syam sedang menaiki mobil dari Teunom ke Meulaboh. Di tengah jalan ia bertemu dengan Abu Ibrahim Woyla dan mengajaknya untuk ikut naik mobil bersamanya. Ketika itu Abu Ibrahim Woyla menolaknya dan Teungku Muhammad Kurdi Syam langsung melanjutkan perjalanannya ke Meulaboh. Ketika tiba di Meulaboh, ternyata Abu Ibrahim Woyla telah tiba lebih dulu padahal ketika di perjalanan tidak ada mobil lain yang memotong laju mobil Teungku Muhammad Kurdi Syam.
Bahan makanan bertambah secara tiba-tiba
[sunting | sunting sumber]Dikisahkan oleh salah satu menantunya yang bernama Teungku Nasruddin, Abu Ibrahim Woyla pernah berkunjung ke almamaternya yaitu Dayah Syekh Mahmud di Blang Pidie. Ketika itu ia minta disediakan sepiring nasi untuk sarapan, tapi diberitahukan oleh bahwa tidak tersedia lauk apapun lagi di dapur. Abu Ibrahim Woyla kemudian menjawab bahwa ia bisa makan hanya dengan lauk pauk telur, dan diminta kepada santri tadi untuk mengecek persediaan di dapur. Ajaibnya di tempat penyimpanan telur masih tersisa satu telur lagi, padahal seingat santri tersebut semua telur telah habis untuk dimakan santri lain.
Kisah lainnya adalah, Abu Ibrahim Woyla datang berkunjung ke rumah salah seorang saudaranya dan minta sedikit nasi dengan lauk sambal udang belimbing. Istri tuan rumah memberitahukan kepada suaminya bahwa pohon belimbing di rumah mereka tidak ada buahnya tapi sang suami tetap berkeras agar istrinya tersebut mengecek ulang pohon belimbing tersebut. Ketika diperiksa kembali, terlihat bahwa pohon belimbing tersebut memiliki tiga buah belimbing yang cukup untuk membuat sambal seperti yang diminta Abu Ibrahim Woyla.
Menjadi tamu Gus Dur
[sunting | sunting sumber]Suatu ketika dikisahkan Gus Dur kedatangan seorang tamu dari Aceh, biasanya Gus Dur menerima tamu dengan kondisi seadanya mengingat ia kondisinya yang sedang sakit. Berbeda dengan biasanya, sebelum tamu tersebut diminta masuk ke dalam rumahnya, Gus Dur buru-buru berganti pakaian dengan pakaian rapi seperti akan menyambut hari raya Idul Fitri. Ketika tamu tersebut masuk, Gus Dur dan tamunya tersebut hanya bersalaman dan tidur dalam posisi duduk selama lebih kurang 15 menit. Setelah sang tamu bangun, ia langsung berpamitan tanpa ada obrolan apapun. Ketika hal itu ditanyakan barulah diberitahukan bahwa yang datang itu adalah Abu Ibrahim Woyla, seorang ulama sufi dari Aceh.[2]
Meramalkan tsunami
[sunting | sunting sumber]Ketika tsunami atau smong melanda Aceh pada tahun 2004, diceritakan oleh beberapa orang bahwa Abu Ibrahim Woyla telah memberitahukan hal itu melalui isyarat. Salah satu diantaranya dikatakan bahwa air akan naik setinggi pohon kelapa, hal ini dikatakan kepada salah satu muridnya yang bernama Mukhlis yang sekarang bermukim di Dayah Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang.[3] Cerita lainnya, 15 hari sebelum tsunami murid-murid Abu Ibrahim Woyla telah diperintahkan untuk menjauhi pantai.[4]
Wafat
[sunting | sunting sumber]Abu Ibrahim Woyla wafat pada hari Sabtu tanggal 18 Juli 2009 pukul 16:00 WIB pada usia 90 tahun. Ia dimakamkan di Desa Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat. Hingga saat ini, makam Abu Ibrahim Woyla masih ramai dikunjungi oleh masyarakat sebagai tanda penghormatan kepadanya.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Bahany,, As, Nab. Ensiklopedi ulama besar Aceh. [Banda Aceh, Indonesia]. ISBN 9786029063004. OCLC 967457836.
- ^ Online, NU. "Tamu Wali yang Diistimewakan Gus Dur | NU Online". NU Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-10-16.
- ^ "Abu Ibrahim Woyla dan Tsunami Aceh - Santri Online". Santri Online. 2016-04-09. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-16. Diakses tanggal 2018-10-16.
- ^ Putri Nailul Muradi, Putri Nailul Muradi (16 Oktober 2018). Karamah Abu Ibrahim Woyla Dalam Persepsi Masyarakat Aceh (Tesis Thesis). Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. https://repository.ar-raniry.ac.id/3474/.