Lompat ke isi

Pengguna:Annisa Rizkia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

HAK PENYANDANG DISABILITAS

[sunting | sunting sumber]

Kelompok minoritas di manapun berada sangat dekat dengan perlakuan diskriminatif. Tindakan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang disabilitas. Kata “penyandang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.[1] Sebagai bagian dari masyarakat umumnya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta hak pembangunan. Data menunjukkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini mencapai angka 12 persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).[2] Angka tersebut terbagi dalam beberapa kategori, baik dari jenis kelamin, dan tingkat disabilitas (sedang dan berat). Permasalahan hak disabilitas tidak hanya dialami oleh Indonesia, dikarenakan isu ini merupakan isu global. Beberapa langkah masyarakat internasional untuk pemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas terus diupayakan. Pengakuan hak bagi penyandang disabilitas oleh masyarakat internasional dengan memulai gerakan tahun 1982 tidak berhenti hingga tahun 1993 dengan melibatkan peran serta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara peserta juga didorong untuk memperbaiki arah kebijakannya untuk lebih meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Pada pertemuan para ahli yang diadakan di Boalt Hal School of Law pada tanggal 8-12 Desember 1998 mengemukakan dua pendekatan yang selama ini terdapat dalam isu HAM penyandang cacat.

  1. Pendekatan pertama yang dipandang tradisional yakni yang memandang penyandang cacat bukanlah sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga segala bentuk tindakan baik yang ditunjukkan bagi mereka hanyalah sebatas dalam bentuk dorongan moralitas atau kemurahan hati. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa kecacatan seseorang adalah sesuatu yang “abnormal, yang patut dikasihani dan diperdulikan”.
  2. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berupaya untuk menolak penggunaan sikap paternalistic dan mempatonisasi para penyandang cacat tapi dengan memandangnya melalui model medis yang sebagai konsekuensinya memandang mereka sebagai bagian dari anggota komunitas dengan hak-hak yang setara.[3]

Salah satu langkah yang dilakukan adalah memberikan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak dengan meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional khususnya yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, membentuk instrument hukum nasional hingga pada tingkat daerah, serta melihat kebijakan negara-negara lainnya dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Tuntutan akan hak dan diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas fisik maupun non-fisik bagi penyandang disabilitas telah sering disuarakan oleh para aktivis Organisasi Penyandang Disabilitas (Disabled People Organisation). Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: pembangunan sekolah luar biasa, dibangunnya fasilitas-fasilitas di beberapa gedung, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, walaupun masih minim dan kadang tidak terurus.[4] Dorongan bagi daerah terus dilakukan karena dalam lingkup pemerintahan di daerah belum banyak tersedia peraturan daerah yang dapat memberikan perlindungan yang dimaksud salah satunya hak aksebilitas. Suatu perlindungan yang mencakup seluruh hak yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, yang sering disebut aksesibilitas. Pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia.[5] Momentum reformasi tahun 1998 membawa pengaruh yang cukup besar di dalam perubahan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia. Khususnya dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menambah Pasal 28I - 28J tentang HAM, yang semula pada naskah asli hanya mengatur tentang hak warga negara.[6] Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) di mana Indonesia juga turut menandatanganinya. Sekalipun perubahan tersebut juga memuat aturan pembatasan. Namun ini menjadi capaian yang baik sejak Indonesia merdeka Tahun 1945. Penyandang disabilitas sekalipun tidak disebut secara tegas dalam UUD NRI tahun 1945, namun merupakan bagian dari manusia yang kedudukannya sama. Sebagaimana prinsip dalam HAM yang universal, non diskriminasi, tidak dapat dipungkiri, tidak dapat dibagi dan tidak dapat dikurangi. Pemenuhan hak perlu adanya payung hukum, hal ini selaras dengan tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada intinya bahwa perwujudannya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Baik manusia yang terlahir “normal” dan terlahir dengan “ketidaksempurnaan fisik atau mental”. Pada anak-anak disabilitas dibekali dengan pendidikan yang sama sehingga ketika tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai hanya berakhir dijalanan karna tidak memiliki pendidikan dan keahlian. Terserapnya penyandang disabilitas diusia kerja pada lapangan pekerjaan baik sebagai pegawai negeri maupun pekerjaan swasta. Keengganan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas turut menambah jumlah disabilitas yang tidak terserap pada dunia kerja. Diberikannya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk aktif dalam dunia politik. Sebelum adanya ratifikasi atas CRPD banyak instrumen-instrumen berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-Undang, Peraturan Menteri terkait hingga Peraturan Daerah. Undang-undang yang di dalamnya juga menyinggung tentang penyandang disabilitas antara lain ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Kondisi ini membuktikan bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan penggalangan dana serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyandang disabilitas.[7]

Ragam dari Penyandang Disabilitas

[sunting | sunting sumber]

Ragam dari penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu;

  1. Penyandang disabilitas fisik, adalah adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
  2. Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.
  3. Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
  4. Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
  5. Penyandang disabilitas ganda atau multi, yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Baik penyandang disabilitas fisik, mental ataupun ganda memiliki hak yang sama. Terkait dengan hak penyandang disabilitas, perlu diperhatikan tentang makna hak. Hak mulai menjadi perbincangan seiring timbulnya negara-negara nasional yang mempersoalkan hubungan negara dan warga negara.[8]

Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas

[sunting | sunting sumber]

Ketentuan umum penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu;

  1. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
  2. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
  3. Diskriminasi adalah setiap perbedaan, pengecualian, pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak penyandang disabilitas.
  4. Penghormatan adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan penyandang disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa berkurang.
  5. Pelindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak penyandang disabilitas.
  6. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak penyandang disabilitas.
  7. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan penyandang disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok penyandang disabilitas yang tangguh dan mandiri.
  8. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
  9. Akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan.
  10. Alat Bantu adalah benda yang berfungsi membantu kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
  11. Alat Bantu Kesehatan adalah benda yang berfungsi mengoptimalkan fungsi anggota tubuh penyandang disabilitas berdasarkan rekomendasi dari tenaga medis.
  12. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang kepada penyandang disabilitas berdasarkan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
  13. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
  14. Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas.
  15. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  16. Komisi Nasional Disabilitas yang selanjutnya disingkat KND adalah lembaga nonstruktural yang bersifat independen.
  17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  18. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  19. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sosial.[9]

Teori-teori yang berbasis pada hak memberikan justifikasi terhadap diutamakannya kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Hukum dirancang untuk sebanyak mungkin melindungi kepentingan individu sebagaimana yang dikemukakan Jeremy Bentham lewat utilitarianismenya. Hak juga merupakan sesuatu hal yang tak terpisahkan dari hakekat kemanusiaan itu sendiri. Menurut Lord Lloyd of Hamstead dan M.D.A. Freeman terdapat dua teori hakikat dari hak, yaitu teori kehendak yang menitikberatkan kepada kehendak atau pilihan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Dan teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum.[10] Menurut Paton bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasikan suatu kepentingan, karena kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa (in vacuo) tetapi menginginkan tujuan-tujuan tertentu yaitu kepentingan. Ronald Dworkin menyampaikan bahwa hak paling tepat dipahami sebagai yang paling tinggi atas justifikasi latar belakang bagi keputusan politis yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dworkin menempatkan hak sebagai suatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.[11] Komite ICESCR melalui General Comment no 5. Dalam Comment tersebut dinyatakan bahwa Komite mendorong Majelis Umum dan Komisi HAM untuk memonitor para negara peserta terkait dengan ketaatannya terhadap hak-hak orang cacat. Sekalipun tidak mengatur secara tegas tentang penyandang cacat namun Deklatasi Umum Hak Asasi Manusia ditunjukkan sekerangka bagi perlindungan atas hak-hak yang berada di dalamnya, termasuk hak bagi penyandang disabilitas dan di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, pada dasarnya mendorong partisipasi dan kebebasan yang lebih besar bagi semua individu dan golongan yang ada. Perlindungan terhadap ICESCR pun dapat ditemukan dalam Standar Rules, di mana Standar Rules ini sangat penting dan merupakan bimbingan yang berharga untuk mengidentifikasi secara tepat apa yang menjadi kewajiban para negara peserta. Di mana selaras dengan Kovenan Hak Atas Perlakuan Non Diskriminatif, di mana dalam pengertiannya hak ini harus meliputi penghapusan atas berbagai bentuk diskriminatif yang menjadi para penyandang cacat mampu berintegrasi dan menjalani hidup secara mandiri dan berdaulat.[12] Hak-hak lainnya adalah hak atas kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 1970-an dengan diundangkannya Deklarasi orang dengan Cacat Mental pada tahun 1971 dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat (1975), membuat mengutamakan keberadaan penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM. Dalam Deklarasi Mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat mendefinisikan orang cacat sebagai “setiap orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, secara keseluruhan atau sebagian, sebagaimana layaknya individu normal dan/atau kehidupan sosial sebagai akibat dari kekuarangannya, baik bawaan lahir (congenital) atau tidak, dalam mental atau kemampuan fisiknya. Deklarasi ini mendorong agar organisasi-orgasisasi terkait (internasional maupun nasional yang bergerak di bidang advokasi terhadap penyandang disabilitas) harus diikutkan dalam semua hal yang berkaitan dengan hak-hak penyandang cacat. Penyandang cacat dan keluarganya harus diberi informasi mengenai hak-hak yang terkandung dalam Deklarasi. Adapun hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik sebagaimana dimiliki oleh warga negara lainnya, hak atas berbagai tindakan yang ditujukan supaya meraka menjadi mandiri, hak atas berbagai pelayanan seperti medis dan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian, hak untuk terlibat dalam pekerjaan yang bernilai komersial dan bergabung dengan serikat pekerja, dan hak atas perlindungan terhadap praktek eksploitatif.[13] Deklarasi mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat Mental dibentuk atas dasar keyakinan bahwa orang yang memiliki keterbelakangan mentalpun memiliki hak-hak yang sama dengan manusia lainnya, deklarasi ini menyatakan beberapa prinsip bahwa para penyandang cacat mental berhak atas perawatan medis yang tepat dan pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuannya secara potensial, hak atas keamanan ekonomi, untuk melakukan pekerjaan yang produktif dan standar hidup yang layak, keluarga yang tinggal bersama dengan orang-orang cacat berhak atas bantuan, hak untuk mendapatkan perlindungan atas berbagai perlakuan yang eksploitatif, merendahkan dan menyalahgunakan wewenang. Dalam hal ketidakmampuan dari orang cacat mental tersebut melaksanakan hak-hak tadi maka prosedur yang ditunjukan sebagai pembatasan tersebut harus memuat ketentuan hukum yang dapat melindunginya dari segala bentuk penyalahgunaan. Kemudian prosedur inipun didasarkan atas evaluasi mengenai kemampuan sosialnya oleh para ahli yang mumpuni dan harus menjadi aspek penilaian ulang secara periodik dan memuat hak untuk dilakukan banding.[14]

Pengaturan Penyandang Disabilitas dalam CRC

[sunting | sunting sumber]

Pengaturan pengenaian penyandang disabilitas secara khusus pada anak diatur dalam Convention on the Rights of the Child (CRC) pada Pasal 23, yaitu;

  1. Para negara peserta mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental dan cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat.
  2. Para negara peserta mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggungjawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-orang lain yang merawat anak itu.
  3. Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka bantuan yang diberikan, sesuai dengan ketentuan ayat 2 Pasal ini, harus disediakan dengan cuma-cuma, setiap waktu mungkin, dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan orang tua dan orang lain yang merawat si anak, dan harus dirancang untuk menjamin hak anak cacat tersebut mempunyai akses yang efektif dan menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan perawatan kesehatan, pelayanan rehabilitasi, persiapan bekerja dan kesempatan rekreasi dalam suatu cara yang paling sepenuhnya mungkin, dan pengembangan perseorangan si anak termasuk pengembangan budaya dan jiwanya.
  4. Para negara peserta harus meningkatkan, dalam semangat kerjasama internasional, pertukaran informasi yang tepat, di bidang perawatan kesehatan yang preventif dan perlakuan medis, psikologis dan fungsional dari anak cacat, termasuk penyebarluasan dan akses ke informasi mengenai metode-metode rehabilitasi, pendidikan dan pelayanan kejuruan, dengan tujuan memungkinkan para negara peserta untuk memperbaiki kemampuan dan keahlian mereka dan untuk memperluas pengalaman mereka di bidang-bidang ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan mengenai kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang.

Hal ini diperkuat dengan empat prinsip umum yang telah diidentifikasi oleh Komite CRC. Pertama prinsip non diskriminasi yang memuat supaya penerapan hak-hak dalam Konvensi meliputi seluruh golongan anak. Kedua, prinsip kepentingan terbaik untuk anak melalui ini Komite dalam mempertimbangkannya harus menjadikan kepentingan anak penyandang cacat sebagai acuan utamanya. Ketiga, hak untuk hidup dan mempertahankannya dan berkembang yang termuat dalam pasal 6 CRC. Keempat prinsip untuk didengar dan berpartisipasi hal mana melalui ini diharapkan anak-anak penyandang cacat tidak lagi termarjinalisir.[15]

Delapan Prinsip Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

[sunting | sunting sumber]

Terdapat delapan prinsip yang menjadi pedoman negara peserta dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD/Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas), yaitu;

  1. Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk membuat pilihan sendiri dan kemandirian setiap orang.
  2. Non diskriminasi.
  3. Partisipasi penuh dan efektif, serta keterlibatan dalam masyarakat.
  4. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan bahwa disabilitas adalah bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
  5. Kesetaraan kesempatan.
  6. Aksesibilitas.
  7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
  8. Penghormatan atas perkembangan kapasitas penyandang disabilitas anak dan penghormatan atas hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan identitas mereka.[16]

Hak- Hak Penyandang Disabilitas

[sunting | sunting sumber]

Adapun hak-hak penyandang disabilitas tersebut diperinci, yaitu:

  1. Hak atas aksesibilitas.
  2. Hak untuk hidup.
  3. Hak memperoleh jaminan perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam.
  4. Hak atas kesetaraan pengakuan dihadapan hukum.
  5. Hak atas akses terhadap keadilan
  6. Hak atas kebebasan dan keamanan.
  7. Hak atas kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
  8. Hak atas kebebasan dari eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan.
  9. Hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.
  10. Hak untuk memperoleh dan mengubah kewarganegaraan.
  11. Hak untuk hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat.
  12. Hak atas mobilitas pribadi.
  13. Hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi.
  14. Hak memperoleh penghormatan terhadap keleluasaan pribadi.
  15. Hak memperoleh penghormatan terhadap rumah dan keluarga.
  16. Hak atas pendidikan, kesehatan, habilitasi dan rehabilitasi.
  17. Hak atas pekerjaan dan lapangan kerja.

Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif Hukum HAM

[sunting | sunting sumber]

Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas juga mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi hak bagi para penyandang disabilitas hal itu tercermin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa: 'Setiap Penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.' Pasal tersebut jelas menerangkan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada diskriminasi dan pembedaan, karena HAM tidaklah bertumpuh kepada perbedaan suku, agama bahkan kelainan fisik namun nyatanya para penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima, malah tak jarang mereka menemukan diskriminasi. Tujuan dari negara Indonesia adalah kesejahteraan rakyat yang berarti negara, pemerintah atau organisasi apapun mengemban kewajiban dalam melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali, ini berarti bahwa HAM adalah tolak ukur dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Hak-hak itu melekat pada diri manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap dan HAM sejatinya adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia, bahkan sejak manusia berada dalam kandungan ia sudah memiliki hak asasinya sendiri, “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are Life, Liberty and the persuit of Happiness.” Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa semua orang adalah sama dan memiliki hak dalam kehidupan yang merupakan anugerah dari sang pencipta. Kurangnya perhatian atas pemenuhan hak-hak terhadap penyandang disabilitas menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam menjalankan peraturan sesuai dengan hukum dengan adil, begitu juga dalam pemenuhan hukum hak asasi yang seharusnya jaminan dan pengakuan terhadap hak-hak penyandang disabilitas diberikan sebagaimana yang telah diatur di dalam setiap peraturan negara Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah dalam kehidupan para penyandang disabilitas memberikan dampak buruk dalam kemajuan suatu negara dengan ini memberikan cerminan terhadap kemunduran suatu sistem kenegaraan yang sudah tidak lagi menjadikan hukum sebagai acuan.[17]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sutami, Hermina (2009-10-01). "Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa; Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, 1701 pp. [First edition: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.] ISBN 978-979-22-3". Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia. 11 (2): 335. doi:10.17510/wjhi.v11i2.165. ISSN 2407-6899. 
  2. ^ Amaliah, Henni; Hos, Jamaluddin; Tanzil, Tanzil (2020-12-13). "STRATEGI PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN SOSIAL EKONOMI (Studi Pada Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Sulawesi Tenggara)". WELL-BEING: Journal of Social Welfare. 1 (2): 74. doi:10.52423/well-being.v1i2.16524. ISSN 2722-7960. 
  3. ^ Sunyowati, Dina (2013-03-29). "HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia)". Jurnal Hukum dan Peradilan. 2 (1): 67. doi:10.25216/jhp.2.1.2013.67-84. ISSN 2528-1100. 
  4. ^ Ridlwan, Zulkarnain (2015-10-26). "PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS (RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 7 (2). doi:10.25041/fiatjustisia.v7no2.382. ISSN 2477-6238. 
  5. ^ Ridlwan, Zulkarnain (2015-11-06). "Payung Hukum Pembentukan BUMDes". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 7 (3). doi:10.25041/fiatjustisia.v7no3.396. ISSN 2477-6238. 
  6. ^ Fatah, Abdul (2013-09-04). "GUGATAN WARGA NEGARA SEBAGAI MEKANISME PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA". Yuridika. 28 (3). doi:10.20473/ydk.v28i3.347. ISSN 2528-3103. 
  7. ^ Setyadi, Stefanus Novian (2019-12-13). "MEMAKNAI PENDERITAAN DALAM KATEKESE PENGHARAPAN DILIHAT DARI KITAB AYUB". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-06-30. 
  8. ^ Marzuki, Marzuki (2020-06-17). "HUKUM DAN PERADILAN DALAM MASYARAKAT MUSLIM PERIODE AWAL ISLAM". Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum. 14 (1): 1–12. doi:10.24239/blc.v14i1.518. ISSN 2579-9762. 
  9. ^ suryaden. "UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas". Jogloabang. Diakses tanggal 2021-06-30. 
  10. ^ Le Lay, Stéphane (2004). "« Comment loger les plus pauvres si l'on démolit les HLM ? » Bah, en reconstruisant !". Mouvements. 36 (6): 175. doi:10.3917/mouv.036.0175. ISSN 1291-6412. 
  11. ^ LAÉ, Jean-François (2002-09-30). "La main courante en HLM et l'événement". Sociologie et sociétés. 28 (1): 177–188. doi:10.7202/001399ar. ISSN 1492-1375. 
  12. ^ Koch, Raphael; Mrugalla, Finn (2018). The General Rules of Chinese Civil Law. Nomos Verlagsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm. 117–130. ISBN 978-3-8452-9110-9. 
  13. ^ Hiban, Muhammad Ibnu; Purnomo, Eko Priyo; Nurkasiwi, Aulia (2020-06-23). "Smart City dalam Memenuhi Hak-Hak Penyandang Difabel di Yogyakarta "Studi Kasus : Infrastruktur Transportasi Publik dalam Memenuhi Hak Penyandang difabel"". Jurnal Pemerintahan dan Politik. 5 (2). doi:10.36982/jpg.v5i2.1034. ISSN 2502-2032. 
  14. ^ Rahmanto, Tony Yuri (2019-07-19). "Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia". Jurnal HAM. 10 (1): 19. doi:10.30641/ham.2019.10.19-37. ISSN 2579-8553. 
  15. ^ Iskandar, Pranoto (2015). "Reclaiming Human Rights Universality in 'Nonconstitutional' Constitution: Toward a New Reading of the 1945 Constitution". SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.2589985. ISSN 1556-5068. 
  16. ^ Trihardianto, Regy (2018-04-27). "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP HAK PENYANDANG DISABILITAS DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS". Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan. 6 (1): 48. doi:10.29303/ius.v6i1.537. ISSN 2477-815X. 
  17. ^ Rompis, Kartika Gabriela (2016-02-11). "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA". LEX ADMINISTRATUM (dalam bahasa Inggris). 4 (2). ISSN 2337-6074.