Masyarakat Afsya mengandalkan sagu sebagai makanan pokok sekaligus sumber ekonomi. Upaya tradisional untuk merawat berkat dari pohon sagu yang tumbuh berlimpah di hutan-hutan keramat. Pengakuan hutan adat jadi krusial agar Bariat berdaulat pangan dengan sagu.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri
Sagu kerap dibilang sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Sebagian orang mungkin juga mengenal sagu dengan tepungnya, sebagai salah satu bahan baku untuk membuat aneka penganan, seperti kue atau roti. Padahal, sejumlah daerah di Indonesia telah turun-temurun menggunakan sagu sebagai makanan pokok, seperti Papua.
Bagi orang Papua, sagu mengalir erat sedekat urat nadi. Bahkan filosofi dari pohon sagu memiliki makna sangat dalam. Di luar berduri, di dalam berseri. Artinya, meski tampak fisik atau penampilan luarnya keras dan garang, tetapi hatinya baik, tulus, dan putih bersih penuh kasih; seputih sari pati sagu. Tidak terkecuali masyarakat Afsya di Kampung Bariat, ibu kota Distrik Konda. Afsya merupakan subsuku yang termasuk bagian dari suku Tehit, komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong Selatan.
Permukiman masyarakat Afsya berada di tengah kawasan hutan adat seluas 3.307,717 hektare (ha). Hutan Bariat didominasi ekosistem gambut, sehingga tak heran papan peringatan rawan kebakaran dari dinas lingkungan hidup terpasang di banyak tempat.
Sebagai kampung yang dikepung daratan dan tidak berbatasan dengan laut, sumber penghidupan masyarakat Bariat bergantung pada hasil hutan. Dari sekian komoditas, sagu (Metroxylon sp.) menjadi makanan pokok mereka.
Dalam ekspedisi Arah Singgah Papua 2024, tim TelusuRI singgah di Kampung Bariat untuk melihat proses pengolahan sagu. Adrianus Kemeray (51), Kepala Kampung Bariat, mengajak kami masuk wilayah hutan sagu milik keluarga Nikson Kemeray. Ada satu pohon sagu dewasa berusia sekitar 10 tahun yang siap panen di dalamnya. Lokasinya tidak jauh dari jalan aspal penghubung Teminabuan (ibu kota Sorong Selatan) dengan kampung-kampung di Distrik Konda.
Kami bisa menjangkau lahan itu dengan jalan kaki dari rumah Adrianus, tempat kami menginap. Hanya saja, karena hari sebelumnya hujan deras sepanjang malam, lahan di sekeliling pohon sagu tersebut tergenang air setinggi betis. Beberapa warga meminjami kami sepatu bot, sedangkan mereka biasa berjalan tanpa alas kaki. Padahal, duri-duri pohon sagu dan serpihan kayu yang tajam berserakan di mana-mana. Kami sampai harus berjalan di atas batang sagu yang sudah kopong dan licin.
Gotong royong mengolah sagu
Menurut Adrianus, sagu merupakan anugerah pangan lokal terbaik yang diberikan Tuhan untuk tanah Papua. Kemudian nenek moyang mereka menurunkan banyak pengetahuan seputar pemanfaatan sagu. Semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
“Sagu adalah makanan pokok [yang diwariskan] dari leluhur kami. Kami jaga pohon sagu sebagai mama kandung kami,” kata Adrianus. Seperti halnya orang-orang Papua menganggap hutan sebagai ibu atau mama, karena memberikan banyak kehidupan. Begitu pun sagu. Melindungi dusun sagu—istilah masyarakat untuk menyebut hutan sagu—berarti menjamin keberlangsungan sumber penghidupan mereka sampai anak cucu.
Dari satu pohon sagu saja, semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Kulit atau batangnya bisa berfungsi sebagai bahan bakar atau perapian. Pelepah sagu dapat digunakan untuk tempat meremas sagu dan dinding rumah. Lalu daun atau rumbia bisa dianyam jadi atap rumah.
Sementara dari kacamata iklim, sagu punya peran penting dalam pengendalian kualitas lingkungan. Menurut riset Bambang Hariyanto, peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri BPPT, tanaman sagu dapat menyerap emisi karbon lebih besar daripada tanaman hutan lainnya. Oleh karena itu, sagu tidak hanya diandalkan sebagai sumber ekonomi, tetapi juga kemampuannya merestorasi kondisi lingkungan hutan di sekitarnya.
Selebihnya, seperti kita tahu, sagu adalah bahan pangan kaya karbohidrat. Tidak kalah kenyang dengan beras padi. Berbeda dengan padi yang harus menunggu tiga sampai empat bulan untuk panen, sagu bisa diolah dan dinikmati di hari yang sama. Untuk itulah kerja sama atau gotong royong antarkeluarga jadi penting saat memanen sagu.
Fase-fase awal awal pengolahan sagu membutuhkan kerja fisik ekstra. Di sinilah kelompok laki-laki berperan. Berbekal parang dan kapak, para lelaki dewasa bahu-membahu menebas bagian bawah batang sagu dan memastikan jatuh ke arah yang tepat.
Saya tidak tahu persis bagaimana penampakan fisik sagu siap panen. Yang jelas, kalau kata Adrianus, rata-rata usia pohon sagu dewasa yang siap panen adalah 10 tahun. Tingginya kira-kira mencapai sedikitnya 15 meter.
Tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI diminta menjauh dari lokasi penebangan. Teriak kencang para pria bersahutan untuk memberi aba-aba waspada.
Bruk! Satu pohon besar itu roboh ke arah berlawanan dari kedatangan kami. Daniel Meres, tetangga yang tinggal di seberang rumah Adrianus, sigap mengayunkan kapaknya berulang-kali ke permukaan batang sagu. Sementara yang menggunakan parang, seperti Nikson, Wilhelmus, dan Maurit bertugas menguliti batang sagu dan memotong pelepah-pelepah yang tersisa. Para remaja macam Nobili dan Yunus siaga membawa dan menjaga barang-barang kami yang agak merepotkan—kamera, tripod, ransel, hingga matras.
Satu pohon sagu tidak akan dihabiskan di hari itu. Warga hanya membuka batang sagu kira-kira seperempat ukuran pohon saja untuk diolah. Fredik Ariks jadi orang pertama yang menokok teras batang atau empulur—daging pohon atau bagian dalam batang sagu yang berwarna putih.
Alat pangkur khusus itu berfungsi seperti martil dan biasanya terbuat dari kayu yang kuat, seperti merbau. Penduduk setempat menyebutnya kayu besi. Di ujungnya biasanya dipasang logam tajam agar awet dan bisa melumat empulur dengan cepat.
Selanjutnya bergantian Amos Meres (anak Daniel Meres) berusaha keras memecah empulur sampai gembur serupa tepung. “Kalau capek, bisa gantian sama yang muda-muda,” kata Fredik tergelak.
Warisan pangan leluhur yang bestari dan lestari
Meski status lahan milik marga Kemeray, tetapi proses panen dan pengolahan sagu melibatkan keluarga lintas marga. Sebab, satu pohon saja bisa mencukupi kebutuhan 340-an penduduk Bariat untuk beberapa minggu. Bahkan dalam satu hari hanya mengolah beberapa karung empulur saja untuk selanjutnya diperas menjadi tepung sagu kering.
Kata Adrianus soal proses pengolahan sagu, “Kalau orangnya banyak [yang gotong royong], satu pohon [sagu] besar itu bisa selesai diproses seminggu. Kalau cuma satu-dua orang saja [yang mengerjakan], baru bisa selesai sebulan.”
Sementara di sisi batang pohon yang sudah terbelah, kelompok perempuan akan mengambil alih tugas selanjutnya. Maria Kemeray dan Kormince Kemeray telah bersiap-siap. Mereka membuka dua karung goni ukuran sedang untuk menampung serpihan-serpihan sagu. Kedua mama itu, dengan menyunggi, bergerak kilat ke pondok sagu milik marga Kareth di tepi anak sungai berair jernih di hutan rawa gambut. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari tempat panen.
Alih-alih memakai mesin pengolah sagu mekanis, masyarakat Bariat masih mempertahankan cara lawas. Mereka memakai pelepah nipah—disangga batang-batang pohon kecil yang terpasang menyilang—sebagai tempat penggilingan sagu basah.
Meskipun tradisional, tetapi mekanisme kerjanya sangat menakjubkan. Tidak ada kurikulum khusus di sekolah tentang cara membuatnya, hanya berdasarkan tutur leluhur turun-temurun. Paling-paling, satu-satunya barang modern adalah penggunaan kaus atau kain lebar sebagai penyaring sagu.
Maria dan Kormince kemudian secara bertahap memindahkan serpihan sagu ke baskom. Mereka mencampur sagu dengan air dari anak sungai tadi secukupnya, lalu menuangkannya ke atas pelepah. Mauren, ketua tim ekspedisi, sempat mencoba membantu pekerjaan mama-mama itu.
“Diremas pelan-pelan sampai [kandungan] airnya habis, lalu basahi dengan air lagi dan remas lagi,” ujar Maria memberi arahan. Meremasnya seperti saat sedang mencuci dan membilas pakaian.
Ada dua-tiga perlakuan serupa untuk setiap baskom sagu. Kemudian air perasan sagu akan mengalir melewati penyaring dan jatuh ke bak penampung di bawahnya. Hasil saringan itulah yang nantinya dicuci dan diambil patinya. Pati tersebut diolah dan dijadikan tepung sagu kering.
Setiap keluarga biasa mengambil beberapa bagian untuk kebutuhan dapurnya sendiri. Mama-mama masih meneruskan perannya dengan memasak olahan sagu. Paling banyak dijadikan papeda, tinggal mencari ikan di sungai, sayur-sayur di hutan, dan bumbu-bumbu dari pasar sebagai pelengkap. Kami sempat mencoba produk penganan olahan lainnya. Dorcila Gemnasi, istri Adrianus, membuatkan kami kue pukis sagu dengan parutan kelapa yang sangat lezat. Makan dua potong saja sudah kenyang. Lebih nikmat lagi jika disajikan dengan secangkir kopi panas.
Selain dikonsumsi sendiri, tepung sagu kering merupakan produk turunan pertama yang bisa dijual oleh warga Bariat. Sasaran penjualannya bisa ke pasar, atau sesuai pesanan pelanggan. Satu pohon sagu bisa menghasilkan tepung kering sedikitnya 20 karung dengan bobot masing-masing mencapai 20–25 kilogram. Harga jualnya sekitar Rp200.000 rupiah per karung.
Inilah yang dimaksud Adrianus soal pemanfaatan sagu tanpa mengeluarkan modal pundi-pundi sepeser pun, tetapi bisa jadi sumber pemasukan. Ia menegaskan sagu sebagai upaya kemandirian pangan di kampungnya, “Kami sebagai masyarakat belum tentu semua jadi pegawai negeri. Kami ada yang [bekerja] sebagai buruh kasar. [Ada juga] yang sama sekali tidak dapat pekerjaan [sehingga] punya hidup bergantung dari dusun sagu, yang dia bisa olah untuk mendapatkan uang.”
Tak terhitung manfaat ekonomi dari sagu yang dikelola dengan baik dan lestari. Para orang tua di Bariat bisa menyekolahkan anak-anak mereka, membelanjakan bahan makanan dan minuman lainnya di dapur, hingga membangun gereja dan rumah hunian.
Kiri: Amos Meres menunjukkan kudapan sagu bola yang siap dimakan. Biasanya, sembari menunggu mama-mama meremas sagu, warga yang lain membuat adonan pati sagu berbentuk bola dan membakarnya di atas api sampai bagian terluar gosong menghitam. Meski tanpa tambahan bumbu apa pun, sagu bola cukup lezat dan bisa mengganjal lapar. Kanan: Kue pukis sagu karya Dorcila Gemnasi, istri Adrianus Kemeray. Hanya dengan bahan tepung sagu dan parutan kelapa, lalu dipanggang di atas api, sudah lebih dari cukup sebagai kudapan nikmat dan mengenyangkan perut. Salah satu bentuk kreasi pangan lokal warga Bariat/Rifqy Faiza Rahman
Menjaga dusun sagu dengan adat dan tempat keramat
Sejauh ini belum ada data yang kompak dan valid terkait luas lahan sagu di Indonesia. Prof Mochamad Hasjim Bintoro, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, dalam pernyataannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, pernah mengungkapkan luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta ha. Hampir 95 persennya atau 5,2 juta ha berada di Papua.
Artinya, cadangan sagu di Papua terbesar di Indonesia dan dunia. Sayangnya, kata ketua Masyarakat Sagu Indonesia (MASSI) itu, yang dimanfaatkan tidak sampai satu persen. Sisanya, dibiarkan membusuk dan mati sia-sia tanpa sempat dipanen.
Khusus wilayah Papua Barat Daya, Sorong Selatan tergolong sentra penghasil dan cadangan sagu terbesar di provinsi ini. Setidaknya menurut data terakhir yang tercatat berdasarkan riset peneliti BPPT Bambang Haryanto, Mubekti, dan Agus Tri Putranto pada 2015. Dari total luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan sebesar 694.221 ha, hampir 45 persen di antaranya (311.591 ha) merupakan areal hutan sagu, dengan potensi pati sagu hampir 3 juta ton.
Enam areal sagu terluas (sekitar 10% atau lebih cakupan wilayah) berada di Distrik Kais (63.797 ha), Kokoda (61.344 ha), Inanwatan (55.483 ha), Saifi (39.630), Kokoda Utara (34.530 ha), dan Metamani (29.400 ha). Konda (19.641 ha) dan Seremuk (7.766 ha) merupakan dua distrik dengan luasan terkecil. Angka-angka itu mungkin mengalami penyusutan mengingat perkembangan zaman, mungkin juga tetap.
Industri sagu swasta sudah beroperasi di Kais dan Metamani, sementara distrik lainnya masih berbasis perkebunan rakyat. Namun, Adrianus dan Ones (fasilitator lokal EcoNusa yang mendampingi kami) kompak berpendapat lain. Ketiadaan investasi perusahaan pengolahan sagu di Konda justru lebih menguntungkan masyarakat adat. Seperti yang tampak jelas di Bariat. Warga tidak perlu terikat dengan perusahaan dan masih bebas mengelola lahannya sendiri yang sudah terbagi-bagi berdasarkan kesepakatan marga.
Saya teringat sebuah kesempatan menarik sehari sebelum kami pergi ke dusun sagu. Usai ibadah Minggu di gereja, Adrianus dan banyak warga mengajak kami berkunjung ke salah satu tempat keramat di hutan. Jaraknya sekitar 700 meter ke arah barat kampung. Treknya melewati banyak pohon dan tanaman endemis yang memiliki manfaat besar buat masyarakat, termasuk untuk obat-obatan maupun kebutuhan membangun rumah.
Di ujung jalan setapak, terdapat sebuah kuburan dengan cungkup sederhana berbahan seng dan ditopang tiang-tiang kayu. Di dalamnya bersemayam jasad ibunda dari Yulian Kareth (62), ketua adat Kampung Bariat, yang telah wafat 2018 lalu.
“Mengapa sa pu mama dimakamkan di sini [jauh dari kampung]? Karena dahulu di tempat inilah mama pertama kali bertemu bapak saya dari kampung lain,” Yulian berkisah. Artinya, pertemuan keduanya sudah menjadi garis takdir, sehingga tanah tersebut dikenang sebagai tempat penting.
Yulian kemudian menunjukkan sebuah pohon besar dengan daun dan ranting menjulur di sebelah makam. Ada plakat bertuliskan “Mrasa” dengan cat merah. Informasi ini menunjukkan lokasi tempat keramat milik marga Kareth. Hikayat penamaan seperti itu biasanya bersifat rahasia dan hanya para sesepuh adat yang tahu. Kami sebagai pendatang hanya perlu mengetahui sekilas sejarah yang dianggap boleh diceritakan.
Warga Bariat menyebutnya tempat penting. Sebuah tempat dinilai keramat atau penting karena memuat nilai historis dan berhubungan dengan asal usul leluhur mereka. Selain pohon-pohon tua, area pekuburan atau tempat-tempat tersembunyi di dalam hutan juga ditandai sebagai tempat penting. Titik-titik inilah yang krusial saat dilakukan pemetaan wilayah hukum adat. Kemudian data tersebut menjadi landasan untuk pengajuan legalitas pengakuan hutan adat atau wilayah adat dari pemerintah.
Sejak 6 Juni 2024 lalu, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah memberikan pengakuan, perlindungan, serta penghormatan masyarakat hukum adat dan wilayah hukum adat kepada tujuh komunitas adat di Sorong Selatan. Tak terkecuali lima kampung bertetangga di Distrik Konda, yaitu Manelek (sub-suku Gemna), Bariat (sub-suku Afsya), Nakna (sub-suku Nakna), Konda dan Wamargege (sub-suku Yaben). Saat ini, khusus Bariat, pemerintah kampung bersama pendampingan lembaga nirlaba Pusaka Bentala Rakyat sedang memperjuangkan pengakuan ke tingkat provinsi sampai kementerian.
“Secara prinsip, sebagai masyarakat hukum adat, kami menjaga [dengan sangat] keras [sumber] makanan pokok kami,” tegas Adrianus, “kami jaga [sampai] mati dusun sagu yang ada di dalam hutan adat subsuku Afsya, karena sagu adalah makanan pokok untuk anak cucu kami.”
Bapak tiga anak itu juga berpandangan, legalitas pengakuan pemerintah sangat berharga. Payung hukum yang kuat dan mengikat akan menjamin keberlangsungan tempat tinggal dan wilayah adat mereka di masa depan.
Termasuk tempat-tempat penting, yang turut melindungi dusun-dusun sagu di seantero hutan Kampung Bariat. Sebab, bagi orang Bariat, sagu pun keramat. (*)
Foto sampul:
Kormince Kemeray menunjukkan gumpalan empulur atau serpihan sagu yang akan diremas dengan campuran air sungai/Deta Widyananda
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.