0% found this document useful (0 votes)
45 views9 pages

389 1135 1 PB

This document provides a summary of a research article that evaluated an inclusive education program at an elementary school in Bogor, Indonesia. The research used a qualitative method and the CIPP (Context, Input, Process, Product) evaluation model. Data was collected through documentation, observation, and interviews. The contextual evaluation found that the legal framework for inclusive education was clear. The input evaluation found that a large number of students with special needs were enrolled with various disabilities, but teachers, curriculum, and facilities needed improvement. The process evaluation found that planning, implementation, and evaluation activities were generally good. The product evaluation found that academic outcomes for students with special needs were good based on exam scores, and social outcomes were also good. The research

Uploaded by

Zulfikri
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
45 views9 pages

389 1135 1 PB

This document provides a summary of a research article that evaluated an inclusive education program at an elementary school in Bogor, Indonesia. The research used a qualitative method and the CIPP (Context, Input, Process, Product) evaluation model. Data was collected through documentation, observation, and interviews. The contextual evaluation found that the legal framework for inclusive education was clear. The input evaluation found that a large number of students with special needs were enrolled with various disabilities, but teachers, curriculum, and facilities needed improvement. The process evaluation found that planning, implementation, and evaluation activities were generally good. The product evaluation found that academic outcomes for students with special needs were good based on exam scores, and social outcomes were also good. The research

Uploaded by

Zulfikri
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

VOL 1 NO 2 (2017) 82-90 E-ISSN : 2550-0406

PEDAGONAL
Jurnal Ilmiah Pendidikan
http://journal.unpak.ac.id/index.php/pedagonal

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI PADA


SEKOLAH DASAR NEGERI BATU TULIS 2 KOTA BOGOR

Rianty1,*, Fasli Jalal2, Pinta Deniyanti2, Yuyun Elizabeth Patras3


1Program Studi Magister (S2) Pendidikan Dasar Universitas Negeri Jakarta
2Dosen Program Studi Pendidikan Dasar Universitas Negeri Jakarta
3Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan

*Korespondensi : rianty512@gmail.com

ABSTRACT

This study evaluate the implementation of inclusive education program. The method use the
qualitative analysis by explain and interpret data from each component evaluated and using
model evaluation of CIPP (Context, Input, Process, Product). Sources of data in this study
include inclusive education experts, officer of Education Department, school principal,
teachers, normal students, and students with special needs. The data were collected by
documentation, observation, and interview. The research on contextual component show that
the legal process of inclusive education has been shown clearly according to regulation of
Education System in Indonesia. The purpose of inclusive education is already in accordance
with that has been formulated. Input component indicate that the number of students with
special needs enrolled in schools is large enough with various types of disorders. Teachers,
curriculum, and infrastructure facilities still have to be improved. The components of process
indicate that the plan, process and evaluation activities for each aspect are considered good
and good enough. The product shows that the academic aspect of students with special needs
based on School Examination’s value is considered good and the social aspect is good.This
research gives recommendation for government and inclusive school to improve their program
preparation more optimal.

Keywords: Evaluation Program, Inclusive Education

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi program pendidikan inklusi. Metode
yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu mendeskripsikan dan memaknai data dari
masing-masing komponen yang dievaluasi dengan menggunakan model evaluasi CIPP
(Context, Input, Process, Product). Sumber data dalam penelitian ini meliputi pakar pendidikan
inklusi, Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa normal, dan siswa berkebutuhan khusus.
Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, observasi, dan wawancara. Hasil temuan
komponen konteks menunjukkan bahwa landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusi
secara jelas sudah tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Tujuan
pendidikan inklusi pun sudah sesuai dengan yang telah dirumuskan. Hasil temuan komponen
input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup banyak dengan berbagai jenis
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

kebutuhan khususnya. Namun dalam komponen guru, kurikulum, dan sarana prasarana masih
harus ditingkatkan lagi. Hasil temuan komponen proses menunjukkan kegiatan perencanaan,
proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam katagori baik dan
cukup baik. Hasil temuan komponen produk menunjukkan produk perkembangan aspek
akademik ABK berdasarkan nilai UAS dinilai cukup baik dan aspek sosialnya pun sudah baik.
Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk pemerintah dan pihak sekolah penyelenggara
inklusi agar lebih meningkatkan kesiapannya dalam menjalankan program pendidikan inklusi
yang lebih optimal.

Kata Kunci: Evaluasi Program, Pendidikan Inklusi


Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

PENDAHULUAN
Data survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2005 memperkirakan dari 42,8 juta jumlah
penduduk rentang usia sekolah antara usia 5-14 tahun dan 4,2 juta atau 10 persen diantaranya
merupakan anak berkebutuhan khusus. Selama ini, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Pendidikan Terpadu.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok yang berkebutuhan khusus dalam
menyuarakan hak-haknya serta meningkatnya pemahaman akan kesetaraan atau persamaan
derajat kemanusiaan, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Pada tahun 2003
keluar surat edara Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.06/MN/2003 perihal Pendidikan
Inklusi. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas, maka Kepala Dinas
Pendidikan Povinsi Jawa Barat mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 421.9/16173 pada
tahun 2011, tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi, salah satunya
adalah SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor.
Berdasarkan studi awal berupa wawancara dengan salah satu guru yang merupakan
penanggung jawab mengenai inklusi di SDN Batu Tulis 2, dari jumlah seluruh siswa pada tahun
pelajaran 2016-2017, sebanyak 555 siswa ada 36 atau sekitar 6,49% adalah siswa ABK yang
tersebar dari kelas satu hingga kelas enam. Pada awal pelaksanaan program pendidikan inklusi
di SD tersebut, guru-guru dan kepala sekolah merasakan banyak kendala yang harus dihadapi
dan masih banyak hal-hal yang harus ditingkatkan dan diperbaiki pelaksanaan program
pendidikan inklusi dapat berjalan dengan efektif.
Berdasarkan uraian di atas, sebagai sebuah program layanan pendidikan, keberadan
program pendidikan inklusi ini perlu dievaluasi penyelenggaraannya khususnya dalam proses
pembelajarannya. Oleh karena itu, untuk melakukan sebuah penelitian evaluasi mengenai
“Evaluasi Program Pendidikan Inklusi” dengan menggunakan model evaluasi CIPP (Context,
Input, Process, Product).

Evaluasi Program
Menurut Arikunto (2013) evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Adapun menurut Royse,
Thyer, dan Padgett (2010) menyatakan bahwa evaluasi program merupakan bagian dari
sebuat proses manajerial. Suatu program akan diawali dengan pembuatan perencanaan,
proses pelaksanaan program, kemudian diakhiri dengan mengevaluasi program tersebut.
Pendidikan inklusi menurut Mudjito (2014) merupakan pendidikan yang mesti disediakan
bagi anak-anak yang memiliki kondisi tertentu. Selanjutnya Kirk et.al (2009) mengemukakan
bahwa inklusi adalah proses membawa semua, atau hampir semua, anak luar biasa ke dalam
kelas umum untuk pendidikan mereka, dengan dukungan pendidikan yang khusus juga.
Adapun tujuan pendidikan inklusi menurut Smith (2014) yaitu siswa yang memiliki hambatan
agar terdapat keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang
menyeluruh.
Untuk membimbing dan mengajar ABK dengan baik diperlukan guru khusus. Menurut
Rachmayana (2013) pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru
reguler dan satu guru khusus. Jadi ketika satu guru melakukan proses pebelajaran untuk
keseluruhan siswa, maka guru khusus inilah yang mendampingi siswa ABK tersebut.
Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk
mewujudkan tujuan pendidikan. Selain dari itu, siswa berkebutuhan khusus memerlukan sarana
prasarana khusus dalam proses pembelajaran di sekolah inklusi. Adapun sarana prasarana
khusus yang dimaksud menurut Mudjito (2014) meliputi, gedung dan atau bangunan, media
pembelajaran dan lingkungan belajar di sekolah yang mudah diakses (memenuhi prinsip
aksesibilitas) peserta didik yang membutuhkan pendidikan khusus.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah Penelitian ini
merupakan penelitian evaluasi (evaluation research) program dengan menggunakan
pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut Sugiyono, pada metode penelitian ini
disebut juga penelitain artistik, karena dalam prosesnya lebih bersifat seni (kurang terpola) dan
disebut dengan metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan
interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

Penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan dan menguji


pelaksanaan suatu kegiatan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan model evaluasi
formatif dan sumatif yang dikembangkan oleh Stufflebeam yaitu model evaluasi CIPP. Evaluasi
formatif mencakup evaluasi komponen-komponen konteks, input, dan proses. Sedangkan
evaluasi sumatif mencakup komponen produk.
Data yang digunakan dalam evaluasi ini bersumber dari data primer dan data skunder,
primer yaitu dari pengambil kebijakan, kepala dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa
berkebutuhan khusus, siswa normal, ahli pendidikan inklusi dan dokumen terkait. Pengumpulan
data yang dilakukan dalam penenlitian ini melalui dokumentasi, observasi dan wawancara.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif, dan interpretatif
dilakukan dengan cara berlanjut, berulang dan terus menerus sampai dengan terpenuhinya
seluruh data dan informasi yang dibutuhkan. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur
secara sistematis pedoman wawancara, catatan lapangan, data kepustakaan untuk
mendapatkan pengetahuan dari data, kemudian memformulasikan secara deskriptif,
selanjutnya memproses data tersebut. Selain analisis kualitatif juga dilakukan deskriptif
kuantitatif yang nantinya hasil perhitungan statistik deskriptif akan disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi dan persentase yang didapat dari hasil penelitian.

HASIL PENELITIAN
1. Komponen Context
Kebijakan-kebijakan internasional yang ada mengenai penyelenggaraan pendidikan
inklusi yang ditemukan antara lain: World Educational Forum pada tahun 2015, Convention on
the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol, dan Deklarasi Salamanca.
Sedangkan kebijakan-kebijakan nasional mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi
merujuk ke beberapa kebijakan pemerintah antara lain: Undang Undang Dasar 1945 Pasal 31
ayat 1, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32
ayat 1, dan Surat Edaran Direktorat jendral Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003.
Tujuan diselenggarakan pendidikan inklusi di Indonesia adalah untuk memperluas akses
pendidikan ABK, untuk melatih interaksi sosial ABK dengan masyarakat luas sehingga
kompetensi sosialnya lebih terasah, untuk memperluas capaian jenjang pendidikan yang
dimulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, dan merupakan sebuah pembelajaran bagi
anak-anak yang umum untuk dapat menghargai perbedaan dan mensyukuri segala sesuatu
yang mereka miliki.
2. Komponen Input
a. Siswa
Penerimaan siswa berkebutuhan khusus di SDN Batu tulis 2 Kota Bogor menggunakan
surat dari psikolog suatu lembaga tertentu atau rumah sakit. Jumlah siswa berkebutuhan
khusus sebanyak 36 siswa dari seluruh siswa berjumlah 555 siswa.
Data jenis anak berkebutuhan khusus berdasarkan hasil penelitian di SDN Batu Tulis 2
ada 8 jenis atau klasifikasi yaitu; Tunanetra berjumlah 1 siswa (0,18%), Tunadaksa 4 siswa
(0,72%), Tunagrahita 2 siswa (0,36%), Tunarungu 1 siswa (0,18%), Autis 1 siswa (0,18%),
ADHD 2 siswa (0,36%), Lambat Belajar 25 siswa (4,5%). Lebih jelas dapat terlihat pada tabel
berikut di bawah ini: Terdapat berbagai jenis ABK yang bersekolah di SDN Batu Tulis 2 Kota
Bogor yang tersebar di beberapa kelas. Setiap kelas hanya terdapat kurang dari 5 siswa ABK,
hal ini dilakukan agar proses pembelajaran dapat lebih optimal. Jenis ABK yang paling banyak
terdapat di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor adalah Lambat Belajar.
b. Guru
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah guru yang mengajar di SDN Batu Tulis 2 Kota
Bogor berjumlah 23 orang. Latar belakang pendidikan guru umum yang sudah Sarjana
sebanyak 16 orang atau 69,57%, yang merupakan Sarjana Pendidikan. Guru yang belum
memiliki kualifikasi Sarjana, saat ini sedang menempuh pendidikan S1. Tidak terdapat Guru
Pendamping Khusus (GPK) di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor.

c. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor adalah kurikulum yang
berlaku dari Departemen Pendidikan Nasional yaitu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

(KTSP). Tapi menurut kepala sekolah SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor, tahun depan disana akan
menggunakan Kurikulum 2013.
Kurikulum yang berlaku untuk anak berkebutuhan khusus sama dengan kurikulum untuk
anak pada umumnya. Program khusus atau Program Pendidikan Individual (PPI) belum dibuat
secara tertulis. Namun dalam praktik proses pembelajaran, yang membedakannva kurikulum
umum adalah pada indikator dan materi. Guru menyesuaikan indikator dan materi dengan
kemampuan siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
d. Sarana Prasarana
Pencapaian hasil dapat optimal apabila sarana prasarananya memadai, apalagi untuk
kondisi peserta didik yang berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui sarana prasarana yang
ada pada sekolah penyelenggara pragram inklusi SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor, dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Penilaian Sarana Umum di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor

Berdasarkan data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa sarana umum yang dimiliki oleh
SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor cukup memadai, dengan perolehan skor rata-rata 2,82. Sarana
yang memiliki nilai tertinggi yaitu skor 4 adalah ruang kelas, Ruang Kepala Sekolah, guru, dan
TU, lapangan olah raga dan toilet. Sedangkan skor terendah yaitu 1 adalah ruang BP/BK
karena SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor tidak memiliki adalah ruang BK/BP, dan jika ingin
mengadakan kegiatan bimbingan konseling biasanya dilakukan di ruang kelas atau di ruang
guru.
Berdasarkan rata-rata bahwa sarana khusus yang dimiliki oleh SDN Batu Tulis 2 Kota
Bogor tidak ada atau tidak tersedia, dengan perolehan skor rata-rata 1,18. Dari 39 jenis-jenis
sarana prasarana khusus, hanya 4 yang ada di SDN Batu Tulis 2 yaitu speech and sound
simulation, alat musik perkusi, puzzle, dan peta dinding. Sarana prasarana khusus yang
memiliki nilai tertinggi yaitu skor 4 adalah Puzzle. Sedangkan 3 sarana prasarana khusus
lainnya mendapat kategori cukup dan kurang memadai.

3. Komponen Process
a. Perencanaan Pembelajaran
Berdasarkan perhitungan rata-rata menunjukkan bahwa penilaian terhadap perencanaan
pembelajaran pada program pendidikan inklusi di SDN Batu Tulis 2 memperoleh skor rata-rata
sebesar 3,10 yang berada pada kategori baik karena beberapa aspek sudah sering dilakukan
oleh guru dalam melakukan perencanaan pembelajaran.
Sementara untuk pemberian penilaian berdasarkan aspek yang dinilai, maka aspek yang
memiliki nilai tertinggi adalah penyusunan program tahunan dan semester dengan skor 4,00.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh beberapa guru di SDN Batu Tulis 2, mereka
membuat program tahunan, program semester, dan bulanan yang sama untuk siswa umum
dan siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan penilaian yang terendah adalah aspek menyusun
program pengembangan individu (PPI) dengan skor rata-rata 2,22 yaitu masuk dalam kategori
jarang. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor, mereka
mengatakan bahwa mereka jarang membuat program pengembangan individu. Jadi
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

perencanaan pembelajaran yang mereka buat untuk siswa umum dan siswa berkebutuhan
khusus adalah sama.
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Hasil penilaian yang dilakukan terhadap pelaksanaan pembelajaran pada sekolah
penyelenggara dengan menggunakan nilai rata-rata menunjukkan bahwa penilaian terhadap
pelaksanaan pembelajaran pada program pendidikan inklusi memperoleh skor rata-rata
sebesar 3,07 yang berada pada kategori baik karena beberapa aspek sudah sering dilakukan
oleh guru dalam melakukan pelaksanaan pembelajaran. Sementara untuk pemberian penilaian
berdasarkan aspek yang dinilai, maka aspek yang memiliki nilai tertinggi adalah guru memberi
dorongan agar anak yang lain menghargai ABK dengan skor 3,61, sedangkan penilaian yang
terendah adalah aspek guru memberikan tugas atau latihan dengan memperhatikan perbedaan
individual dengan skor rata-rata 2,00.
Pelaksanaan pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus dilakukan secara klasikal.
Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru SDN Batu Tulis 2, mereka
mengatakan bahwa setelah guru melakukan pembelajaran secara klasikal kepada seluruh
siswa, para siswa berkebutuhan khusus akan dimintaa untuk duduk mendekat dengan guru
dan mendapatkan pembelajaran yang tingkat kesulitannya lebih mudah daripada yang telah
diajarkan sebelumnya.
c. Penilaian Pembelajaran
Berdasarkan perhitungan rata-rata menunjukkan bahwa penilaian terhadap penilaian
atau evaluasi hasil pembelajaran pada program pendidikan inklusif memperoleh skor rata-rata
sebesar 2,57 yang berada pada kategori cukup baik atau artinya beberapa aspek masih jarang
dilakukan oleh guru. Sementara untuk pemberian penilaian berdasarkan aspek yang dinilai,
maka aspek yang memiliki nilai tertinggi adalah guru mengolah dan menganalisis hasil
evaluasi. dengan skor 3,44. Sedangkan penilaian yang terendah adalah aspek guru
menggunakan sistem laporan belajar yang berbeda pada setiap siswa dengan skor rata-rata
1,00.
Penilaian hasil belajar diberlakukan sama dengan anak yang lain baik waktu, bentuk soal
maupun materi ujian. Hal tersebut dikarenakan guru lebih cenderung mengejar ketercapaian
kurikulum secara umum dengan alasan saat ujian akhir sekolah dan ujian akhir sekolah
berstandar nasional (UASBN) bentuk soal yang diberikan pada siswa berkebutuhan khusus
sama dengan siswa lain pada umumnya. Buku laporan hasil belajar siswa umum dan ABK pun
sama bentuknya. Hanya saja terdapat perbedaan kandungan dalam nilai-nilai yang berupa
angka yag ditulis didalamnya.
4. Komponen Product
a. Aspek Akademik (UAS)
Rata-rata tingkat pencapaian hasil belajar yang diperoleh anak berkebutuhan khusus
cukup baik, artinya bahwa anak berkebutuhan khusus dapat dinyatakan lulus. Namun, hasil
yang diperoleh masih berada di bawah rata-rata yang diperoleh dari seluruh peserta didik yang
ada di kelas 6 tersebut. Data yang diperoleh untuk nilai ujian akhir sekolah SDN Batu Tulis 2
Kota Bogor adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Nilai Ujian Akhir Sekolah (UAS) Kelas 6 SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

Berdasarkan diagram di atas, dapat terlihat bahwa hampir seluruh siswa berkebutuhan
khusus yang duduk di kelas 6 SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor yang mengikuti UAS, mendapatkan
nilai di bawah rata-rata kelasnya walau perbedaannya tidak jauh. Selain itu, ada beberapa
siswa yang nilainya sudah cukup baik dan sama bahkan melebihi rata-rata kelasnnya.
b. Aspek Sosial
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi, dapat disimpulkan bahwa
untuk perkembangan aspek sosial siswa berkebutuhan khusus sangat baik. Hal ini dilihat dari
adanya perubahan sikap pada diri siswa berkebutuhan khusus, yang awalnya anak-anak
berkebutuhan khusus kurang percaya diri dan masih menyendiri namun sekarang sudah ada
keinginan untuk bergaul dengan teman-temannya.
Menurut kepala sekolah SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor, keberhasilan ABK dalam aspek
sosialnya justru lebih terlihat dari pada aspek akademiknya. Mereka sudah mau bekerja sama
dengan teman-teman lainnya dan siswa umum lainnya sudah mulai bisa menerima keberadaan
ABK yang ada di sekitarnya. Walaupun menurut salah seorang guru, dalam wawancara,
menuturkan bahwa masih ada siswa umum yang kurang menerima keberadaan ABK karena
sifat ABK tersebut yang jahil dan suka membuat kegaduhan, namun guru tidak bosan untuk
memberi penjelasan kepada siswa umum agar bisa memakluminya dan guru pun tetap
menasihati ABK tersebut untuk tidak berbuat yang tidak menyenangkan teman-temannya

PEMBAHASAN
Dengan adanya beberapa kebijakan tertulis yang telah dibuat dan disahkan mengenai
kebijakan penyelenggaraan program pendidikan inklusi, maka sudah seharusnya setiap
sekolah reguler mendukung kebijakan tersebut dengan cara turut serta menyelenggarakan
pendidikan inklusi dengan sebaik-baiknya. Salah satu sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah
Jawa Barat dan pemerintah Kota Bogor untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi adalah
SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor.
Jumlah ABK yang ada di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor ini sudah memenuhi syarat. ABK
tersebar di setiap kelas dan hanya terdiri dari satu sampai empat orang ABK. Banyaknya siswa
ini diatur dengan tujuan agar proses pembelajaran berjalan kondusif, karena terlalu banyak
keberadaan ABK dalam satu kelas akan membuat guru merasa kesulitan membagi
perhatiannya antara siswa reguler dan ABK.
Tidak tersedianya GPK di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor dikarenakan keterbatasan dana
yang dimiliki untuk membayar GPK yang berasal dari SLB. Namun, kepala SDN Batu Tulis 2
berusaha untuk menyiasati keberadaan GPK yaitu dengan cara menugaskan guru yang
medapatkan jadwal mengajar di siang hari untuk menjadi GPK di kelas yang belajar di pagi hari.
Begitupun sebaliknya, guru yang mengajar di pagi hari, akan ditugaskan untuk menjadi GPK di
kelas yang belajar di siang hari.
Seharusnya pada sekolah inklusi terdapat Program Pendidikan Individu dikembangkan
hanya oleh guru Pendamping Khusus (GPK) dan guru kelas sesuai dengan kemampuan setiap
anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian PPI setiap anak berkebutuhan khusus akan
berbeda. Namun, karena tidak terdapat GPK, maka PPI pun tidak terlaksana dengan baik.
Dengan adanya PPI, diharapkan para ABK akan mendapatkan pembelajaran yang sesuai
dengan keterbatasan yang dimilikinya dan sesuai dengan yang mereka butuhkan. Sehingga
tujuan pembelajaran akan tercapai secara efektif dan efisien.
Ketidaktersediaan sarana prasarana khusus menjadi salah satu kendala yang harus
dihadapi oleh guru maupun ABK. Guru mengalami kesulitan untuk menyampaikan materi
pembelajaran khususnya kepada ABK yang jenis kesulitannya berat. Sarana dan prasarana
hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum yang telah dikembangkan dan dibutuhkan
adanya sarana yang memungkinkan anak untuk mengembangkan kreatifitasnya.
Perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru-guru di SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor
masih berupa perencanaan secara umum yang dibuat untuk siswa umum. Padahal dengan
adanya siswa berkebutuhan khusus di SDN Batu Tulis 2, hendaknya dibuat perencanaan
pembelajaran khusus yang ditujukan untuk ABK yang biasa disebut dengan PPI.
Pelaksanaan pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus dilakukan secara klasikal.
Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru SDN Batu Tulis 2 Kota Bogor,
mereka mengatakan bahwa setelah guru melakukan pembelajaran secara klasikal kepada
seluruh siswa, para siswa berkebutuhan khusus akan diminta untuk duduk mendekat dengan
guru dan mendapatkan pembelajaran yang tingkat kesulitannya lebih mudah daripada yang
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

telah diajarkan sebelumnya. Guru akan memberikan penjelasan yang dapat lebih dipahami
oleh para ABK.
Penilaian hasil belajar diberlakukan sama dengan anak yang lain baik waktu, bentuk soal
maupun materi ujian. Hal tersebut dikarenakan guru lebih cenderung mengejar ketercapaian
kurikulum secara umum dengan alasan saat ujian akhir sekolah dan ujian akhir sekolah
berstandar nasional (UASBN) bentuk soal yang diberikan pada siswa berkebutuhan khusus
sama dengan siswa lain pada umumnya.
Buku laporan hasil belajar siswa umum dan ABK pun sama bentuknya. Hanya saja
terdapat perbedaan kandungan dalam nilai-nilai yang berupa angka yag ditulis didalamnya.
Nilai 70 yang didapat oleh siswa umum akan berbeda kandungannya dengan nilai 70 yang
didapatkan oleh ABK.
Nilai UAS ABK yang berada di bawah rata-rata ini dikarenakan mereka mengerjakan
soal UAS yang sama dengan siswa umum lainnya. Sehingga mereka mengalami kesulitan
dalam pengerjaan soal tersebut. Keberhasilan akademik dari ABK yang ada di SDN Batu Tulis
2 Kota Bogor ini memang tidak menjadi fokus utama.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi, dapat disimpulkan bahwa
untuk perkembangan aspek sosial siswa berkebutuhan khusus sangat baik. Hal ini dilihat dari
adanya perubahan sikap pada diri siswa berkebutuhan khusus, yang awalnya anak-anak
berkebutuhan khusus kurang percaya diri dan masih menyendiri namun sekarang sudah ada
keinginan untuk bergaul dengan teman-temannya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat dibuat kesimpulan berdasarkan
empat bagian besar sesuai dengan aspek evaluasi, yaitu context, input, process, dan product.
Hasil penelitian pada aspek context, dapat disimpulkan bahwa context landasan hukum atau
kebijakaan tentang pelaksanaan pendidikan inklusi secara eksplisit sudah ada, dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak secara eksplisit menyebutkan penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Untuk menerjemahkan undang-undang, Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Pendidikan dan Peraturan Menteri tentang Pendidikan Inklusi sampai saat ini
sudah disahkan. Dari context tujuan, pelaksanaan program pendidikan inklusi selama ini sudah
sesuai dengan tujuan yang dirumuskan walaupun belum secara optimal karena ada beberapa
faktor lain yang memengaruhi. Namun, dengan adanya pendidikan inklusi, sudah dapat
memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda dari peserta didik dalam partisipasi siswa
berkebutuhan khusus dalam pembelajaran.
Hasil penelitian aspek input menunjukan bahwa input siswa yang berkebutuhan khusus
cukup banyak yaitu mencapai 36 siswa atau 6,49% dari jumlah seluruh siswa dengan
keberagaman jenis kelaianan atau kebutuhan khususnya. Dari input guru, menunjukan bahwa
kualifikasi akademik sudah banyak yang memenuhi syarat administratif yaitu lulusan strata 1
kependidikan dan ada beberapa guru yang sedang menempuh pendidikan strata 1. Namun,
belum terdapat guru pendamping khusus (GPK) untuk menangani secara khusus para siswa
berkebutuhan khusus. Input kurikulum, guru belum mengambangkan program pengembangan
individu (PPI) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa secara tertulis, selama ini guru
hanya memodifikasinya dalam kegiatan praktik pembelajaran. Input sarana prasarana,
ditemukan bahwa sarana prasarana umum cukup memadai sedangkan untuk sarana
prasarana khusus tidak memadai bahkan banyak yang tidak dimiliki sehingga menghambat
proses pembelajaran.
Hasil penelitian aspek process menunjukan bahwa aspek perencanaan pembelajaran
pada program pendidikan inklusi berada pada kategori baik. Sementara untuk penilaian
berdasarkan aspek yang dinilai, maka aspek yang memiliki nilai tertinggi adalah penyusunan
program tahunan dan semester, sedangkan penilaian yang terendah adalah aspek menyusun
program pengembangan individu (PPI).
Pelaksanaan pembelajaran pada program pendidikan inklusi berada pada kategori baik.
Sementara untuk pemberian penilaian berdasarkan yang dinilai, maka aspek yang memiliki
nilai tertinggi adalah guru memberi dorongan agar anak yang lain menghargai ABK,
sedangkan penilaian yang terendah adalah aspek aspek guru memberikan tugas/latihan
dengan memperhatikan perbedaan individual. Pelaksanaan pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusus dilakukan secara klasikal.
Penilaian terhadap penilaian atau evaluasi hasil pembelajaran pada program pendidikan
inklusi berada pada kategori cukup baik. Sementara untuk pemberian penilaian berdasarkan
Rianty, Jalal, Deniyanti, Patras/ PEDAGONAL Vol 1 No 2 (2017)

yang dinilai, maka aspek yang memiliki nilai tertinggi adalah guru mengolah dan menganalisis
hasil evaluasi, sedangkan penilaian yang terendah adalah aspek sistem laporan yang berbeda.
Hasil penelitian aspek product yaitu hasil belajar aspek akademik dilihat melalui rata-rata
tingkat pencapaian hasil belajar yang diperoleh siswa berkebutuhan khusus cukup baik, artinya
bahwa siswa berkebutuhan khusus dapat dinyatakan lulus. Namun, hasil yang diperoleh cukup
jauh dari rata-rata yang diperoleh dari seluruh peserta didik yang ada di sekolah tersebut. Dari
aspek sosial produk program pendidikan inklusi ditemukan bahwa siswa berkebutuhan khusus
sudah dapat bergaul dan bersosialisasi dengan baik, baik dengan sesama siswa berkebutuhan
khusus atau dengan siswa normal lainnya. Begitupun siswa normal mau menerima keberadaan
siswa berkebutuhan khusus. Jadi dengan pendidikan inklusi, mereka lebih menerima
perbedaan yang terdapat di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


Kauffman & Hallahan di dalam Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: PT.Refika Aditama.
Kirk, Samuel. et al. 2009. Educating Exceptional Children. USA: Houghton Mifflin Publishing
Company.
Mudjito, et al. 2014. Pendidikan Layanan Khusus (Model–Model dan Implementasi). Jakarta:
Badouse Media.
Rachmayana, Dadan. Diantara Pendidikan Luar Biasa (Menuju Anak Masa Depan yang
Inklusif). Jakarta: Luxima Metro Media, 2013.
Royse, David. Bruce A.Thyer, dan Deborah K. Padgett. 2010. Program Evaluation. Belmont:
Wadsworth Cengage Learning.
Smith, J. David. 2014. Sekolah Inklusif. Bandung: Nuansa Cendekia.
Sugiyono. 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Division of Social Policy and Development Disability. “Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol,” Online;
(http://www.Un.Org/Esa/Sosdev/Enable/Rights/Convtexte.html, diakses 20 Oktober
2016).
Inung, “Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus Meningkat,” Online; (http://poskota-
news.com/2013/07/19/jumlah-anak-berkebutuhan-khusus-meningkat/. html diakses 20
Oktober 2016).
UNESCO, “World Educational Forum,” Online; (https://en.unesco.org/world-education-forum-
2015/incheon-declaration.html diakses 20 Oktober 2016).

You might also like