0% found this document useful (0 votes)
72 views12 pages

Arabica Coffee Processing Costs

This document summarizes a study on the added value of wet and dry processing of Arabica coffee in Kintamani Subdistrict, Bangli Regency, Bali, Indonesia. The study aims to determine the cost components, calculate the processing costs, and calculate the added value of wet and dry Arabica coffee processing. Data was collected through observation, questionnaires, and documentation from 27 coffee farmer samples. The results showed that wet processing had higher costs but also higher added value per kg compared to dry processing.

Uploaded by

Ruth Elferawi
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
72 views12 pages

Arabica Coffee Processing Costs

This document summarizes a study on the added value of wet and dry processing of Arabica coffee in Kintamani Subdistrict, Bangli Regency, Bali, Indonesia. The study aims to determine the cost components, calculate the processing costs, and calculate the added value of wet and dry Arabica coffee processing. Data was collected through observation, questionnaires, and documentation from 27 coffee farmer samples. The results showed that wet processing had higher costs but also higher added value per kg compared to dry processing.

Uploaded by

Ruth Elferawi
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 12

Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1.

Maret 2015 (61-72)

NILAI TAMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI ARABIKA SECARA


BASAH (WEST INDISCHEE BEREDING) DAN KERING (OST
INDISCHEE BEREDING) DI KECAMATAN KINTAMANI, BANGLI

Noveliska Br Sembiring1, I Ketut Satriawan2, I. A. Mahatma Tuningrat2


1
Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Unud
2
Dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Unud

Email : novellawi@gmail.com1
Email koresponden: satriawan@unud.ac.id2

ABSTRACT

This study aims to determine the components of the cost of the processing Arabica
coffee in wet and dry, to calculate the cost of Arabica coffee processing in wet and dry
and to calculate the value -added processing Arabica coffee in the wet and dry. Data
collection methods were nonparticipant observation, questionnaires and documentation.
Sampling was set at 27 samples. Data processing method used was the grouping of coffee
processing cost components, calculate the total cost of processing coffee, rice coffee
reduction sale value and the average cost of processing coffee. The results showed that
the cost components in the wet coffee processing were raw materials, water, labor, coffee
processing machines, and ancillary equipment. Cost components in the dry coffee
processing were raw materials, labor, coffee processing machines, and ancillary
equipment. Cost of the wet Arabica coffee processing was Rp7340.89/Kg and cost of the
dry Arabica coffee processing was Rp4271.58/Kg. The added value of Arabica coffee in
the wet processing was Rp770.22/Kg and dry processing was Rp18.59/Kg which means
that the wet coffee processing more profitable for farmers.

Keywords: Arabica coffee, cost of processing, value added, wet and dry processing.

PENDAHULUAN

Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai
ekonomis cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya, berperan penting
sebagai sumber devisa negara dan merupakan sumber penghasilan bagi petani kopi
di Indonesia. Kopi merupakan salah satu komoditi ekspor yang potensial bagi
Indonesia. Perkebunan kopi di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh rakyat.

Tanaman kopi adalah pohon kecil bernama Perpugenus coffea dari familia
Rubiaceae. Kopi bukan produk homogen, ada banyak varietas dan beberapa cara
pengolahannya. Tanaman kopi berasal dari benua Afrika, termasuk famili Rubiaceae
dan genus Coffea (Bahri, 1996).

61
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Terdapat empat jenis kopi yang telah dibudidayakan yaitu kopi arabika,
kopi robusta, kopi liberika dan kopi excelsia (Bahri, 1996). Kopi robusta bukan
nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari berapa spesies kopi
terutama Coffea canephora (Najiyati dan Danarti, 2004). Di Indonesia umumnya
jenis kopi yang ditanam adalah robusta, namun ada beberapa daerah yang
merupakan daerah penghasil kopi arabika tergantung pada ketinggian daerah
tersebut.
Kopi juga merupakan salah satu tanaman perkebunan potensial di Provinsi
Bali. Kabupaten Bangli merupakan daerah penghasil kopi terbesar di Bali dan
Kecamatan Kintamani adalah kecamatan penghasil kopi terbesar di Bangli. Di
Kecamatan Kintamani ada beberapa subak Abian yang anggotanya sebagai petani
kopi arabika sekaligus melakukan pengolahan kopi secara basah dan kering.
Kecamatan Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu daerah yang
cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi. Daerah ini memiliki ketinggian 900 s/d
1.600 m dpl yang merupakan syarat tumbuh optimum untuk tanaman kopi. Total
luas perkebunan di Kintamani 8.949 ha, dari luasan tersebut 5.656 ha diantaranya
merupakan lahan pertanaman kopi, dan sisanya 2.498 ha cengkeh, 425 ha kelapa,
dan 82 ha kakao.
Saat ini peningkatan produksi kopi di Indonesia masih terhambat oleh
rendahnya mutu biji kopi yang dihasilkan sehingga mempengaruhi pengembangan
produksi akhir kopi. Pengolahan kopi sangat berperan penting dalam menentukan
kualitas dan cita rasa kopi (Rahardjo, 2012). Secara garis besar pengolahan buah
kopi berdasarkan cara kerjanya dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu
pengolahan dengan cara basah (West Indischee Bereding) dan cara kering (Ost
Indischee Bereding) (Ridwansyah, 2003). Perbedaan pokok dari kedua cara
tersebut adalah pada pengolahan secara kering, pengupasan daging buah, kulit
tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan
pengolahan secara basah, pengupasan daging buah dilakukan sewaktu kopi masih
basah.
Kendala yang dihadapi dalam orientasi ekspor oleh petani kopi adalah
kemampuan subak abian belum optimal dalam memproduksi kopi baik secara
kualitas maupun kuantitas. Berkaitan dengan kualitas yang menjadi permasalahan

62
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

adalah teknik pengolahan dimana dianggap pengolahan secara basah memerlukan


biaya pengolahan yang tinggi dibandingkan pengolahan secara kering sehingga
masyarakat masih memilih pengolahan kopi secara kering dimana proses
pengolahan kopi secara kering memiliki kualitas yang lebih rendah. Namun di sisi
lain, pengolahan kopi secara basah memiliki kualitas yang lebih baik dan nilai jual
yang lebih tinggi.
Dalam pengolahan kopi, faktor utama yang harus diperhatikan adalah proses
pengolahan kopi. Namun dalam proses pengolahannya, komponen-komponen
yang terdapat pada proses pengolahan kopi tersebut baik pengolahan secara basah
maupun kering merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan
mutu kopi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komponen-komponen biaya pada
pengolahan kopi arabika secara basah dan kering, menghitung biaya pengolahan
kopi arabika secara basah dan kering (Rp/kg) dan menghitung nilai tambah
pengolahan kopi arabika secara basah dan kering (Rp/kg).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di desa-desa Kecamatan Kintamani Kabupaten
Bangli Bali pada bulan Juli sampai Agustus 2014.

Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

63
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Metode Penentuan Sampel


Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah komponen-
komponen biaya yang mempengaruhi nilai tambah setiap tahapan pengolahan
kopi baik secara basah maupun kering yang dilakukan oleh unit pengolahan kopi
dan petani kopi di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
1. Pengambilan sampel pengolahan kopi secara basah dilakukan dengan metode
purposive sampling secara keseluruhan sehingga ditetapkan sebanyak 27 unit
pengolah kopi atau subak Abian.
2. Pengambilan sampel pengolahan kopi secara kering dilakukan dengan metode
acak. Total desa yang terdapat di Kecamatan Kintamani sebanyak 48 desa dan
sampel ditentukan sebanyak 27 petani kopi Arabika.

64
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Metode Pengolahan Data dan Analisis Data


Metode yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data adalah
pengelompokan komponen biaya dilakukan dengan menganalisis data-data yang
didapat dari responden melalui kuesioner yang telah disebar, dan selanjutnya
ditabulasi, menghitung biaya pengolahan dimana biaya pengolah akan dihitung
dengan cara menjumlahkan keseluruhan komponen total biaya dan menghitung
rata-ratanya.

Keterangan:
BTP : Biaya Total Pengolahan
BB : Biaya bahan baku
JA : Jumlah biaya air
TK : Biaya tenaga kerja
MP : Biaya mesin pengolahan
PP : Biaya peralatan pendukung
N: Jumlah sampel
Nilai tambah pengolahan, dimana nilai tambah pengolahan dihitung dengan
mengurangkan nilai jual kopi beras dan rata-rata biaya total pengolahan kopi
setelah konversi rendemen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Komponen-Komponen Biaya Pengolahan Kopi Arabika


Komponen-komponen biaya yang mempengaruhi pengolahan kopi secara
basah dan kering adalah sebagai berikut:

1. Komponen Biaya Pengolahan Kopi Arabika Secara Basah


Komponen biaya yang mempengaruhi pengolahan kopi secara basah
meliputi: bahan baku kopi berupa kopi gelondong merah, penggunaan air yang
digunakan pada proses sortasi gelondong, fermentasi dan pencucian kopi biji kopi,
namun fermentasi yang dilakukan oleh subak Abian di Kecamatan Kintamani
merupakan fermentasi kering sehingga penggunaan air hanya pada proses sortasi
gelondong dan pencucian biji kopi. Penggunaan mesin pompa air termasuk

65
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

komponen yang mempengaruhi penggunaan air. Tenaga kerja yang digunakan


setiap tahapan proses pengolahan kopi secara basah (sortasi gelondong, pullping,
pencucian biji kopi, pengeringan, sortasi akhir) kecuali pada tahapan fermentasi
karena biji kopi hanya didiamkan. Pengolahan kopi secara basah membutuhkan
beberapa mesin dalam yaitu, mesin pullper berfungsi untuk mengupas kulit buah
kopi, mesin washer untuk tahap pencucian biji kopi, mesin huller pemecah dan
pengupas kulit tanduk kopi. Namun, biasanya subak Abian di Kintamani hanya
menjual biji kopi kering (HS) sehingga penggunaan mesin huller tidak digunakan.
Peralatan pendukung pengolahan kopi yang menunjang pengolahan kopi secara
basah yaitu para-para, terpal dan rumah pengering, timbangan, bak sortasi
gelondong, bak fermentasi, ember, tampi, bakul, karung plastik, kranjang plastik,
sekop/cangkul, dan gentong/tong.

2. Komponen Biaya Pengolahan Kopi Arabika Secara Kering


Komponen biaya yang mempengaruhi pengolahan kopi secara kering
meliputi: bahan baku kopi berupa kopi campuran atau kopi hijau. Tenaga kerja
yang digunakan setiap tahapan proses pengolahan kopi secara kering namun biaya
tenaga kerja hanya terdapat pada tahap pengeringan. Mesin pengolah kopi dimana
mesin huller digunakan sebagai mesin pemecah dan pengupas kulit tanduk kopi.
Peralatan pendukung pengolahan kopi yang menunjang pengolahan kopi secara
kering yaitu terpal dan timbangan.

Perhitungan Biaya Pengolahan Kopi Arabika


Analisis biaya dilakukan dengan menjumlahkan seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan biji kopi ditambah biaya untuk jasa yang terkait.
1. Biaya Pengolahan Kopi Arabika Secara Basah
Biaya Bahan Baku Kopi Arabika
Biaya bahan baku dalam proses pengolahan kopi arabika secara basah
yang dilakukan di Kecamatan Kintamani merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk pembelian kopi arabika berupa gelondong merah. Harga bahan baku
paling tinggi terjadi di desa Gunung Bau sebesar Rp 6.800/Kg, hal ini
disebabkan oleh penjualan biji kopi yang dilakukan oleh subak Abian di desa
Gunung Bau memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga Gunung Bau dapat

66
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

membeli bahan baku dengan harga yang lebih tinggi. Harga bahan baku paling
rendah di desa Bantang B sebesar Rp 5.000/Kg. Bantang B berada pada letak
geografis yang kurang strategis dan sulit dijangkau oleh pengepul sehingga
pembelian bahan baku hanya dilakukan oleh subak Abian saja. Tidak adanya
persaingan antara subak Abian dengan pengepul menyebabkan harga bahan
baku rendah. Rata-rata harga bahan baku pengolahan secara basah adalah Rp
6.170,37/Kg.
Biaya Penggunaan Air
Air memiliki peran yang sangat penting dalam pengolahan kopi secara
basah, baik pada tahap sortasi gelondong, fermentasi, maupun tahap pencucian
biji kopi. Berbeda dengan pengolahan kopi secara kering, pada pengolahan
kopi secara basah memerlukan banyak air sehingga mempengaruhi biaya
produksi. Biaya air tertinggi terjadi di desa Batukaang B sebesar Rp
211,12/Kg, hal ini disebabkan karena desa Batukaang B melakukan pembelian
air dengan cara bulanan ditambah dengan penggunaan mesin pompa air
sehingga biaya penggunaan air menjadi berlipat. Biaya terendah di desa
Kembang Sari B sebesar Rp 0,50/Kg disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan
desa Kembang Sari B hanya biaya investasi awal pemasangan pompa air, tanpa
uang air bulanan. Rata-rata biaya penggunaan air pada pengolahan kopi secara
basah sebesar Rp 33,53/Kg.
Biaya Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam pengolahan kopi
secara basah. Biaya tenaga kerja pada pengolahan kopi secara basah dihitung
untuk setiap tahapan pengolahan kopi kecuali tahap fermentasi. Biaya tenaga
kerja tersebut sangat dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu lama pengeringan,
jumlah tenaga kerja yang digunakan dan berat bahan baku.
Biaya tenaga kerja paling tinggi terjadi di desa Ulian C sebesar Rp
1.971,43/Kg, hal ini disebabkan karena pada tahapan pullping dan pencucian
menggunakan tenaga kerja borongan. Pada tahap pengeringan penggunaan
tenaga kerja lebih banyak, namun jumlah bahan baku yang dikeringkan hanya
sedikit. Pada tahapan sortasi akhir desa Ulian C masih menggunakan tenaga
kerja. Biaya paling rendah terjadi di Belantih sebesar Rp 72,00/Kg, hal ini

67
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

disebabkan karena desa Belantih tidak menggunakan tenaga kerja pada tahap
pencucian karena biaya tersebut masuk ke dalam biaya mesin pengolah. Pada
tahap pengeringan dan sortasi akhir penggunaan tenaga kerja dilakukan secara
bersamaan. Rata-rata biaya tenaga kerja pengolahan kopi secara basah sebesar
Rp 976,01/Kg. Fluktuasi biaya tenaga kerja ini terjadi karena penggunaan
tenaga kerja yang tidak efektif pada sebagian subak.
Biaya Mesin Pengolah
Pengolahan kopi arabika secara basah biasanya memiliki 2 mesin utama
yaitu tahapan pengupasan kulit buah menggunakan mesin pullper dan tahapan
pengupasan kulit tanduk dengan mesin huller. Subak-subak di kecamatan
Kintamani 99% menjual kopi HS kering sehingga penggunaan mesin huller
tidak terlalu digunakan. Biaya mesin pengolah dihitung dengan metode
penyusutan garis lurus dari mesin pullper dan mesin washer serta biaya
pemeliharaan termasuk bensin dan solar yang digunakan oleh mesin-mesin
tersebut.
Biaya mesin pengolah pada pengolahan kopi arabika secara basah paling
tinggi terjadi di desa Batur Utara B sebesar Rp 273,66/Kg, hal ini disebabkan
oleh biaya peminjaman mesin washer yang lebih besar. Biaya paling rendah
terjadi di desa Dausa A sebesar Rp 16,26/Kg, hal ini disebabkan karena
pencucian yang dilakukan di desa tersebut secara manual sehingga biaya yang
dikeluarkan masuk ke dalam biaya tenaga kerja. Rata-rata biaya mesin
pengolah kopi secara basah sebesar Rp 106,88/Kg. Fluktusai biaya mesin
pengolah diakibatkan oleh sebagian subak Abian tidak memiliki mesin
pengolah sehingga biaya peminjaman mesin pengolah lebih besar.
Biaya Peralatan Pendukung
Pengolahan kopi secara basah memiliki banyak tahapan sehingga banyak
peralatan pendukung yang digunakan dalam proses pengolahannya. Biaya
peralatan pendukung yang paling tinggi di desa Kembang Sari A sebesar Rp
131,67/Kg, hal ini disebabkan oleh penggunaan para-para dan terpal yang lebih
banyak. Biaya peralatan pendukung paling rendah di desa Mengani sebesar Rp
4,21/Kg. Desa Mengani tidak menggunakan para-para pada tahap pengeringan
hanya penggunaan terpal. Rata-rata biaya peralatan pendukung pengolahan

68
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

kopi secara basah sebesar Rp 54,09/Kg. Fluktuasi biaya peralatan pendukung


disebabkan oleh sebagian subak hanya memiliki sedikit peralatan pendukung,
namun sebagian subak memiliki peralatan pendukung yang banyak tetapi tidak
dimanfaatkan dengan efesien.
Biaya Pengolahan Kopi Arabika Secara Kering
Biaya Bahan Baku Kopi Arabika
Bahan baku pengolahan kopi arabika secara kering biasanya kopi yang
masih berwarna hijau atau campuran yang diolah sendiri. Pengolahan secara
kering tersebut dapat dijadikan sebagai stok. Harga kopi campuran tertinggi
terjadi di beberapa desa yaitu desa Batukaang, Belantih, Gunung Bau,
Pengejaran, dan Satra sebesar Rp 4.200/Kg. Untuk harga kopi hijau terendah
terdapat di beberapa desa yaitu desa Awan, Bunutin, Langgahan Barat,
Manikliyu, dan Siakin sebesar Rp 3.500/Kg. Rata-rata biaya bahan baku
pengolahan secara kering sebesar Rp 3.907,41/Kg.
Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja pengolahan kopi arabika secara kering sebagian besar
terdapat pada tahap pengeringan dimana dipengaruhi oleh jumlah bahan baku
dan lama pengeringan. Biaya tenaga kerja tertinggi terjadi di desa Belantih dan
Belancan sebesar Rp 562,50/Kg, hal ini disebabakan oleh lama pengeringan di
desa tersebut dan berat bahan baku yang sedikit sehingga mempengaruhi biaya
tenaga kerja. Biaya terendah terjadi di desa Langgahan Timur sebesar Rp
98,44/Kg. Hal ini disebabkan pada pengeringan kopi yang tidak lama dan berat
bahan baku yang banyak. Rata-rata biaya tenaga kerja untuk pengolahan kopi
secara kering adalah Rp 225,37/Kg.
Biaya Mesin Pengolah
Di Kecamatan Kintamani biasanya Ose (bean kopi kering) yang didapat
dari hasil penggilingan (pemisahan biji kopi kering dengan kulit tanduk) tidak
disortasi lagi sehingga mutu biji kopi tersebut masih sangat rendah. Biaya
mesin pengolah kopi berasal dari tahap pengupasan kulit tanduk. Biasanya
petani kopi mengupas kulit tanduk dengan menyewa mesin huller.
Biaya mesin pengolah kopi arabika secara kering tertinggi terjadi di desa
Langgahan Barat sebesar Rp 150/Kg, hal ini disebabkan karena Langgahan

69
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Barat menggunakan mesin huller dengan kapasitas besar yang kurang efektif
dimana bahan baku yang digunakan hanya sedikit. Biaya terendah di desa
Dausa sebesar Rp 47,50/Kg disebabkan oleh penggunaan mesin yang efektif
dengan berat bahan baku yang digunakan lebih banyak. Rata-rata biaya mesin
pengolahan sebesar Rp 121,50/Kg.
Biaya peralatan pendukung
Kopi arabika secara kering memiliki tahapan pengolahan yang sederhana
sehingga peralatan pendukung yang digunakan hanya sedikit. Biaya peralatan
pendukung paling tinggi terjadi di desa Belanga sebesar Rp 145,45/Kg dengan
penggunaan terpal yang kurang efektif sedangkan biaya peralatan pendukung
terendah terjadi di desa Manikliyu sebesar Rp57,50/Kg. Rata-rata biaya
peralatan pendukung pengolahan kopi secara kering sebesar Rp 17,30/Kg.
Perhitungan Biaya Total Pengolahan Kopi Arabika
Tabel 1. Biaya Total Pengolahan Kopi Arabika
Biaya Total Pengolahan Kopi (Rp)
Komponen Biaya Pengolah Pengolahan Secara Pengolahan Secara
Basah Kering
Biaya Bahan Baku 166600,00 105500,00
Biaya Penggunaan Air 905,44 -
Biaya Tenaga Kerja 26352,14 6085,01
Biaya Mesin Pengolah Kopi 2885,70 3280,63
Biaya Peralatan Pendukung 1460,67 467,04
Biaya Total Pengolah (Rp) 198.203,95 115332,68

Biaya total pengolahan kopi di dapat dari penjumlahan komponen biaya


pengolah dibagi dengan jumlah sampel. Biaya total pengolah kopi secara basah
yaitu sebesar Rp 7.340,89/Kg dan biaya total pengolah kopi secara kering sebesar
Rp 4.271,58/Kg.
Perhitungan Nilai Tambah Pengolahan Kopi
Perhitungan nilai tambah pengolahan kopi arabika secara basah yaitu dengan
mengkonversikan berat bahan baku adalah 5:1 kg, artinya 5 kg kopi gelondong
merah menjadi 1 kg HS. Rata-rata nilai jual kopi (HS) sebesar Rp 40.555,56/Kg
dan dikonversikan menjadi Rp 8.111,11/Kg. Nilai tambah pada pengolahan kopi
arabika secara kering sebesar Rp 770,22/Kg.

70
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Perhitungan nilai tambah pengolahan kopi arabika secara kering yaitu


dengan mengkonversikan berat bahan baku adalah 5,3:1 kg, artinya 5,3 kg kopi
campuran menjadi 1 kg Ose. Rata-rata nilai jual kopi (Ose) sebesar Rp
22.740,74/Kg dan dikonversikan menjadi Rp 4.290,71/Kg. Nilai tambah pada
pengolahan kopi arabika secara kering sebesar Rp 18.59/Kg yang artinya
pengolahan kopi secara kering menghasilkan nilai tambah yang sangat kecil. Hal
ini disebabkan oleh biaya tenaga kerja yang digunakan tidak dihitung oleh petani
kopi arabika sehingga petani kopi menganggap pengolahan kopi secara kering
lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengolahan kopi secara basah.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Komponen-komponen biaya yang terdapat pada pengolahan kopi secara
basah yaitu, bahan baku berupa kopi gelondong merah, air pada tahap gortasi
gelondong, pencucian dan biaya mesin pompa air, tenaga kerja pada setiap
tahapan pengolahan kopi, kecuali tahap fermentasi, mesin pengolah kopi
(mesin pullper dan mesin huller) dan peralatan pendukung berupa bak
fermentasi, bak sortasi gelondong, timbangan, rumah pengering, terpal, para-
para, cangkul/sekop, keranjang plastik, tampi, bakul, gentong, dan karung
plastik. Komponen-komponen biaya yang terdapat pada pengolahan kopi
secara kering yaitu, bahan baku berupa kopi campuran atau hijau, biaya
tenaga kerja pada tahap pengeringan, mesin pengolah kopi berupa mesin
huller serta peralatan pendukung berupa terpal dan timbangan.
2. Biaya pengolahan kopi arabika setelah dikonversi secara basah sebesar Rp
7.340,89/Kg dan biaya pengolahan kopi arabika secara kering sebesar Rp
4.271,58/Kg.
3. Pengolahan kopi secara basah lebih menguntungkan untuk petani kopi
dibandingkan dengan pengolahan kopi secara kering, dimana nilai tambah
kopi arabika secara basah sebesar Rp 770,22/Kg dan pengolahan secara
kering sebesar Rp 18,59/Kg.

71
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 3. No. 1. Maret 2015 (61-72)

Saran
Petani kopi tetap melakukan pengolahan kopi arabika secara basah untuk
meningkatkan pendapatan dan mendapatkan mutu serta cita rasa yang lebih baik.
Namun pengolahan kering masih tetap dilakukan untuk mengolah bahan baku
yang tidak memenuhi standar mutu untuk pengolahan basah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bangli Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bangli.
Bahri, S. 1996. Bercocok tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. UGM Press

Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Bangli. 2007. Luas Areal dan
Produksi Komoditi Perkebunan. Bangli.

Najiyati, S dan Danarti. 2004 . Budidaya Tanaman Kopi dan Penanganan Pasca
Panen. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan


Robusta. Penebar Swadaya. Jakarta

Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. Universitas Sumatera Utara, Fakultas


Pertanian. Skripsi. Medan.

72

You might also like