MAKALAH
KONSEP IMUNISASI
DOSEN PENGAMPUH : Ns. HAYYU SITORESMI S. Kep M. Kep
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
LAILATUL MUFARRAHA
NUR HAEDA
A.TENDRI AULIA
DEA SINTARI
MUTIARA
LISA
INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS ST FATIMAH MAMUJU
TAHUN AJARAN 2021/2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Pengertian Konsep Imunisasi
B. Jenis Penyelengggara Imunisasi
C. Jadwal Imunisasi Pada Bayi
D. Fungsi Vaksin
E. Partisipasi Dalam Imunisasi
F. Macam Macam Imunisasi
G. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Dalam Imunisasi
BAB III IMPLIKASI KEPERAWATAN
1. Peran Perawat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan kematian pada bayi dengan
memberikan vaksin. Dengan imunisasi, seseorang menjadi kebal terhadap penyakit
khususnya penyakit infeksi. Dengan demikian, angka kejadian penyakit infeksi akan
menurun, kecacatan serta kematian yang ditimbulkannya akan berkurang (Cahyono, 2010).
Vaksin yang pertama kali dibuat adalah vaksin cacar (smallpox). Pada tahun 1778, Edward
Jenner, berhasil mengembangkan vaksin cacar dari virus cacar sapi atau cowpox. Sebelum
ditemukan vaksin cacar, penyakit ini sangat ditakuti masyarakat karena sangat mematikan,
bahkan penyakit ini sempat menyebar ke seluruh dunia dan menelan banyak jiwa (Achmadi,
2006). Namun saat ini, kejadian penyakit cacar jarang ditemukan karena WHO telah berhasil
memberantasnya melalui program imunisasi. Tidak hanya cacar (smallpox), angka kejadian
penyakit-penyakit infeksi lain juga menurun dengan ditemukannya vaksin terhadap penyakit-
penyakit tersebut (Depkes, 2006).
Strategisnya imunisasi sebagai alat pencegahan, menjadikan imunisasi sebagai
program utama suatu negara. Bahkan merupakan salah satu alat pencegahan penyakit yang
utama di dunia. Di Indonesia, imunisasi merupakan andalan program kesehatan (Achmadi,
2006). Imunisasi bayi dan anak dipandang sebagai perlambang kedokteran pencegahan dan
pelayanan kesehatan. Angka cakupan imunisasi sering dipakai sebagai indikator pencapaian
pelayanan kesehatan (Marimbi, 2010).
Pada tahun 1974, WHO mencanangkan Expanded Programme on Immunization (EPI)
atau Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu dengan cara meningkatkan
cakupan imunisasi pada anak-anak di seluruh belahan dunia. Hasil dari program EPI ini
cukup memuaskan, dimana terjadi peningkatan angka cakupan imunisasi dunia dari 5%
menjadi 80% (Ali, 2003). Di Indonesia, PPI mulai diselenggarakan tahun 1977 dan berfokus
pada campak, tuberkulosis, difteri, tetanus, pertusis, polio. Sementara imunisasi hepatitis B
dimasukkan terakhir karena vaksin hepatitis baru tersedia pada tahun 1980-an (Depkes,2005).
B. Rumusan Masalah
Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap
pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar
lengkap pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri dari umur responden,
pendidikan responden, umur bayi, dan jenis kelamin bayi guna mendukung
pembahasan.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemberian imunisasi
dasar lengkap pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten
Sukoharjo.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan pemberian imunisasi
dasar lengkap pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten
Sukoharjo.
d. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi dengan pemberian imunisasi
dasar lengkap pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten
Sukoharjo.
e. Untuk mengetahui hubungan antara peran petugas kesehatan dengan
pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi di wilayah kerja Puskesmas
Bulu Kabupaten Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Kesehatan
Sebagai bahan informasi dan evaluasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
pengambilan sebuah kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan kualitas program
imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Sukoharjo.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terutama
ibu yang mempunyai bayi tentang pentingnya pemberian imunisasi dasar lengkap
pada bayi.
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai dasar atau tambahan pengetahuan dalam penelitian berikutnya dan peneliti
berikutnya dapat menambah variabel penelitian lain sehingga faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi dapat diketahui
lebih dalam.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Pengertian Konsep Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular Seperti
campak, difteri, dll. Beberapa vaksin imunisasi dapat diberikan tidak Hanya untuk anak
sejak bayi hingga remaja, imunisasi ini bisa juga Diberikan untuk orang dewasa.
Imunisasi merupakan pembentukan antibodi Yang berguna untuk meningkatkan
kekebalan tubuh pada seseorang Sehingga dapat mencegah atau mengurangi akibat
penularan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan imunisasi (PD3I).
Menurut Hidayat (2008) Imunisasi merupakan salah satu cara untuk Memberikan
kekebalan kepada bayi dari berbagai macam penyakit, Sehingga diharapkan anak tetap
dalam keadaan sehat. Imunisasi bertujuan Untuk mencegah bagi diri sendiri dan dapat
melindungi orang sekitarnya. Imunisasi sendiri memberikan kekebalan individu dan
kelompok atau Komunitas. Semakin banyak yang tidak diimunisasi dalam suatu
komunitas Risiko penularan semakin tinggi, bahkan yang sudah di imunisasi dapat
Tertular.
Pada penelitian Albertina, Febriana, Firmanda, Permata dan Gunardi
(2008) menyebutkan imunisasi merupakan upaya pencegahan primer yang Digunakan
untuk mencegah terjangkitnya infeksi yang dapat dicegah dengan Imunisasi. Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) telah dicanangkan oleh WHO sejak tahun 1974 dengan
tujuh penyakit target yaitu difteri, tetanus, Pertussis, polio, campak, TBC, dan hepatitis B.
Di Indonesia sendiri sudah Melaksankan PPI sejak tahun 1977.
B. Jenis Penyelenggara Imunisasi
1. Imunisasi Program
a. Imunisasi rutin
1. Imunisasi dasar pada bayi
2. Imunisasi lanjutan pada bayi di bawa tiga tahun
3. Imunisasi lanjutan pada anak sekolah
4. Imunisasi lanjutan pada wanita usia subur
b. Imunisasi tambahan
1. Backlog fighting (upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada Anak
yang berumur 1-3 tahun)
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
3. Catch up campaign campak
4. Sub PIN
5. Outbreak Response Immunization (ORI)
c. Imunisasi khusus
C. Jadwal Imunisasi Pada Bayi
Tabel 2.1 :
No Usia Imunisasi
1 0-7 hari Hepatitis B (HB-0)
2 1 bulan BCG dan Polio 1
3 2 bulan DPT-HB-HIb 1 dan Polio 2
4 3 bulan DPT-HB-Hib 2 dan Polio 3
5 4 bulan DPT-HB-Hib 3,Polio 4 dan IPV atau Polio suntik
6 9 bulan Campak atau MR
No Usia Imunisasi lanjutan
1 < 2 tahun DPT_HB-Hib dan campak/MR
2 Kelas 1 SD DT dan Campak/MR
3 Kelas 2 dan 5
SD
Td
D. Fungsi Vaksin
Vaksin merupakan suatu kuman (bakteri/virus) yang sudah
dilemahkan yang kemudian dimasukkan ke dalam tubuh seseorang yang bertujuan
untuk membentuk kekebalan tubuh secara aktif.
Berikut merupakan fungsi dari vaksin :
1. vaksin Hepatitis B (HB) diberikan untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang
dapat menyebabkan pengerasan hati yang berujung pada kegagalan fungsi hati
dan kanker hati.
2. Imunisasi BCG diberikan guna mencegah penyakit Tuberkulosis
3. Imunisasi Polio tetes diberikan 4 kali pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan untuk mencegah lumpuh layu. Imunisasi Polio suntik pun diberikan 1 kali
pada usia 4 bulan agar kekebalan yang terbentuk makin sempurna.
4. Imunisasi campak diberikan untuk mencegah penyakit campak yang dapat
mengakibatkan radang paru berat (pneumonia), diare atau menyerang otak.
5. Imunisasi MR diberikan untuk mencegah penyakit campak sekaligus rubella.
6. Rubella pada anak merupakan penyakit ringan, namun apabila menular pada ibu
hamil terutama periode awal,dapat berakibat pada keguguran atau bayi akan
mengalami cacat bawaan, seperti tuli, katarak dan gangguan jantung bawaan.
Vaksin DPT-HB-HIb berfungsi untuk mencegah 6 penyakit yaitu Difteri,
Pertuis, Tetanus, Hebpatitis B, serta Pneumonia (radang Paru) dan Meningitis
(radang selaput otak) yang disebabkan infeksi Kuman HIb.
E. Partisipasi Dalam Imunisasi
1. Pengertian
Menurut Made Pidarta dalam Siti Irene Astuti D. (2009: 31-32), Partisipasi adalah
pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu Kegiatan. Keterlibatan dapat berupa
keterlibatan mental dan emosi serta fisik Dalam menggunakan segala kemampuan yang
dimilikinya (berinisiatif) Dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung
pencapaian Tujuan dan tanggungjawab atas segala keterlibatan H.A.R. Tilaar (2009:287)
mengungkapkan partisipasi adalah sebagai Wujud dari keinginan untuk mengembangkan
demokrasi melalui proses Desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan
dari Bawah (button-up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses Perencanaan dan
pembangunan masyarakatnya. Partisipasi dalam imunisasi adalah keikutsertaan atau wujud
dari Peran serta seseorang untuk melaksanakan imunisasi, berupa perencanaan Dan
pelaksanaan untuk mencapai suatu tujuan.
F. Macam-Macam Partisipasi
Menurut Sundariningrum (Sugiyah, 2010:38) mengklasifikasikan Partisipasi menjadi dua
berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu:
a. Partisipasi langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan Tertentu dalam proses
partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap Orang dapat mengajukan pandangan,
membahas pokok permasalahan, Mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau
terhadap Ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak Partisipasinya pada
orang lain. Lebih rinci Cohen dan Uphoff (Siti Irene A.D., 2011:61) Membedakan partisipasi
menjadi empat jenis yaitu pertama, partisipasi Dalam pengambilan keputusan. Kedua,
partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Dan keempat,
partisipasi Dalam evaluasi.
Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini Terutama berkaitan dengan
penentuan alternatif dengan masyarakat yang Berkaitan dengan gagasan atau ide yang
menyangkut kepentingan Bersama. Dalam partisipasi ini masyarakat menuntut untuk ikut
Menentukan arah dan orientasi pembangunan. Wujud dari partisipasi ini Antara lain seperti
kehadiran rapat, diskusi, sumbangan pemikiran, Tanggapan atau penolakan terhadap program
yang ditawarkan.
Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan suatu program meliputi: Menggerakkan sumber daya,
dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan Penjabaran program.
Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi ini Tidak lepas dari hasil
pelaksanaan 15 program yang telah dicapai baik yang Berkaitan dengan kuantitas maupun
kualitas. Dari segi kualitas, dapat Dilihat dari peningkatan output, sedangkan dari segi
kuantitas dapat dilihat Seberapa besar prosentase keberhasilan program.
Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam Evaluasi ini berkaitan
dengan masalah pelaksanaan program secara Menyeluruh. Partisipasi ini bertujuan untuk
mengetahui ketercapaian Program yang telah direncanakan sebelumnya. Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan macam partisipasi, yaitu:
a. Partisipasi dalam proses perencanaan/ pembuatan keputusan. (participation in
decision making).
b. Partisipasi dalam pelaksanaan (participation in implementing).
c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil
d. Partisipasi dalam evaluasi evaluasi(participation in benefits).
G. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Dalam Imunisasi
Dalam penelitian Senewe, Rompas, Lolong (2017) ada beberapa faktor yang berhungan
dengan partisipasi dalam imunisasi, yaitu
1. Pendidikan
Menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan pendidikan dengan kepatuhan ibu
dalam pemberian imunisasi dasar. Pendidikan formal, non formal, dan informal dapat
mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan berperilaku, dengan pendidikan
seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual, sehingga dapat membuat keputusan
dalam bertindak. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai
dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Pendidikan
nonformal paling banyak terdapat pada usia dini.
2. Dukungan Keluarga
Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi
dasar, dukungan keluarga responden sebagian besar baik. Dukungan keluarga sangat berperan
penting terhadap keaktifan ibu dalam program imunisasi, sehingga sasaran penyuluhan
tentang imunisasi pun selain ibu-ibu yang mempunyai anak juga keluarga bahkan ditujukan
kepada seluruh masyarakat (Ismet, 2013). Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor
penting untuk terwujudnya perilaku sehat
3. Motivasi Ibu
Motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi
seorang individu. Seorang ibu akan bersedia datang ke puskesmas membawa anaknya untuk
diimunisasi karena mempunyai motivasi tinggi yang didasari oleh berbagai faktor seperti
keyakinan. Ibu yang memiliki motivasi tinggi merasa senang dengan pemberian imunisasi
karena mengetahui bahwa tindakan yang diberikan tersebut akan mampu melindungi dari
penyakitpenyakit berbahaya yang sering dialami bayi. Perasaan senang dan aman bila anak
telah mendapat imunisasi mendorong ibu melengkapi lima imunisasi dasar yang wajib
diterima bayi.
4. Sikap ibu
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Manifestasi dari sikap itu sendiri tidak dapat dilihat langsung. Sikap
menuntun perilaku manusia akan bertindak sesuai sikap. Sikap merupakan faktor penentu
perilaku karena berhubungan dengan persepsi. Kepribadian dan motivasi, demikian sikap
merupakan faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku. Sikap
merupakan faktor penentu perilaku karena berhubungan dengan persepsi. Kepribadian dan
motivasi, demikian sikap merupakan faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya
perubahan perilaku.
5. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan semakin baik tingkat
pendidikan, maka semakin baik pula tingkat pengetahuan, selain pendidikan faktor-faktor
yang mempengaruhi pada peningkatan pengetahuan seseorang adalah keikutsertaan dalam
pelatihan atau penyuluhan. Pengetahuan seseorang dapat meningkat dengan demikian
harapan tentang keberhasilan program imunisasi dapat dicapai melalui kesadaran masyarakat
akan dampak imunisasi dapat imunisasi bagi kesejahteraan masyarakat secara umum dan
kesejahteraan anak secara khususnya (Astinah, 2013). Pengetahuan ibu adalah sebagai salah
satu faktor yang mempermudah terhadap terjadinya perubahan perilaku khususnya
mengimunisasikan anak.
6. Tindakan ibu
Perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu
faktor perilaku dan faktor non perilaku. Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri
ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu : faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya, kemudian faktor-faktor
pemungkin, yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitas perilaku atau
tindakan.
7. Pelayanan kesehatan
Pelayanan petugas kesehatan yang baik terhadap pasien dipengaruhi oleh kesabaran
petugas kesehatan akan profesionalisme kerja sangat mempengaruhi kepuasan pasien.
Pelayanan petugas kesehatan dapat mempengaruhi imunisasi dasar pada anak, karena ibu
dan anak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan (Ismet, 2013
H. Faktor Terjadi Penolakan Imunisasi DPT
Menurut Rusharyati, Novianto & Imanullah (2017) dalam penelitiannya, ada beberapa fakor
yang menyebabkan masyarakat melakukan penolakan pada imunisasi difteri, yaitu
a. Struktur hukum dalam pelaksanaan program imunisasi belum mampu melaksanakan
aturan yang ada dalam hukum karena struktur yang ada masih sebatas aparat dari unsur
kesehatan dan keterbatasan kewenangan
b. Norma atau aturan dalam hukum belum dapat diterapkan sepenuhnya di dalam
masyarakat. Masyarakat menuntut kejelasan terkait kehalalan vaksin yang digunakan
dalam program imunisasi.
c. Sebagian masyarakat belum memahami hukum dan isi hukum tentang pelaksanaan
imunisasi yang menyebabkan masyarakat belum mempunyai kesadaran hukum.
Sedangkan pada penelitian Albertina, Febriana, Firmanda, Permata dan Gunardi
(2008) didapatkan factor-faktor yang mempengaruhi penolakan difteri seperti
1. Pengetahuan
Pengetahuan orang tua sangat mempengaruhi dalam kelengkapan imunisasi dasar.
Kelompok orangtua dengan pengetahuan yang baik menunjukkan angka kelengkapan
imunisasi dasar yang lebih tinggi dibanding lainnya. Pengetahuan masyarakat yang minim
mengenai imunisasi dapat menyebabkan keikutsertaan dalam program imunisasi juga minim.
Pengetahuan akan jadwal imunisasi juga mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar pada
anak. Maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat tentang jadwal imunisasi.
2. Anak sakit saat hendak di imunisasi
Anak yang sakit memang menjadi kontraindikasi untuk imunisasi tetapi tidak bisa
dijadikan alasan ketidaklengkapan imunisasi karena imunisasi tersebut bisa diberikan ketika
anak telah sembuh dari sakitnya.
3. Orangtua yang takut akan efek samping imunisasi.
Efek samping seperti demam ataupun rewel seharusnya tidak bisa di jadikan alasan
karena efek samping tersebut ringan dan masih dapat diatasi. Maka tenaga kesehatan perlu
untuk memberi penjelasan mengenai efek samping imunisasi yang dapat terjadi. Ada banyak
factor yang menyebaabkan adanya penolakan imunisasi difteri. pada penelitian Sulistiyan,
shaluhiyah, Cahyo (2017) menyebutkan fakto-faktor penolakan imuisasi, yaitu :
1. Sikap subjek penelitian terhadap imunisasi dasar lengkap Penolakan terhadap
imunisasi dasar lengkap dikarenakan kesalahpahaman terhadap informasi tentang
imunisasi yang mereka dapatkan. Menurut subjek penelitian vaksin yang digunakan
haram karena mengandung babi. Informasi yang didapatkan subjek penelitian tentang
imunisasi merupakan isu yang disebarkan puluhan tahun lalu oleh orang-orang yang
ternyata bukan ahli vaksin. Menurut dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSI, Hanya sebagian
kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan dengan tripsin pada proses
pengembangan maupun pembuatannya seperti vaksin polio dan meningitis. Pada
vaksin meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15 – 20 tahun
lalu, ketika panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi
untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit
vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikkan
tidak mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis Ulama Indonesia
berpendapat vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada penggantinya.
2. Religius
Masih terdapat subjek yang beranggapan bahwa imunisasi haram. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah menjelaskan dalam Fatwa MUI No.4 Tahun 2016 Imunisasi, bahwa imunisasi
pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan
tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Enzim tripsin dari
pankreas babi dibutuhkan dalam proses pembuatan vaksin untuk menumbuhkan bibit
beberapa vaksin. Hingga saat ini belum ditemukan pengganti bahan pembuatan tripsin
tersebut.
3. Keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan
Adanya penjelasan dimana dalam kegiatan keagamaan yang menyebutkan bahwa kandungan
imunisasi belum jelas sehingga membuat ketakutan untuk melakukan imunisasi.
4. Keyakinan subjek penelitian
Keyakinan subjek penelitian dipengaruhi oleh pengalaman tentang imunisasi baik dari subjek
sendiri maupun orang lain, serta mitos tentang imunisasi. Adanya kepercayaan berlebihan
seperti masih percaya terhadap mitos imunisasi. Diantaranya menyebutkan imunisasi dapat
membuat anak cacat mental, lumpuh, campak, sering sakit, serta autis bahkan meninggal
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Umbul (2012) yang membahas
pemasalahan kesehatan pada bidang imunisasi lengkap didapatkan beberapa alasan yang
mempengaruhi penolakan imunisasi DPT. Tingkat pengetahuan
Menurut WHO tentang analisis penyebab seseorang berperilaku tertentu salah satunya yaitu
pengetahuan, seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya
karena penyakit polio sehingga cacat, karena anak tetanganya tidak pernah mendapatkan
imunisasi polio (Notoatmodjo, 2007). Apabila suatu program intervensi preventif seperti
imunisasi ingin dilaksanakan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit maka
perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan peningkatan pengetahuan
2. Tradisi
Berdasarkan hasil analisis pengaruh antara tradisidengan kelengkapan imunisasi terdapat
adanya pengaruh antara tradisi terhadap kelengkapan status imunisasi pada bayi atau balita.
Hal ini dapat terjadi karena pada hasil penelitian terlihat adanya kecenderungan pada
responden yang memiliki bayi atau balita dengan status imunisasi lengkap menyatakan
bahwa dikeluarga mereka terbiasa memberikan imunisasi pada bayi atau balita mereka,
sedangkan responden yang memiliki bayi atau balita dengan status imunisasi tidak lengkap
menyatakan bahwa dikeluarga mereka terbiasa tidak memberikan imunisasi pada bayi atau
balita mereka, sebagian besar responden yang memiliki bayi atau balita dengan status
imunisasi tidak lengkap berasal dari etnis Madura.
3. Kepercayan dampak imunisasi
Sebagian besar responden yang memiliki bayi atau balita dengan status imunisasi tidak
lengkap mempercayai bahwa imunisasi membawa dampak buruk terhadap bayi atau balita
mereka, seperti panas, kejang, dan rewel. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden
yang memiliki anak dengan status imunisasi tidak lengkap, sebagian besar meyakini bahwa
imunisasi membawa dampak buruk terhadap anak mereka, seperti terjadinya panas setelah
diberikan imunisasi, menurut mereka semua imunisasi akan membawa efek oleh racun
yangdikeluarkan oleh bakteri C. diphteriae. Gejala lain berupa sakit menelan dan disertai
adanya pembengkakan kelenjar limpe disekitar leher. (Chandra, 2012). Difteri adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria. Penyakit ini
ditandai dengan adanya peradangan, terutama pada selaput bagian dalam saluran pernafasan
bagian atas, hidung dan juga kulit. Penyakit ini sangat mudah menular dan berbahaya karena
dapat menyebabkan kematian (Kementrian Kesehatan, 2017).
2.4.2 Patogenesis
Pada umumnya difteri timbul akibat masuknya bakteri penyebab ke dalam tubuh dan
berkembang biak pada mukosa saluran napas atas. Proses perlekatan bakteri pada mukosa
saluran napas atas diperantarai oleh adanya pili pada permukaan sel bakteri. Selanjutnya,
akan terjadi reaksi peradangan pada daerah fokal infeksi, diikuti akumulasi fibrin yang
diinfiltrasi oleh leukosit. Sel epitel akan mengalami destruksi dan terbentuk selaput yang
dikenal dengan pseudomembran. Ada sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa terbentuknya
pseudomembran tidak terlepas dari peran toksin difteri yang dihasilkan bakteri penyebab. Hal
ini berdasarkan hasil pengamatan yang menemukan bahwa pseudomembran jarang terjadi
pada kasus-kasus yang disebabkan oleh strain non-toksogenik. Respon inflamasi akan
menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar limfe dan jaringan di sekitar fokal infeksi
ditandai dengan pembengkakan daerah leher yang dikenal dengan bullneck. Toksin difteri
yang dihasilkan bakteri penyebab akan masuk ke dalam peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, menyebabkan kerusakan jaringan terutama oragan jantung dan jaringan syaraf
karena pada sel jantung dan saraf terdapat banyak reseptor untuk toksin difteri. Komplikasi
pada jantung biasanya berupa miokarditis dan gagal jantung, sedangkan pada jaringansaraf
menyebabkan polioneuropati. Kematian biasanya disebabkan gagal jantung dan gangguan
pernafasan.
2.4.3 Jenis Difteri
Ada beberpa jenis difteri antara lain
1. Difteri Hidung
2. Difteri Tonsil-faring
3. Difteri Laring
4. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
2.4.4 Manifestasi Klinis
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air ludah ynag
berterbangan saat penderita berbicara, batuk ataupun bersin membawa serta kuman difteri.
Melalui pernafasan kuman masuk kedalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah
penularan penyakit difteri dari penderita kepada orang disekitarnya.
Menurut Holly (2010) ada beberapa gejala yang terjadi pada penderita difteri yang sudah
terinfeksi, yaitu
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38.9 derajat Celcius.
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Merasa sakit dan ada pembengkakan pada tenggorokan
4. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu
abuan kotor.
6. Kaku leher
Masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun atau toksin yang
mengkibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan.Kemudian berlanjut dengan
munculnya bercak putih di tenggorokan dan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan
jantung dan saraf. Difteri akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata,
vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan gagal ginjal menimbulkan
kelumpuhan. 40% sampai 50% yang tidak terobati bisa berakibat pada kematian.
2.4.5 Pencegahan
Pencegahan penyakit difteri dilakukan dengan vaksinasi toksoid difteri. Tujuan utama
pemberian vaksin toksoid difteri adalah menstimulasi terbentuknya antibody terhadap toksin
difteri yang dihasilkan bakteri penyebab sehingga orang yang divaksin tidak serta merta
terbebas dari serangan difteri.
Menurut Chandra (2013) ada beberapa usaha-usaha pencegahan terhadap penyakit difteri
yaitu
1. Anak balita diberikan imunisasi aktif berupa DPT (Diphteri, Pertuis,
Teteanus).
2. Memberikan imunisasi pada pekerja beresiko tinggi seperti tenaga
perawat, tenaga laboratorium dan melakukan penguat vaksin setiap 10
tahun karena beberapa vaksin proteksinya bisa menurun setelah jangka
waktu tertentu.
3. Pendidikan kesehatan
Tentang pentingnya imunisasi dasar pada anak-anak balita. Pendidikan
bisa diberikan di sekolah-sekolah maupun di posyandu.
2.4.6 Penatalaksanaan Medis
Untuk mengetahui ada tidaknya penularan penyakit dan mencegah penularan yang lebih luas,
maka dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap kontak terdekat. Idealnya sampel yang
diambil adalah swab hidung dan swab tenggorok, tetapi presentasi temuan difteri pada swab
tengggoroklebih besar dibandingkan dengan sampel swab hidung. Pemeriksaan swab
tenggorok dilakukan dengan metode mikroskopis, kultur, isolasi dan identifikasi terhadap
sampel, sementara pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya dilakukan untuk
menetukan toksigenik C. Diphtheriae.
2.4.7 Pengobatan
Pengobatan difteri membutuhkan antitoksin dan antibotik. Antitoksin dan antibiotik diberikan
bersama karena antitoksin tidak dapat digunakan untuk eliminasi bakteri penyebab, begitu
juga sebaliknya, antibiotik tidak dapat menggantikan peran antitoksin untuk menetralisasi
toksin difteri. Dalam hal ini, antitoksin memiliki keterbatasan karena hanya dapat
menetralisasi toksin yang beredar atau belum berikatan dengan sel/jaringan. Oleh karena itu,
antitoksin harus segera diberikan pada 3 hari pertama sejak timbul gejala. Penundaan
pemberian antitoksin akan meningkatkan risiko komplikasi dan bisa berakibat pada kematian.
Pemberian antibiotik dibutuhkan untuk eliminasi bakteri penyebab dan mencegah penularan
penyakit. Golongan penisilin dan eritromisin merupakan antibiotik pilihan utama. Namun
demikian, uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik perlu terus dilakukan untuk mengetahui
resistensi bakteri karena telah dilaporkan adanya penurunan kepekaan bakteri penyebab
terhadap eritromisin dan antibiotik lainnya.