Hapsari
Hapsari
Received May 20, 2022; Abstract: This study aims to 1) explain the relationship between psychological
Revised Juny 20, 2022; well-being and loneliness in the elderly in the Gawe Rukun Elderly Group, 2)
Accepted July 05, 2022; identify the level of loneliness in the elderly in the Gawe Rukun Elderly Group,
Published Online 31, 2022
and 3) identify psychological well-being among the elderly in the Gawe Rukun
Group. Elderly Gawe Rukun. This type of research is the correlation study with
a quantitative approach. The sample in this study amounted to 60 elderly who
are members of the Gawe Rukun Elderly group in the village of Ringinawe,
Salatiga City. The sampling technique used was the total sampling technique.
Data collection techniques used the Psychological Well-Being Scale (PWBS)
Conflict of Interest questionnaire formulated by Ryff (1989) and the UCLA (University of
Disclosures: California Los Angeles) questionnaire Loneliness Scale version 3 developed by
The authors declare that they Russell (1996). The data analysis technique used is the Product Moment
have no significant competing correlation test with the help of the IBM SPSS 25 program. The results of this
financial, professional or
personal interests that might have study conclude 1) there is a negative correlation between psychological well-
influenced the performance or being (PWB) and loneliness in the elderly in the Gawe Rukun Elderly Group.
presentation of the work This is known based on the correlation coefficient value of -0.175. 2) The
described in this manuscript. majority of respondents as many as 32 people (53.3%) had a low level of
psychological well-being. 3) The majority of respondents as many as 26 people
(43.3%) have a moderate level of loneliness.
1
JIBK Undiksha 2
ISSN: 2613-9642 (Online) ISSN : 2613-9634 (Print)
How to Cite: Sarah Hapsari, Ratriana YEK. 2022. Hubungan antara Psychological Well Being dan Kesepian pada Lansia. JIBK
Undiksha, 13 (2): pp. XX-XX, DOI: 10.24036/XXXXXXXXXX-X
Pendahuluan
Proses penuaan pada manusia merupakan proses yang alami yang tidak dapat dicegah dan merupakan
suatu hal wajar yang pasti di alami oleh setiap orang. Banyak hal yang dilakukan individu dalam rangka
mempersiapkan datangnya masa tua dengan berbagai alasan salah satunya mempertahankan kondisi fisik.
Sebagaima yang kita ketahui bahwa penuaan akan mempengaruhi penurunan fungsi fisik, kognitif dan
psikologis seseorang. WHO (BPS, 2015) mengemukakan bahwa usia lanjut atau lansia adalah individu yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Santrock (2013) lansia adalah individu yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas atau serendah-rendahnya berusia 60 tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2014
jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia sebanyak 18,781 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2015 meningkat
menjadi 21,68 juta jiwa. Angka tersebut merupakan 8,49% dari jumlah populasi penduduk Indonesia.
Proses penuaan membawa pengaruh dan perubahan yang menyeluruh, baik pada fisik, sosial maupun
psikologis (Vitaliati, 2018). Penuaan menyebabkan sejumlah masalah pada diri individu seperti kehilangan
teman, penurunan fungsi fisik, dan kemandirian. Menurut Rudpi (2013) saat menghadapi proses menua
kondisi psikologis lebih berperan signifikan dalam mempengaruhi tingkat stress pada lansia.
Masalah kesepian pada lansia di Indonesia merupakan masalah psikososial terbesar kedua setelah
masalah pelupa. Banyak lansia yang mengalami kesepian disebabkan karena perasaan kehilangan dan
kurangnya dukungan sosial. Akibat dari perasaan kesepian ini lansia akan merasa terasing (terisolasi),
tersisihkan, terpencil dari orang lain karena merasa berbeda dengan orang lain. Perasaan-perasaan seperti ini
cenderung memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan lansia baik fisik maupun psikologi.
Apabila kondisi ini tidak segera teratasi maka lansia tidak akan mengalami kesejahteraan psikologis
(psychological well-being). Fenomena kesepian ini sangat penting, karena kesepian dapat memiliki banyak
implikasi yang merugikan bagi kesehatan dan memberikan efek negatif pada kualitas hidup.
Kesepian atau loneliness dapat dialami oleh lansia karena terkait dengan Psycological Well Being (Cecen dan
Cenkseven, 2007). Kesepian merupakan hal yang bersifat pribadi dan akan di tanggapi berbeda oleh setiap
individu. Dalam definisi lain kesepian merupakan hasil interaksi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan
sebelumnya (Sampao, 2005). Bagi sebagian orang, kesepian bisa diterima secara normal tetapi bagi sebagian
orang bisa menjadi sebuah kesedihan yang mendalam (Winningham dan Pike, 2007).
Hasil studi pendahuluan di desa Ringinawe Kota Salatiga pada 6 Oktober 2020 dengan melakukan
wawancara kepada salah satu kader posyandu Lansia Gawe Rukun, di daerah tersebut banyak lansia yang
berpotensi mengalami kesepian. Hal ini dikarenakan terdapat lansia yang hidup sendiri di rumah karena
ditinggal pasangan hidup, ditinggalkan anak-anak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, bekerja
di luar kota, dan membentuk keluarga sendiri.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban dari stress yang terjadi adalah dengan
berusaha mencapai psychological well being. Psycological Well Being merupakan keadaan dimana seorang
individu menjalankan suatu hubungan yang baik dengan setiap orang baik secara psikis maupun secara
emosional. Psycological Well Being dapat dikatakan sebagai kesehatan mental yang positif dan berpengaruh
dalam menjalankan kehidupan sosial (Hutapea, 2011). Individu yang memiliki Psycological Well Being akan
memiliki kesehatan mental yang baik. Hal tersebut dapat terjadi karena Psycological Well Being juga melihat
pada sudut pandang bagaimana individu dalam berperan aktif dalam lingkungannya.
Namun pada kenyataannya banyak lansia tidak dapat mencapai Psycological Well Being disebabkan karena
individu tersebut sulit untuk menerima diri sendiri, sulit dalam melakukan komunikasi yang baik dengan
orang lain, atau merasa bahwa fungsi fisiknya mengalami penurunan. Pada lansia terdapat perbedaan pada
dimensi tujuan dalam Psycological Well Being yaitu terjadinya penurunan dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan personal (Ryff dan Keyes, 1995). Seiring dengan bertambahnya usia pada lansia terdapat pula
penurunan pada dimensi penguasaan lingkungan dan kemandirian (Ryan dan Leci, 2001). Hal ini dapat
memberikan dampak pada tingkat kesepian yang dirasakan pada seorang lansia.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Has, Indarwati, & Astutik (2019) yang berjudul “Kesepian
dan Kesejahteraan Psikologis Lansia yang Tinggal di Masyarakat”. Hasil menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara kesepian dengan psychological well-being. Lebih lanjut, penelitian
Dani & Aryono (2019) yang berjudul “Kesepian dan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia yang Memilih
Melajang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara kesepian dan
kesejahteraan psikologis pada lansia yang memilih melajang. Hubungan negatif ini diartikan bahwa semakin
tinggi tingkat kesepian maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologisnya, begitu pula juga
sebaliknya, semakin rendah tingkat kesepian maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologisnya.
Kemudian, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara kesepian
dan psychological well being (PWB). Penelitian Astutik (2019) berjudul “Hubungan Kesepian dengan
Psychological Well-Being pada Lansia di Kelurahan Sananwetan Kota Blitar”. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat hubungan yang signifikan antara kesepian dengan psychological well-being. Sebagian besar lansia di
Kelurahan Sananwetan Kota Blitar memiliki tingkat kesepian ringan, karena lansia tinggal bersama
keluarga, sehingga mendapatkan dukungan sosial yang cukup. Hal tersebut didukung penelitian Verawati
(2015) yang menunjukkan sebagian besar lansia yang tinggal di rumah sendiri mengalami tingkat kesepian
ringan sebesar (4%), kesepian sedang (96%). Sedangkan lansia yang tinggal bersama anaknya, memiliki
tingkat kesepian ringan sebesar (4%), kesepian sedang sebesar (72%), dan kesepian berat sebesar (24%).
Selain itu, penelitian Cahyadi (2020) yang berjudul “Loneliness and Psychological Well-Being on International
Students of the Darmasiswa Program Universitas Negeri Yogyakarta” Hasil penelitian menunjukkan sebagian
besar subjek memiliki tingkat kesepian yang rendah dan kesejahteraan psikologis yang sedang. Terdapat dua
dimensi kesejahteraan psikologis yang memiliki hubungan tertinggi, kesepian yaitu penguasaan lingkungan
dan hubungan positif dengan orang lain.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian relevan di atas. Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Astutik (2019) dan Cahyadi (2020), yaitu sama-sama mengkaji hubungan
kesepian dan kesejahteraan psikologis di mana lansia sebagian besar hidup bersama keluarga. Perbedaannya,
dalam penelitian ini, Desa Ringinawe aktif untuk kagiatan para lansia, seperti adanya senam lansia dan
Posyandu Lansia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia, baik fisik maupun psikologis.
Adanya kegiatan tersebut, lansia memiliki kesibukan dan tidak bergantung dengan lingkungan di mana
lansia tersebut tinggal.
Perbedaan juga ditunjukkan oleh penelitian Has, Indarwati, & Astutik (2019) dan Dani & Aryono (2019),
di mana sebagian besar lansia tersebut tinggal sendiri. Mereka memilih tinggal sendiri karena berpikiran
takut menjadi beban untuk anak-anaknya. Hal ini berpengaruh terhadap kesepian dan psychological well-being.
Perbedaan lain ditunjukkan oleh penelitian Cahyadi (2020), di mana penelitian Cahyadi 2020) bersubjek
mahasiswa. Mahasiswa Internasional Program Darmasiswa Universitas Negeri Yogyakarta sebagian besar
berasal dari luar negeri dan mahasiswa rantau, sehingga cenderung mengalami loneliness. Sejalan dengan Ind
(2016), yang menyatakan bahwa loneliness terjadi pada orang-orang yang mengalami perubahan kehidupan
seperti meninggalkan rumah yang cenderung terjadi pada mahasiswa rantau (Mahasiswa yang jauh dari
orang tua). Namun, tidak semua mahasiswa rantau mengalami loneliness karena memiliki psychological well-
being yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian relevan di atas, hubungan antara psychological well-being dan
kesepian bergantung pada kondisi. Huppert (2009) berpendapat psychological well-being adalah bagaimana
seseorang dapat merasa bahagia dan bekerja secara efektif, serta dapat menerima keadaan buruk (kecewa,
gagal, berduka) sebagai bagian dari kehidupan. Opree, Buijzen, dan Reijmersdal (2018) menambahkan
bahwa psychological well-being adalah kemampuan dari diri seseorang serta wujud nyata dari potensi yang
dimiliki individu tersebut yang bersifat jangka panjang. Semakin baik psychological well-being seseorang dapat
membantu menurunkan loneliness dari individu tersebut.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang hubungan Psycological Well Being
dengan kesepian pada usia lanjut dengan judul “Hubungan antara Psycological Well Being dengan Kesepian
pada lansia di Kelompok Lansia Gawe Rukun”.
Metode
Jenis penelitian ini adalah correlation study yang merupakan penelitian dengan tujuan utama untuk
mencari hubungan antara dua variabel atau lebih pada situasi tertentu atau pada kelompok tertentu
(Nursalam, 2017). Creswell (2012) menyatakan bahwa studi korelasi merupakan salah satu bagian dari
penelitian ex-post facto, karena peneliti tidak memanipulasi data yang ada dan peneliti menggunakan uji
statistik untuk mengetahui kecenderungan dua variabel atau lebih.
Pada penelitian ini terdapat dua macam variabel, yaitu variabel terikat (variabel dependen) merupakan
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas, sedangkan variabel bebas
(variabel independen) merupakan variabel yang mempengarui atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Psychological Well Being (X), sedangkan
untuk variabel terikat dalam penelitian ini adalah kesepian pada lansia (Y).
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh seluruh lansia yang tergabung dalam kelompok Lansia Gawe
Rukun di desa Ringinawe Kota Salatiga yang berjumlah 60 orang. Pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan
sampel dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Menurut Sugiyono (2012), alasan penggunaan
total sampling karena jumlah populasi yang kurang dari 100 maka keseluruhan populasi dijadikan sampel
penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 60 orang. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan alat penelitian berupa kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah
analisis univariat dan bivariat.
Berdasarkan analisis data terdapat dua kemungkinan hipotesis statistik penelitian ini, yaitu:
H1: Ada hubungan korelasi negatif (-) antara psycological well being (PWB) dengan kesepian, artinya
semakin tinggi psycological well being, maka akan semakin rendah tingkat kesepian.
H2: Ada hubungan korelasi positif (+) antara psycological well being (PWB) dengan kesepian, artinya
semakin rendah psycological well being, maka akan semakin tinggi tingkat kesepian.
b. Analisis Bivariat
Tabel 4. Hasil Analisis Bivariat
Kesepian Lansia
Psychological Coeffisient
P value
Well-Being Ringan Sedang Berat Total Corelation
f % f % f % f %
Rendah 0 0 12 20% 20 33,3% 32 53,3%
Sedang 4 6,6% 13 21,6% 0 0 17 28,3%
-0,175 0,181
Tinggi 10 16,6% 1 1,6% 0 0 11 18,3%
Total 14 23,3% 26 43,3% 20 33,3% 60 100%
Pembahasan
a. Tingkat Psychological Well-Being pada lansia di Kelompok Lansia Gawe Rukun
Menurut Ryff & Keyes (1995), Psychological Well-Being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan individu
tentang aktivitas harian mulai dari kondisi mental negatif seperti rasa cemas dan ketidakpuasan hidup hingga
kondisi mental positif seperti perwujudan kemampuan individu dan aktualisasi diri. Psychological Well-Being
berasal dari penilaian subjektif individu tentang pribadi mereka, untuk menilai rkenyamanan dan kedamaian
dalam hidup mereka, sehingga akan terwujud ketenraman hudup. Psychological Well-Being merupakan
kompetensi individu demi mendapatkan aktualisasi dirinya, terwujudnya relasi yang erat dengan individu
lain, bebas dari tekanan sosial, dapat memiliki kontrol lingkungan eksternal, memiliki hidup yang berarti,
serta mewujudkan kemampuan dirinya secara berlanjut (Wardiyah, 2018).
Berdasarkan analisis karakteristik objek penelitian, diketahui mayoritas responden sebanyak 32 orang
(53,3%) memiliki tingkat psychological well-being yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas
responden belum memiliki kemampuan untuk menerima kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam
diri. Menurut Afrizal (2018), penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada
diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang
menyenangkan maka individu akan dapat berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi.
Lansia yang dijadikan responden penelitian ini termasuk belum merasa bangga dengan kehidupan yang
sedang dialami sekarang. Responden belum menerima kualitas kehidupan masa sekarang yang berbanding
terbalik dengan masa lalu. Hal ini diasumsikan berdasarkan hasil demografi karakteristik responden yang
diketahui bahwa mayoritas sebanyak 42 orang (70%) tidak memiliki pekerjaan.
Sebagian besar lansia dalam penelitian ini merasa belum berhasil memenuhi tahapan perkembangan
dengan perasaan yang positif. Kondisi ini berhubungan dengan faktor demografis usia. Berdasarkan hasil
analisis karakteristik responden diketahui mayoritas responden sejumlah 35 orang (58,3%) berada pada
rentang usia 70-79 tahun. Lansia yang merasakan pertambahan usia cenderung membandingkan dirinya
dengan dirinya ketika masih muda dan bahkan membandingkan dengan orang lain yang terlihat pada
tingkatan usia yang sama. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Ahmad, Hartati, & Aulia
(2014) yang menyatakan bahwa perasaan bertambahnya usia mampu menurunkan psychological well-being
terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup.
Menurut Akbar (2014), psychological well-being yang rendah disebabkan oleh rendahnya dukungan sosial
terutama pada lingkungan keluarga. Mayoritas responden sebanyak 36 orang (60%) diketahui memiliki
status perkawinan sebagai janda/duda. Hal ini menyebabkan lansia kurang mendapatkan dukungan sosial
dari pasangan hidup. Menurut Desiningrum (2014), seorang individu yang mendapatkan dukungan sosial
akan memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial tersebut dapat berupa rasa
nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang lansia yang didapatkan
dari pasangan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Firdausi (2016) yang menyatakan bahwa dukungan
secara informatif disertai dengan dukungan emosional yang baik akan meningkatkan psychological well-being
pada seorang individu.
b. Tingkat kesepian pada lansia di Kelompok Lansia Gawe Rukun
Kesepian diartikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidak sesuaian
antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan hujbungan sosial yang dimiliki oleh seseorang dalam
kesehariannya (Anderson, et al., 1994). Russell (1996) memaparkan bahwa kesepian merupakan adanya
kepribadian dinamis dalam individu dari sistem-sitem psikofisik yang menentukan karakteristik perilaku dan
berfikir, lalu adanya keinginan individu pada kehidupan sosial dan kehidupan dilingkungannya, serta
adanya depresi yang merupakan salah satu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih,
murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, berpusat pada kegagalan.
Berdasarkan analisis karakteristik objek penelitian, diketahui mayoritas responden sebanyak 26 orang
(43,3%) memiliki tingkat kesepian yang sedang dan sebanyak 20 orang (33,3%) memiliki tingkat kesepian
yang tinggi. Kesepian yang dialami oleh lansia disebabkan oleh isolasi sosial dan isolasi emosional. Hal ini
menandakan sebagian besar dari responden tidak cukup memiliki hubungan sosial yang diinginkan dan tidak
memiliki hubungan yang cukup intim dengan orang lain. Penanda yang dijadikan landasan yaitu
berdasarkan analisis karakteristik reponden diketahui mayoritas responden sebanyak 36 orang (60%)
diketahui memiliki status perkawinan sebagai janda/duda.
Menurut Hutapea (2011), lansia yang berada dalam suatu kelompok ataupun komunitas tidak akan
terhindar dari kesepian. Kesepian yang terjadi pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor demografis, di
antaranya usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan status perkawinan (Septiningsih & Na’imah, 2012). Mayoritas
responden sejumlah 35 orang (58,3%) berada pada rentang usia 70-79 tahun yang diketahui juga sebagian
besar responden tidak bekerja. Hal ini akan menimbulkan waktu luang seorang lansia di rumah lebih banyak
dan akan memicu timbulnya rasa kesepian. Hal ini didukung oleh penelitian Nuraini, Kusuma, & Rahayu
(2018) yang menyatakan bahwa lansia yang sudah tidak dapat bekerja karena faktor fisik yang menurun
akan menyebabkan kurangnya aktivitas, sehingga waktu luang bertambah banyak dan menimbulkan rasa
kesepian.
Berdasarkan hasil analisis karakteristik responden, mayoritas reponden berjenis kelamin perempuan
sebanyak 34 orang (56,7%). Kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu tanpa terikat oleh jenis kelamin.
Namun, Desiningrum (2014) menyatakan bahwa lansia yang berjenis kelamin lebih condong mengalami
kesepian yang direfleksikan dengan pengalaman hidup yang berbeda. Laki-laki cenderung untuk mengikuti
harapan masyarakat sehingga cenderung terhindar dari rasa kesepian dibandingkan dengan perempuan.
Integrasi sosial dalam suatu komunikasi yang dapat diberikan oleh sekumpulan teman dapat menghindari
dari rasa kesepian (Septiningsih & Na’imah, 2012). Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata lansia berjenis
kelamin laki-laki akan lebih aktif mengikuti pertemuaan yang dilakukan di kompleks hidupnya.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan munculnya rasa kesepian yaitu tidak adanya figur kasih sayang
yang diterima, seperti suami/istri. Hal ini ditunjukkan dengan mayoritas responden sebanyak 36 orang
(60%) memiliki status perkawinan sebagai janda/duda. Menurut Afrizal (2018), adanya kesepian yang
muncul pada diri lansia disebabkan rendahnya dukungan sosial dari berbagai sumber, terutama pasangan
hidup. Dukungan sosial dapat berasal dari segala arah, namun dukungan sosial yang bermakna hadirnya
dari dukungan emosional seperti pasangan hidup.
akan terbuka dan merespon positif pada perubahan lingkungan yang terjadi. Respon positif yang diberikan
oleh lansia dapat meminimalkan munculnya perasaan kesepian pada lansia
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diperoleh
simpulan sebagai berikut: 1) Mayoritas responden sebanyak 32 orang (53,3%) memiliki tingkat psychological
well-being yang rendah. Hal ini dikarenakan responden belum memiliki kemampuan untuk menerima
kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam diri, belum merasa bangga dengan kehidupan yang sedang
dialami sekarang, belum menerima kualitas kehidupan masa sekarang yang berbanding terbalik dengan masa
lalu, belum berhasil memenuhi tahapan perkembangan dengan perasaan yang positif, dan rendahnya
dukungan sosial terutama pada lingkungan keluarga. 2) Mayoritas responden sebanyak 26 orang (43,3%)
memiliki tingkat kesepian yang sedang. Hal ini dikarenakan responden tidak cukup memiliki hubungan
sosial yang diinginkan dan tidak memiliki hubungan yang cukup intim dengan orang lain. Sebagian besar
responden tidak bekerja, hal ini akan menimbulkan waktu luang seorang lansia di rumah lebih banyak dan
akan memicu timbulnya rasa kesepian. Sebagian besar responden merasakan perubahan situasi emosional
terjadi akibat ditinggalkan pasangan hidup (cerai atau meninggal), maupun hidup sendirian karena tidak
tinggal satu rumah dengan anak. 3) Ada hubungan korelasi negatif (-) antara psycological well-being (PWB)
dengan kesepian pada lansia di Kelompok Lansia Gawe Rukun. Hal ini diketahui berdasarkan nilai coefficient
correlation sebesar -0,175.
Berdasakan hasil penelitian, pembahasan, keterbatasan penelitian dan kesimpulan, maka dapat diberikan
saran, yaitu: 1) Sebaiknya lansia meningkatkan kegiatan yang menunjang kesejahteraan psikologis
(psycological well-being), serta memperbanyak jalinan kontak sosial dengan teman, kerabat, atau tetangga. 2)
Sebaiknya keluarga senantiasa memberikan dukungan sosial, seperti menunjukkan kepedulian, melibatkan
dalam diskusi, serta tidak melakukan kegiatan yang dapat diinterpretasikan sebagai pengasingan oleh lansia.
3) Sebaiknya pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner agar
dapat memperoleh data yang bersifat representatif terhadap penelitian.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih penulis ucapkan terutama kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga saya
bisa menyelesaikan journal ini dengan baik, kedua orang tua saya yang telah memberikan support selama
saya berkuliah, Ibu Mia sebagai dosen pembimbing, dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini yang
tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.
Refrensi
Afrizal. (2018)., Permasalahan Yang Dialami Lansia Dalam Menyesuaikan Diri Terhadap Penguasaan
Tugas-tugas Perkembangannya. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, vol. 2, no. 2,. Institute
Agama Islam Negeri (IAIN) Curup.
Ahmad, H., Hartati, N., & Aulia, F. (2014). Perbedaan Psychological Well Being Pada Lansia Berdasarkan
Lokasi Tempat Tinggal. Jurnal RAP UNP, 5, 146- 156.
Akbar, S. (2014). Hubungan Psychological Well Being Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian
Pada Lansia Di Panti Werdha Budi Sejahtera. Jurnal ilmu psikologi, 1(4, Serial No. 2354).
Anderson, P. J., Jessen, R. A., Linde, D. R., Jones, R. E., Walter, B., & Christenson, P. E. (1994). U.S.
Patent No. 5,279,294. Washington, DC: U.S. Patent and Trademark Office.
Astutik, D. (2019). Hubungan Kesepian dengan Psychological Well-Being pada Lansia di Kelurahan
Sananwetan Kota Blitar. Skripsi. Universitas Airlangga Surabaya.
Cahyadi, D. M. (2020). Loneliness and Psychological Well-Being on International Students of the
Darmasiswa Program Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Cecen, A. R., & Cenkseven, F. (2007). Psychological well-being in predicting loneliness among university
students. Ç.Ü. Sosyal Bilimler Enstitüsü Dergisi. 16(2), 109-118.
Creswell, J. W. (2012). Educational Reserach: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative
Research (Fourth ed.). (C. Robb, Ed.) www.pearsonhighered.com.
Dani, R. A., & Aryono, M. M. (2019). Kesepian dan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia yang Memilih
Melajang. Jurnal Psikologi Proyeksi. 14(2), 162-170.
Desiningrum, D. R. (2014). Kesejahteraan Psikologis Lansia Janda Atau Duda Ditinjau Dari Persepsi
Terhadap Dukungan Sosial Dan Gender. Jurnal Psikologi Undip, 13, 102-106.
Firdausi, N. (2016). Pengaruh Reminiscence Theraphy Terhadap Psychological Well Being Pada Lanjut
Usia (Literature Review). Jurnal AKP, 7, 57-61.
Has, I., & Astutik. (2019). Kesepian dan Kesejahteraan Psikologis Lansia yang Tinggal di Masyarakat.
Indonesian Journal Of Community Health Nursing (Jurnal Keperawatan Komunitas). 8(1), 34-40.
Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal INSAN. 13, 64-73.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuraini., Kusuma. F. H. D., & Rahayu. W. (2018). Hubungan Interaksi Sosial Dengan Kesepian Pada
Lansia Di Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Nursing News, 1, 603-611.
Rudpi, L. S. (2013). Pegaruh senam lansia terhadap tingkat stress pada lansia di PSTW Budhi Dharma
Bekasi. Jurnal kebidanan.
Russell, D. W. (1996). UCLA Loneliness Scale (Version 3): Reliability, validity, and faktor structure. Journal
of Personality Assessment. 66(1), 20-40.
Ryff, C. D. & Keyes, Corey Lee M.. (1995). The Structure of Psychological Well- Being Revisited. Journal of
Personality and Sosial Psychology. 69, 719- 727.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-
being. Journal of personality and sosial psychology. 57(6), 1069.
Sampao, P. (2005). Relationship of health status, family relations and loneliness to depression in older adult.
Thesis. Mahidol University.
Santrock, J. W., Warshak, R. A., & Elliott, G. L. (2013). Sosial development and parent-child interaction in
father-custody and stepmother families. Nontraditional families: parenting and child development/edited by
Michael E. Lamb.
Septiningsih, D. S., & Na’imah. T. (2012). Kesepian Pada Lanjut Usia: Studi Tentang Bentuk, Faktor
Pencetus Dan Strategi Koping. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 2, 1-9.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendahuluan. Bandung: Alfabeta.
Verawati, K. P. (2015). Kesepian pada Lansia Ditinjau dari Tempat Tinggal. Skripsi. Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga.
Vitaliati, T. (2018). Pengaruh Penerapan Reminiscence Therapy Terhadap Tingkat Depresi Pada
Lansia. Jurnal Keperawatan BSI. 6(1).
Wardiyah, M. (2018). Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis
Remaja. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi, 1(2), 139-152.
Winningham, R. G., & Pike, N. L. (2007). A cognitive intervention to enhance institutionalized older adults’
sosial support networks and decrease loneliness. Aging & mental health. 11(6), 716-721.
Word Count: