Oleh: A. Faisal Marzuki
Paradigma
dan Integritas Sosial Kemasyarakatan
Pendahuluan
Kaidah pelaksanaan dimensi
sosial kemasyarakat dalam Islam adalah “berbuat baik karena Allah”. Ibadah
dalam sosial kemasyarakatan disebut juga sebagai “ibadah ghaira mahdhah”, artinya tidak
murni semata hubungan dengan Allah, yaitu ibadah yang di
samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau
interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah dalam ibadah ini, ada empat yaitu: 1). Keberadaannya, 2). Tatalaksananya, 3). Bersifat rasional, 4). Azas Manfaat, yang
keterangannya sebagai berikut:
Keberadaannya
Keberadaannya dalam melakukan
sosial kemasyarakatan tidak diatur perinciannya seperti halnya dalam ibadah mahdhah. Selama tidak ada dalil yang melarang, atau
bertentangan dengan dalil (Al-Qur’an dan Al-Hadits), yaitu dengan kata lain selama Allah dan Rasul-Nya
tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
Tatalaksananya
Tatalaksanya tidak perlu berpola
kepada contoh Rasul,
karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada
yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan
dalam ibadah mahdhah
disebut bid’ah dhalalah.
Bersifat Rasional
Ibadah
semacam ini bersifat rasional. Ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau
untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut “logika yang bersih lagi sehat” hal itu buruk, merugikan, dan madharat
(membahayakan, tidak ada manfaatnya),
maka tidak boleh dilaksanakan.
Azas Manfaat
Azaznya
berazazkan manfaat dari setiap rencana yang dibuat yaitu: Pelaksanaan yang akan
dilakukan; Pengorganisasian dan manajemen yang baik sebagai sumber daya manusia yang
akan melaksanakannya, disertai modal (seperti dana, sumber daya manusia) yang
cukup atau handal, dan peralatan yang baik; Tujuan yang jelas, yaitu yang akan mendatangkan
kebaikan bagi kemashlahatan umat dan ridha-Nya; Juga bukan untuk kebathilan,
maka selama itu boleh dilakukan.
D
|
engan empat prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah dari ajaran Islam itu seperti paparan diatas membuat hati ini
hidup, bersinar, bergetar, tidak beku. Membuat jiwa itu hidup bergairah,
dinamis, kreatif, tidak statis. Membuat semangat hidup berkobar, bergelora,
tidak kaku dan lambat.
Hatta, dengan itu masih diperlukan paradigma
dan penegakan moral akhlak integritas bersosial kemasyarakan antara umat dan
sesama manusia lainnya, agar tidak terjadi “kebebasan liar yang semaunya” dan “tujuan
yang tidak jelas” serta “tidak diridhai-Nya”. Artinya dengan itu keempat
prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dalam
melaksanakan dimensi sosial kemasyarakat dalam Islam diperlukan “paradigma” [1] dan “nilai-nilai moral-akhlak-integritas”
[2] dalam rangka merekat kuat yang tak tergoyangkan jika ada yang mau menggoyang-goyang
dan tak tercabik jika ada yang mau mencabik-cabik baik dengan halus
(dibujuk-bujuk dengan iming-iming kentungan pribadi atau kelompok) maupun kasar
(menggunakan melalui pelecehan atau ancaman dan berlanjut menggunakan kekerasan
senjata). Dengan itu Persatuan Kehidupan yang hendak kita lakukan dan pelihara dapat tetap fit
dan kuat selalu. Persatuan Kehidupan mana menjadi sangat kuat (solid). Dengan itu jalan dalam mencapai
tujuan akan yakin dapat digapaitangkap dengan baik. Dengan itu membuat hidup pasti, bermakna dan bermanfaat, karena memenuhi seruan-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya mengatakan:
“Wahai orang-orang
yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada
sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu” [QS 8:24], “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat
untuk mereka” [QS 22:28].
Apa yang mesti kita
lakukan agar kehidupan kita bermakna, penuh arti, yakni kehidupan yang
bermanfaat bagi diri maupun komunal. Dalam hal ini seruan (petunjuk, ajaran)
Allah Azza wa Jalla - dalam Islam - memberitahukan kepada makhluk-Nya, manusia yang telah dijadikan sebagai manusia khalifah
[QS 7:129; 27:620] atau manusia khalifah-khalifah di bumi [QS 35:39] untuk
hidup bersama dalam komunal, dalam bernegara, dan dalam antar negara. Yaitu hidup
dengan cara menegakkan keadilan dan dalam bekerja (beramal) shaleh (berkebaikan,
berkebajikan, berkarsa, berkarya, berproduksi yang punya daya guna (manfaat). Hidup
berkomunal atau bersosial masyarakat itu artinya adalah berlaku adil diantara
sesamanya, dalam beramal shaleh, membuat yang baik-baik, menyingkirkan yang
buruk-buruk sebagaimana firman-Nya menyebutkan:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada
kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan.” [QS 16:90]
“Wahai orang-orang
yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, dan (ketika)
menjadi saksi (bersaksilah) dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap
sesuatu kaum (yang bukan golongannya, yang bukan yang sama asal bangsa,
penduduk bukan asli - pendatang, warna kulit yang berlainan, bahasa yang beda, diskriminasi karena status dan tingkat sosial serta agama), mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada
taqwa (kebaikan, keadilan dan kejujuran). Dan bertaqwalah (turut perintah dan menghindari larang-Nya) kepada Allah (yang menciptakan kamu dan segala apa yang
terdapat di alam semesta), sungguh, Allah Mahateliti (mengetahui dan mengawasi)
apa yang kamu kerjakan”. (QS 5:8)
Harta dari hasil
perputaran roda ekonomi (untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia), tidak hanya terbatas dinikmati di kalangan konglomerat
penggerak usaha besar, dan golongan usaha menengah penggerak usaha menengah dan
usaha-usaha ekonomi yang lain, tapi juga dapat dinikmati pula masyarakat pekerja
dengan anggota keluarganya yang diambil
dari hasil (sistim) pemungutan pajak (zakat) usaha dan pajak (zakat) pendapatan
pribadi dan hasil sumbangan (charity,
infaq dan sadaqah) lainnya dari orang kaya (berlebih dari kecukupannya), sebagaimana
firman-Nya menyebutkan:
“Agar harta (asset) itu
jangan beredar (dinikmati) di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, [QS
59:7] (maka dilakukan pemungutan pajak (zakat) usaha dan pajak (zakat) pendapatan pribadi serta hasil
dari pemberian sukarela charity, infaq
dan sadaqah). “dan orang-orang yang dalam harta tersedia bagian tertentu” (bagi
atau haq yang mempunyai penghasillan tapi
tidak ada atau kurang dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya) [QS 70:24].
Ajaran Islam itu membangunkan
dan membuat kesadaran mental-spiritual bersosial masyarakat bisa hidup, karena
menjadi tanggung jawab sosial masing-masing dari anggota komunal, negara, serta antar negara. Tak satu pun ajaran Islam, baik prinsipnya
maupun prakteknya yang terlepas dari dimensi hidup sosial kemasyarakatan.
Ajaran Islam mencakup hablum-minallah,
yaitu hubungan manusia (secara individual) dengan Tuhan
yang menciptakannya. Dan hablum minannas,
yaitu hubungan manusia sesama manusia dalam dimensi sosial - komunal, juga hubungan dengan Tuhannya dalam komunal dalam kepatuhan hukum (mengikuti perintah-Nya dan tidak melakukan larangan-Nya, sebagaimana
firman-Nya menyebutkan:
“Mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, karena sebagai manusia tidak menyuruh dan
melakukan yang “ma’ruf” - kebaikan atau dalam pengertian modernnya “agent of
development”, malah sebaliknya melakukan munkar, tidak mencegah kemungkaran - keburukan dan merubah atau mengganti
menjadi lebih baik atau dalam pengertian modernnya sebagai “agent of change” [QS
3:110]. Karena perbuatan tanpa “agent of development” dan “agent of change”
akan berbahaya bagi masyarakat yang lainnya - merusak tatanan sosial yang semestinya
berinteraksi secara sehat, yang landasan pijaknya adalah hubungan damai dan
harmonis, memberi dan menerima serta memberi sesama, [QS 3:111]; Kecuali mereka
berpegang pada tali (ajaran perintah dan larangan dan melaksanakan agama -
beribadah kepada-Nya sebagai hamba-Nya) Allah, dan tali (perjanjian untuk
berlaku adil dan dalam melakukan prinsip hubungan baik) dengan manusia [QS
3:112].
Dengan itu ajaran Islam ini sebenarnya
membawa rahmat, keberkahan, ketenangan, kesejukan, keamanan, keselamatan,
kedamaian kepada semua manusia. Islam itu sendiri berarti selamat, sentosa,
aman, damai, sebagaimana firman-Nya menyebutkan:
Dan tiada Kami
mengutus kamu (Rasul saw dan umatnya
sebagai pewaris ajaran Allah yang dicontohkan oleh sunnah Rasul-Nya), melainkan
untuk (menjadi) rahmat seluruh alam (manusia dan lingkungan hidupnya) [QS
21:107].
Diperlukan
upaya-upaya untuk membumikan, mensosialisasikan ajaran Islam itu. Janji-janji
Allah di dunia ini berkaitan dengan komunitas (berdimensi sosial), dan bukan
hanya individu (berdimensi personal). Wajah sosial ajaran Islam berpangkal pada
keyakinan bahwa selain Allah, bukanlah Tuhan. Dengan terwujudnya ketaqwaan
komunal, “taqwa sosial”, insya-Allah akan turun keselamatan, keberkahan dan
kasih sayang Allah serta dipimpin oleh pemimpin yang dicintai dan mencintai
rakyat, sebagaimana firman-Nya mengatakan:
Dan sekiranya
penduduk negeri beriman (percaya kepadanya dan melakukan ibadah mahdhah) dan bertaqwa (melakukan ajaran-islam-Nya yaitu
sebagai penganjur dan pelaku “agent of development” dan “agent of change”),
pasti Kami (Allah Yang Maha Kuasa) akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
“Langit” dan dari “Bumi”. [QS 7:96]
Dan sekiranya Ahli
Kitab (kitab asli) itu beriman dan bertaqwa; niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahan mereka dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga
yang penuh kenikmatan. [QS 5:65]
Sehubungan firman
Allah swt pada Kitab Suci al-Qur’an
surat Al-Mā’idah ke-5 ayat 65 tersebut diatas, dalam buku tafsir Al-Azhar Buya Hamka
mengulas dalam bahasanya sebagai berikut: “Dan sekiranya Ahlul Kitab itu
beriman dan bertaqwa, niscaya Kami hapuskan dari mereka kesalahan-kesalahan mereka”, (pangkal ayat
65)
Sekiranya mereka beriman, yaitu kembali
percaya bahwasanya agama Allah itu satu, al-Qur’an adalah lanjutan daripada
Taurat dan Injil. Muhammad adalah utusan terakhir setelah Musa dan Isa Almasih.
Lalu mereka bertaqwa, yaitu kembali kepada segala perintah yang diturunkan
Allah, memperbaiki budipekerti (hubungan sesama umat beragama dari agama
berasal dari satu yang dibawa Ibrahim - tambahan dari penulis), niscaya
kesalahan mereka selama ini (dalam “memerangi” Islam dan umatnya - tambahan
dari penulis)” diampuni oleh Allah.
“Dan
niscaya Kami masukkanlah mereka ke dalam surga-surga kenikmatan”, (ujung ayat
65). Ayat ini adalah ajakan kepada mereka supaya kembali saja kepada jalan yang
benar dan menghilangkan fanatic golongan, lalu menerima kebenaran, supaya
tercapailah damai dalam bumi ini. Al-Qur’an tidak pernah memaksa, hanya menunjukkan
jalan, dan menerangkan bahaya jika jalan itu tidak dituruti, [QS 2:256,18:29]. Seruan
pertama ialah mari beriman semua, mari jadi Islam. Kalau belum mau, tidak
mengapa. Tetapi kalau hendak tetap memegang Taurat dan Injil juga, peganglah
kedua kitab itu benar-benar. Kalau dipegang benar-benar, tidak dicampur
oleh-angkara murka nafsu, niscaya kekacauan dalam alam pasti dapat dikurangi.
[Tafsir Al-Azhar, juz 6 hal. 309 dan
Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam?]
Sehubungan
tafsir buya Hamka surat Al-Mā’idah ke-5 ayat 65, klik tajuk: Baca juga tafsir al-Baqarahayat 62 ini.
Demikianlah maksud dari
pemaparan Paradigma dan
Integritas Sosial Kemasyarakatan dalam ajaran Islam ini, dimana manusia
khususnya manusia khalifah memegang peranan dalam memakmurkan bumi [QS
11:61, “Dia telah menciptakanmu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya”]
tempat tinggal manusia di dunia yang fana ini. Maksud dari “dunia fana”
adalah alam tempat tinggal manusia yang masih hidup, yang tidak kekal (dapat
rusak, mati, dan sebagainya) sebagai jembatan menuju hari akhirat (surga). [QS 51:56, “Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”]. Beribadah adalah
beriman dan menyembah-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya agar selamat hidup di Dunia dan selamat hidup di Akhirat dengan
mendapat Surga Adn. Bersambung ke: Konsep Persatuan
Kehidupan dalam Islam 5. Allahu ‘alam bish-shawab. □ AFM
Saksikan video youtube dalam tayangan kooperasi YANG BESAR
KUAT ≈ YANG KECIL LEMAH, hubungannya begitu harmonis. Dua kelompok khewan yang
berbeda dalam ukuran fisik maupun jenis golongan kooperasinya begitu indahnya. Yang
Kuat Besar membantu Yang Lemah Kecil. Khewan saja bisa, bagaimana dengan sesama
manusia? Untuk menyaksikannya klik: BESAR KUAT ≈ KECIL LEMAH
Catatan Kaki:
[1] Paradigma:
Kata
paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata
serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu “paradigma” yang berarti suatu model atau pola. Paradigma juga
disebut model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir.
Paradigma dalam
disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya
yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan
bertingkah laku (konotatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi,
konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam
sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
[2] ●Moral: 1). (Ajaran tentang) Baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak;
budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan
mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; 2). Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap dalam perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya
tempur yang tinggi; 3). Ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita; Bermoral: 1). Mempunyai
pertimbangan baik buruk; berakhlak baik: mana ada penjahat yang bermoral;
2). Sesuai dengan moral (adat
sopan santun dan sebagainya): ia melakukan perbuatan yang tidak bermoral.
●Akhlak:
budi pekerti; peri laku; kelakuan.
●Integritas:
mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan; kejujuran; Integritas Islam: Wujud keutuhan prinsip
moral dan etika Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bernegara dan
berantarnegara.
Sumber:
●Terjemahan
ayat-ayat berpedoman kepada Terjemahan Tafsir Per Kata AlFatih, Pustaka
AlFatih. □□□