Vatikan mengatakan Sistim Keuangan Islami dapat membantu
Bank-Bank
Barat yang
dalam keadaan Krisis. “Prinsip-prinsip etika yang didasarkan pada sistim keuangan Islam dapat membawa bank lebih dekat kepada nasabah
mereka dan sungguh semangat ‘sistim keuangan
Islam’ ini seharusnya
menjadi
contoh bagi setiap layanan keuangan,” (Sumber: Suratkabar
resmi Vatikan Osservatore Romano).
Keterkaitan
Ekonomi dan Politik
S
|
ebelum membahas pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun
tentang ekonomi, perlu dibentangkan di sini pemikiran Ibnu Khaldun tentang
keterkaiatan ekonomi dengan politik (negara) dan aspek-aspek lainnya. Pemikiran
Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam gambaran skema variabel-variabel
penentu seperti G, S, W, N, D, J sebagai aspek-aspek keterkaitan ekonomi dan
politik seperti bawah ini:
Variabel-Variabel Penentu:
• G =
Government (Pemerintah, Penguasa) = الملك
• S =
Syari’ah = الشريعة
• W
= Wealth (Kekayaan/Ekonomi) = الأموال
• N =
Nation (Masyarakat/Rakyat) = الرجال
• D =
Development (Pembangunan) = عمارة
• J =
Justice (Keadilan) = العدل
Catatan: f = Faktor, penentunya
Gambar hubungan-hubungan tersebut dibaca sebagai
berikut:
1. Pemerintah/Penguasa
(G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syari’ah (S)
2. Syari’ah
(S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh Pemerintah/Penguasa (G)
3. Pemerintah/Penguasa
(G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh Masyarakat/Rakyat (N)
4. Pemerintah/Penguasa
(G) yang kokoh tidak terwujud tanpa Kekayaan/Ekonomi (W) yang tangguh
5. Masyarakat/Rakyat
(N) tidak dapat terwujud kecuali dengan Ekonomi/Kekayaan (W)
6. Kekayaan
(W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan Pembangunan (D)
7.
Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan Keadilan (J)
8. Pemerintah/Penguasa
(G) bertanggung jawab mewujudkan Keadilan (J)
9. Keadilan
(J) merupakan mizan (timbangan dalam
mengukur baik tidaknya pekerjaan yang dilakukan oleh manusia) yang akan
dievaluasi oleh Allah
Formulasi Ibnu Khaldun menunjukkan gabungan dan
hubungan variabel-variabel yang menjadi prasyarat mewujudkan sebuah Pemerintahan
(G). Variabel tersebut adalah Syari’ah (S), Masyarakat/Rakyat (N), Kekayaan/Ekonomi
(W), Pembangunan (D) dan Keadilan (J)
Semua variabel tersebut bekerja dalam sebuah
lingkaran yang dinamis saling tergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing
variabel tersebut menjadi faktor (f) yang menentukan kemajuan suatu peradaban
atau kemunduran dan keruntuhannya.
Keunikan konsep Ibnu Khaldun ini adalah tidak
ada asumsi yang dianggap tetap (cateris paribus)
sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi konvensional saat ini. Karena
memang tidak ada variabel yang tetap (konstan). Satu variabel bisa menjadi
pemicu, sedangkan variabel yang lain dapat bereaksi ataupun tidak
dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu variabel tidak secara otomotis
menyebar dan menimbulkan dampak mundur, tetapi bisa diperbaiki. Bila
variabel yang rusak ini bisa diperbaiki, maka arah bisa berubah menuju kemajuan
kembali.
Sebaliknya, jika tidak bisa diperbaiki, maka
arah perputaran lingkaran menjadi melawan jarum jam, yaitu menuju kemunduran. Namun
bila variabel lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka
kegagalan itu akan membutuhkan waktu lama untuk diidentifikasi penyebab dan
akibatnya.
Variabel
Pembangunan (D) dan Keadilan (J) perlu mendapat perhatian, sebagaimana
variabel-variabel lain. Pembangunan (D) merupakan unsur penting dalam
masyarakat (N), tanpa pembangunan masyarakat (D+N) tidak akan maju dan
berkembang (W). Namun, pembangunan (D) tidak akan berarti tanpa keadilan
(J). Oleh karena itu, perlu konsep distributive justice untuk mewujudkan
keadilan pembangunan (J+D)tersebut.
Bila
masing-masing variabel itu digabung, relasi fungsional terwujud dalam formula
G= f (S,N,W,D,J). Atau G adalah fungsi dari variabel (S,N,W,D,J). G ditempatkan
sebagai variabel dependent, karena G dalam hal ini adalah kelangsungan
peradaban, kejayaan atau kemunduran/keruntuhan, dipengaruhi oleh lima variabel
tersebut. Secara sederhana bisa dibaca bahwa Penguasa/Pemerintah (G) bertugas
dan bertangung jawab menerapkan syari’ah, sebab tanpa syari’ah, masyarakat akan
kacau, negara akan runtuh. Negara juga harus menjamin hak-hak masyarakat dan
bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan masyarakat (N) agar masyarakat
sejahtera-makmur (W), melalui pembangunan yang adil. Bila variabel-variabel
itu tidak dipenuhi, maka kekuasaan tingal menunggu waktu runtuhnya.
M.
Umer Chapra merumuskan pemikiran Ibnu Khaldun dengan gambar lingkaran, sebut
saja lingkaran keadilan.
Negara hanya satu komponen dari beberapa
komponen yang ada
maka upaya penegakan Islam dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin di zaman dan wilayah tertentu. Ekonomi yang dilambangkan dengan W juga merupakan salah satu komponen dalam entitas lingkaran di atas, yang dapat diuraigambarkan sebagai berikut:
maka upaya penegakan Islam dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin di zaman dan wilayah tertentu. Ekonomi yang dilambangkan dengan W juga merupakan salah satu komponen dalam entitas lingkaran di atas, yang dapat diuraigambarkan sebagai berikut:
• Kita bisa memulainya dari gerakan
pemahaman ekonomi syari’ah (S), pengembangan kajian, sosialisasi dan
mempraktekkanya dalam kehidupan ekonomi masyarakat (N). Upaya ini pada
gilirannya akan meningkatkan kemakmuran-kesejahteraan masyarakat (W-->N).
Masyarakat yang makmur jelas akan membayar zakat, infaq, sedeqah dan waqaf
sebagai upaya mewujudkan keadilan ekonomi (justice)
(N+W-->J,W).
• Ketika masyarakat Islam telah makmur,
kaya dan sejahtera (N+W), maka mereka bisa membangun (development, D) infra struktur seperti lembaga pendidikan, dan
pusat-pusat pelatihan, sarana ibadah, hotel syari’ah, gedung trade centre, sarana industri, jalan dan
jembatan ke sektor produksi, dsb. Semua pembangunan ini hendaklah ditujukan
untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (justice)
kesejahteraan masyakat (D-->J,W,N).
• Ketika ekonomi (W) kuat, maka negara/politik (G)
pun bisa kuat/dikuasai.
Skema-Gambar di atas juga menunjukkan Siklus
kemunduran negara atau al-Mulk (G). Jika proses kemunduran negara menuju
keruntuhan terjadi, maka arahnya adalah melawan arah jarum jam, sebagai berikut:
• Pembangunan
(D) yang tidak adil (-J) mengakibatkan kesejahteraan (-W+N) rakyat yang sejati
tidak terwujud, selanjutnya masyarakat (-N) lemah tidak (eksis), masyarakat (-N)
akan kacau, yang mempengaruhi dan mengganggu pemahaman dan implementasi
syari’ah (-S). Ketika syari’ah (-S) telah roboh, maka G (daulah/al-mulk) pun
runtuh (-G).
Adapun siklus kemajuan prosesnya adalah berputar
seperti arah jarum jam, sebagai berikut:
• Tanamkan
kesadaran syari’ah (S), kemudian
• Kembangkan
masyarakat (N) sehingga tercipta masyarakat yang faham syari’ah (N,S)
• Tingkatkan
kekayaan mereka (W,N)
• Laksanakan
pembangunan yang adil (D,J)
• Barulah
Tegak pemerintahan yang baik/kuat (G=S,W,N,D,J)
Maka jangan menegakkan negara di mana pemahaman
syari’ah belum mantap dan ekonomi ummat belum kuat. - Dengan kata lain untuk
menegakkan negara yang baik/kuat, mesti memantapkan atau dijaga pemahahaman
syari’ah mantap dan ekonomi umat dibuat menjadi kuat.
Gerakan
ekonomi syari’ah yang sedang berlangsung sekarang ini, sangat kondusif dan
signifikan untuk membangun (D,G). Pemahaman syari’ah (S) dan implementasi
pembangunan ekonomi ummat (D,W,N) akan mewujudkan masyarakat sejahtrera yang
makmur berdasarkan syari’ah (N,W,S). Apabila umat telah makmur (N,W), mereka
dapat melaksanakan pembangunan secara lebih adil (J). Bila gerakan
ekonomi syari’ah (W,S) ini, baik secara akademis maupun praktek
berjalan sukses (progress), maka
akan bermuara pada penguasaan negara (G= S,W,N,D,J).
Umar Chapra menyatakan bahwa ummat Islam
sebenarnya mampu menyajikan semua variabel dalam lingkaran keadilan menjadi
kekuatan besar. Tapi sayangnya variabel-variabel itu tidak digerakkan
oleh pemerintah (daulah). Pemerintah (G) mulai melupakan
kewajiban-kewajiban dan tanggungjawabnya. Pemerintah gagal mengimplementsikan
syari’ah (S) sebagai pedoman dan rujukan ketaatan. Mereka juga lalai dalam
menjamin keadilan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan rakyat (N).
Dampaknya pembangunan dan kemakmuran mengalami kemunduran. Inilah yang menjadi
pangkal terjadi kemunduran peradaban Islam.
Pembagian Kerja (Division of Labour).
D
|
alam kedudukannya sebagai individu, manusia
diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan bantuan orang lain (ta’awun).
Manusia bisa menjadi kuat apabila melebur diri dalam masyarakat. Kesadaran
tentang kelemahan tersebut mendorong manusia untuk bekerjasama dengan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kesanggupan seseorang untuk
mendapatkan makanannya sendiri, tidak cukup baginya untuk mempertahankan
hidupnya, karena kebutuhannya bukan sekedar makanan. Bahkan untuk mendapatkan
sedikit makanan pun, misalnya kebutuhan gandum untuk makan satu hari saja,
manusia membutuhkan orang lain. Pembuatan gandum, jelas membutuhkan berbagai
pekerjaan (menggiling, mengaduk dan memasak). Tiap-tiap pekerjaan tersebut
membutuhkan alat-alat yang mengharuskan adanya tukang kayu, tukang besi, tukang
membuat periuk dan tukang-tukang lainnya. Andaikan pun misalnya, ia bisa makan
gandum dengan tidak usah digiling lebih dahulu, ia tetap membutuhkan pekerjaan
orang lain, sebab ia baru bisa mendapatkan gandum yang belum digiling itu setelah
dilakukan berbagai pekerjaan, seperti menanam, menuai dan memisahkan gandum itu
dari tangkainya. Bukankah semua proses ini membutuhkan banyak alat dan
pekerjaan. [42]
Jadi,
mustahil bagi seseorang untuk melakukan semua atau sebagian
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena itu merupakan keharusan baginya untuk
mensinergikan (ta’awun) pekerjaannya dengan pekerjaan orang lain.
Manusia membutuhkan kerjasama ekonomi. Dengan kerja sama dan tolong-menolong
dapat dihasilkan bahan makanan yang cukup untuk waktu yang lebih panjang dan
jumlah yang lebih banyak. [43] Untuk itu diperlukan adanya pembagaian kerja (division
of labour) antara individu
dalam masyarakat, karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri,
pasti tergantung pada orang lain (ta’awun,
bekerja secara team work).
Menurut
Ibn Khaldun, sebagaimana yang ia kemukakan pada bab kelima al-Muqaddimah, ada
tiga kategori utama dalam kerja: pertanian, perdagangan dan berbagai kegiatan
lainnya.
Sarana produksi yang paling sederhana adalah
pertanian. Pekerjaan ini, menurut Ibn Khaldun, tidak memerlukan ilmu dan ia
merupakan “penghidupan orang-orang yang tidak punya dan orang-orang desa”. Oleh
karena itu pekerjaan ini jarang dilakukan oleh orang-orang kota dan orang-orang
kaya. [44] Di sini kelihatan Ibn Khaldun meletakkan pertanian pada peringkat
pekerjaan yang sedikit lebih rendah daripada pekerjaan profesi orang-orang
kota.
Penilaian Ibnu Khaldun ini setidaknya disebabkan
tiga alasan. Pertama, tidak memerlukan ilmu yang luas dan dalam, sebab siapa
saja bisa menjadi petani tanpa harus sekolah pertanian. Analisa ini
dikemukakannya karena pada saat itu kondisi masyarakat masih sederhana dan
belum ada fakultas pertanian seperti sekarang. Kedua, bila ditinjau dari
segi besarnya penghasilan, para petani umumnya berpenghasilan rendah dibanding
orang-orang kota. Ketiga, para petani diwajibkan
membayar pajak. Menurut Ibn Khaldun orang-orang yang membayar pajak adalah
orang-orang yang lemah, sebab orang-orang yang kuat tidak mau membayar pajak.
[45] Alasan ketiga ini juga sifatnya kondisional yang berbeda dengan kondisi
modern sekarang ini.
Perdagangan
S
|
elanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa para
petani menghasilkan hasil pertanian lebih banyak dari yang mereka butuhkan.
Karena itu mereka menukarkan kelebihan produksi mereka dengan
produk-produk lain yang mereka perlukan. Dari sinilah timbul perdagangan (tijarah).
Jadi, pekerjaan perdagangan ini secara kronologis timbul setelah adanya
produksi pertanian Seperti telah dikemukan, perdagangan adalah upaya memproduktifkan
modal yaitu dengan membeli barang-barang dan berusaha menjualnya dengan harga
yang lebih tinggi. Ini dijalankan, baik dengan menunggu meningkatnya harga
pasar atau dengan membawa (menjual) barang-barang itu ke tempat yang lebih
membutuhkan, sehingga akan didapat harga yang lebih tinggi, atau kemungkinan
lain dengan menjual barang-barang itu atas dasar kredit jangka panjang.
Selanjutnya
Ibnu Khaldun, mengatakan bahwa: “Laba perdangangan yang diperoleh
pedagang akan kecil bila modalnya kecil. Tetapi bilamana kapital besar
maka laba tipis pun akan merupakan keuntungan yang besar”. [46] Perdagangan
menurutnya adalah “pembelian dengan harga murah dan penjualan dengan
harga mahal”. [47] Pekerjaan pedagang ini, menurut Ibn Khaldun, memerlukan perilaku
tertentu bagi pelakunya, seperti keramahan dan pembujukan. Namun, “para
pedagang sering kali melakukan kebiasaan mengelak dari jawaban yang sebenarnya
(dusta), dan pertengkaran”, karena itu para pedagang selalu mengadukan
persoalan sengketa perdagangan kepada hakim. [48]
Ibnu
Khaldun juga mengkritik para pejabat dan penguasa yang melakukan perdagangan.
[49] Hal ini agaknya dimaksudkan Ibnu Khaldun agar para penguasa bisa berlaku
fair terhadap para pedagang. Point ini menjadi penting diterapkan pada masa
kini, agar tidak terjadi monopoli proyek oleh “penguasa yang pengusaha”.
Perindustrian
P
|
erindustrian, menduduki peringkat budaya yang
tinggi dan lebih kompleks ketimbang pertanian dan perdagangan.
Perindustrian umumnya terdapat pada kawasan-kawasan perkotaan di mana
penduduknya lebih mencapai peringkat kebudaan yang lebih maju. “Di kota-kota
kecil jarang terdapat industri-industri kecuali industri yang sederhana.
Apabila peradaban (civilization) semakin meningkat dan kemewahan semakin
meluas, maka industri benar-benar akan tumbuh dan berkembang dengan nyata”.
[50]
Jadi, setiap kali peradaban semakin meningkat
maka semakin berkembanglah industri, karena antara keduanya terjalin hubungan
yang erat. Industri-industri yang kompleks dan beraneka ragam itu
membutuhkan banyak pengetahuan, skills, latihan dan pengalaman. Oleh karena itu
individu-individu yang bergerak di bidang ini harus memiliki spesialisasi.
Menurut Ibn Khaldun kegiatan perindustrian ini membutuhkan bakat praktis dan
ilmu pengetahuan”. [51]
Ibn
Khaldun mengklasifikasikan industri menjadi dua, pertama, industri yang memenuhi kebutuhan manusia,
baik yang primer maupun yang skunder, dan kedua industri yang khusus bergerak di bidang ide/pemikiran,
seperti “penulisan naskah buku-buku, penjilidan buku, profesi sebagai penyanyi,
penyusunan puisi, pengajaran ilmu, dan lain-lain sebagainya”. [52] Ibn Khaldun
juga memasukkan profesi tentara dalam klasifikasi yang terakhir ini.
Spesialisasi
di bidang industri tidak hanya bergerak secara individual, tapi juga bercorak
regional atau dengan kata lain ada kawasan tertentu yang memiliki keahlian
dalam suatu bidang industri sementara kawasana lainnya memiliki keahlian
dalam industri lainnya sesuai dengan kesiapan masing-masing kawasan.
Pembagian
kerja di atas berdasarkan pembagian masyarakat menjadi dua, yakni masyarakat
desa dan masyarakat kota. Masyarakat desa bergerak di bidang pertanian dan
pemeliharaan hewan. Sedangkan masyarakat kota bergerak di bidang perdagangan
dan perindustrian. Sebagian para penulis secara keliru, memandang
pengkatagorian masyarakat desa hanya didasarkan pada penggembalaan hewan saja.
Ini terjadi karena kekeliruan memahami kata “ra’yu”, yang menurut mereka
berarti pemgembalaan hewan.
Di antara yang berpendapat yang demikian itu
ialah Gaston Bouthoul dalam karya Ibn Kaldoun, Sa Philosophie Sociale, [53] dan Hanna al-Fakhuri dan
Khalil al-Jarr dalam karyanya Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. Hanna
al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr berpendapat bahwa Ibn Khaldun mengklasifikasikan
bangsa-bangsa berdasarkan pola produksinya menjadi tiga kategori: para
pengembala yang tersebar di tanah-tanah dataran rendah dan pegunungan, kaum
baduwi dan nomaden, dan penduduk kota. [54] Kekeliruan dalam memahami makna
kata “ru’ya”, tersebut timbul karena kata itu dipahami dalam maknanya
pada masa kita ini. Padahal kata itu bagi Ibn Khaldun memiliki makna yang lain,
yakni orang-orang yang tinggal di luar kota, terlepas mereka itu pengembala
yang nomaden atau petani yang menetap. Kata Ibn Khaldun: “Pendapat kita bahwa
kehidupan desa mendahului dan menjadi asal kehidupan kota, dikuatkan dengan
kenyataan bahwa penyelidikan tentang nenek moyang penduduk kota mana saja akan
memberikan bukti bahwa sebahagian besar mereka berasal dari desa yang bedekatan
dengan kota tempat nenek moyang mereka itu. Mereka datang sewaktu mereka sudah
dapat memperbaiki kehidupannya dan beralih kepada kehidupan yang penuh
kesengajaan dan kemewahan yang ada di kota. Ini menunjukkan bahwa masyarakat
desa lebih dulu terwujud ketimbang masyarakat kota”. [55] Sementara pada tempat
lain ia mengatakan: “Dan untuk mencukupi kebutuhannya para petani dan peternak
hewan, terpaksa pergi ke teempat-tempat lain yang masih terbuka luas, yang
tidak terdapat di kota-kota, untuk persawahan, pengembalaan, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan orang kota ialah
orang-orang yang tinggal di kota-kota. Di antara mereka ada yang memperoleh
penghidupannya dari industri dan perdagangan. Penghasilan mereka lebih besar
daripada penghasil kelompok yang bekerja dalam bidang pertanian dan peternakan
hewan yang tinggal di desa”. [56]
Pendapat
Ibn Khaldun tersebut di atas hampir sejalan dengan pendapat Marx yang
dikemukakannya dalam karyanya The German Ideology. Kata Marx:
“Pembagaian kerja dalam suatu bangsa pertama-tama akan membuat terpisahnya
kerja industrial dan perdagangan dari kerja pertanian, dan juga membuat
terpisahnya desa dari kota”. [57] Kesamaan itu juga terdapat dalam teks lain
dalam karya Marx itu. [58]
Memang kadang-kadang ada persamaan antara Ibn
Khladun dan Marx, khususnya dalam hal yang berkenaan dengan fase
pengorganisasian negara. Para penguasa terpaksa pindah ke kota dan harus
mengolah administrasinya, antara lain dengan membentuk badan kepolisan dan
memberlakukan pajak. Kesamaan pendapat itu juga terdapat dalam hal yang
berkenaan dengan kehidupan di kota, yang penuh kemewahan dan orang-orang yang
tenggelam dalam kelezatan hidup.
Ibn
Khaldun, dalam mengkaji perkembangan berbagai masyarakat, menekankan pentingnya
pembagian kerja dalam masyarakat tersebut. Ia mengurutkan bangsa-bangsa dan
sistem-sistem yang ia kaji sesuai dengan pola produksi ekonomisnya. Roger
Garaudy, dalam salah satu makalahnya tentang Ibn Khaldun, mengatakan bahwa Ibn
Khaldun selalu mempergunakan kategori-kategori agama, ras, periode dan geografi
dalam membandingkan antara masyarakat desa dan masyarakat kota, seakan-akan Ibn
Khaldun mendapatkan adanya pertentangan antar kelas di antara kedua masyarakat
itu. [59]
Menurut Ibn Khaldun, fase ekonomi yang pertama
dalam kehidupan suatu bangsa ialah fase kehidupan masyarakat desa, yakni fase
yang merupakan cikal bakal kebudayaan. “Masyarakat desa lebih dahulu daripada
masyarakat kota, dan pedesaan adalah asal kebudayaan dan kota adalah
perluasannya”. [60]
Masyarakat desa hidup dalam keadaan sederhana,
bersahaja, dan sistem ekonominya juga sangat sederhana, karena penduduknya
bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Akibatnya pembagaian kerja
di kalangan mereka sedikit sekali. Tetapi Keinginan-keinginan mereka akan meningkat,
bila mana mereka menjadi penduduk kota, di mana kemewahan telah mempengaruhi
pola kehidupan dan kebiasaan mereka. Kebutuhan mereka menjadi bertambah dan
pembagaian kerja di antara mereka menjadi lebih tegas.
Para
ilmuwan ada yang mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tentang
pembagian kerja merupakan pemikiran yang biasa. Muhammad Shalih, misalnya
mengatakan bahwa pada dasarnya pembagian kerja merupakan suatu fenomena ekonomi
umum yang ada pada setiap ruang dan waktu. Pembagian kerja adalah suatu
fenomena historis dalam masyarakat, karena setiap individu dalam memenuhi
kebutuhannya pasti membutuhkan hasil kerja orang lain. [61]
Dalam
kenyataannya Ibn Khaldun hanya memperbincangkan pembagian kerja dalam
masyarakat desa dan masyarakat kota. Kedua masyarakat ini memang memiliki
suatu peringkat tertentu dalam kebudayaan, semua orang tahu akan hal itu.
Juga merupakan pemikiran yang biasa, pendapat Ibn Khaldun yang
menyatakan bahwa industri menimbulkan dampak adanya fenomena pembagian kerja.
Dengan demikian Ibn Khaldun tidak melupakan hubungan yang ada antara peringkat
kebudayaan dan pembagian kerja. Adanya kaitan antara industri dan pembagian
kerja sendiri juga diakui Marx, antara lain seperti yang dikemukakan dalam
karyanya Misere de la Philosophie. Tidak ada yang luar biasa dalam
pemikiran Ibnu Khaldun, karena pemikirannya banyak memiliki kesamaan dengan
pemikiran-pemikiran ilmuwan sesudahnya. [62]
Di sini Muhammad Mushlih keliru. Justru, di
situlah terletak kehebatan Ibnu Khaldun, karena ia telah merumuskan pemikiran division
of labour beberapa abad sebelum pemikir Barat, seperti Karl Marx
merumuskannya.
Lebih jauh lagi Muhammad Shalih mengkritik sikap
Ibn Khaldun yang tidak menaruh perhatian terhadap dampak-dampak yang timbul
akibat adanya pembagian kerja, seperti timbulnya kelas-kelas sosial. Ibnu
Khaldun juga, katanya tidak menaruh perhatian terhadap sumber-sumber pembagian
kerja. Dalam menjawab kritik ini Muhammad ‘Ali Nasy’at, dalam karyanya al-Fikr
al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibn Khaldun, menyatakan bahwa pembagian kerja
yang diperbincangkan Ibn Khaldun adalah pembagian kerja sebelum revolusi
industri. Pada masa itu pembagian kerja belum lagi mempunyai dampak luas
seperti halnya yang terjadi pada produksi yang besar. [63] Dari sini perlu ditambahkan
bahwa dalam menilai seorang ilmuwan, seperti Ibn Khaldun, tidak bisa dilakukan
dengan ukurun-ukuran modern, zaman industri dan kemajuannya yang luar biasa.
Demikian juga, hendaknya kita tidak menuntutnya memliki pendapat-pendapat yang
belum berkembang pada masanya. Dalam menilai pemikiran seorang tokoh, pendapat
Arnold Toynbee perlu diperhatikan. Dalam karyanya A Study of History, ia
menyatakan bahwa pengkajian terhadap seorang pemikir, tidak bisa dilepaskan
dari konteks zamannya. [64] Seorang tokoh adalah anak dari zamannya.
Teori harga dan Hukum Supply and Demand
I
|
bnu Khaldun ternyata telah merumuskan teori
harga jauh sebelum ekonom Barat modern merumsukannya. Sebagaimana disebut di
awal Ibnu Khaldun telah mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Malthus.
Inilah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Ibnu Khaldun, dalam bukunya Al-Muqaddimah
menulis secara khusus satu bab, bab yang berjudul “Harga-harga di Kota”. Menurutnya
bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, rakyatnya semakin
makmur, maka permintaan (demand)
terhadap barang-barang semakin meningkat, akibatnya harga menjadi naik. Dalam
hal ini Ibnu Khaldun menulis:
“Sesungguhnya apabila
sebuah kota telah makmur dan berkembang serta penuh dengan kemewahan, maka di
situ akan timbul permintaan (demand)
yang besar terhadap barang-barang. Tiap orang membeli barang-barang mewah itu
menurut kesanggupannya. Maka barang-barang menjadi kurang. Jumlah pembeli
meningkat, sementara persediaan menjadi sedikit. Sedangkan orang kaya berani
membayar dengan harga tinggi untuk barang itu, sebab kebutuhan mereka makin
besar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya harga sebagaimana anda lihat”.
Franz Rosenthal yang menerjemahkan buku
Muqadddimah Ibnu Khaldun menjadi The Muqaddimah: An Introduction to History,
menerjemahkan kalimat di atas sebagai berikut:
When a city has a highly
developed, abundant civilization and is full of luxuries, there is a very large
demand for those conviniences and for having as many of them as a person
can expect in view of his situation. This results in a very great
shortage of such things. Many will bit for them, but they will be in
short supply. They will be needed for many purposes and prosperous people used
to luxuries will pay exorbitant prices for them, because they needed
them more than others. Thus, as one can see, prices some to be high.
Di sini Ibnu Khaldun telah menganalisa
secara empiris tentang teori supply and demand dalam masyarakat. Dalam kalimat
di atas Ibnu Khaldun secara ekspilisit memformulasikan tentang
hukum supply dan kaitannya dengan harga. Menurutnya apabila sebuah kota
berkembang pesat, mengalami kemajuan dan penduduknya padat, maka
persediaan bahan makanan pokok melimpah. Hal ini dapat diartikan penawaran
meningkat yang berakibat pada murahnya harga barang pokok tersebut. Inilah
makna tulisan Ibnu Khaldun:
“Apabila
sebuah kota berkembang pesat, penduduknya padat, maka harga-harga kebutuhan
pokok (berupa makanan) menjadi murah”.
Analisa supply and demand Ibnu Khaldun tersebut dalam ilmu ekonomi
modern, diteorikan sebagai terjadinya peningkatan disposable income dari
penduduk kota. Naiknya disposible income (kelebihan pendapatan)
dapat menaikkan marginal propersity to consume (kecendrungan marginal
untuk mengkonsumsi) terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota
tersebut. Hal ini menciptakan demand baru atau peningkatan permintaan terhadap
barang-barang mewah. Akibatnya harga barang-barang mewah akan meningkat
pula. Adanya kecendrungan tersebut karena terjadi disposable income penduduk seiring
dengan berkembangnya kota.
Inilah teori supply and demand
Ibnu Khaldun. Menurutnya, supply bahan pokok di kota besar jauh lebih
besar dari pada supply bahan pokok penduduk desa (kota kecil).
Penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang berlimpah yang
melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar relatif lebih
murah. Sementara itu, supply bahan pokok di desa relatif sedikit, karena
itu orang-orang khawatir kehabisan makanan, sehingga harganya relatif
lebih mahal. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis dalam Al-Muqaddimah:
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya semua pasar menyediakan kebutuhan manusia, di antaranya
kebutuhan dharuriy (primier), yaitu
makanan pokok seperti gandum dan segala jenis makanan pokok lainnya seperti
sayur buncis, bawang merah, bawang putih dan sejenisnya. Ada pula kebutuhan
yang bersifat hajiy (sekunder) dan kamaly (tertier) yang
merupakan kebutuhan pelengkap seperti bumbu makanan, buah-buahan, pakaian,
perabot rumah tangga, kenderaan, dan seluruh produk hasil industri. Apabila sebuah kota berkembang maju dan penduduknya padat
(banyak), maka murahlah harga barang kebutuhan dharuriy seperti makanan
pokok dan menjadi mahal harga-harga barang kebutuhan pelengkap, Apabila
penduduk suatu daerah sedikit (seperti desa) dan lemah peradabannya, maka terjadi
sebaliknya (harga menjadi mahal).
Analisa
Ibnu Khaldun tentang harga dengan menggunakan hukum kekuatan supply and
demand adalah suatu rumusan yang sangat luar biasa, karena jauh sebelum
kelahiran ekonom modern, ia secara cerdas telah merumuskannya. Dari kalimat
pertama Ibnu Khaldun di atas, jelas, bahwa pasar menurutnya
merupakan tempat yang menyediakan kebutuhan manusia, baik kebutuhan primer
maupun sekunder dan tertier. Pada kalimat selanjutnya ia mengkategorikan segala
macam biji-bijian merupakan bagian dari bahan makanan pokok. Supply
makanan pokok di kota besar berlebih dari kebutuhan penduduk kota, sehingga
harganya menjadi murah.
Yang
menarik dan penting untuk digaris bawahi adalah pernyataan Ibnu Khaldun yang diberi
warna biru di atas. Secara jelas ia menyatakan, bahwa apabila sebuah kota
berkembang maju dan penduduknya padat (banyak), maka murahlah harga barang
kebutuhan dharuriy seperti makanan pokok. Apabila penduduk suatu daerah
sedikit (seperti desa) maka harga menjadi mahal. Dasar pemikirannya
ialah bahwa di desa (kota kecil) yang sedikit penduduknya, supply
bahan makanan sedikit, karena mereka memiliki supply kerja yang sedikit dan
kecil, sehingga mereka khawatir akan kehabisan persediaan makanan pokok.
Merekapun menyimpan makanan yang mereka miliki. Persediaan itu sangat berharga
bagi mereka dan orang-orang yang membelinya haruslah membayar dengan harga yang
tinggi.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan:
“Kota-kota
kecil (desa) yang sedikit penduduknya, membutuhkan makanan yang sedikit, karena
sedikitnya pekerjaan di dalamnya. Hal ini disebabkan karena kota itu kecil, di
mana persediaan makanan pokok, kurang. Oleh karena itu mereka mengadakan (makanan)
apa adanya dan menyimpannya. Maka makanan menjadi berharga bagi
mereka, sehingga harganya naik (mahal) bagi mereka yang ingin membelinya.
Mereka juga tidak ada permintaan (demand)
terhadap barang-barang hajiyat
(sekunder), karena sedikitnya penduduk yang mampu dan lemahnya keadaan (ekonomi)
mereka. Sedikit bisnis yang bisa mereka lakukan, sehingga konsekuensinya
harga barang sekunder/tertier menjadi murah.
Foodstuffs
in small cities that have few inhabitants are few, because they have a
small (supply) of labour and because, in view of the small size of the
city, the people fear food shortages. Therefore they hold on to (the food) that
comes in to their hands and store it. It thus becomes something
precious to them and those who want to buy it have to pay higher prices. They
also have no demand for conveniences, because the inhabitants are few and
their condition is weak. Little business is done by them, and the price there,
consequently become particularly low.
Hukum supply and demand Ibnu
Khaldun di atas dapat diillustrasikan sebagai berikut:
Keterangan Gambar-Skema: Supply
bahan pokok penduduk kota besar (QS2), jauh lebih besar daripada supply
bahan pokok penduduk kota kecil QS1. Menutut Ibnu Khaldun, penduduk
kota besar memiliki supply bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga
harga bahan pokok di kota besar realtif lebih murah (P2). Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, relatif
kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya
lebih mahal (P1)
Ibnu Khaldun juga menjelaskan pengaruh
meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota
tersebut pada sisi penawaran. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
bea cukai yang dipungut atas bahan-makanan di pintu-pintu kota dan pasar-pasar
untuk raja juga para petugas pajak menarik keuntungan dari transaksi
bisnis untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh sebab itulah, maka harga di
kota-kota lebih tinggi dari di desa. [65] Di sini Ibnu Khaldun ingin
menjelaskan bahwa pajak berpengaruh terhadap harga-harga.
Selanjutnya Ibnu Khaldun juga membahas
masalah profit (ribh). Menurutnya
keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Keuntungan
yang rendah akan membuat lesu perdagangan karena para pedagang kehilangan
motivasi. Sebaliknya, jika pedagang mengambil keuntungan yang sangat tinggi,
juga akan menimbulkan kelesuan perdagangan karena permintaan konsumen melemah.
[66] Hal yang patut juga dicatat dari pemikiran Ibnu Khaldun ialah
penjelaannya yang detail dan
eksplisit tentang elemen-elemen persaingan.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati
fenomena tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa mengajukan konsep
apapun tentang kebijakan kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun dengan
Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus pada penjelasan fenomena aktual yang
terjadi, sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan untuk
menyikapi fenomena yang terjadi.
Dalam mengkaji masalah demand (permintaan), Ibnu Khaldun membahas
faktor-faktor penentu yang menaikkan dan menurunkan permintaan. Menurutnya,
setidaknya ada 5 faktor: 1). Harga, 2). Pendapatan, 3). Jumlah penduduk, 4).
kebiasaan masyarakat dan 5). Pembangunan kesejahteraan umum.
Sedangkan dalam konteks supply (penawaran), faktor-faktor
penentunya ada 6 faktor: 1). Harga, 2). Permintaan, 3). Laju
keuntungan, 4). Buruh, 5). Keamanan, 6). Tingkat kesejahteraan masyarakat.
Ibnu Khaldun merumuskan bahwa
peningkatan supply (penawaran) akan menurunkan harga. Sebaliknya,
jika terjadi penurunan penawaran (supplay)
akan menaikkan harga. Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan Umer Chapra
menyatakan bahwa harga-harga yang terlalu rendah akan merugikan pengrajin dan
pedagang, sehingga akan mendorong mereka keluar dari pasar. Sebaliknya,
harga-harga yang tinggi akan merugikan konsumen. Oleh karena itu, harga-harga
yang moderat antara kedua ekstrim tersebut merupakan titik harga
keseimbangan yang diinginkan, karena hal itu tidak saja memberikan
tingkat keuntungan yang secara sosial dapat diterima oleh pedagang, melainkan
juga akan membersihkan pasar dengan mendorong penjualan dan pada gilirannya
akan menimbulkan keuntungan dan kemakmuran besar. [67]
Di sisi lain, harga-harga yang rendah
jelas tetap diinginkan terhadap barang-barang kebutuhan pokok, karena hal ini
akan meringankan beban orang miskin yang merupakan mayoritas penduduk. Dari
pemikiran Ibnu Khaldun, terlihat bahwa ia sangat menginginkan terciptanya harga
yang stabil dengan ongkos (biaya) hidup yang relatif rendah.
Meningkatnya permintaan sangat
mempengaruhi penawaran. Kondisi ini akan menaikkan harga-harga barang. Realita
ini secara panjang lebar telah dipaparkan Ibnu Khaldun sebagaimana telah
dikemukakan di atas secara ringkas. [Bersambung ke-3]