Misteri Quotes

Quotes tagged as "misteri" Showing 1-9 of 9
Goenawan Mohamad
“Agama, sebaliknya tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri, memang ada orang agama yang seperti kaum Marxis, menyombong bahwa “segala hal sudah ada jawabnya pada kami”; tapi pernyataan itu menantang makna doa—dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa, kita tahu, kita hanya debu”
Goenawan Mohamad

Titon Rahmawan
“Kenyataan itu membuatku semakin menyadari, betapa seringkali hidup menjadi begitu sia sia hanya karena kita tak mampu lagi memaknai arti dari kehidupan itu sendiri. Mengapa bagi sebagian besar orang maut menjadi terasa begitu menakutkan? Mengapa maut begitu menggigit? Sebagaimana bunyi petikan puisi Chairil: Sepi, yang tambah ini menanti jadi mencekik, memberat mencekung punda, sampai binasa segala* (Chairil Anwar - Yang Terampas Dan Yang Putus).

Maut menjadi sangat menakutkan karena seolah dia akan menjadi batas dari apa yang fana dan apa yang abadi. Sebuah ruang di balik pintu rahasia yang tidak pernah kita ketahui. Apa yang tersembunyi di balik pintu yang penuh misteri itu? Apakah penderitaan kita akan berlanjut? Ataukah penderitaan itu akan berakhir dengan kebahagiaan? Apakah keberadaan kita selanjutnya dapat kita rasakan kembali sebagai sesuatu yang nyata atau bahkan sebaliknya menjadi semakin kabur? Sekabur khayalan dan juga mimpi. Bagaimana kita bisa mendasarkan penilaian kita pada sebuah prekognisi? Pada kondisi yang tidak kita kenal atau tidak kita ketahui. Hanya mungkin berdasar asumsi, prediksi, ramalan, nubuat, atau gambaran gambaran yang berada di luar pemahaman kemampuan inderawi kamanusiaan kita yang terbatas.”
Titon Rahmawan

Dian Hartati
“segalanya berubah, kecuali waktu
yang memiliki rahasia sendiri
misteri yang ditulis diam-diam oleh tuhan”
Dian Hartati, Upacara Bakar Rambut

“Limit fungsi. Mendekati. Batas. Mendekati tapi tak bisa meraih.Ada batas yang membuat akuharus berhenti pada mendekati. Hanya mendekati. Tak melewati batas itu.”
Triani Retno

Sidik Nugroho
“Misteri mirip inspirasi: datang tanpa permisi, menawan pikiran berhari-hari.”
Sidik Nugroho, Tewasnya Gagak Hitam

Sidik Nugroho
“Menguraikan misteri ibarat mencari sebuah ruang dalam gedung kuno yang mahabesar. Gedung kuno yang sisa-sisa kemegahannya masih tampak, tanpa pemilik, dan ada sebuah ruang di dalamnya yang konon digunakan untuk menyimpan berbagai jejak kehidupan yang dijemput maut: pedang, pistol, tali tambang untuk gantung diri, tengkorak dan tulang-belulang, juga bau anyir darah. Begitu banyak ruang di gedung itu, tapi kunci-kuncinya berhamburan, bahkan ada yang hilang. Ia tak tahu ruang mana yang harus dibuka, bahkan tak tahu di mana akan menemukan kunci untuk membuka ruang yang tepat.”
Sidik Nugroho

Titon Rahmawan
“Baginya kesenangan bukanlah Everest yang mesti ia taklukkan, melainkan jalan terjal menuju katarsis. Pelepasan diri dari beban kemanusiaan yang mesti ditanggungnya. Tetapi, apakah kebahagiaan bukan bagian dari kebenaran itu sendiri? Sebagaimana putik membuahi benang sari dan melahirkan buah buah berlimpah?

Kesadaran atas keterbatasan diri akan mengajari ia sesuatu, bahwa kebahagiaan bukanlah sekedar biji yang terpendam di dalam tanah. Melainkan mempelam yang bergelantungan di dahan menunggu untuk dipetik. Dibutuhkan lembut elusan angin dan hangat ciuman seekor kumbang untuk membantu proses penyerbukannya. Demikianlah, kepala putik menghasilkan cairan gula untuk memberi makan serbuk sari.

Jemari tangannya sibuk mengorak dinding serbuk sari agar mengembang dan pecah. Dan dengan geletar sayapnya, ia mengungkai dinding sebelah dalam hingga melengkung dan menembus kepala putik. Lalu dengan penuh kecermatan dibentuknya buluh serbuk sari yang menghubungkan serbuk sari dengan bakal biji melalui celah kecil mikrofil menuju inti sel telur. Itulah inti dari semua hakekat kebahagiaan.

Sebuah perjalanan yang menyenangkan akan mengantar ia ke dalam tabung sari menuju bakal biji. Sebuah wisata mistik yang secara ajaib menghadirkan beberapa perubahan dalam dirinya. Bagaimana ia membelah diri menjadi kembar dua yang nyaris serupa; inti vegetatif yang bijak menafsirkan arti pengorbanan. Ia yang rela mati demi menegakkan nilai sebuah kehormatan. Dan Inti generatif, yang arif memaknai perjuangan untuk terus bertahan hidup.

Di dalam kandung lembaga ia berproses untuk membentuk sel telur. Sel induk megaspora yang kemudian mengalami pembelahan meiosis demi menghasilkan satu sel megaspora dan tiga sel lain yang berdegenerasi. Mitosis tiga kali yang menghasilkan 1 inti sel kebajikan, 2 inti uluhiyah wujud keyakinan dan kepatuhan kepada Rabb Yang Maha Memberi, serta 3 rububiyah yang mencakup semua jenis perhatian sebagai sebuah karunia; ia yang sakit akan disembuhkan, ia yang susah akan dimudahkan, dan ia yang butuh akan diberikan serta 2 inti kandung sebagai sumber pengetahuan akan segala hal yang baik dan buruk

Demikianlah kebahagiaan memulai awal perjalanannya, ketika inti sperma pertama membuahi sel telur membentuk zigot yang kemudian berkembang menjadi embrio. Pembuahan kedua terjadi saat inti sperma kedua melebur dengan inti kandung lembaga sekunder membentuk endosperm yang bersifat triploid. Sebuah perjalanan rumit makrifat menuju hakekat kebenaran sejati.

Peristiwa di mana setelah pembuahan selesai, maka sisa benang sari, mahkota, dan kelopak bunga akan layu dan gugur. Meninggalkan bakal biji yang berkembang menjadi benih yang dilindungi oleh dinding bakal buah dan lalu berkembang menjadi sebuah kebahagiaan yang sempurna. Yang kita tahu, bahwa ia hadir lewat sebuah perjalanan penuh misteri yang tak akan pernah bisa kita sederhanakan begitu rupa.”
Titon Rahmawan

Toba Beta
“Kesalahan logis saat memahami sejarah adalah “pikiran berasumsi bahwa prasejarah adalah sesuatu yang sangat jauh.”
Toba Beta

Titon Rahmawan
“Masih ada rumah lain di tengah hutan yang bukan milikmu. Ia masih serupa misteri yang sengaja engkau sembunyikan. Mata buta, telinga tuli.

Demikianlah hidup, ia tetaplah teka-teki yang tak terselami hingga lembar terakhir menjelang kematian.

Kudapati engkau duduk berdua di beranda. Sedang bercakap dengan diri sendiri atau entah dengan siapa. Memperdebatkan hal-hal asing yang tak perlu. Mengupas kulit filsafat atau inti agama yang tak pernah engkau yakini kesahihannya.

Kebenaran tak ada di dalam pikiran-pikiran kosong yang tak menyadari kedunguannya sendiri. Bagimu ia tak lebih dari fatamorgana.

Ia bisa jadi jasad yang terkubur di tanah tak bertuan, atau di tengah hutan tak berpenghuni. Kegelapan menyelinap dari balik rasa penasaran kita. Menikam dengan pisau yang tak sepenuhnya kita sadari. Mencekik tanpa iba sampai mati.

Di mana kisah ini sampai ke penghujung jalan. Kematian demi kematian datang menjemput, tak ada lagi waktu untuk berpaling.”
Titon Rahmawan